"Cepat kamu keluar!" seru Sari. Dia membenarkan gorden yang tersingkap.
Laki-laki berperawakan tegap itu dengan cepat memakai pakaian. Padahal, baru saja dia sampai di sini dan belum melakukan apa pun. Tetapi, keberuntungan tidak menyertainya hari ini."Aku keluar lewat mana?" tanya Rahman, berbisik.Sari tak menjawab. Dia malah mengacungkan telunjuk ke arah dapur. Mengerti apa yang dimaksud Sari, Rahman bergegas pergi dari kamar wanita itu dan mengendap keluar dari rumah berukuran sedang yang sudah sering disinggahi tiga bulan terakhir ini."Mbak Sari, assalamualaikum." Suara wanita yang sering mengunjunginya itu terus mengucap salam dan mengetuk pintu.Sari yang takut aksinya terbongkar menghela napas terlebih dahulu. Dia bercermin, membenarkan rambutnya yang agak berantakan lalu dengan cepat membuka knop pintu."Waalaikum salam. Eh, Mbak Ayu. Silakan masuk, Mbak." Sari menampakkan deretan giginya sembari mempersilakan wanita berjilbab itu masuk."Apa saya ganggu, Mbak?" tanya Ayu tak enak hati.'Iya, ganggu banget!' rutuk Sari, tentu hanya dalam hati."Ah, gak apa-apa kok, Mbak. Tadi, saya lagi tidur siang aja. Ada perlu apa, Mbak?" tanya Sari langsung.Jujur saja, Sari ingin bersama Rahman. Laki-laki yang tidak lain adalah suami dari wanita di hadapannya. Kesempatan langka itu ingin dia manfaatkan untuk melepas rindu."Oh ini, saya mau kasih mangga. Kebetulan Mas Rahman baru pulang dinas. Kali aja Mbak Sari mau," tawar Ayu, meletakkan kantong plastik berisi buah mangga.Sari tersenyum sembari berucap terima kasih. Dalam hati wanita itu terus merutuki kedatangan Ayu. Padahal, Ayu bisa saja mengantarkan buah tangannya nanti. Namun, Sari tak bisa berbuat apa-apa. Kalau ditolak dikhawatirkan akan mengundang masalah di kemudian hari."Kalau begitu saya permisi, Mbak. Maaf mengganggu istirahatnya," ujar Ayu, pamitan.Sepeninggalnya Ayu, Sari langsung masuk ke kamar dan merebahkan diri di kasur kesayangannya. Tak dipedulikan buah mangga yang tergeletak di meja tamu. Dia lebih mementingkan untuk memikirkan hubungannya dengan Rahman.Tiga bulan sudah mereka merajut kasih tanpa sepengetahuan Ayu, tetangganya sendiri. Wanita berjilbab itu cantik, baik dan selalu perhatian padanya. Kehidupan Ayu terlihat sempurna di mata Sari yang pernah gagal dalam pernikahan.Awalnya, tak ada riak iri menyusup ke relung hati. Tetapi, saat melihat keharmonisan rumah tangga Ayu, dengki mulai bersemayam di hati. Dia merasa dunia tak adil padanya.Ayu yang sudah dianugerahi kecantikan dan kekayaan bertambah sempurna dengan kehadiran seorang suami yang sempurna pula. Bagaimana tidak? Rahman adalah seorang manajer di sebuah perusahaan ternama. Wajah tampan, tubuh tegap dan sikapnya yang baik pada Ayu membuat siapa pun ingin menjadikan laki-laki itu sebagai pasangan.Sedangkan Sari? Dia harus menelan kepahitan karena mendapatkan suami yang tempramental. Hidup dalam garis kemiskinan membuatnya menjadi sasaran empuk korban KDRT. Untunglah belum ada buah hati yang hadir, jadi Sari bisa dengan mudah lepas dari laki-laki durjana itu.Ya, dia kejam, mungkin. Tetapi baginya ini adalah sebuah keadilan. Jika takdirnya tak bisa berbuat adil, maka Sari sendiri yang akan membuat semuanya menjadi adil."Karena kamu sudah punya segalanya, maka aku minta