“Satu…Dua…Tiga…Em…”
Hitungan Olin berhenti seiring telunjuk yang ia biarkan mengudara diatas kepalanya.
Dia sedang menghitung sisa bintang yang masih bertahan diatas langit yang mendung, sesekali terdengar suara isak tangis yang coba ia tahan, bintangnya satu persatu menghilang tertutup awan gelap diatas sana.
Airmatanya pun mengalir tanpa bisa ia cegah bertepatan dengan hitungan terakhir pada bintang yang bertahan.
Hujan yang turun seperti ingin menemani airmatanya agar tidak terlihat banyak orang.
***Jaket kulit itu ia eratkan pada tubuh rampingnya, setapak demi setapak jalan dipinggir kota tidak membuat langkahnya lelah, tarikan nafas sudah berulang kali terdengar.
“ Huh, ”
Untuk sekian kalinya ia membuang nafas lelah.
Langkahnya terhenti dipersimpangan lampu merah, menunggu sebuah mobil mewah akan menjemputnya, sesekali ia menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang, dan lampu-lampu kota yang sepertinya tidak akan pernah padam di malam hari.
“Bodoh,” Cibirnya sendirian ditengah jalan.
Tidak sadarkah para orang-orang pintar itu jika gedung pencakar langit hanya akan merusak lapisan ozon dan membuat langit menipis hingga terlihat jelek, pikir Olin dalam hati.
Padahal dirinya sangat suka menatap langit, kenapa manusia hanya senang merusak alam.
“Hahaha, ” Tawa Olin sendirian.
Tiiin…Tiiin…
Suara klakson mobil yang berhenti dihadapannya membuat pikirannya tentang langit terusik, matanya melirik kearah kaca mobil yang dibuka oleh seorang pengemudi.“Kenapa senang sekali tertawa sendirian ? ” Pengemudi itu tersenyum tipis kepada Olin.
Damar.
Olin mengenalnya, dia adalah orang kepercayaan Ayahnya yang selalu ditugaskan untuk menjemput dan mengantar Olin ke tempat manapun yang Olin sukai.
Tanpa menunggu lama Olin segera masuk ke dalam mobil itu, duduk disamping pengemudi yang sepertinya sudah lihai menyetir.
“Bagaimana hari ini ? ” Pria yang Olin kenal bernama Damar itu memulai pembicaraan.
“Kenapa loe setiap hari tanya hal yang sama.” Cibir Olin kesal.
“Apalagi yang harus aku tanyakan ? setiap hari kerjaan kamu hanya memutari kota dan berjalan-jalan tanpa tujuan.” Sahut Damar sambil fokus melihat spion di sisi kanan.
“Kalau loe tahu setiap hari gue seperti itu, kenapa loe selalu tanya ?” Jawab Olin lagi, kali ini dia membuang wajahnya keluar jendela.
“Aku hanya mengharapkan kamu bisa menceritakan kesenanganmu hari ini.” Damar mencoba sabar dengan sikap Olin yang sedikit angkuh.
“Gue bosan” Desis Olin menghela nafas.
“Kalau gitu kita makan.”
Damar menepikan mobilnya kesebuah rumah makan mewah yang masih buka ditengah kota.
“Gue bosan dengan pertanyaan loe.” Damar, Jawab Olin sarkas, kali ini dia menatap Damar tidak suka.
“Dan aku gak pernah bosan dengan semua tentang kamu, turun dan kita makan ! aku gak mau Ayah kamu marah karena aku membawa pulang puterinya dengan perut lapar.”
Damar masih tersenyum, membantu melepas seatbelt yang Olin pakai tanpa Olin minta, kemudian keluar mobil terlebih dahulu untuk membukakan pintu mobil Olin.
“Huh,” Olin membuang nafasnya lelah.
Bebicara dengan Damar sama saja seperti berbicara dengan seekor rusa, dia tidak akan mengerti apa yang Olin maksud, dengan berat hati dia ikut keluar mobil.
Buk..
Belum sempat Damar membukakan pintunya Olin sudah keluar dengan raut wajah kesal.
“Silahkan nona.”
Damar membungkukan setengah tubuhnya memberi hormat pada perempuan cantik itu.
Olin melirik sekilas dengan ekor matanya, sungguh bola mata angkuh itu yang Damar sukai dari gadis dingin ini.
Dengan senyuman tipis Damar mengikuti langkah anggun Olin dibelakangnya.
***
Restoran bernuansa keemasan itu terlihat mewah dengan paduan banyak mawar yang menghiasi setiap sudut ruangan, alunan musik klasik membuat pengunjung dapat menikmati makanannya seperti seorang primadona.
Olin menatap sekitar sesekali kepalanya menggeleng dan senyumnya terlihat walaupun hanya seperti garis tipis.
“Kamu menyukai makanannya atau menyukai musiknya ?”
Damar bertanya setelah beberapa menit memperhatikan Olin yang hanya diam, entah fokus pada makanan yang dilahapnya, atau justru tidak tertarik dengan ini semua.
Damar sama sekali tidak bisa menebak.
Olin menghapus sisa minyak di bibirnya dengan tissue, kemudian memotong kembali daging steak yang dipesannya.
“Kalau gue bilang gue menyukai loe, apa loe percaya ? ”
Damar menghentikan irisan pisaunya mendengar jawaban Olin, beberapa detik dia menatap Olin yang masih menikmati makananya, dan tersenyum tipis.
“Hmm, sudah gue tebak, loe bukan kriteria gue.” Ucap Olin lagi cukup sarkas.
Senyum di sudut bibir Damar sedikit luntur, dia kembali mencoba memotong steaknya dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Bahkan loe membawa gue ketempat ini, tanpa melihat penampilan gue.” Olin masih saja mengintimidasi dengan senyuman tipisnya yang terlihat angkuh.
Damar kemudian mendongak, memperhatikan penampilan Olin dari ujung kepala hinggu ujung kakinya.
Rambut dengan warna blonde setelinga, kaos tipis yang dibalut jaket kulit mahal, celana jeans yang terlihat ketat, dan tidak lupa sepatu keds yang sering dia pakai untuk berlari.
Senyum Damar kembali terlihat disudut bibirnya, dia melirik ke sekitar melihat gaya pengunjung restoran ini, memang hanya Olin saja yang terlihat berbeda, tetapi itu semua tidak masalah bagi Damar.
“Kamu masih tetap cantik dengan penampilan seperti itu.” Jawab Damar tulus.
Olin hanya menggelengkan kepalanya pelan, tidak habis pikir dengan apa yang Damar pikirkan saat ini.
“Hanya saja kamu akan terlihat semakin cantik jika rambutmu itu sedikit lebih panjang.” lanjut Damar.
Traaak…
Olin meletakan pisau dan garpunya secara kasar, menyebabkan suara dentingan yang membuat Damar terkesiap.
“Aku sudah kenyang, ayo kita pulang !”
Tanpa menunggu persetujuan dari Damar, Olin segera meninggalkan meja, berjalan meninggalkan Damar yang masih menikmati hidangannya.
Olin tidak peduli, dia yakin Damar akan menyusulnya.
