"Lima tahun? Ha ha ha! Bocah tengik sepertimu, apa yang kau tahu? Apa kau pikir menaklukan raja kegelapan adalah perkara yang mudah?" Nada bicaranya penuh dengan ejekan. Pemimpin Klan itu akhirnya berbalik berkacak pinggang berhadapan dengan Qu Cing. "Sepuluh tahun yang akan datang pun, belum tentu dia bisa menaklukannya. Bicaramu hanya omong kosong!"Kemudian, mereka pergi meninggalkan tempat itu. Sedangkan Qu Cing tersenyum tipis melihat punggung mereka yang semakin menjauh."Pak Tua bodoh! Cara berpikirnya begitu kolot dan sangat mudah dipengaruhi! Dia tidak sadar, bahwa dia telah dibodohi oleh orang-orang di kediamannya sendiri!" celetuk Raja Tham Fan berdiri di sisi Thai Qu Cing."Apa yang Anda maksud dengan dibodohi oleh orang-orang di kediamannya sendiri, Yang Mulia?" ujar Qu Cing mendongakkan kepala menatap pria tinggi di sisinya. Desiran angin menerpa rambut merah kecoklatan itu, membuat wajah tampannya semakin mempesona."Jika kau tertarik dengan Klan Dhulam, mungkin sesekal
Jia Gong An adalah anak pertama dari walikota Al. Sosok gadis yang ramah dan mudah bergaul dengan siapapun. Menginjak usia 15 tahun, dia menuntut ilmu di Perguruan Long Lu, perguruan elit tingkat atas. Perguruan itu terletak di sebelah barat Kota Al dekat perbatasan Lembah Siluman.Saat gadis itu sedang serius berlatih menyendiri di hutan, tanpa sadar dia melewati perbatasan dan masuk ke Lembah Siluman Ular. "Sepertinya, aku sudah masuk terlalu jauh," gumamnya.Setelah sadar, Jia Gong An mencari jalan pulang dan bertemu dengan seorang gadis berambut putih seumurannya. Dia terlihat sedang duduk termenung menyembunyikan wajahnya diantara tumpukan tangan yang ia sandarkan di atas lutut.Gadis itu tampak menyadari keberadaan Jia Gong An. "Sudah ku bilang, kan. Aku tidak mau pulang sebelum Kakak mengizinkanku keluar dari perbatasan!" ujarnya masih dalam keadaan tertunduk tanpa melihat siapa yang hadir di sisinya.'Dia mengira bahwa aku adalah kakaknya?' Jia Gong An berjongkok di hadapannya
Sementara itu, di perbatasan menuju lapisan kedua Lembah Siluman, Qu Cing diikuti oleh Du Bai bersembunyi di balik semak-semak. Sosok makhluk-makhluk bertanduk dengan sekujur tubuh berwarna hitam, secara membabi buta memporak porandakan Lembah Siluman Kera. "Ha ha ha! Menyerahlah kalian, dan tunduklah kepada kami! Aku akan menjadi pemimpin kalian yang baru!" seru Go Dong begitu percaya diri. "Ckck. Kematian Sun Ji Gong adalah kebangkitan kami. Ingin berkuasa di sini? Kau harus mampu membunuhku dulu, Pangeran Kecil!" balas Lu Tung. Mereka pun bertarung adu kekuatan. Pasukan siluman kera juga tak mau kalah. Mereka yang telah mendapat ajaran ilmu spiritual tentu saja sangat bersemangat. Mayoritas para siluman kera memiliki kekuatan spiritual angin, kecuali satu kera kecil yang ditugaskan untuk meminta bantuan. Kabarnya, si kecil itu baru saja memunculkan inti spiritual cahaya seperti milik Sun Ji Gong. Sesuatu hal yang sangat mengejutkan bagi Pangeran Go Dong. Makhluk itu hampir menc