sedikit saja kebahagiaan dari suamimu. Aku hanya minta kasih sayang Rahman, bukan kecantikan atau harta. Menurutku ini adil." Selalu kata-kata itu yang dijadikan tameng Sari untuk menghilangkan rasa bersalah.Ponsel di samping Sari bergetar, menghentakkan lamunannya hingga berserakan. Nama Rahman terpampang jelas di layar pipihnya. Seulas senyum terbit menghiasi bibir itu. Dengan cepat, Sari bangkit dan mendial warna hijau."Halo, Mas," sapa Sari semringah."Halo, Sari. Apa Ayu sudah pulang?" tanya Rahma di seberang sana. Suaranya setengah berbisik."Iya, barusan pulang," jawab Sari, yakin.Suara helaan napas lega memenuhi gendang telinga Sari. Tampaknya Rahman ketakutan jika tingkah bejatnya tebongkar."Syukurlah. Untuk beberapa hari ke depan aku tidak bisa menemuimu," papar Rahman membuat air muka Sari berubah."Kenapa?" tanya Sari menyelidik. Alisnya saling bertaut, hatinya merasakan firasat tak enak."Aku, Ayu dan Rafli akan pergi liburan. Aku sudah janji pada Rafli," terang Rahman membuat darah Sari mendidih."Gak bisa gitu, Mas! Sekarang kan waktunya kamu sama aku! Kamu jangan ingkar janji!" seru Sari tak terima."Maaf, Sari. Tidak bisa. Aku harap kamu mengerti," timpal Rahman, membujuk.Tanpa menjawab lagi, Sari memutus panggilan. Lalu, suara teriakannya memenuhi kamar bercat putih itu. Wanita berusia 28 tahun itu murka. "Semua karena kamu, Ayu! Rencanaku semua gagal! Awas saja, akan aku buat kamu menderita!" geramnya sembari melontarkan pandangan ke arah jendela yang kebetulan menghadap pinggir rumah Ayu.Tangannya mengepal kuat dengan emosi yang menguasai hati. Sari akan lakukan apa pun agar Rahman lebih sayang padanya.Rahman menatap gusar ponsel yang berubah menjadi hitam. Sari menutup panggilan sepihak. Laki-laki itu tak punya pilihan lain, janji dengan Rafli sudah dicanangkan sedari lama.Derap langkah Ayu yang mendekat tak membuat Rahman merubah posisinya. Dia masih saja menatap benda pipih itu."Ada apa, Mas?" tanya Ayu, heran. Dia meletakkan teh hangat kesukaan Rahman di nakas dekat ranjang.Rahman menatap istrinya, lalu kembali menatap ponsel. Dia harus memilih siapa sekarang?"Mas," panggil Ayu, mendekat. Dia meraup wajah suaminya dengan penuh perasaan."Apa ada masalah?" tanya Ayu, khawatir.Rahman masih diam. Dia manatap istrinya. Ya, istri yang selalu perhatian dan peduli dengan apa pun tentang dirinya. Namun, entah kenapa ego lelakinya malah membuat pernikahan ini ternoda."Ada sedikit masalah di kantor, Sayang. Mas disuruh ke sana, tapi--""Pergilah," potong Ayu dengan senyum mengembang. Digenggamnya tangan Rahman.Senyuman itu, menghangatkan hati Rahman. Dalam sekejap, rasa bersalah me
"Nenek!" seru Rafli berlari dari arah mobil.Anak itu bahkan meloncat dari mobil yang dia naiki. Ayu hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya. Sedangkan Rahman, dia tengah menurunkan barang bawaan dari bagasi mobil dengan wajah gusar.Sebelum menutup pintu mobil, dia mengecek ponselnya. Tak ada balasan dari Sari. Sudah dipastikan jika wanita yang memikatnya akhir-akhir ini marah padanya."Mas," panggil Ayu pelan, tapi membuat Rahman tersentak. Laki-laki itu tergesa memasukkan ponselnya ke saku celana."I-iya. Ada apa, Sayang?" tanya Rahman, wajahnya tampak tegang. Takut jika aksinya ketahuan.Ayu menelisik wajah Rahman yang sekarang berubah pucat. Dia mendekat dan menempelkan punggung tangan pada kening suaminya."Kamu kenapa, Mas? Sakit?" tanya Ayu khawatir.Seketika kehangatan menjalar pada tubuh Rahman. Wajah teduh dan panik itu seolah menenangkan Rahman. Ayu selalu memberinya kenyamanan dan ketenangan. Namun, dia ...."Mas?" tanya Ayu dan Rahman kembali