***“Kamu, marah aku bilang seperti itu ?”
Damar berhasil mengejar langkah Olin, mereka sudah sampai diluar gedung restoran tepatnya di lapangan parkir mobil terbuka.
“Gue gak punya alasan untuk marah sama loe, Damar.” Jawab Olin tanpa menatapnya.
“Aku sudah kenal kamu dari kecil, Lin.” Jawab Damar menghembuskan nafas.
Olin menggelengkan kepalanya pelan, matanya masih menatap sepatu keds yang dia gunakan malam ini.
“Bukannya loe bekerja sama Ayah gue untuk mengantar dan menjemput kemanapun gue mau? itu tandanya loe gak bisa menuduh gue marah hanya karena gue minta pulangkan.”
Olin menatap mata Damar kesal, tanpa menunggu jawaban dia segera masuk ke dalam mobil, dan membiarkan Damar mengikutinya masuk.Tidak ada obrolan, baik Olin maupun Damar sama-sama terdiam, Damar fokus menyetir, dan Olin masih sibuk menatap keluar jendela memperhatikan laju mobil dan motor disamping kendaraan yang ditumpanginya.
Trriiing.. Suara handphone berbunyi dari dashbore mobilHandphone Damar, dan Olin sedikit terkesiap karena melamun.
“Halo, Pak” Damar menyapa seseorang dari balik panggilannya.
“Iya, kami sedang dalam perjalanan, tadi Olin meminta makan dulu, jadi saya berhenti disalah satu restoran.” Jelas Damar.
Olin sedikit melirik Damar dari ujung matanya, dia tahu siapa yang menghubungi Damar, jika menyangkut tentang dirinya, itu pasti adalah Ayahnya.
Olin sedikit kesal karena Damar berbohong, bukan dia yang meminta makan di restoran itu.
“Yah, nanti setelah kami sampai, kami akan menemani Bapak, ada yang ingin dipesan biar nanti saya belikan di jalan”.
SOO..MUCH…FOR…MY….HAPPY ENDING….Damar sedikit kaget dengan suara dari kaset tape yang diputar.Olin sengaja menyetel lagu rock itu dengan suara yang keras, dan otomatis tangan Damar mematikan kaset tape itu, dia melirik tajam kearah Olin yang menunjukan raut wajah tidak bersalah, pandangannya terfokus lagi pada layar handphone yang sudah dimatikan sepihak.
“Kamu itu apa-apaan sih, Lin ?” Damar bertanya dengan sedikit kesal atas sikap Olin, sama sekali terlihat tidak sopan.
“Gue cuma bosan” Alibi Olin.
“Aku lagi bicara sama Ayah kamu”, Jelas Damar.
“Yah, Aku tahu, siapa lagi yang kepo sama gue selain Ayah.”
“Aku” Jawab Damar tersenyum.
Olin membuang wajahnya tidak peduli.
“Ayah, sudah pulang ?” Tanya Olin yang masih sibuk memperhatikan keluar jendela.
“Yah”, Jawab Damar singkat.
“Kenapa murung seperti itu ? ayo senyum dong.” Goda Damar.
Olin masih tidak peduli, dia masih menatap keluar jendela untuk menenangkan pikirannya.
***Bruuuk…Kali ini Damar berhasil membukakan pintu penumpang pada mobilnya, Olin sedikit terkesiap karena sadar dari lamunannya, diliriknya Damar yang sedang tersenyum menatapnya.“Ckk,” decak Olin pelan.
Dia sedikit menyesal karena sudah melamun sejak tadi, dengan wajah malas Olin keluar dari mobilnya, sedikit menghela nafas dan memandang rumahnya yang terkesan seperti istana.
“Ayo masuk”
Damar membiarkan Olin melangkah lebih dulu ke dalam rumah besar itu, dia akan mengikuti dibelakangnya.
Baru ruang utama Olin masuki, dia sudah disambut beberapa maid yang bekerja dirumah, Ayahnya memang memerlukan jasa maid untuk merapihkan rumahnya.
Ayahnya adalah seorang duda yang jarang pulang, sangat pantaslah jika seperti itu.
Olin juga bisa menghirup wangi dari pengharum ruangan yang khas, menandakan jika rumah Ayahnya ini akan bersih dan terhindar dari bakteri yang bisa membuatnya sakit kulit.
Langkah Olin terhenti pada ruangan yang sedikit gelap dari ruangan-ruangan lain dirumah ini, pencahayaan hanya didapatkan dari api unggun yang menyala pada cerobong asap rumahnya.
Pandangan Olin terhenti pada pria paruh baya yang sedang menimang anak kucing dipangkuan kakinya. Duduk sangat tenang tanpa menyadari kehadirannya.
“Kenapa diam ? ayo.” Damar sedikit mengagetkan Olin, tangannya tanpa sadar menggandeng tangan Olin yang masih terdiam.
“Malam, Pak Handoko” Sapa Damar pada pria paruh baya itu, tubuhnya sedikit membungkuk untuk memberi hormat.
“Kenapa masih bersikap kaku seperti itu ?”
Pria yang disapa dengan Pak Handoko itu membenarkan letak kaca matanya, menatap sepasang muda-mudi yang masih belia.
“Apakah dia puteri manisku ?” Tanya pria paruh baya itu sambil menarik sudut bibirnya keatas.
“Yah, tambah cantik bukan Pak ? ” Goda Damar.
Olin masih setia memandangi Ayahnya yang terlihat sedikit lebih tua dari terakhir dia bertemu dengan pria itu.
“Ah, kenapa masih diam saja? sini duduklah disebelah Ayah, apa kalian tidak lelah?” Pak Handoko menepuk sofa disebelahnya yang masih kosong.
Dengan senyum yang mengembang Damar duduk terlebih dahulu di sofa kosong berhadapan dengan Pak Handoko.
“Ayo, sini Puteri manis, duduk disebelah Ayah” Pak Handoko menarik tangan Olin lembut, agar duduk disebelahnya.
‘Huh’
Dengan satu tarikan nafas, Olin sudah berada diantara dua pria ini.
Suasana remang dari api unggun masih dominan terasa diruangan besar ini, Olin masih diam memperhatikan Ayahnya yang mengelus kepala kucing sambil tersenyum.
"Bagaimana hari ini, sayang?" Pak Handoko menoleh kearah puteri semata wayangnya itu.
"Kenapa Ayah baru datang sudah menanyakan hal yang membosankan seperti itu." Olin menghela nafas, masih memperhatikan Ayahnya.
"Hahaha, ternyata puteri manisku masih seperti dulu." Pak Handoko tersenyum seraya mengelus kepala Olin dengan lembut.
Olin tersenyum tipis, menyandarkan kepalanya pada badan sofa yang empuk.
Sepertinya dia harus merelakan niatnya untuk tertidur dikasur empuk malam ini, dan akan menemani Ayahnya sepanjang malam dengan obrolan yang sering mereka lakukan jika bertemu.
***Detak jarum jam semakin terdengar dengan jelas, malam semakin larut tetapi ketiga manusia ini masih sibuk dengan obrolannya yang terasa ringan.Sesekali Olin terbatuk karena harus menghirup asap rokok yang mengepul diantara mereka.
Ini yang Olin benci, asap rokok itu hanya membuat dadanya sesak.
