Darren hanya terdiam, dan beranjak untuk meninggalkan Renata di dalam kamar itu. Dia tidak ingin membuat Renata hilang kepercayaan kepada ayah kandungnya sendiri.“Jangan pergi! Kau harus jawab pertanyaanku dulu, Darren!” teriak Renata.Langkah kaki Darren terhenti, dia juga tidak punya pilihan lain selain hanya mengangguk. “Tapi, aku belum bisa memastikan ini benar atau salah. Aku harus memastikan dulu apakah itu memang PT. Daze atau bukan.”Darren juga tidak akan langsung mengklaim itu perusahaan ayahnya, dia tetap akan mencari informasi terlebih dahulu mengenai perusahaan itu. Dan saat ini Darren juga belum mau kesana, dia akan membangun pondasi kekuatan terlebih dahulu.“Astaga! Aku tidak menyangka kalau seperti ini. Dan aku berharap kau salah, aku tidak akan bisa menerima orang yang selama ini ku panggil papa bisa melakukan hal yang buruk,” ujar Renata sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.“Jangan dipikirkan, dan tolong jangan beri tahu papamu kalau rumah ini adalah rumah
Darren tersentak mendengar apa yang dikatakan oleh Renata. Dia bahkan tidak menyangka seorang ibu tega mengatakan anak kandungnya sendiri dengan anak sialan."Hati-hati dengan ucapanmu, Renata. Walaupun dia belum lahir dia bisa merasakan kalau kau tidak menyayanginya. Dia juga tidak bisa memilih harus terlahir dari siapa, jadi tolong sayangi dan jaga dia," ujar Darren yang kemudian pergi meninggalkan Renata yang mencibirnya."Ada apa sih? Kenapa dia bersikeras? Sudah jelas-jelas ini bukan anaknya!" kesal Renata yang masih sempat di dengar oleh Darren.Darren tidak peduli, dia pergi untuk mengecek semua kondisi rumahnya. Karena memang dia belum sempat melihat bagian-bagian rumah tersebut, proses jual belinya terjadi begitu cepat.Setelah keluar dari kamar, Darren menghela nafas berat. Dia tidak mau Renata mengacaukan rencananya. "Semoga Renata tidak gegabah."Sesuai dengan rencananya, mulai keesokan harinya Darren akan memulai sebuah usaha. Dan sebelum dia memutuskan akan melakukan bis
“Hmm,” ujar Darren menghela nafas berat.Saat ini sepertinya masih sangat berat, karena memang dia belum memiliki rencana apapun untuk kedepannya. “Aku ingin membalas perbuatan mereka. Nyawa harus mereka bayar dengan nyawa.”Arrs menggelengkan kepalanya mendengar jawaban yang diberikan oleh Darren. “Tidak! Kau tidak boleh melakukan itu.”Darren sangat terkejut. Ekspresinya langsung melihat ke arah Arras dengan penuh tanya. “Kenapa? Bukankah mereka juga harus mendapatkan hal yang sepadan? Aku kehilangan kedua orang tuaku yang mereka bunuh secara tragis di depan mataku sendiri.”Darren tidak terima kalau dia dilarang mmebalas dendam, sebab semua orang pastinya tidak akan tahu apa yang dialaminya dalam hidupnya, dan bagaimana perasaannya yang terus saja dihantui mimpi buruk itu setiap kali dia memejamkan matanya.Arras menepuk pundak Darren dengan lembut, beliau sepertinya sedang memberikan ketenangan kepada Darren yang penuh dengan dendam. Bahkan sorot mata Darren penuh dengan amarah.“
Arras tampak menghela nafas berat. “Balas dendamlah dengan cara yang elegan, dan buatlah mereka melihat dan menyaksikan pembalasan dari kau. Kalau kau bunuh, mereka tidak bisa merasakan bagaimana rasa sakitnya yang kau dan kedua orangtuamu alami.”Darren terdiam mendengar jawaban yang diberikan oleh Arras. Dia mulai sedikit paham dengan maksud Arras. “Jadi, bagaimana caranya?” tanya Darren lagi.Darren masih ingin mendengar penjelasan dari Arras secara tuntas. Saat ini, dia belum bisa berpikir untuk melakukan hal apapun. Sebab selama ini yang ada di kepalanya adalah membalas dengan membunuh.“Jadilah lebih kuat dari yang mereka duga, sehingga mereka tidak bisa melawan kau. Setelah itu rebut kembali Daze ke tanganmu dan seret mereka ke pengadilan, dan saat itulah mereka mulai merasakan sakitnya,” jawab Arras kemudian dengan penuh semangat.Sepertinya Arras juga menyimpan dendam yang begitu mendalam kepada mereka. Dan Arras yakin kalau sekaranglah waktu yang sempat untuk menggeroti mere
