Beranda / Horor / The Blue Eyes / Ingin Bertemu

Share

Ingin Bertemu

Penulis: Olivia Yoyet
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-07 15:02:59

TBE 04

Ucapan Viana kemarin sore kembali terngiang. Hal itu membuatku sangat penasaran dan ingin mengorek keterangan lebih dalam. Akan tetapi, sebelum Viana melanjutkan omongan, azan Magrib telah berkumandang. Dia tiba-tiba menghilang dan tidak muncul kembali sampai detik ini. 

Kemarin malam, aku sengaja tidur lebih larut dari biasanya. Menunggu dirinya hadir di jam-jam biasa. Berulang kali aku melongok ke jendela ataupun ujung koridor, tempat di mana biasanya dia akan hadir, tetapi tetap saja dia tidak muncul.

Radar penasaran yang meningkat tajam, membuatku memasang alarm di ponsel agar bisa bangun lebih awal. Niatku cuma satu, ingin mengobrol lebih banyak dengan penghuni rumah sebelah. 

Tuk, tuk, tuk! 

Bunyi ketukan di pintu kamar diiringi dengan suara panggilan Bu Ismi, membuatku bergegas berpakaian dan keluar dari kamar. Melangkah menuju ruang makan yang ditingkahi suara televisi yang tengah menayangkan berita infotainment.

"Tumben, keluarnya cepat, Mas? Biasanya ibu ngetuk sampai tiga kali balikan, baru Mas bangun," celoteh Bu Ismi yang menyambutku di meja makan. 

"Udah bangun dari tadi, Bu. Habis ini mau keluar," jawabku sambil mengambil cangkir kopi yang masih mengepul dan meniup uapnya sebelum menyesap minuman hitam beraroma harum tersebut. 

Bu Ismi menuangkan nasi kuning ke atas piring besar. Menambahkan irisan telur dadar, tempe orek, bihun bumbu kecap, dan menaburkan bawang goreng di atasnya. 

"Ini, Mas. Silakan dicoba. Bikinan Titin," ucap perempuan paruh baya itu dengan sorot mata berbinar-binar.

Aku menyendok nasi dan lauk sampai penuh, menyuapkannya ke mulut dan mengunyah dengan pelan. Menikmati setiap gigitan yang ternyata sangat enak. Mengacungkan ibu jari yang membuat senyuman ibunya Titin itu merekah sempurna. 

Setelah sarapan, aku melangkah ke depan rumah. Tak lupa menyapa Pak Tono yang sedang merapikan aneka tanaman di sisi pekarangan. Menyusuri area jalan seukuran satu mobil yang merupakan penghubung antara vila dengan jalan raya, kemudian berbelok ke kiri dan mengayunkan tungkai lebih cepat.

Sesampainya di rumah yang dituju, suasana tampak sangat sepi. Pintu pagar yang tidak terkunci, membuatku memberanikan diri untuk melangkah memasuki pekarangan luas dan dipenuhi bunga berwarna-warni yang indah.

Teras depan rumah ini tampak bersih. Aku membuka sandal dan meninggalkannya di undakan tangga, sebelum maju beberapa langkah menuju pintu. Saat tangan hendak menekan bel di dekat benda besar bercat putih itu, tiba-tiba saja gorden tersibak. Tampak seraut wajah mengintip ke arahku dari balik jendela.

"Assalamualaikum. Punten, Bu," sapaku seraya tersenyum dan menundukkan kepala sedikit. (permisi) 

"Waalaikumsalam. Cari siapa, ya, Kang?" tanya pemilik suara lembut yang kupastikan adalah perempuan. 

"Saya mau ketemu dengan pemilik rumah," jawabku. 

Perempuan itu terdiam, sebelum akhirnya bergerak membuka pintu. Seraut wajah rupawan muncul dari balik pintu sambil menatapku dengan saksama. Aku pun melakukan hal yang sama. 