"Uhuk..Uhuk.." sudah kesekian kali Olin menepuk dadanya.
"Tidurlah, jangan memaksakan diri." Nasihat Damar.
"Harusnya bukan loe yang nyuruh gue." timpal Olin tidak suka.
Damar hanya menggelengkan kepalanya, mencoba memahami perilaku Olin yang memang keras kepala.
"Tidurlah, jadilah puteri kecil Ayah yang manis." Pak Handoko mengusap pipi Olin, menghadapkan wajahnya agar dia bisa menatap puteri manisnya itu.
"Bagaimana aku bisa nyenyak tertidur, jika aku masih mendengar suara kalian dari dalam kamar." Olin mengerucutkan bibirnya malas.
"Kamu harus membiasakan diri untuk tertidur tepat pukul Sembilan malam, Ayah akan mendaftarkanmu untuk melanjutkan sekolah, kamu harus belajar bangun lebih pagi."
Pak Handoko mematikan batang rokoknya pada sebuah asbak, dan mengambil secangkir kopi disebelahnya untuk ia nikmati.
"Hah?" Olin membesarkan kedua bola matanya.
Ada perasaan kaget, tidak percaya, dan senang luar biasa yang ia rasakan.
Bukan hanya Olin, Damar yang sedang menyesap kopi hampir saja tersedak mendengar penuturan Pak Handoko, ditatapnya pria paruh baya itu dengan tatapan tidak percaya.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu? ada yang salahkah?" Pak Handoko menatap balik kedua muda-mudi itu.
"Ayah tidak bercanda, kan?" Tanya Olin dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.
"Apa Ayah terlihat sedang bermain-main ? sejak kapan Ayah bisa bermain dengan perasaanmu selama ini, gadis manis" timpal Handoko kemudian menyentil kening Olin pelan.
"Ayah, terima kasih" teriak Olin penuh semangat.
Dipeluknya pria paruh baya itu dengan tenaga yang kuat.
Olin tidak peduli jika Handoko akan kesulitan bernafas karena pelukannya, Olin hanya merasa bahagia sekarang, dan dia ingin Ayahnya tahu dan ikut merasakan perasaan bahagianya.
Tanpa menunggu lama Olin segera beranjak pergi meninggalkan dua pria berbeda usia itu, dia akan berusaha untuk segera tertidur malam ini, jika saja Ayahnya mengatakan hal itu sejak awal, Olin dengan senang hati melakukannya.
Damar hanya diam bergeming mendengar penuturan Pak Handoko, dan memperhatikan perilaku Olin yang bisa berubah seratus delapan puluh derajat itu.
Diliriknya Olin sampai kamarnya, dan berakhir dengan suara pintu kamar yang tertutup.
***
Kenyataannya Olin sama sekali tidak bisa tertidur, entah karena perasaannya yang terlalu bahagia, atau karena terlalu takut kejadian yang sama terulang kembali dan mengakibatkan dia akan di keluarkan lagi disekolah barunya.
Olin hanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang pada kejadian satu tahun yang lalu, dimana ia di keluarkan dari sekolah karena perbuatan yang menurutnya tidak pernah ia lakukan.
"Anak koruptor yang berperilaku seolah tuan puteri, dasar puteri koruptor."
Satu kalimat hina'an itu masih bisa ia rasakan walaupun kejadiannya sudah lama berlalu.
Sejak kejadian itu Olin menjadi seseorang yang tertutup, dia menutup pintu pertemanan pada siapapun, termasuk Damar pria kepercayaan Ayahnya yang sudah ia kenal sejak kecil.
Karena kejadian itu juga Olin harus dipindahkan ke Jakarta, hidup mandiri dan jauh dari Ayahnya yang menetap di salah satu kota besar, ia tidak pernah tahu kabar Ayahnya lagi sejak saat itu kecuali kabar jika Ayahnya masih sehat dan selamat.
Dan sekarang tiba-tiba saja Ayahnya datang seolah-olah kejadian besar satu tahun silam itu tidak pernah terjadi.
Jika diingat, apa yang ia lakukan selama satu tahun ini hidup di Jakarta sendirian hatinya terasa teriris, dia benar-benar seperti puteri yang diasingkan.
Tak tersadar airmatanya jatuh membasahi bantalnya.
"Apa Bapak yakin dengan semua keputusan ini?" samar-samar Olin mendengar suara Damar dari luar kamarnya.
Tidak menunggu lama, Olin segera beranjak dari kasur king size-nya, merapatkan telingamya pada dinding pintu untuk mendengar percakapan itu lebih jelas.
"Dia harus hidup seperti remaja normal pada umumnya, Damar."
"Tapi, apakah ini keputusan yang baik?"
"Tentu saja, selama satu tahun ini aku sudah memikirkannya."
"Bagaimana jika ada hal buruk yang terjadi padanya, Pak"
"Semua kejadian buruk yang ia alami itu karena aku penyebabnya, jika tidak ada aku dia tidak akan mengalami hal buruk itu."
"Maksud Bapak?"
"Aku akan melanjutkan pekerjaanku disana, aku akan menitipkan Puteriku disini bersamamu, jaga identitasnya, jangan biarkan orang lain mengetahui dia puteriku, kecuali orang-orang berkepentingan."
Olin meneguk salivanya berat, beberapa detik ia menahan nafas mendengar penuturan Ayahnya dari balik pintu.
Apa yang Ayahnya maksud. Apakah Olin akan menyetujui semua itu ? disatu sisi ia merasa senang, disisi lain ada perasaan yang tidak rela dengan itu semua.
***Dentingan garpu dan piring terdengar di ruang makan yang terlihat mewah ini.seorang gadis masih dengan pakaian tidurnya sedang menikmati sepotong roti bakar hangat, entah kenapa dia harus repot-repot memakan sepotong roti dengan garpu dan pisau makan, dia tidak pernah peduli, yang ia tahu itu adalah ajaran dari Ayahnya sejak kecil.
Rambut pendeknya ia biarkan berantakan tanpa disisir.
"Akan lebih cantik jika kamu mandi sebelum sarapan, gadis manis." Damar yang baru datang menyapa Olin dengan mengelus rambut pendeknya.
Kemudian dia duduk berhadapan dengan Olin menyesap secangkir kopi yang sudah disiapkan oleh maid, matanya masih terfokus pada handphone pintar yang sering ia gunakan untuk membantu semua pekerjaannya.
"Kenapa loe selalu mengatur?" Jawab Olin sarkastik.
Damar mendongakkan wajah, menatap Olin yang masih sibuk memotong roti dengan sebuah pisau, kemudian tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya.
"Yah, memang mau bagaimanapun kamu masih tetap cantik." goda Damar kemudian.
Olin tidak peduli, diminumnya segelas susu hangat dihadapannya, kemudian mengelap sisa makanan dengan tissue, setelah dirasa cukup bersih ia mengalihkan semua fokusnya pada pria setia dihadapannya ini.
'Apa Ayah sudah pergi?" Tanya Olin singkat.
Damar hampir tersedak kopi mendengar pertanyaan Olin, ia mencoba mengatur nafasnya, menetralkan rasa kaget agar Olin tidak curiga.