'Di-dia ...' Mata Ghen Dong menyipit tajam menatap seorang bocah yang berdiri gagah menangkis serangannya. Makhluk itu merasa tidak asing. 'Tongkat sakti itu ...' Sang iblis mengingat, bahwa ia pernah menjumpainya sebelum ini. Pikirannya terus menjelajah hingga menemukan suatu ingatan yang tak terlupakan. "Heh, dia adalah anak itu!" gumam Ghen Dong sedikit menyunggingkan senyum. "Anak yang pernah menggagalkan rencanaku saat hendak menguasai tubuh Kaktius Berdu Rhi sepenuhnya." Giginya menekan, tangannya menggerakkan jari secara perlahan mengepal. Seketika, raut wajahnya berubah menjadi tawa, ketika mata Ghen Dong tertuju pada sebuah tongkat sakti milik Sun Ji Gong. "Pfffft! Ha ha ha ha! Benar-benar lucu, mereka menggangkat anak kecil sepertimu menjadi raja mereka, hanya karena kau memegang tongkat Sun Ji Gong?" ejeknya. Qu Cing hanya tersenyum simpul menanggapi ejekannya. Dia juga mendapat informasi dari sang tongkat sakti bahwa iblis yang di hadapannya saat ini adalah soso
Tubuh Du Bai mulai kaku, mati rasa seperti mayat. Sementara itu, di alam bawah sadarnya, jiwanya tergantung melayang, tertusuk beberapa jarum hitam raksasa yang mengeluarkan asap hitam menggumpal. Anak itu sangat memahami kondisinya saat ini. Serpihan jiwanya tertunduk dengan wajah lesu tak berdaya. dia benar-benar sudah merasakan berada di ambang kematian.Namun, tiba-tiba suara seseorang yang ia kenal menggema dalam ruang kosong yang penuh kehampaan itu. "Bertahanlah, Du Bai! Aku akan menyelamatkanmu!"Mendengar suara tersebut, Du Bai menyunggingkan bibirnya. "Kalaupun aku mati saat ini juga, aku tidak akan pernah menyesali perbuatanku!"Beberapa saat kemudian datanglah sekumpulan cahaya hijau menghampiri jiwa Du Bai. Cahaya tersebut seperti menarik jarum-jarum yang menancap pada dirinya, sehingga jiwa anak itu akhirnya terbebas dari penderitaan.Lalu, secara ajaib cahaya tersebut bahkan memberi kekuatan pada jiwa Du Bai, memulihkan jiwanya dan menghempaskan jarum-jarum itu keluar d
Sebenarnya, kekuatan Raja Tham Fan dan Raja Gran Dong cukup seimbang. Namun, muslihat sang raja iblis, terasa begitu nyata sehingga membuat Tham Fan berada dalam kebimbangan. Pikirannya, dikacaukan oleh ilusi. Saat Raja Tham Fan menyerang Gran Dong dengan kekuatan penuh, tiba-tiba di hadapannya muncul sosok yang mirip dengan adiknya. Sehingga serangannya seolah-olah mengenai sang adik sampai terjatuh berlumur darah. Tham Fan terperangah, pandangannya terpaku pada sosok mirip Harha Fan yang berlumur darah. Rasa bersalah dan kebimbangan menghimpitnya. "Kenapa, Rhara? Mengapa kau ada di sini?" Tham Fan berbicara dengan suara terputus. Sosok itu menatapnya dengan mata penuh kesedihan. "Kakak, aku tidak mengerti. Apakah aku salah? Apakah aku tidak cukup baik bagi Kakak?" Tham Fan merasa hatinya tercabik. Ia mencoba mendekati sosok itu, namun kaki-kakinya terasa berat seperti terikat. "Tidak, Rhara! Aku tidak bermaksud melukaimu!" teriak Tham Fan. Raja Gran Dong tertawa, suaranya mem
Di sisi lain, beberapa saat sebelum Harha Fan mengalami kesulitan menghadapi Raja Gran Dong, Thai Qu Cing hampir selesai membuat portal yang direncanakan. Sementara itu, di ruang tertutup, Jia Gong An menunggu kesempatan tepat untuk keluar dari perisainya. Mata tajamnya memantau sekitar melalui celah sempit. Rupanya, asap yang tebal dan serangan-serangan bayangan itu telah lenyap. Namun, hatinya merasa tercabik-cabik saat melihat dua sosok yang begitu berarti baginya, sedang dalam keadaan terhimpit. Tiba-tiba, batu spiritual di kantungnya bercahaya. "Guru, aku hampir selesai membuat portal!" suara Thai Qu Cing terdengar jelas dari batu tersebut. Jia Gong An segera mengambil batu itu. "Bagus! Jika sudah selesai, segera gunakan darahmu untuk mengaktifkannya!" "Baik, Guru," jawab Thai Qu Cing. Jia Gong An menarik napas dalam-dalam. "Aku mengandalkanmu, Qu Cing. Suamiku terkena ilusi raja iblis dan Harha Fan sedang dalam situasi yang sulit. Mintalah bantuan kepada kepala perguruan l
