Darren tersenyum ke arah Renata dan menganggukkan kepalanya. "Iya, inilah rumah yang akan kita tempati."Renata masih mematung tidak percaya, hingga mulutnya bergumam pelan; "Ini rumah siapa?" tanya Renata kepada Darren. Renata benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat di depan matanya itu."Rumah kita, yang aku belikan untuk tempat kita bernaung. Kita akan hidup bersama disini menghabiskan waktu kita," jawab Darren yang kemudian meraih tangan Renata dan mengajaknya memasuki halaman rumah itu.Renata berjalan pelan; Ini benar-benar seperti mimpi. Siapa kamu sebenarnya?" Bukan tanpa alasan Renata bertanya seperti itu, karena rumah yang ada di depan matanya ini tidaklah seperti yang ada di dalam bayangannya. Melainkan sebuah rumah mewah besar yang seperti istana megah. Walaupun di beberapa bagian tampaknya belum selesai. Tapi, terlihat kalau rumah itu benar-benar mewah dan besar."Aku beli rumah ini memang seperti ini. Ada orang yang belum selesai membangun rumahnya dan dapa
"Perusahaan itu sudah hilang, sebaiknya kita lupakan saja," jawab Darren kemudian dan mencoba tersenyum ke arah Renata.Namun, sepertinya tidak bagi Renata. Dia tidak akan menyerah kalau apa yang dia tanyakan belum mendapatkan jawabannya. "Aku mencurigai sesuatu, dimana perusahaan itu sekarang? Apa selama ini kau pura-pura miskin? Atau memang kau memang miskin?"Darren hanya bisa menghela nafas berat mendengar pertanyaan dari Renata. Karena dia rasanya tidak bisa menceritakan semuanya kepada Renata. Dia tidak mau membuat seorang anak membenci orang tuanya."Perusahaan itu saat ini berada di bawah bendera Abitex dengan nama Martin," jawab Darren pelan.Akhirnya Darren harus menjawab dengan jujur mengenai perusahaan tersebut. Sebab sebelum dia menjawab, Renata pastinya akan terus mengejar jawabannya.Renata mengernyitkan keningnya mendengar jawaban yang diberikan oleh Darren. "Mengapa bisa dibawah Abitex? Bangkrut? Atau dijual?" desak Renata.Bahkan saat ini keduanya belum memasuki ruma
"Jawab aku!" teriak Martano di ujung panggilan telepon tersebut.Darren hanya menggelengkan kepalanya, dia tidak menyangka kalau Martano malah mengikuti mereka sampai disini. "Ini rumah majikanku. Kami tinggal di rumah bagian belakang," jawab Darren kemudian mematikan sambungan telepon tersebut. Saat ini dia tidak mau membuat Martano kembali mencurigainya.Darren melihat dari celah jendela, ternyata memang ada sebuah mobil yang terparkir di depan pagar, dan itu pastinya sang ayah mertua. "Papa pasti mengikuti kita, karena beliau ingin melihat aku tinggal di rumah reot dan menderita dan aku akan segera merengek pulang," ujar Renata yang mendengar pembicaraan Darren dan Martano."Tapi, maaf papa. Ternyata semua tidak seperti yang papa harapkan," kekeh Renata kemudian.Darren menghela nafas lega ketika melihat akhirnya Martano pergi meninggalkan rumah mereka. Dan ternyata Martano percaya kalau disini Darren hanya bekerja sebagai pembantu."Tapi, kenapa perusahaan orang tua kau saat ini
Darren hanya terdiam, dan beranjak untuk meninggalkan Renata di dalam kamar itu. Dia tidak ingin membuat Renata hilang kepercayaan kepada ayah kandungnya sendiri.“Jangan pergi! Kau harus jawab pertanyaanku dulu, Darren!” teriak Renata.Langkah kaki Darren terhenti, dia juga tidak punya pilihan lain selain hanya mengangguk. “Tapi, aku belum bisa memastikan ini benar atau salah. Aku harus memastikan dulu apakah itu memang PT. Daze atau bukan.”Darren juga tidak akan langsung mengklaim itu perusahaan ayahnya, dia tetap akan mencari informasi terlebih dahulu mengenai perusahaan itu. Dan saat ini Darren juga belum mau kesana, dia akan membangun pondasi kekuatan terlebih dahulu.“Astaga! Aku tidak menyangka kalau seperti ini. Dan aku berharap kau salah, aku tidak akan bisa menerima orang yang selama ini ku panggil papa bisa melakukan hal yang buruk,” ujar Renata sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.“Jangan dipikirkan, dan tolong jangan beri tahu papamu kalau rumah ini adalah rumah