"Bapak sangat sibuk, perusahaan membutuhkannya saat ini." Jawab Damar dengan senyum tipis.
"Apa dia menitipkan pesan?" Tanya Olin lagi.
Dia sama sekali tidak merasa kaget dengan perilaku Ayahnya yang selalu pergi tanpa pamit, setidaknya mereka sempat bertemu walaupun sebentar.
"Bapak berpesan agar kamu rajin jika nanti sudah sekolah lagi".
Mendengar jawaban itu, Olin hanya tersenyum tipis dan menganggukan kepala. Dia paham maksud dari Ayahnya.
"Tidak ada pesan lain?" kali ini suara Olin terdengar halus di telinga Damar.
Damar hanya menggelengkan kepalanya, kemudian terkesiap karena setelah itu Olin meninggalkannya dimeja makan seorang diri.
Dia tidak berani bertanya pada gadis itu, tidak berani melukai perasaan gadis itu lebih dalam lagi.
***Olin mengoleskan lipstick berwarna merah ke bibir tipisnya, rambut pendeknya sudah ia ikal, dengan dibalut kaos berwarna abu dan jaket kulit merah yang ketat pada tubuhnya yang ramping, mungkin orang-orang tidak akan mengira jika Olin masihlah anak SMA.
Setelah dirasa riasannya sudah selesai, Olin melangkahkan kakinya keluar kamar, ia akan mengitari kota hari ini, hanya hal ini yang ia rasa bisa menghibur suasana hatinya.
"Mau main lagi?"
Olin terkesiap karena Damar sudah berada di depan kamarnya, ia tidak ingin menjawab, bahkan tidak mau menatap Damar saat ini.
Olin tahu ini bukan kesalahan Damar, tetapi entah kenapa ia kesal dengan pria itu.
"Biar aku ambil kunci mobil dulu"
"Gak usah, gue mau nyetir sendiri." Olin menghalangi langkah Damar.
"Ijinin gue nyetir sendiri hari ini, gue capek kalau harus nunggu jemputan dari loe", Alibi Olin.
"Tapi…"
"Please, hari ini saja" Mohon Olin.
Walaupun memohon, wajah angkuh dari gadis itu tidak hilang.
Damar menghembuskan nafasnya pasrah, ia menganggukan kepala untuk menyetujui keinginan Olin saat ini.
"Tapi ingat hari ini saja" Damar memperingati.
Olin hanya menganggukan kepalanya pelan, dan mencoba menyunggingkan senyumnya singkat, untuk menghargai Damar.
***
Olin menepikan mobilnya pada sebuah toko buku kecil dipinggiran kota, dia tidak berminat memasuki mall besar hanya untuk mencari sebuah buku.
Sejak semalam ia tidak bisa tertidur hanya karena memikirkan sebuah judul buku, dan hari ini ia akan berniat membeli buku dengan judul tersebut sebanyak-banyaknya.
***
Olin masih menapaki koridor ‘Buku Matematika’, setidaknya sudah ada sebelas buku yang ia bawa ditangannya, tetapi ia masih belum puas, dia masih berniat membeli beberapa buku dengan judul yang ia minati.
"Kakak itu buku Langit."
Seorang anak kecil menghentikan tangan Olin yang ingin meraih sebuah buku dengan judul ‘Pintar Matematika’, tetapi sayangnya Olin berhasil mendapatkan buku yang tinggal satu itu terlebih dahulu, diliriknya anak kecil itu sebentar.
Ah.. masa bodoh ia tidak peduli.
Walaupun dia masih kecil, tetapi seorang laki-laki harus mengalah dengan perempuankan, pikir Olin membenarkan tindakannya, lagipula Olin yang memegangnya terlebih dahulu, itu berarti ini sudah menjadi hak Olin.
"Kakak, Langit mau buku itu."
Anak kecil itu masih merengek mengikuti Olin, tangannya menarik-narik kaos Olin dari belakang.
Olin mencoba bersabar dan terus berjalan menuju kasir di pojok ruangan, walau sebenarnya ia merasa risih karena secara tidak langsung hal itu membuat ia menjadi tontonan oleh para pengunjung.
"Kak, itu Buku Langiiiiit." Bocah kecil itu masih terus merengek.
"Huh," Olin memejamkan matanya.
Dengan satu tarikan nafas, langkahnya berhenti dan membalikan tubuh menghadap bocah kecil itu, kesabarannya sudah habis sekarang.
"Heh, kamu itu badung banget ya, ini buku aku, kamu gak lihat aku yang ambil lebih dulu", Ucap Olin penuh emosi.
Tanpa Olin duga bocah kecil itu malah menangis kencang, Olin memperlebar bola matanya saat banyak pengunjung yang menatapnya dengan tidak suka.
"Duh, kok loe malah nangis sih."Olin melirik pengunjung yang menatapnya.
"Diem gak !" Gertak Olin menjewer telinga bocah itu.
"Kakaaaaaak" Teriak bocah kecil itu keras.
"Langiiit'
Olin menghentikan aksinya saat mendengar suara seseorang dari arah belakang dan menghampiri bocah kecil yang dia jewer itu."Apa-apaan sih, loe?" Pria yang menghampirinya itu menepis kasar tangan Olin.
"Dia adik, loe?" Tanya Olin kesal.
Pria dihadapannya ini tidak menjawab, dia masih mendekap bocah itu, berharap tindakannya itu bisa menghentikan tangisannya.
'Adik loe itu sangat..sangat..sangat badung." Protes Olin tidak suka.
'Gue gak percaya." Sanggah pria itu.
Olin membulatkan matanya, adiknya membuatnya kesal, kakaknya juga lebih membuatnya kesal.
"Kak Bintang, Langit mau buku itu." Ucap bocah bernama Langit itu.
Pria yang diketahui bernama Bintang itu melirik buku yang ditunjuk langit, Olin ikut memperhatikan arah mata Bintang meliriknya.
"I...Ini buku gue, gue duluan yang dapat" Olin segera mempererat buku-buku yang dibawanya setelah sadar lirikan mata Bintang.
"Langit, cari buku yang lain saja ya" Pinta Bintang pada Langit.
Bintang sadar gadis dihadapannya ini adalah tipe-tipe gadis yang tidak suka mengalah.
"Tapi Kak, buku itu yang yang Bu Guru minta disekolah." Ucap Langit masih sesenggukan.
Bintang melirik sekilas Olin yang berpura-pura tidak paham, matanya melirik kesegala arah agar menghindari tatapan Bintang dan tatapan sendu Langit padanya.
"Huh,"
Bintang menghela nafas putus asa.
"Loe nggak mau mengalah sama bocah kelas lima SD ? buku yang loe pegang itu buku pelajaran anak kelas lima SD." Cibir Bintang.
Dia berharap agar gadis dihadapannya ini sedikit mengalah.
Olin terkesiap dengan penuturan Bintang, tangannya yang sedang membawa belasan buku itu langsung mencari dimana letak meja, dan dengan rusuhnya menaruh buku-buku itu pada meja, fokusnya kini terarah hanya pada satu buku yang sejak tadi menjadi rebutan dengan seorang bocah SD.