"Tuan Lee?" Mata Harha Fan membulat, penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran. "Mengapa Anda menolongku? Bukankah kita tidak saling mengenal?" suaranya bergetar, mencerminkan ketidakpercayaan bahwa seseorang yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengannya akan berani mengambil risiko untuk menyelamatkannya.Tatapan Nie Lee seketika berubah hangat, seolah cahaya lembut menyelimuti mereka berdua di tengah ketegangan yang melingkupi. Dia tersenyum, senyuman yang mampu menghapus keraguan di wajah Harha Fan. "Apakah kita harus berkenalan terlebih dahulu sebelum bisa saling membantu?" katanya, suaranya penuh kelembutan, seolah-olah mengajak Harha Fan untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda—sudut pandang di mana kebaikan dan kepedulian tidak memerlukan latar belakang atau ikatan yang kuat.Dalam momen itu, jantung Harha Fan berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam senyuman Nie Lee yang membuatnya merasa hangat, seolah ada ikatan tak terduga yang mulai tumbuh di hati
Pou Cong tidak memberi Qu Cing kesempatan untuk bernapas. Begitu melihat bocah itu bangkit dengan tongkat bercahaya di tangannya, ia langsung mengayunkan tangannya ke depan.Wooosh!Semburan api melesat dari telapak tangannya, membentuk naga raksasa yang mengaum dan menerjang ke arah Qu Cing.Boom!Ledakan besar mengguncang arena, membuat para murid Klan Naar menjerit dan mundur lebih jauh. Asap hitam mengepul, menutupi seluruh area tempat Qu Cing berdiri.Pou Cong tersenyum dingin. "Kau boleh cepat, tapi kau bukan tandinganku, Bocah!"Namun, senyum itu seketika menghilang ketika sebuah bayangan tiba-tiba melesat dari dalam asap.Swish!Pou Cong nyaris tak sempat bereaksi saat cahaya oranye berkelebat di sisinya. Instingnya menendang masuk, dan ia segera berbalik, mengayunkan pukulan berapi ke arah bayangan itu.Boom!Udara di sekitarnya meledak akibat panas dari pukulannya. Namun, serangannya hanya mengenai udara kosong."Mustahil…" Pou Cong menyipitkan mata, mencoba mencari keberada
Angin berhembus pelan, membawa ketegangan yang semakin memuncak di halaman pelatihan Klan Naar. Para anggota klan yang menyaksikan pertarungan ini menahan napas mereka, mata mereka terpaku pada sosok kecil yang berdiri di hadapan pemimpin klan mereka.Pou Cong, seorang pria yang dikenal sebagai salah satu pengendali api terkuat, menatap Qu Cing dengan tajam. Ia sama sekali tidak menganggap serius bocah ini. Namun, saat Qu Cing berdiri dengan penuh percaya diri, sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa anak ini bukan lawan biasa."Jika kau benar-benar ingin menantangku, maka buat aku jatuh ke tanah hingga mengalami luka yang cukup serius."Kata-kata itu masih terngiang di udara ketika Qu Cing mulai bergerak.Wuussh!Dalam sekejap, tubuhnya menghilang dari pandangan!Pou Cong mengerutkan kening. Cepat!Tiba-tiba—Slash!Sebuah luka tipis muncul di bahu kanan Pou Cong, darah segar menetes ke tanah. Semua orang yang menyaksikan tersentak kaget.Pou Cong menggerakkan kepalanya dengan cepat,