"Maaf, kakek saya lagi tidak berada di rumah. Kalau boleh tahu, Mas ini namanya siapa dan ada keperluan apa?" tanyanya. 

"Nama saya, Ferdianto. Saya sementara ini tinggal di villa sebelah. Keperluan ke sini, hendak bersilaturahmi sekaligus hendak menanyakan tentang penghuni villa itu, sebelum dibeli oleh orang tuanya Farid, teman saya," jawabku dengan suara yang diharap meyakinkan. "Kalau boleh tahu, Mbak ini namanya siapa?" Aku balas bertanya. 

"Nama saya, Risty," sahutnya seraya mengulaskan senyuman tipis.

***

Sejak petang tadi aku sudah duduk menunggu kedatangan Viana. Hujan gerimis yang turun sejak siang hari, membuatku enggan untuk menaiki bukit tempat makam ibunya Viana. 

Kemarin saja, tanpa ada hujan, jalanan di situ sudah licin. Apalagi sekarang, aku pasti akan kerepotan untuk bisa menggapai tempat tujuan. 

Tepat pukul 7 malam, Titin dan Tari-- kedua anak perempuan Pak Tono-- datang dan menyiapkan makan malam untukku. Mereka masih berdiri di ujung kiri meja saat aku menarik kursi dan mendudukkan diri.

"Kalian sudah makan?" tanyaku basa basi. 

"Sudah, Mas," jawab keduanya nyaris bersamaan. "Silakan dinikmati, Mas. Kalau udah nanti panggil aku," tukas Titin sambil mengangguk kecil, kemudian menarik tangan adiknya menuju ruang tengah.

Tak berselang lama terdengar suara televisi yang menayangkan sinema elektronik yang bisa kupastikan merupakan tayangan dari saluran televisi ikan mengambang. Tontonan wajib kebanyakan orang Indonesia, kecuali aku tentunya.

Aku menikmati makan malam sambil sekali-sekali melihat sekeliling. Sangat berharap sosok Viana akan muncul di tempat biasa dan menemaniku bersantap. Namun, sampai aku selesai makan dan kedua bersaudara itu sudah membereskan sisanya, Viana tetap tidak muncul. 

"Mas, kami pamit, ya," ucap Titin yang membuatku tersadar dari lamunan. 

"Oh, iya. Terima kasih dan hati-hati," sahutku sambil mengikuti langkah mereka ke luar rumah. 

Hujan ternyata telah berhenti. Kabut pekat yang menyelimuti sekitar vila membuat jarak pandang makin terbatas. Tubuh kedua perempuan itu dengan cepat tertutup oleh kabut. Aku berdiri sejenak di teras, sebelum akhirnya membalikkan badan dan jalan memasuki ruang tamu. 

"Aaarrrgghh!" 

Brrruuukkk! 

Brrruuukkk!

Suara teriakan perempuan disusul dengan bunyi benda jatuh, sontak membuatku kembali ke teras dan lari ke asal suara. Tubuhku yang hanya mengenakan pakaian berbahan tipis, sedikit menggigil saat bersentuhan dengan dinginnya malam. 

"Titin! Tari!" teriakku saat menyadari kedua sosok yang terbaring di tengah halaman itu, ternyata adalah kedua perempuan tadi. 

Dengan hati-hati kugoyangkan pundak keduanya. Mencoba menyadarkan mereka dengan guncangan yang semakin kencang. 

Sorot lampu dari seberang sana perlahan kian mendekat. Tak lama kemudian tampaklah sosok Pak Tono dan Bu Ismi yang bergegas lari ke arah kami. 

"Astagfirullah! Kunaon ini anak?" jerit Bu Ismi sambil mengangkat kepala Tari yang terkulai. 

Sementara Pak Tono berjongkok di sebelah kiriku dan meraih kepala Titin yang juga lemas. "Kenapa kalian jadi begini, Tin, Tari?" tanya sang Ayah sambil mencoba mengangkat tubuh sang putri pertama. 