Matanya membulat sempurna saat memperhatikan judul yang dipegangnya itu, ternyata benar itu buku pelajaran matematika untuk anak kelas lima SD.
Olin meneguk salivanya susah payah untuk menahan malu, diliriknya dua laki-laki yang sejak tadi mengikutinya.
"Loe belajar matematika kelas lima SD ?" tanya Bintang heran.
Olin menggelengkan kepalanya cepat, dia tidak ingin terlihat memalukan dihadapan pria itu.
"Gue butuh ini untuk adik gue.... ya adik gue." Jawab Olin beralibi.
Bintang mengerutkan keningnya, beberapa detik kemudian dia melirik buku-buku yang Olin taroh di meja, dia memperhatikan judul-judul buku itu.
Semua buku matematika, dari matematika dasar hingga anak matematika tersulit menurutnya.
"Loe yakin adik loe membutuhkan semua buku-buku itu ?" Tanya Bintang lagi, kali ini perhatiannya terarah pada Olin yang kebingungan.
Merasa dirinya terpojok dan tidak bisa lagi mencari alasan yang logis akhirnya Olin menyodorkan buku itu kepada Bintang.
"Yaudah gue ngalah" Ucap Olin sambil membuang wajahnya.
"Gue akan terima asalnloe bisa jamin kalau adik loe gak nangis seperti adik gue, jika gak dapat buku ini." Tanya Bintang meyakinkan.
"Ckk, bawel banget sih loe jadi cowok."
Olin memukul pria itu dengan bukunya dan pergi meninggalkan mereka, tidak lupa membereskan buku-buku yang ia taroh sebelumnya pada meja disampingnya.
Dia menatap jengah buku-buku ini, tidak apa-apa mengalah satu buku itu, lagipula buku-buku ini sudah cukup untuknya.
***
Olin merapatkan jaket kulitnya, sudah jam lima sore dan dia masih terjebak didepan toko buku ini karena hujan yang sangat deras.
Dia sedikit menyesali karena terlalu lama mencari buku hingga lupa waktu.
"Iya Kak, ini juga sudah selesai, tapi hujan."
Olin melirik kearah suara itu, perhatiannya sedikit terusik oleh dua anak laki-laki yang tadi ribut dengannya didalam toko buku.
"Es krim ? nggak kok Bintang gak jajanin Langit es krim." Ucap Bintang ragu.
Olin melirik lagi dan tersenyum culas.
Ternyata lelaki itu tukang ngibul jelas-jelas adiknya itu sedang melahap es krim penuh kenikmatan, dengan wajah jahil Olin menghampiri dua anak laki-laki yang juga terjebak hujan itu.
"Ternyata loe pandai bohong juga." Ucap Olin setelah sampai disebelah laki-laki itu.
Olin sengaja memperbesar suaranya dengan niat agar seseorang dibalik panggilan itu mendengarnya, dan Bintang hanya mengisyaratkan Olin agar dia diam.
"Kenapa ? takut ketahuan bohong ya kalau adik loe lagi makan es krim." Ucap Olin tanpa dosa, sambil menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
"Bintaaaang ...... awas loe ya kalau sampai rumah."
Olin bisa mendengar teriakan seorang perempuan dari balik panggilan itu sebelum Bintang memutuskannya sepihak.
"Sssst, reseh banget sih loe ?" Bintang memasang wajah kesal.
"Bodooo" Ucap Olin tidak peduli.
Bintang menarik nafas dalam mencoba menahan dirinya untuk tidak marah, perhatiannya tertuju pada Langit yang masih senang menikmati es krimnya, tanpa sadar Bintang tersenyum tipis.
Bintang tersenyum...
Olin sadar dengan perubahan dari wajah Bintang, dan senyuman itu mampu menarik perhatiannya.
"Ngapain loe bengong ?" Bintang mengerutkan wajahnya saat tatapannya mengarah kembali pada Olin.
Olin terkesiap, bodoh tanpa sadar dia jadi melamun.
"Sudah sedikit reda, kita pulang Langit." Ucap Bintang pada Langit.
Langit hanya menganggukan kepala masih menikmati es krimnya yang sedikit mencair.
"Eh..eh tunggu !!!" Ucap Olin secara tiba-tiba.
Bintang menghentikan langkahnya yang baru satu langkah, dia kembali menoleh kepada Olin yang saat ini terlihat sibuk sendiri.
"Kenapa lagi ?" Bintang mengerutkan keningnya memperhatikan Olin.
"Loe naik apa kesini ?"
Bintang semakin bingung dengan pertanyaan Olin, namun dia tetap menjawab.
"Angkot" Ucap Bintang ragu.
"Whaaat ?"
"Ada yang salah ?" Bintang kali ini gentian bertanya.
"Nggak" Olin menggelengkan kepalanya.
"O..oke" Bintang menggelengkan kepalanya heran, setelah itu kembali membalikan badannya
"Ih, tunggu dulu !!" Olin kembali menghalangi langkah Bintang dengan menarik tangannya.
"Apalagi mbak ?" Kesal Bintang.
"Gimana kalau gue antar kalian pulang ?" Ucap Olin.
"Hah ?" Kening Bintang kembali berkerut, kali ini karena kaget dengan ucapan Olin.
"Iya, kasihan adik loe, masih hujan." Ucap Olin tersenyum memperlihatkan gigi putihnya.
Bintang memperhatikan penampilan Olin dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Rambut blonde yang diikal, lipstick dengan warna merah, blush on dipipinya yang menyala, belum lagi jaket kulit merah yang membalut tubuh rampingnya, jeans robek-robek dikaki jenjangnya.
Bintang menelan salivanya susah payah, jantungnya berdebar-debar merasa takut.
"Kenapa ?" Tanya Olin bingung karena Bintang malah melamun.
"Nggak usah mbak, saya bisa naik angkot." Ucap Bintang ragu.
‘Mbak ? Saya ?’
kenapa tiba-tiba laki-laki ini merubah kosa katanya dan terlihat sopan ? pikir Olin dalam hati.
Olin mengikuti arah bola mata Bintang yang memperhatikannya, Olin paham sekarang, Bintang mengira dia perempuan dewasa yang sedang merayu berondong, seperti itukah?.
"Gue punya niat baik ya, jangan salah paham." untuk kedua kalinya, Olin menepuk wajah Bintang dengan buku.
"Gue masih SMA" Ucap Olin tidak terima.
Bintang memperbesar bola matanya, SMA? berarti gadis ini seusianya? Ya Tuhan...
"Maaf" Ucap Bintang bersalah.
"Ck" Olin berdecak kesal, tapi setelah itu entah kenapa kesalnya cepat hilang.
"Anggap saja permintaan maaf gue, karena gue tadi, sepertinya kakak loe marah." Ucap Olin.
"Gak pa pa, gue udah biasa kena omel kakak gue.'
'Gue akan bilang sama kakak loe kalau tadi adik loe ini nggak makan es krim, jadi loe gak perlu kena omel", Olin menunjuk bocah disamping Bintang, yang membuat bocah itu tersenyum lebar.
"Gak pa pa Kak, sekali-kali Langit naik mobil bagus", Langit ikut setuju dengan ajakan Olin.
