Renata mundur beberapa langkah, namun dia sudah terlanjur sampai di rumah itu. Dia tidak mungkin lagi pergi, apalagi Darren sudah melihatnya.“Siapa namanya? Biar nanti saat aku laporan ke dalam mudah diketahui,” tanya bapak tersebut sebelum membuka pintu pagar tersebut.“Pak Yadi, ajak dia masuk!”Darren yang ternyata sudah berada di dekat pintu pagar itu meminta bapak yang bernama Yadi itu membukakan pintu untuk Renata. Dan Darren tampak begitu antusias menyambut kedatangan Renata sore itu.“Baik, Tuan,” jawab Yadi.Kriet! Suara pintu besi itu dibuka, dan Renata dipersilakan untuk memasuki halaman rumah yang saat ini sudah tampak sangat rapid an terawatt. Semua pembangunan sudah selesai dan sudah terlihat mewah, adem dan lebih hidup.Renata melihat ke sekeliling, begitu banyak bunga anggrek yang ditanam. Sejenak kemudian Renata tertegun, karena dia tahu anggrek adalah kesukaannya dan Darren pun tahu itu.“Renata…, kapan kamu kembali?” tanya Darren yang bahkan tidak mampu berkata-kat
Renata menghela nafas berat. "Apa kau tidak melihat dia takut denganku? Jangan menahanku, Darren. Aku tidak ingin merusak kebahagiaannya."Renata mengatakan hal itu dengan mata yang berkaca-kaca. Terlihat kalau saat ini dia sedang menahan tangisnya.Bagaimana tidak? Rasanya sangat menyakitkan melihat anak yang dilahirkan dari rahim dan dikandungnya selama sembilan bulan, dan merasa ketakutan saat melihatnya."Tapi, aku tidak menyalahkan Noah. Dia pastinya tidak mengenalku, dan semuanya salahku," lanjut Renata pelan.Darren menggeleng, dia tidak melepaskan tangannya dari tangan Renata. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya sangat ingin memeluk Renata. Namun, dia tahu batasannya kalau saat ini mereka bukan lagi sepasang suami istri."Tidak ada yang menyalahkanmu ataupun Noah. Disini kamu hanya perlu bersabar sebentar saja untuk Noah mengenalmu. Dia butuh waktu untuk akrab dengan perlahan," ujar Darren yang masih mencoba untuk menahan Renata agar tetap tinggal."Pap-paa…," panggil Noah yang
“Klarifikasikan semuanya!” teriak Nana di ujung telepon.Darren menghela nafas berat. “Kenapa harus aku?”Darren benra-benar tidak mengerti dengan masalah yang dihadapi oleh Nana. Dan herannya mengapa malah dia yang diharuskan sibuk untuk klarifikasi. Seharusnya Nana sendirilah yang klarofikasi.“Kenapa tidak kau sendiri? Dan kau bisa menemui pacarmu menjelaskan kepadanya kalau semuanya tidak seperti itu. Lagian juga, aku muncul ke public sekarang semua orang akan semakin heran. Dikiranya aku mau pansos,” lanjut Darren lagi.Sudah pasti kalau Darren akan menolak, karena Darren tidak akan mungkin ikut campur dalam urusan Nana dan pacarnya. Karena Darren tidak mau terllau jauh ikut terseret dalam permasalahan itu.“Astaga! Susah sekali bicara dengan orang bodoh seperti kau ini!” teriak Nana lagi.Darren hanya menyunggingkan senyumannya, padahal dia tahu Nana pastinya tidak akan melihat senyumannya.“Nana, maaf ya. Aku tidak mau terlibat dalam segala urusan kamu. Sebaiknya kamu selesaika
“Apakah mungkin seperti itu?” tanya Darren yang seolah sedang terbebani dengan perkataan Amina.Amina menganggukkan kepalanya. “Semua bisa saja terjadi. Buktinya dia meninggalkan kamu dengan tanpa pikir panjang. Dan Sekarang begitupun saat dia kembali.”Darren menggelengkan kepalanya. “Renata tidak seperti itu.”Darren meyakinkan dalam hatinya kalau Renata tidak akan berbuat seperti itu kepadanya. Darren merasa, walaupun kebersamaan mereka cukup singkat, tapi sedikit banyaknya dia sudah mengenal Renata.“Kenapa kamu begitu yakin? Bukankah kamu mengenal dia setelah kamu menikahinya? Hanya beberapa bulan waktu yang kalian habiskan bersama, dan dalam beberapa waktu itu apakah kamu yakin sudah sangat mengenalnya?” tanya Amina.Darren menganggukkan kepalanya.“Tidak penting aku mengenalnya baru atau sudah lama. Yang penting aku yakin dengan Renata, kalau Renata tidak akan melakukan hal itu,” jawab Darren dengan yakin.Amina hanya bisa menghela nafas berat. walaupun dia masih belum rela ras