Rahman mengguyar rambutnya, frustasi. Otaknya masih merekam jelas pesan dari Sari. Ingin membalas, tapi ponselnya mati total.Matanya melirik Ayu yang sudah pulas di pembaringan. Wajah cantiknya tampak teduh dan menenangkan. Sebenarnya, Ayu lebih cantik dari Sari.Bukan hanya karena terlahir dengan paras memikat saja, tapi ada cahaya di wajahnya. Mungkin sebab air wudhu. Karena, setahu Rahman, Ayu jarang menggunakan make up, hanya perawatan wajah yang dipakai oleh perempuan pada umumnya.Berbeda dengan Sari. Wanita janda itu selalu memakai pakaian yang ketat, berbanding terbalik dengan Ayu yang memakai jilbab. Sari juga selalu ber-make-up, hingga terlihat lebih menggoda dibanding Ayu. Mungkin itulah yang menyebabkan Rahman mendua.Dia pun tak tahu, yang pasti hatinya sudah terpaut sebagian oleh Sari. Awalnya, tak terpikir akan sejauh ini. Coba-coba bermain api, hingga lupa sudah menghanguskan bahtera rumah tangga sedikit demi sedikit.Sekarang, Sari hamil. Entah itu benar atau tidak.
"Sudah semua, Mas?" tanya Ayu, sembari memasukan baju terakhir ke ransel milik suaminya.Rahman yang tengah mengecek ponsel pun menoleh sebentar, lalu tersenyum."Kalau gitu, aku siapkan sarapan dulu. Sesudah sarapan Mas baru berangkat, ya?" Wanita berjilbab itu langsung keluar kamar tanpa menunggu jawaban suaminya.Rahman mengikuti langkah Ayu sampai bibir pintu. Kepalanya menyembul sedikit untuk melihat situasi. Setelah dirasa aman, si laki-laki bergegas menutup pintu dan kembali berjalan mendekati jendela kamar. Dia harus mencari tempat aman, setidaknya agar tak ada yang mendengar percakapannya.Rahman memijat kontak Sari, lalu dipilihnya tombol hijau. Tak perlu menunggu lama sampai nada sambung berbunyi. Rahman mengawasi pintu kamar, bisa saja Ayu atau anaknya masuk.Tak berapa lama, terdengar suara dari seberang. Ya, suara yang membuatnya tersiksa karena penasaran."Halo, Mas?" Suara Sari memenuhi gendang telinga. Dari nadanya terdengar begitu antusias."Halo, Sari. Aku akan mene
"Sari, buka pintunya!" seru Rahman dengan tangan yang terus mengetuk pintu rumah.Laki-laki itu sedari tadi mengawasi keadaan sekitar. Takut, jika tetangganya ada yang melihat. Terlebih, kemarin Ayu bilang jika pernah melihat laki-laki masuk ke rumah ini. Yang dimaksud pasti dirinya sendiri.Rahman menengok kaca yang tertutup tirai transparan. Dia sudah tak sabar menunggu Sari membuka pintu. Kembali, matanya mengawasi sekeliling rumah Sari yang hanya dikelilingi pagar bambu."Duh, ke masa sih, dia? Sudah dibilang diam di rumah," rutuk Rahman, mulai berdiri tak tenang.Tangannya hendak mengetuk pintu lagi, tapi diurungkan saat knop pintu dibuka."Kamu lama sekali. Ya Tuhan!" Mata Rahman langsung melotot. Dia pun mendorong Sari untuk masuk.Secepat kilat menutup pintu rumah Sari, tapi sebelumnya mengecek keadaan sekitar yang dirasa aman. Rahman mundur beberapa langkah sembari memindai Sari dari ujung rambut sampai ujung kaki."Apa yang kamu lakukan?" tanya Rahman, bingung.Sari mengedip