"Sini, Pak. Biar Anto aja yang gendong," pintaku sambil mengalungkan lengan Titin ke leher, kemudian mengangkat tubuhnya yang tidak terlalu berat itu dan jalan kembali ke rumah. 

Dari posisi kami saat ini, jarak ke vila lebih dekat bila dibandingkan dengan jarak ke rumah Pak Tono. Kedua pasangan suami istri itu mengangkat tubuh Tari dan menyusulku ke dalam rumah. Aku membaringkan tubuh Titin ke atas sofa panjang. Sedangkan Pak Tono membaringkan tubuh Tari di atas sofa tunggal dengan kaki terjulur ke lantai. 

Bu Ismi bergegas lari ke ruang tengah. Tak lama kemudian kembali dengan membawa sebotol minyak kayu putih. Dengan cepat beliau mengoleskan benda cair berbau menyengat itu di dekat telinga dan hidung kedua anaknya. Kemudian, tak lupa menggosok kedua kaki Titin dengan minyak yang sama. Sedangkan Pak Tono menggosok kaki Tari. 

Aku beranjak masuk ke dapur. Mengambil gelas besar dan menuangkan air dari dalam teko, dan mencampurnya dengan air panas dari dalam termos. Kemudian, membawa gelas tersebut ke depan dan meletakkannya di atas meja. 

Suara lirih Titin yang sudah terjaga, mengalihkan pandangan kami bertiga ke arahnya. Perempuan muda itu perlahan membuka mata dan memandangi wajah kami bergantian. Kemudian, dia bangkit dan duduk tegak, menggosok pipi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. 

"Bapak, Ibu," ucap Titin setelah sepenuhnya tersadar. 

Aku memberikan gelas tadi, Titin menyambutnya dengan tangan gemetaran. Meminum beberapa teguk sebelum mengembalikan gelas itu padaku. 

"Ada apa, Teh? Kenapa kalian tadi bisa pingsan?" tanya Pak Tono sesaat setelah Titin terlihat lebih tenang. Sementara itu Tari juga akhirnya tersadar dan sekarang sedang memeluk ibunya dengan erat. 

"Tadi ... ada hantu Noni Belanda itu, Pak," jawab Titin dengan suara bergetar.

Bab terkait

  • The Blue Eyes    Pagar Gaib

    TBE 05Malam ini keluarga Pak Tono akhirnya memutuskan untuk menginap di kamar bagian depan villa, tepatnya di samping kiri ruang tamu. Sekali-sekali masih terdengar isakan Tari. Sepertinya dia masih syok setelah melihat penampakan Viana. Lagi-lagi aku tidak bisa langsung tertidur. Kegiatan menunggu Viana menjadi hal yang sangat melelahkan sekaligus mendebarkan. Di antara banyak pohon di halaman, tampak kelebatan dirinya beberapa kali. Akan tetapi, dia tetap tidak mau mendekatiku yang hanya bisa memandanginya dari jendela. Hingga akhirnya rasa kantuk menguasai, dan aku tertidur dengan jendela yang masih belum tertutup gordennya. Sinar matahari pagi yang menembus dari balik jendela, menyapa hari dan menyentuh kulit dengan lembut. Sesaat setelah terjaga aku bergegas jalan masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri secepat mungkin agar bisa segera menuntaskan misiku hari ini. "Mas, sarapan dulu," ajak Titin yang tengah menyapu rua

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09
  • The Blue Eyes    Pria Berwajah Mirip