“Eh… kalian sudah selesai bermain?” tanya Darren yang tidak menjawab pertanyaan Renata alah menyunggingkan senyuman lebarnya.Renata hanya menganggukkan kepalanya, dia sedikit merasa terbebani dengan umpatan dari Darren itu. Sebab dia merasa kalau dia sudah mengganggu Darren. Sedangkan Noah telah berlari masuk ke dalam pelukan Darren, sepertinya Noah benar-benar sudah lelah sehingga dia hanya diam di dalam pelukan sang ayah.“Kamu sangat lelah?” tanya Darren kepada Noah sambil tergelak.Renata melihat ke arah Darren, menuntut penjelasan dari Darren, karena dia masih belum puas tanpa mendapatkan jawaban.“Kau belum menjawab pertanyaanku? Apakah aku mengganggu? Kenapa kau tampak marah-marah?” tanya Renata lagi.Darren memberikan kode kepada Renata untuk memelankan suaranya sebab Noah sepertinya mulai mengantuk. “Bukan kamu. Ada seorang teman yang terus menggangguku.”“Kenapa kau tidak bekerja? Bukannya katanya sekarang kau sudah jadi pengusaha café?” tanya Renata lagi.Darren menggeleng
“Astaga, ini siapa yang mengizinkan orang seperti ini masuk?” tanya Darren sembari berjalan menuju ke arah pintu untuk memastikan siapa yang datang dan mencarinya.“Dia terdengar marah-marah,” ujar Renata yang mengikuti langkah kaki Darren. Karena Renata sebenarnya sudah mau berpamitan untuk pulang. Bagi Renata, waktu hari ini bersama Noah sangat berarti.“Iya, dan herannya kenapa dia bisa masuk,” kekeh Darren yang sama sekali tidak merasa takut, Darren bahkan sudah sedikit mengenal suaranya. Namun, Darren belum pasti.Baru saja Darren berada di ruang tamu dan belum sempat menuju pintu seseorang sudah berdiri dengan berkacak pinggang. Seperti dugaannya, orang itu adalah Nana.Nana datang dengan berkacak pinggang, menggunakan kacamata hitam dan tangannya yang menenteng tas kecil. Dia menatap Darren dengan tatapan yang tajam, apalagi saat melihat ada Renata yang menyusul di belakang Darren. Nana semakin emosi, dia merasa kalau Darren sengaja mau menghancurkan karirnya.Di belakang Nana,
“Hah? Berani banget kau bilang seperti itu kepadaku?” tanya Nana kepada Renata.Mungkin Nana tidak menyangka kalau ternyata ada orang yang berani kepadanya, bahkan Renata dengan lantangnya mengatakan dia tidak mengenal Nana.“Memangnya kenapa? Kau siapa aku harus takut?” tanya Renata tetap tidak bergeming di tempatnya.Darren menahan tawa dalam hatinya, dia melihat raut wajah Nana yang sangat tidak mengenakkan mendengar Renata berbicara seperti itu.“Ku tidak kenal aku? Memangnya di rumahmu tidak ada televisi?” tanya Nana kemudian kepada Renata.“Tidak ada! Aku tidak butuh TV, karena tidak ada acara yang berbobot,” jawab Renata lantang.Nana menghela nafas, tangannya terkepal. Nana benar-benar ingin menghabiskan Renata sepertinya. Bahkan Nuna memperhatikan Renata dari bawah hingga atas. Mungkin mereka sangat heran karena ada orang yang tidak mengenal Nana.Bahkan terlihat dari wajah Renata itu dia tidaklah bohong. Dan itu wajar kalau Renata tidak mengenal Nana, sebab selama ini Renata
"Kenapa? Banyak pekerjaan lain yang harus aku kerjakan. Jadi, aku tidak punya waktu untuk mengurus masalahmu," jawab Darren santai sambil melihat ke arah Nana.Mendengar pengusiran dari Darren, kali ini Nuna yang berdiri di depan Nana. Sebagai seorang manager pastinya dia bertanggung jawab terhadap Nana, karena tujuan mereka mendatangi rumah Darren juga awalnya untuk mencari solusi bersama. Bukan malah bertengkar seperti ini."Darren, mohon maaf sebelumnya kalau aku mencampuri kalian. Disini selain sebagai manager, aku juga sebagai kakaknya Nana. Sebaiknya kita cari solusinya bersama-sama yang sama-sama menguntungkan," ujar Nuna pelan.Darren melihat ke arah Nuna, ada rasa kasihan sebenarnya. Namun, Darren juga sudah terlanjur marah kepada Nana."Solusi apa? Rasanya aku tidak akan memiliki solusi yang tepat untuk masalah ini, sebab aku bukanlah seseorang dari kalangan artis. Dan juga wartawan sudah melihat sendiri apa yang Nana lakukan," jawab Darren sambil menggelengkan kepalanya.Nu