Bintang melirik Olin dan Langit bergantian, dan tersenyum tipis pada bocah itu, Olin sedikit tertegun melihat senyum itu untuk kedua kalinya.
***Olin melirik kedua anak laki-laki yang duduk dibelakang bangku penumpang melalui kaca spion, sedikit kesal karena Bintang yang memilih duduk dibangku penumpang bersama Langit.
Seperti sopir saja kesal Olin dalam hati.
"Dingin ya, Kak", Ucap Langit yang sedikit mengeratkan pelukannya pada Bintang.
"Langit, mau muntah kak".
Olin menggigit bibir bawahnya, berdoa dalam hati agar mobilnya ini terhindar dari cairan yang menggelikan itu.
"Kakak juga bilang apa, kamu sih ngeyel", Bintang mengelus puncak Langit dan mendekap bocah itu lebih erat.
"Langit kan mau ngerasain naik mobil, Kak".
Bintang tertawa renyah mendengar alasan Langit, mereka seperti melupakan jika seorang perempuan cantik sedang menyetir dibangku pengemudi.
Olin masih memperhatikan keduanya dari kaca spion, tidak sadar ia ikut tersenyum mendengar jawaban dari Langit.
"Jadi nama loe, Bintang?", Akhirnya Olin tidak tahan untuk mengajak kedua laki-laki itu berbicara.
"Ah, iya, Gue Bintang, siapa nama Loe?", Bintang baru sadar jika sejak tadi ia mengacuhkan perempuan yang berniat baik mengantarnya itu.
"Gue Carolin, loe bisa panggil gue Olin", Jawab Olin sambil memperhatikan sisi jalan yang sedikit ramai.
"Makasih",Ucap Bintang sungkan.
"No problem, itu adik loe?", Tanya Olin lagi.
"Bukan, ini keponakan gue, anak dari kakak gue, yang tadi telephone", Jelas Bintang tersenyum.
"Wow, gue gak nyangka, gue kira adik loe, selain nama kalian Bintang dan Langit, wajah kalian mirip, kenapa gak panggil loe om ? atau paman?".
Olin sedikit senang karena suasana sedikit mencair, hingga tidak sadar ia menjadi sangat bawel hari ini.
"Kak Bintang terlalu ganteng untuk dipanggil Om, tante".
Bukan Bintang yang menjawab, tetapi Langit.
Bintang sedikit kaget atas panggilan Langit kepada Olin, 'Tante?' dia mencubit pinggang Langit pelan.
"Loe panggil gue tante? itu artinya maksud loe gue gak cantik gitu?", Ucap Olin tidak terima atas panggilan tante.
"Ca..cantik, loe cantik", Kali ini Bintang yang menjawab, dia mencoba membuat perasaan Olin kembali baik.
Dan ntah kenapa ucapan itu membuat kesal dihati Olin hilang.
"Kakak cantik kalau nggak pakai lipstick merah, haha…Awww".
Langit tidak bisa melanjutkan tawanya saat tangan Bintang kembali mencubit pinggangnya.
"Buku-buku matematika itu, buat adik loe kan ? adik loe pasti suka bersikap seperti Langit dirumah", Bintang kembali mencoba membuat Olin merasa baik dengan kondisi ini.Olin tidak menjawab, dia kembali teringat pada kejadian di toko buku, dan teringat jika ia sudah berbohong pada lelaki itu.
karena tidak bisa menjawab terbesit pertanyaan jahil dipikirannya.
"Loe bisa nyetir? jalanan macet nih", Tanya Olin yang tidak serius sambil memperhatikan Bintang dari kaca spion.
Wajah Bintang terlihat polos dan kebingungan, matanya melirik ke kanan dan kiri jalan, dan akhirnya menjawab...
"Gu...Gue gak bisa nyetir mobil".
Olin tidak merasa kaget, jawaban Bintang hanya membuatnya tersenyum senang karena ia merasa berhasil menjahili laki-laki itu.
***"Ini rumah loe?", Tanya Olin memperhatikan sekitar.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam karena macet, akhirnya mereka sampai juga.
Sebenarnya sih belum sampai, Bintang hanya membiarkan Olin untuk memakirkan mobilnya di depan gang jalan.
"Bukan, rumah gue masih harus masuk gang itu", Jawab Bintang menunjuk gang kecil diseberang jalan.
"Whaat??", untuk kesekian kalinya Olin menampilkan wajah kaget dihadapan Bintang.
"Kenapa ? menyesal ? sudah gue bilangkan nggak perlu mengantar", Bintang sedikit menyindir wajah kaget Olin.
Olin terkesiap, dia menggeleng cepat tidak setuju dengan ucapan Bintang barusan,dia tidak menyesal.
Sama sekali tidak.
"Siapa bilang ? ayo tunjukin gue rumah loe", Dengan semangat Olin menggandeng tangan Bintang, langkahnya lebar menyusuri gang lumayan sempit itu.
"Wah, diantar siapa Nak Bintang?".
Bintang tersenyum dan membungkukan badannya pada para warga sekitar yang memperhatikan Olin dengan wajah sulit ditebak.
"Mereka kenapa melihat gue seperti itu?", Bisik Olin merasa risih, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Bintang hanya tersenyum menanggapinya, dia tidak peduli dengan pandangan itu, menurutnya wajar saja, karena dandanan Olin yang memang terlihat berani.
Dia saja sempat kaget saat mengetahui usia Olin masih sepantaran dengannya.
‘Bundaaaaa’, Teriak Langit memasuki rumahnya. Olin dan Bintang hanya tersenyum memperhatikan perilaku Langit, tidak lupa Bintang menutup pagar rumahnya terlebih dahulu sebelum masuk.Walaupun berada didalam gang sempit rumah Bintang masih terbilang luas dengan teras kecil didepan rumahnya.
"Assalamualaikum" Bintang memberi salam setelah memasuki rumahnya.
Bukkk…
"Astagfirullah", Ucap Bintang lagi.Baru satu langkah ia memasuki rumahnya sebuah serbet berwarna hijau sudah melayang pada wajah Bintang, ia terkesiap begitu juga dengan Olin yang berada disampingnya.
"Bagus loe ya, kasih Langit es krim, udah gue bilang nanti dia bisa sakit", seorang wanita muda menghampiri dan memukul bahu Bintang pelan.
"Ya Allah kak, sabar dulu kenapa", Bintang mengambil serbet itu dari wajahnya.
"Loe itu sama saja sama Langit, badung", Perempuan muda itu kali ini mencubit pinggang Langit kencang.
"Aduuuuh, nggak kak, nggak", teriak Bintang histeris mengaduh, dia tidak bisa melanjutkan alibinya karena cubitan itu terasa perih di pinggangnya.
Olin yang sejak tadi memperhatikan keduanya akhirnya tersadar saat tangan Bintang mencoba menepuk bahunya meminta pertolongan.
"Eh, Kak..Kak.. iya Langit gak makan es krim kok, itu aku cuma bercanda tadi ditelphone".
Olin membantu menjelaskan dan membantu Bintang untuk terbebas dari penyiksaan kakaknya.
Dengan sendirinya tangan perempuan itu berhenti mencubit pinggang Bintang, dan sadar dengan kehadiran Olin disamping Bintang.