Wanita paruh baya bertubuh tambun dengan dahi mengernyit, menatap Rahman dan Sari bergantian. Di belakangnya, ada wanita yang juga paruh baya dengan jilbab rapi, tampak lebih tenang."Siapa yang hamil?" ulang wanita tambun bernama Ibu Sri. Dia adalah Ibu RT di sana.Jakun Rahman naik turun. Keringat dingin tampak bermunculan di dahi laki-laki itu. Sama halnya dengan Sari, wajahnya sudah pucat dengan tangan gemetar membenarkan baju mini yang dia kenakan.Tak mendapat jawaban dari kedua orang itu, Ibu Sri menoleh pada wanita di belakangnya, yang ternyata Ibu RW bernama Arum."Bagaimana ini, Bu Arum? Sepertinya, mereka yang diperbincangkan oleh ibu-ibu selama ini," ujar Ibu Sri, lalu kembali menatap kedua orang itu.Rahman tak berkutik. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan dan kaki Rahman seolah membatu.Berbeda dengan Sari. Dia tersadar akan situasi dan ide gila pun muncul di benaknya. Jika Rahman tak mau tanggung jawab, maka melalui kedua wanita itu dia akan mendapatkan Rahman s
Secepat kilat Sari masuk ke kamar, mengambil jaket untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terbuka. Tanpa membuang waktu, Sari berlari keluar tanpa menghiraukan tiga orang yang ada di rumahnya.Rahman yang ketakutan pun bergegas mengikuti langkah Sari, disusul oleh Ibu RT dan Ibu RW."Mbak Ayu!" seru Sari dari arah pagar rumahnya, menghentikan wanita berjilbab yang hendak membuka gerbang rumah.Ayu sontak membalikkan badan dan terheran-heran melihat tetangga sebelahnya berlari tergopoh-gopoh. Wanita itu semakin mengernyit bingung kala Rahman keluar dari rumah Sari."Mbak, aku perlu bicara," ucap Sari menggenggam tangan Ayu erat. Rahman yang baru sampai pun bergegas merangkul pundak istrinya."Ma, jangan dengarkan dia! Ayo kita masuk saja," ajak Rahman kelabakan. Dia memaksa Ayu membalikkan badan, tapi cekalan Sari makin erat."Gak, Mbak. Dengerin aku dulu, ini penting!" seru Sari tak mau kalah.Rahman menatap tajam pada Sari, tapi tak digubris. Laki-laki itu bersikukuh mengajak Ayu m
"Sayang, buka pintunya!" seru Rahman, menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci.Sepulang Ibu RT, Ibu RW dan Sari, Ayu terus mengurung diri di kamarnya. Penampilan berantakan dan rasa laparnya tak dipedulikan laki-laki itu. Dia harus bicara dengan Sari, harus.Dada Rahman sakit. Tentu saja, sakit karena kejadian sudah terjadi pada Ayu, istrinya. Perubahan Ayu yang baru beberapa jam membuatnya frustasi. Bagaimana kalau Ayu berubah selamanya?Di kamar, wanita bermata indah itu hanya diam menatap pantulan diri di cermin meja rias. Air matanya terus mengalir meski tak ada isakan. Kehidupan rumah tangga yang sangat manis selama ini ternyata menyimpan duri yang tajam.Jangan tanya hatinya. Sudah pasti terluka. Suami yang disangka baik dan setia, ternyata tidak lebih dari seorang bajingan. Ayu menangkup wajahnya, kali ini isakan kepiluan keluar dari mulut itu.Betapa hancurnya dirinya mengingat video tak senonoh di ponsel Sari. Dengan jelas pemain adegan itu adalah Rahman. Hidupnya terjatuh