Di halaman pelatihan kediaman Klan Naar, seorang gadis muda berlutut di tanah, tubuhnya gemetar penuh luka. Kulitnya penuh bekas cambukan, beberapa di antaranya masih berdarah. Setiap kali ia gagal dalam pelatihan, hukumannya tetap sama—seratus kali cambukan.Chin Cong tidak lagi terlihat seperti jenius yang dulu dibanggakan klannya. Matanya yang dulu bersinar penuh percaya diri kini suram dan hampa. Setiap hari adalah penderitaan, dan ayahnya, Pou Cong, tidak pernah menunjukkan belas kasihan.Pou Cong berdiri di atas panggung pelatihan, memegang cambuk panjang yang berlumuran darah. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. "Berdiri!" perintahnya. "Kau harus kuat. Seorang anak dari Klan Naar tidak boleh menunjukkan kelemahan!"Chin Cong berusaha berdiri, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Kakinya gemetar, dan ia terjatuh lagi.Pou Cong menghela napas, lalu mengangkat cambuknya. Namun, tepat sebelum cambuk itu menghantam tubuh Chin Cong—Whuuuuuus!Sebuah bayangan melesat dengan kecepatan luar bias
Bau Ba Chin menatap Miao Meng dengan penuh rasa ingin tahu. “Bibi, apakah Anda orang tua Qu Cing?” tanyanya dengan nada hati-hati. Miao Meng tidak langsung menjawab. Ia justru menatap Bau Ba Chin dalam-dalam, lalu menghela napas pelan. “Apa yang membuatmu berpikir begitu?” tanyanya balik. Bau Ba Chin melirik Qu Cing, lalu kembali menatap Miao Meng. “Energi penyembuhan itu… sangat mirip dengan miliknya. Dan cara Bibi memandangnya bukan sekadar seperti seorang kenalan.” Qu Cing diam saja. Dalam hatinya, ia juga merasakan hal yang sama. Entah kenapa, sejak pertama kali melihat Miao Meng, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa dekat dengan wanita itu. Miao Meng tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke langit. “Belum saatnya kalian tahu kebenarannya,” katanya dengan suara lembut. “Tapi aku berjanji, jika kau berhasil mencapai ranah spiritual tingkat sembilan, aku akan memberitahumu segalanya.” Qu Cing mengepalkan tangannya. Tingkat sembilan? Itu bukan hal yang mudah dicap
Suara Seo Rang terdengar serak, tetapi masih penuh dengan kesombongan. Ketika debu mulai mereda, sosoknya kembali terlihat.Tubuhnya penuh luka bakar akibat cahaya suci, kulitnya tampak hangus di beberapa bagian, dan tanduk kecil di kepalanya retak. Namun, matanya masih bersinar dengan keganasan yang tak surut."Menarik… sangat menarik…" Seo Rang menggerakkan lehernya ke kanan dan kiri, suara retakan tulang terdengar jelas. "Aku tidak mengira ada seseorang yang bisa menyerangku dengan cara seperti ini."Ia mengangkat tangan, jari-jarinya bergetar karena efek serangan sebelumnya. Namun, dalam hitungan detik, kegelapan kembali menyelimuti tubuhnya, menutupi luka-luka yang menganga.Kemudian, ia melirik sekeliling, mencoba mencari sosok Miao Meng, tetapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang aneh.Alisnya berkerut. Ia yakin wanita itu ada di hadapannya beberapa saat lalu, dalam kondisi lemah dan nyaris tak bisa berdiri. Tidak mungkin ia bisa kabur begitu saja.‘Apa yang sebenarnya ter
Namun, Miao Meng sudah siap. Ia melompat ke samping, lalu dengan cepat menciptakan lapisan es tebal di sekelilingnya. Tombak itu menghantam es dengan keras, tetapi tidak langsung menembus.Miao Meng mendarat ringan di atas salah satu pilar es, lalu mengangkat satu tangan ke udara. Udara di sekitar mereka menjadi semakin dingin. Salju turun lebih deras, dan napas Seo Rang mulai mengembun.“Jangan meremehkanku,” ucapnya pelan.Dalam sekejap, badai salju menerjang. Angin es berputar liar, menutupi pandangan Seo Rang.Pria itu menyipitkan mata, lalu menyebarkan kegelapan dari tubuhnya, mencoba menyingkirkan salju itu. Namun, Miao Meng sudah berada di belakangnya, menciptakan bilah es yang lebih besar dan lebih tajam.“Serangan yang bagus,” Seo Rang berkata tanpa menoleh. “Tapi masih belum cukup.”Ia berbalik dengan cepat, menangkap bilah es itu dengan tangannya yang berselimut cahaya. Dalam sekejap, bilah es itu retak dan hancur berkeping-keping.Miao Meng terkejut, tetapi ia tidak menunj