Perempuan itu memperhatikan penampilan Olin dari ujung rambut hingga ujung kaki, wajahnya berkerut dalam, selain karena baru pertama kali bertemu dengan Olin, ia juga bingung dengan penampilan Olin yang…
"Astagfirullah..". Teriak Kakak Bintang lagi."Loe habis ngapain, sama dia entong?",
Kakak Bintang melanjutkan memukul Bintang lebih sadis lagi, berpikir macam-macam pada keduanya.
"Ya, Allah kak, kakak salah pahaaaam".
Bintang merasa ingin menyerah, karena sang kakak tidak mau mencoba mendengar penjelasannya terlebih dahulu.
Olin hanya tersenyum kikuk memperhatikan kedua kakak beradik ini, baru berdua saja berisiknya sudah seperti hajatan satu RT.
***
"Jadi, kamu temannya Bintang, habis dari toko buku".
"Iya kak Lana", Ucap Olin tersenyum senang.
Setelah mendengar penjelasan dari Bintang dan Olin, dan mereka saling berkenalan, akhirnya kakak Bintang yang bernama Alana ini menjamu Olin layaknya tamu yang baik.
Tangannya masih sibuk memperhatikan buku-buku matematika yang tadi dibeli Olin di toko buku.
"Ini, buat adik kamu?", tanya Alana heran.
"Hmm.. iya", Olin mengangguk ragu sambil tersenyum tipis.
"Hebat juga adik kamu ya, kelas berapa udah belajar matematika tahap ini?", Alana menatap Olin heran.
Buku-buku yang dibeli Olin adalah cara belajar matematika dari tahap sekolah dasar hingga tahap perguruan tinggi, ada ilmu statistik yang dibeli juga oleh Olin.
Olin hanya tersenyum bingung, memandang kesegala arah takut kebohongannya ketahuan oleh kakak Bintang, tetapi beberapa detik setelahnya ia sedikit lega karena melihat Bintang yang datang dari arah dapur yang membawa minuman.
"Udahlah Kak, gak usah kepo", Ucap Bintang setelah ia sampai ke ruang tamu, dan meletakan tiga gelas minuman dingin diatas meja.
"Bukan gue kepo Bintang, tapi adik teman loe ini hebat udah belajar matematika dengan buku sebanyak ini", Jelas Kak Alana memperlihatkan beberapa buku itu dihadapan Bintang.
Bintang hanya menggeleng dan menghembuskan nafasnya lelah, diliriknya Olin yang tersenyum bingung menatapnya.
Sebenarnya Bintang sudah tahu jika Olin berbohong sejak mereka merebutkan buku di toko buku itu, tetapi Bintang tidak mempermasalahkannya, dan tidak peduli
"Loe mau ikut makan malam?", Tanya Bintang pada Olin.
Dia mencoba untuk merubah topik obrolan.
"Eh, jangan..!!!", sela Kak Alana tidak setuju.
Olin sedikit kesal karena sejak tadi kakak Bintang seperti tidak menyukainya.
Sejak pertama bertemu, dia sempat menyangka Olin gadis nakal karena memakai gincu merah, dan sekarang dia tidak setuju jika Olin ikut makan malam, padahal ini sudah pukul setengah tujuh malam.
"Kenapa kak ? Olin sudah baik kasih Langit buku pelajaran, dan mengantar kami pulang".
Olin mengangguk dengan cepat, menyetujui ucapan Bintang, menurutnya ia sudah sangat baik pada adik dan anak laki-lakinya, tidak adil jika ia tidak boleh ikut makan malam.
Padahal perutnya sudah berbunyi sejak sore tadi.
"Bukan gue nggak setuju, tapi kalau nanti Ibu pulang terus lihat penampilan teman perempuan loe kayak begini, bukan cuma loe yang bakal kena siksa, tapi gue juga entooong".
Olin memperhatikan kembali penampilan yang sejak tadi ditunjuk-tunjuk Kak Lana, dan kembali memperhatikan keadaan didalam rumah Bintang.
Olin sedikit paham sekarang.
"Kak, tapiii.."."Benar Bintang, kayaknya penampilan gue hari ini kurang pantas".
Olin mencoba mengerti dan menyetujui pemikiran kak Alana.
Bintang hanya meneguk salivanya, merasa tidak enak hati dengan gadis dihadapannya ini. Tetapi setelah melihat senyuman dan anggukan kepala dari Olin, Bintang merasa sedikit lega.
"Loe antar gue sampai depan gang, ya", Pinta Olin.
Bintang menganggukan kepalanya, tersenyum tulus, diikuti dengan kak Alana yang mengelus punggung tangan Olin pertanda ia meminta maaf atas penolakan malam ini.
***"Gue minta maaf atas kejadian tadi", Ucap Bintang membuka obrolan.
Mereka sedang berjalan kaki didalam gang sempit, terlihat sedikit gelap karena kurang pencahayaan.
Bintang sejak tadi merasa bersalah dan membuatnya salah tingkah, sesekali dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Gak pa pa, gue ngerti kok", Olin menghela nafas, dan melirik Bintang.
"Gue juga minta maaf, karena gue loe jadi kena pukul sama kakak loe", Lanjut Olin.
"Hahaha.. gak masalah udah biasa", Bintang tertawa renyah.
Olin kembali terkesiap dengan tawa itu ia ikut tersenyum merasa suasana menjadi cair.
"Gue juga minta maaf, gue bohong, buku-buku ini bukan untuk adik gue, gue gak punya adik. Ini buku untuk gue belajar", Jujur Olin.
Bintang sedikit kaget, bukan karena mengetahui Olin bohong, tapi mendengar kejujuran Olin jika buku-buku itu untuknya belajar.
"Gue mau lanjutin SMA gue yang sempat berhenti", Jelas Olin.
"Oh, ya ?" Jawab Bintang tertarik.
"Ya, Mungkin karena sudah lama gak sekolah, gue jadi sedikit lupa", lanjutnya.
"Hmm, sedikit lupa, kok sebanyak itu bukunya", Ledek Bintang.
Olin melirik sinis Bintang, dan memperhatikan mobilnya yang terparkir diseberang jalan sana.
Karena terlalu asik mengobrol, mereka tidak sadar kalau mereka sudah sampai didepan gang.
"Kalau bukan karena kita sudah sampai, gue bisa mencubit pinggang loe lebih keras dari Kakak loe tadi", Ancam Olin.
"Selamat malam, terima kasih hari ini" Tutup Olin.
Gadis itu menyebrang jalan untuk menuju mobilnya yang terparkir.
Bintang tersenyum tipis, sedikit heran kenapa gadis itu mengucapkan terima kasih, harusnya dia yang mengucapkan itu.
Olin membuka kaca jendela mobilnya untuk melambaikan tangan.
Saat mobil Olin menjauh, Bintang kembali masuk ke dalam gang sempit itu, masih memikirkan yang terjadi hari ini.
Sangat lucu dan aneh bertemu perempuan seperti Olin, dengan dandanannya yang tampil berani, ia berpikir Olin sama sekali tidak terlihat seperti gadis SMA pada umumnya, sudut bibirnya sedikit tertarik keatas memikirkan hal itu.