"Renata."Arras menjawab dengan santai dan menatap Darren sambil tersenyum.Sementara itu, Darren tampak terdiam. Dia juga harus memikirkan itu. "Tapi, dia akan meninggalkanku setelah anaknya lahir.""Dia tahu siapa kau?" tanya Arras lagi. Karena Arras juga merasa penasaran, Darren mengajak Renata pindah ke rumah mewah.Darren menganggukkan kepalanya. "Dia terus mendesak, karena pindah ke rumah itu. Dengan terpaksa aku mengaku. Namun, aku tidak menceritakan semua secara detail. Apalagi tentang Martano sebagai dalang pembunuhan orang tuaku."Arras hanya bisa mencoba paham bagaimana posisi Darren. Semua pastinya serba salah. "Terus anaknya?" tanya Arras yang tahu kalau Renata hamil bukan karena Darren.Darren menghela nafas berat. "Anaknya akan bersamaku.""Kau yang merawatnya?" tanya Arras dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu.Jelas saja hal itu membuat Arras keheranan, apalagi setelah Darren tahu kalau Martano adalah salah satu pembunuh orang tuanya. Bagaimana bisa dia mau merawat
Darren memandang kepergian Renata dengan menggelengkan kepalanya. "Kenapa kau sulit sekali percaya kepadaku, Renata? Bukankah beberapa bulan ini sudah aku buktikan kalau aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu? Kenapa masih meremehkan aku?"Darren terus bertanya dalam hatinya, karena dia merasa seharusnya Renata mempercayainya.Darren hanya bisa menyugar kasar rambutnya. "Aku melakukan semua ini juga berharap kamu tidak jadi pergi. Tetaplah disisiku, Renata."Sementara itu, Renata yang saat ini merebahkan tubuhnya diatas pembaringan tampak masih kesal dan terus menggerutu, karena semenjak kehamilannya semakin besar, ruang geraknya semakin terbatas. "Kau ini, belum lahir saja sudah menyusahkan. Kau lihat, betapa tersiksanya aku dalam beberapa bulan terakhir ini, aku dijauhkan oleh teman-temanku sebab mereka tidak mau bergaul dengan ibu-ibu. Mau gerak aja aku susah sekali, dan kau dengan seenaknya menendang-nendang perutku!" kesal Renata kepada perutnya."Tunggu saja setelah kau lahir, aku
“Tolong! Ada orang?” teriak Darren yang segera memegang tubuh Renata yang sudah sangat lemah dan terus memegang perutnya.“Bertahan ya, kita akan segera ke rumah sakit,” ujar Darren menenangkan Renata yang saat ini sudah memejamkan matanya karena sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.Sementara itu, pembantu yang mendengar teriakan Darren segera melihat ke arah suara, dan sangat terkejut melihat Renata yang sudah sangat pucat.“Pak Joko! Cepat siapkan mobil!” teriak Bi Inah, pembantu rumah tangga tersebut memerintahkan kepada sopir.Sang sopir segera berlari menyiapkan mobil dan Bi Inah membantu Darren membawa Renata ke mobil dengan hati-hati.“Ke rumah sakit terdekat, Pak. Renata harussegera mendapatkan pertolongan,” ujar Darren kepada Joko.Mobil melesat meninggalkan rumah itu dengan kecepatan tinggi, Darren dan bi Inah memegangi Renata pada jok belakang.“Renata, sabar ya. Kamu tahan ya, kita akan segera tiba di rumah sakit,” bisik Darren di telinga Ren
“Siapa tahu semua lebih mudah dan dilancarkan kalau mendapatkan doa dan restu dari orang tua,” ujar Bi Inah lagi yang melihat Darren tampak ragu. Karena selama ini mereka tidak pernah melihat keluarga dari Darren maupun Renata yang datang ke rumah mereka, dan sedikit cerita yang bi Inah tahu kalau hubungan mereka tidak baik. “Baiklah,” jawab Darren kemudian mencoba menekan beberapa angka nomor dari Martanotersebut. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya panggilan dari Darren mendapatkan jawaban dari Martano. “Ada apa kau meneleponku?” tanya Martano dingin di ujung sambungan telepon tersebut. Martano bersikap sangat tidak senang saat tahu kalau Darren-lah yang meneleponnya. Darren mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan kepada Martano mengenai kondisi Renata saat ini, karena bagaimanapun juga Renata adalah anak kandung dari Martano dan Gia. “Maaf, ada hal yang akan aku kabarkan kepada kalian.” “Kami tidak butuh kabar dari kalian! Tidak perlu melaporkan apapun!” jawab Martano