"Pria itu hanya akan mengejar satu orang dalam satu waktu! Jika kita tetap bersama, ini hanya mempermudahnya menangkap kita semua sekaligus!" jelas Qu Cing.Miao Meng menggertakkan giginya. Ia tahu pernyataan itu memang ada benarnya. Namun, meninggalkan Qu Cing sendirian dengan pria seperti Seo Rang bukanlah pilihan yang baik.Qu Cing akhirnya membuat keputusan. "Aku akan menjadi umpan!" ujarnya tiba-tiba.Miao Meng tersentak. "Apa? Tidak, kau tidak bisa—""Sepertinya, dia lebih menginginkan kematianku dari pada menangkap Anda kembali, Bibi! Jika aku pergi ke arah lain, dia pasti akan mengejarku! Gunakan kesempatan itu untuk kabur!"Miao Meng tampak ragu. Matanya menatap anak itu dengan kebimbangan yang dalam."Percayalah padaku, Bibi!" Qu Cing menegaskan.Wajah Bau Ba Chin berkerut. "Tapi, ini akan sangat beresiko untukmu."Miao Meng menghentikan langkahnya. Napasnya memburu, bukan karena kelelahan, tetapi karena gejolak dalam hatinya yang tak bisa ia abaikan. Sementara itu, Qu Cing
Bau Ba Chin membuka matanya kembali. Kali ini, warna bola matanya berubah menjadi hitam pekat, memancarkan aura kelam yang begitu menakutkan.Dengan satu gerakan tangannya, kabut hitam mulai membubung dari tanah, merayap ke setiap celah di hutan. Kegelapan itu bukan sekadar bayangan, melainkan energi yang mampu menghisap cahaya, menipu mata, dan membingungkan panca indera.Para pengawal yang mengejar Qu Cing dan Miao Meng langsung tersendat. Kabut hitam itu seperti makhluk hidup, menjerat kaki mereka, membelit tubuh mereka, dan menarik mereka ke dalam kekosongan."A-Apa ini?!" salah satu pengawal berteriak, mencoba menebas kegelapan dengan pedangnya, namun usahanya sia-sia. Semakin ia berusaha, semakin dalam ia terjebak.Di kejauhan, Qu Cing menoleh ke belakang dan melihat pemandangan itu. Ia tahu bahwa ini adalah ulah Bau Ba Chin."Terima kasih, Bau Ba Chin..." gumamnya dalam hati.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Sebuah cahaya keemasan tiba-tiba bersinar dari dalam kabut. S
Qu Cing mengeraskan rahangnya. Jari-jarinya mengepal, matanya menatap lurus ke arah sangkar cahaya yang menahan Miao Meng. Ia tahu, satu-satunya cara untuk membebaskan wanita itu adalah dengan menggunakan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya—kekuatan yang belum pernah ia gunakan dalam pertempuran besar. Tanda Matahari.Sebuah lambang berbentuk matahari terukir di telapak tangan kanannya sejak ia kecil. Ia tidak tahu dari mana asalnya, tetapi ia selalu merasakan energi aneh yang mengalir dalam simbol itu. Sang tongkat sakti pernah berkata bahwa tanda ini mampu melahap cahaya, panas, dan melenyapkan kegelapan.Hingga kini, ia belum pernah menggunakannya dalam skala besar. Namun, tidak ada waktu untuk ragu.Qu Cing melompat turun dari pohon dengan gesit, mendarat di tanah dengan ringan. Ia segera membentangkan telapak tangan kanannya ke arah sangkar cahaya yang mengurung Miao Meng."Lahap!"Begitu kata itu terucap, tanda matahari di telapak tangannya mulai berpendar. Dalam sekejap, se