BERSAMBUNG
Olin kembali menapaki lantai rooftop salah satu gedung di Jakarta, ia memilih untuk duduk di ujung tepi gedung dengan membiarkan kakinya menggantung, meskipun dia perempuan ketinggian bukanlah menjadi sesuatu yang menakutkan untuknya.Malam ini dia tidak berniat untuk menghitung bintang, tangannya masih setia memegang buku-buku yang ia beli tadi sore, dengan semangat Olin membuka buku-buku itu dari plastik pembungkus, sambil membaca judul pada cover buku ingatannya melayang dimana dia memperebutkan salah satu buku dengan Bintang dan Langit.Tanpa sadar sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman."Hmmm," Olin sejenak menarik nafasnya.Dia memilih salah satu dari puluhan buku itu untuk dibacanya, dengan niat yang besar dia mencoba mempelajari buku itu halaman demi halaman.Beberapa menit membaca raut wajah Olin berubah serius, keningnya berkerut dan matanya menyipit menandakan dia bersungguh-sungguh."Ternyata kamu disini."
Malam ini Bintang sama sekali tidak bisa tertidur, otaknya masih terus memikirkan jalan keluar dari masalah yang sedang dia alami bersama keluarganya, tarikan napas panjang sudah beberapa kali terdengar. Walaupun dipaksakan untuk terpejam, apa yang terjadi hari ini masih saja menggelayut di pikirannya. "Huh," Bintang menarik napasnya dalam. Rasanya percuma saja, pikir Bintang dalam hati, setelah cukup lama membolak-balikkan badannya pada kasur akhirnya dia bangkit dan bersandar pada badan ranjang. Di liriknya jam diatas meja belajar, sudah jam sepuluh malam, padahal besok dia memiliki jadwal pagi untuk mengajar siswa ditempat private, tetapi mata dan pikirannya tidak bisa di ajak kompromi, dengan gesit dia mengambil handphonenya diatas meja belajar, dia akan menghungin Rian, salah satu teman dekatnya. "Halo," Bintang sedikit bernapas lega saat mendengar jawaban d
Olin memoles bibir tipisnya dengan lipstick berwarna merah, entah kenapa dia sangat menyukai warna lipstick itu di usianya yang masih belia, belum genap tujuh belas tahun.Rambut pendek sebahunya dia biarkan bergelombang dengan warna rose gold yang menawan, kalau dilihat-lihat penampilannya sangat jauh dari gadis remaja di usia SMA.Olin menghentikan gerakan tangannya yang sedang merapihkan rambut, ditatapnya pantulan dirinya lewat cermin rias, dan sejenak berpikir, apakah karena hampir satu tahun tidak melanjutkan Pendidikan SMA dia menjadi terlihat lebih tua dari usianya saat ini.“Nggak,”Olin segera menampik pikirannya itu, kepalanya menggeleng-gelang dan terakhir dia menghembuskan napasnya, pipinya terlihat menggembung, lucu.“Gue gak tua, ini penampilan yang menawan.” Lanjut Olin meyakinkan diri.Kali ini Olin mengangguk yakin, dia melanjutkan merapihkan rambutnya kembali.Kreeek
Olin memoles bibir tipisnya dengan lipstick berwarna merah, entah kenapa dia sangat menyukai warna lipstick itu di usianya yang masih belia, belum genap tujuh belas tahun.Rambut pendek sebahunya dia biarkan bergelombang dengan warna rose gold yang menawan, kalau dilihat-lihat penampilannya sangat jauh dari gadis remaja di usia SMA.Olin menghentikan gerakan tangannya yang sedang merapihkan rambut, ditatapnya pantulan dirinya lewat cermin rias, dan sejenak berpikir, apakah karena hampir satu tahun tidak melanjutkan Pendidikan SMA dia menjadi terlihat lebih tua dari usianya saat ini.“Nggak,”Olin segera menampik pikirannya itu, kepalanya menggeleng-gelang dan terakhir dia menghembuskan napasnya, pipinya terlihat menggembung, lucu.“Gue gak tua, ini penampilan yang menawan.” Lanjut Olin meyakinkan diri.Kali ini Olin mengangguk yakin, dia melanjutkan merapihkan rambutnya kembali.Kreeek
Malam ini Bintang sama sekali tidak bisa tertidur, otaknya masih terus memikirkan jalan keluar dari masalah yang sedang dia alami bersama keluarganya, tarikan napas panjang sudah beberapa kali terdengar. Walaupun dipaksakan untuk terpejam, apa yang terjadi hari ini masih saja menggelayut di pikirannya. "Huh," Bintang menarik napasnya dalam. Rasanya percuma saja, pikir Bintang dalam hati, setelah cukup lama membolak-balikkan badannya pada kasur akhirnya dia bangkit dan bersandar pada badan ranjang. Di liriknya jam diatas meja belajar, sudah jam sepuluh malam, padahal besok dia memiliki jadwal pagi untuk mengajar siswa ditempat private, tetapi mata dan pikirannya tidak bisa di ajak kompromi, dengan gesit dia mengambil handphonenya diatas meja belajar, dia akan menghungin Rian, salah satu teman dekatnya. "Halo," Bintang sedikit bernapas lega saat mendengar jawaban d
Olin kembali menapaki lantai rooftop salah satu gedung di Jakarta, ia memilih untuk duduk di ujung tepi gedung dengan membiarkan kakinya menggantung, meskipun dia perempuan ketinggian bukanlah menjadi sesuatu yang menakutkan untuknya.Malam ini dia tidak berniat untuk menghitung bintang, tangannya masih setia memegang buku-buku yang ia beli tadi sore, dengan semangat Olin membuka buku-buku itu dari plastik pembungkus, sambil membaca judul pada cover buku ingatannya melayang dimana dia memperebutkan salah satu buku dengan Bintang dan Langit.Tanpa sadar sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman."Hmmm," Olin sejenak menarik nafasnya.Dia memilih salah satu dari puluhan buku itu untuk dibacanya, dengan niat yang besar dia mencoba mempelajari buku itu halaman demi halaman.Beberapa menit membaca raut wajah Olin berubah serius, keningnya berkerut dan matanya menyipit menandakan dia bersungguh-sungguh."Ternyata kamu disini."
“Satu…Dua…Tiga…Em…”Hitungan Olin berhenti seiring telunjuk yang ia biarkan mengudara diatas kepalanya.Dia sedang menghitung sisa bintang yang masih bertahan diatas langit yang mendung, sesekali terdengar suara isak tangis yang coba ia tahan, bintangnya satu persatu menghilang tertutup awan gelap diatas sana.Airmatanya pun mengalir tanpa bisa ia cegah bertepatan dengan hitungan terakhir pada bintang yang bertahan.Hujan yang turun seperti ingin menemani airmatanya agar tidak terlihat banyak orang.***Jaket kulit itu ia eratkan pada tubuh rampingnya, setapak demi setapak jalan dipinggir kota tidak membuat langkahnya lelah, tarikan nafas sudah berulang kali terdengar.“ Huh, ” Untuk sekian kalinya ia membuang nafas lelah.Langkahnya terhenti dipersimpangan lampu merah, menunggu sebuah mobil mewah akan menjemputnya, sesekali ia menatap gedung-gedung t