Darren tersentak mendengar apa yang dikatakan oleh Renata. Dia bahkan tidak menyangka seorang ibu tega mengatakan anak kandungnya sendiri dengan anak sialan."Hati-hati dengan ucapanmu, Renata. Walaupun dia belum lahir dia bisa merasakan kalau kau tidak menyayanginya. Dia juga tidak bisa memilih harus terlahir dari siapa, jadi tolong sayangi dan jaga dia," ujar Darren yang kemudian pergi meninggalkan Renata yang mencibirnya."Ada apa sih? Kenapa dia bersikeras? Sudah jelas-jelas ini bukan anaknya!" kesal Renata yang masih sempat di dengar oleh Darren.Darren tidak peduli, dia pergi untuk mengecek semua kondisi rumahnya. Karena memang dia belum sempat melihat bagian-bagian rumah tersebut, proses jual belinya terjadi begitu cepat.Setelah keluar dari kamar, Darren menghela nafas berat. Dia tidak mau Renata mengacaukan rencananya. "Semoga Renata tidak gegabah."Sesuai dengan rencananya, mulai keesokan harinya Darren akan memulai sebuah usaha. Dan sebelum dia memutuskan akan melakukan bis
“Hmm,” ujar Darren menghela nafas berat.Saat ini sepertinya masih sangat berat, karena memang dia belum memiliki rencana apapun untuk kedepannya. “Aku ingin membalas perbuatan mereka. Nyawa harus mereka bayar dengan nyawa.”Arrs menggelengkan kepalanya mendengar jawaban yang diberikan oleh Darren. “Tidak! Kau tidak boleh melakukan itu.”Darren sangat terkejut. Ekspresinya langsung melihat ke arah Arras dengan penuh tanya. “Kenapa? Bukankah mereka juga harus mendapatkan hal yang sepadan? Aku kehilangan kedua orang tuaku yang mereka bunuh secara tragis di depan mataku sendiri.”Darren tidak terima kalau dia dilarang mmebalas dendam, sebab semua orang pastinya tidak akan tahu apa yang dialaminya dalam hidupnya, dan bagaimana perasaannya yang terus saja dihantui mimpi buruk itu setiap kali dia memejamkan matanya.Arras menepuk pundak Darren dengan lembut, beliau sepertinya sedang memberikan ketenangan kepada Darren yang penuh dengan dendam. Bahkan sorot mata Darren penuh dengan amarah.“
Arras tampak menghela nafas berat. “Balas dendamlah dengan cara yang elegan, dan buatlah mereka melihat dan menyaksikan pembalasan dari kau. Kalau kau bunuh, mereka tidak bisa merasakan bagaimana rasa sakitnya yang kau dan kedua orangtuamu alami.”Darren terdiam mendengar jawaban yang diberikan oleh Arras. Dia mulai sedikit paham dengan maksud Arras. “Jadi, bagaimana caranya?” tanya Darren lagi.Darren masih ingin mendengar penjelasan dari Arras secara tuntas. Saat ini, dia belum bisa berpikir untuk melakukan hal apapun. Sebab selama ini yang ada di kepalanya adalah membalas dengan membunuh.“Jadilah lebih kuat dari yang mereka duga, sehingga mereka tidak bisa melawan kau. Setelah itu rebut kembali Daze ke tanganmu dan seret mereka ke pengadilan, dan saat itulah mereka mulai merasakan sakitnya,” jawab Arras kemudian dengan penuh semangat.Sepertinya Arras juga menyimpan dendam yang begitu mendalam kepada mereka. Dan Arras yakin kalau sekaranglah waktu yang sempat untuk menggeroti mere
"Renata."Arras menjawab dengan santai dan menatap Darren sambil tersenyum.Sementara itu, Darren tampak terdiam. Dia juga harus memikirkan itu. "Tapi, dia akan meninggalkanku setelah anaknya lahir.""Dia tahu siapa kau?" tanya Arras lagi. Karena Arras juga merasa penasaran, Darren mengajak Renata pindah ke rumah mewah.Darren menganggukkan kepalanya. "Dia terus mendesak, karena pindah ke rumah itu. Dengan terpaksa aku mengaku. Namun, aku tidak menceritakan semua secara detail. Apalagi tentang Martano sebagai dalang pembunuhan orang tuaku."Arras hanya bisa mencoba paham bagaimana posisi Darren. Semua pastinya serba salah. "Terus anaknya?" tanya Arras yang tahu kalau Renata hamil bukan karena Darren.Darren menghela nafas berat. "Anaknya akan bersamaku.""Kau yang merawatnya?" tanya Arras dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu.Jelas saja hal itu membuat Arras keheranan, apalagi setelah Darren tahu kalau Martano adalah salah satu pembunuh orang tuanya. Bagaimana bisa dia mau merawat