    TBE 06Titin yang sedang duduk di kursi ruang tamu, sontak berdiri saat melihat kami melangkah masuk. Mata bulatnya memandangi kami dengan sorot mata yang sedikit berbeda. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun perempuan muda itu melangkah masuk ke rumah. Saat aku dan Risty memasuki ruang tengah Titin tengah menyiapkan meja makan. Dia hanya menatapku sesaat sambil mengarahkan jempol tangan kanan ke arah meja. Aku menangkapnya sebagai sikap mempersilakan kami untuk duduk di kursi depan meja makan, setelahnya Titin membalikkan tubuh dan beranjak menjauh. Risty memandangiku sambil tersenyum. Kemudian, menyendokkan nasi ke atas piring dan mengulurkannya padaku yang segera menambahkan lauk pauk sebelum mengambil sendok dan bersiap-siap untuk mulai makan.Kami bersantap sambil mengobrol dengan santai. Sedikit melupakan pertemuan dengan Viana tadi dan fokus dengan menceritakan kehidupan masing-masing. Setelah makan, aku pamit pada Rist

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-15
  • The Blue Eyes    Gadis Berkepang Dua

    TBE 07Suara mobil yang memasuki pekarangan siang ini sontak membuatku mengintip dari balik gorden kamar yang tersibak. Secarik senyuman terukir di wajah saat melihat Farid dan Johan--adiknya-- turun dari mobil dan disambut hangat oleh Pak Tono dan Bu Ismi. Aku bergegas ke luar dan menghampiri kedua bersaudara itu. Menyalami dan memeluk mereka dengan setitik rasa rindu. Kami bertegur sapa selama beberapa detik, sebelum aku mengajak mereka memasuki ruang tamu."Ini, barang-barang yang kamu minta bawakan tempo hari," ujar Farid sambil mengulurkan sebuah tas travel biru tua yang cukup berat. "Thanks, Far. Ini akan sangat membantu," sahutku sembari membuka tas dan memeriksa isinya. "Lidya titip salam, To. Dia nggak bisa ikut ke sini. Maklum, bawaan bayi, masih mabuk," jelas Farid seraya mengulaskan senyuman lebar. Lidya adalah saudara sepupu, sekaligus satu-satunya kerabat yang terdekat denganku saat ini. Ayahnya merupa

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • The Blue Eyes    Fitnah Keji

    TBE 08Senyuman di wajah Viana melebar. Kemudian, dia menoleh ke belakang, seakan-akan memberi kode kepada pria itu untuk maju dan lebih dekat dengan kami. "Sudah kuduga bahwa dia akan bertanya seperti ini, Sayang," ucap pria itu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Viana. Terdengar suara tawa yang berdengung dari Viana. Perempuan berwajah blasteran dengan iris mata biru itu, tampak sedikit berbeda. Ada rona kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya yang berseri-seri. "Baiklah, Anak muda, aku akan mulai bercerita tentang diriku dan Viana. Jangan ada yang menyela sebelum aku selesai bercerita. Paham?" ujar pria itu yang langsung mendapatkan anggukan persetujuan dari kami bertiga. Farid sih tidak perlu ditanya, karena saat ini dia sedang mematikan diri. Bersembunyi di dalam tenda dan tidak mau keluar. "Namaku, Haryadi Atmaja. Aku adalah suami dari perempuan cantik ini," ujar pria itu sambil menoleh pada Viana. Seje

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • The Blue Eyes    Jiwa Yang Terkurung

    TBE 09"Siap?" tanya Johan. Aku mengangguk. Menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan degup jantung yang mulai turun naik secara ekstrim. Johan mencoba membuka gagang pintu, tetapi ternyata benda itu terkunci. Dia mencoba lagi dengan mendorong sedikit, tetap saja pintu tidak bergerak. "Sssttt. Lewat sini," panggil Risty dari arah samping kiri. Aku dan Johan bergegas menghampiri. Saat kami tiba, ternyata Risty telah berhasil membuka satu jendela berbahan kayu dengan lubang angin garis-garis khas rumah zaman dulu, dan kini gadis itu tengah melongok ke dalam. "Kok kamu tahu jendela ini nggak kekunci?" tanyaku sambil menatapnya penuh tanya. "Kan udah dibilang, Mas. Aku ini cenayang," jawabnya seraya tersenyum dan mengedipkan mata kiri yang membuat tampilannya makin menggemaskan. Aku menggeleng seraya tersenyum. Menaiki batas jendela yang kayunya masih bagus. Mengernyitkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • The Blue Eyes    Menyedot Jiwa

    TBE 10"Ke mana?" tanyaku. "Tempat rahasia," jawab Viana, kembali dia mengedipkan sebelah mata dan merapikan rambut yang beterbangan oleh angin yang selalu muncul bersamaan dengan kehadirannya."Masih hujan, Vi." "Bukan ragamu yang akan ikut, tapi jiwamu." Kami saling berpandangan. Aku mencoba memahami maksud perkataannya, dan menggeleng setelah beberapa saat berpikir. "Tidak, aku tidak mau ikut," jawabku. "Apa kamu tidak ingin tahu tentang diriku?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kiri dan mengusap pipiku dengan sentuhan yang lembut. "Cukup kamu cerita aja. Aku nggak perlu ikut denganmu."Tiba-tiba Viana tertawa dengan suara berdengung. Menarik tanganku dan menggenggam jemari dengan erat. "Apa kamu takut tidak akan kembali?" tanyanya selesai tertawa. Aku sepersekian detik berpikir, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaannya. Perempuan berparas blasteran itu tertawa k

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • The Blue Eyes    Kita Harus Keluar!

    TBE 11Tubuh Risty yang semula menegang, perlahan berubah sedikit relaks. Dia melepaskan diri sambil mendorong tubuhku menjauh. Manik mata cokelat tua itu memandangiku dengan lekat. Seulas senyuman memikat dihadiahkannya padaku. "Mas, kita bicarakan nanti, ya. Sekarang, ayo, masuk. Kita bahas beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menolongmu," ucapnya pelan. "Jawab dulu, kamu cinta sama aku atau nggak?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi. Risty tidak menjawab, dia hanya menyentuhkan tangan ke pipi kananku. Kemudian, membalikkan badan dan berlalu untuk kembali ke ruang tengah. Aku menghela napas dengan cepat, berusaha mengusir rasa tidak enak di dalam hati. Tadinya aku sangat berharap agar dia juga membalas perasaanku. Akan tetapi, sepertinya aku harus bisa lebih lama untuk bersabar. Menunggu itu adalah hal yang paling tidak kusukai, tetapi aku bisa apa? Tidak mungkin juga memaksakan kehendak. Mungkin pernyataan c

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-26
  • The Blue Eyes    Terperangkap

    TBE 12Kami terperangkap di dalam rumah. Berbagai usaha dilakukan Farid dan Johan untuk membuka pintu depan, tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Aku bangkit berdiri dan melangkah pelan, berpegangan pada meja dan kursi agar bisa mencapai satu-satunya tempat yang mungkin bisa dibuka. "Jo, angkat kursi itu dan hantamkan ke sini!" seruku.Pria bertubuh tinggi itu segera mengangkat kursi kayu di ujung sofa. Sekuat tenaga menghantamkannya ke jendela yang tidak berteralis. Kaca jendela yang tebal itu hanya terlihat retak. Johan mengangkat lagi kursi dan melakukan hantaman kedua. Prrraaannnggg! Kaca pecah dan berhamburan ke mana-mana. Farid menarik taplak meja dan meletakkan benda itu di pinggir jendela. "Jo, kamu duluan keluar!" titahnya. Johan bergerak ke luar dengan hati-hati, agar kakinya tidak menginjak pecahan kaca. "Sekarang giliran kamu, To," ujar Farid sambil menarik tanganku. Pria bertubuh agak tambun itu membant

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-28

Bab terbaru

  • The Blue Eyes    We Zien Elkaar Weer

    TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu

  • The Blue Eyes    Serang Lagi! Cepat!

    TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar

  • The Blue Eyes    Pertempuran Terakhir

    TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec

  • The Blue Eyes    Rumah Kebun

    TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi

  • The Blue Eyes    Firasat Tidak Enak

    TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen

  • The Blue Eyes    Stop! Jangan Disebut!

    TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru

  • The Blue Eyes    Kalian Sama Judesnya

    TBE 52Pemandangan langit terbenam di pantai ini benar-benar indah. Aku terpesona dan nyaris tidak beranjak dari tempat, sebelum akhirnya Risty menarik tanganku dan menyeret menuju kamar kami yang berada di kawasan hotel dengan pantai pribadi.Risty sudah sejak lama menginginkan bisa menginap di tempat ini karena tertarik dengan promosi pihak hotel di berbagai media sosial. Demi memenuhi impiannya, aku rela menggelontorkan dana berjumlah besar agar bisa menginap selama beberapa hari, sebelum nantinya kami akan berpindah ke kawasan wisata lain di Pulau Bali. Seusai mandi dan berganti pakaian, kami menunaikan salat Magrib berjemaah. Setelahnya, kami keluar dan jalan menuju restoran. Melewati koridor panjang dan area luas di tempat ini membuatku terkagum-kagum, demikian pula dengan Risty. Berulang kali kami berhenti untuk mengambil swa foto dengan berbagai gaya. Namun, Risty lebih banyak menjadi modelnya dibandingkan aku yang lebih senang memotretnya. Sekali-sekali aku akan memvideokan

  • The Blue Eyes    Satu Peristiwa Besar

    TBE 51"Kata Bibi, di rumah itu memang ada orangnya. Tapi jarang keluar," ujar Risty, sesaat setelah aku menceritakan tentang kejadian beberapa puluh menit lalu. "Ada berapa orang?" tanyaku."Nggak tahu. Coba Mas tanya ke Bibi." "Besok deh. Aku mau tidur awal." "Hmm." "Sini." "Ehm?""Sini, peluk sampai aku tidur.""Males. Ujung-ujungnya minta jatah." "Nggak, aku capek hari ini. Beneran cuma pengen dipeluk." Risty memandangiku sesaat, kemudian menggeser tubuhnya mendekat dan merangkul pundakku yang spontan menempelkan badan ke dadanya serta memeluknya erat. Aku memejamkan mata sambil menghidu aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Aku mengatur napas sambil membaca doa sebelum tidur. Tidak lupa menyerap energi yang Risty alirkan lewat usapan di punggungku karena itulah salah satu caranya melindungi.Perlahan sukma melayang tak tentu arah sebelum akhirnya aku tidak dapat mengingat apa pun. Aku terbangun saat merasa dingin di area kaki. Saat memaksakan membuka mata, aku terk

  • The Blue Eyes    Kain Biru Berkibar Dekat Jendela

    TBE 50Aku menyusuri lorong remang-remang dengan banyak pintu di kanan dan kiri. Sekali-sekali tangan ditempelkan ke dinding untuk menahan tubuh yang letih. Pandangan kian mengabut dan menjadikanku kesulitan melihat jelas. Hawa dingin kian terasa di tengkuk dan membuatku yakin bila sudah hampir sampai ke ujung. Beberapa langkah dari sebuah lengkungan putih, aku berhenti dan mengatur napas. Kala hati sudah mantap aku meneruskan langkah memasuki suatu area terang dan berhenti sesaat untuk memindai sekitar. Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Aku menguatkan diri terus melangkah meskipun sedikit terseok. Lantai berguncang, kian lama kian kencang. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena takut melihat siapa yang mengikuti. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Haryadi!" seru seseorang dengan suara berat dan bergaung di belakang. Aku tidak memedulikan seruan itu dan sekuat tenaga mempercepat langkah sambil berpegangan ke beberapa benda yang berada di sepanjang lorong terang. Soso

DMCA.com Protection Status