Sari berdiri. Air mata mulai luruh di pipinya. Dia tidak tahu jika perbuatannya bisa sampai menjadi bumerang karenanya. Bukan bahagia yang didapat, tapi sengsara dan cemoohan yang menyambut."Iya, Bu. Aku siap," jawab Sari, yakin.Ambu menghela napas panjang. Wanita paruh baya itu mencoba untuk tenang menghadapi situasi seperti ini. Dia belum berniat juga mempersilakan masuk pada Sari. Sampai ...."Sari?"Dari balik gerbang, Rahman datang dengan wajah bingung.***Tiga bulan kemudian....“Azam?” Ayu mengernyit bingung menatap mantan adik iparnya yang datang.Azam tersenyum, tangannya penuh dengan kantong kertas. Isinya adalah mainan untuk keponakannya, Rafli. Semenjak perceraian Rahman dengan Ayu, Azam kerap kali menengok Rafli. Dia merasa kasihan karena Rahman jarang bertemu Rafli. Alasannya adalah Sari.Istri baru kakaknya itu sering sekali menghalangi Rahman menemui Rafli dengan berbagai alasan. Jadilah, Azam berinisiatif untuk menggantikan peran kakaknya. Meskipun Ayu sering berti
"Aku tidak bisa, Mas." Ayu berdiri, menjauhi Rahman yang duduk dengan wajah menghiba."Kenapa?" tanya Rahman, kesedihan tampak jelas di wajah itu.Ayu memejamkan mata sejenak. Dia mencoba untuk tidak memakai perasaan lagi. Walaupun ada rasa iba, tapi sakit hatinya mendominasi. Ayu tidak mau bersanding dengan mantan pengkhianat."Kamu sudah beristri Sari, Mas. Aku pun ingin memulai hidup baru tanpamu. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, Mas," terang Ayu, mencoba membuat Rahman mengerti.Rahman bangkit dan mencoba mendekati Ayu. Tetapi, lagi-lagi Ayu menjauh. Wanita itu benar-benar sudah menghilangkan nama Rahman di hidupnya."Jangan buat semua semakin sulit, Mas. Aku membebaskanmu bertemu Rafli, tapi bukan berarti kita bisa kembali bersama. Kamu sudah punya Sari, perlakukan dia dengan baik. Karena, bagaimanapun dia juga ibu dari calon anakmu."Ayu mencoba untuk tegar. Walaupun mengatakan itu semua butuh keberanian dan kesiapan hati, tapi hanya dengan cara ini Rahman bisa ditolak. Setiap
Warga di sana semakin gaduh. Sedangkan Sari semakin ketakutan. Badannya sudah panas dingin karena melihat Wak Toriq yang terus merapalkan sesuatu.Lalu, Wak Toriq mengusap seluruh tangan dan kaki Rahman, hingga dia menemukan sesuatu di pergelangan tangan Rahman. Sebuah rambut melingkar di tangan Rahman, hanya beberapa helai, sehingga tak begitu jelas jika tidak diamati.Wak Toriq mengucap asma Allah sembari menarik gelang itu sampai putus. Sari langsung menjerit dan tumbang, bersamaan dengan itu disusul robohnya Rahman yang tidak sadarkan diri."Rahman!" seru Abah dan Ambu berbarengan.***"Saya atas nama keluarga Rahman, memohon maaf yang sebesar-besarnya. Ini di luar dugaan. Maaf jika kelakukan keponakan saya merugikan banyak pihak," tutur Wak Toriq memulai pembicaraan.Masih di rumah Sari, ada Pak RT, Pak RW, Ibu RT, Ibu RW, orang tua Rahman dan Ayu. Warga yang masih betah di sana pun hanya beberapa orang. Mereka sengaja dibubarkan demi keamanan. Hanya tersisa mereka yang menemani
Ayu diam sejenak. Dia mengehela napas pendek sebelum berucap. "Baiklah, Wak. Aku akan memanggilnya. Dia ada di rumah Sari," ujar Ayu, membuat Ambu dan Abah menghela napas lega.Kedua orang itu pikir Sari berbuat macam-macam atau membawa kabur Rahman entah ke mana. Ternyata, dibawa ke rumah Sari yang tidak ingin dianggap menantu oleh mereka."Biar kita saja yang ke sana. Uwak juga mau tahu, apa wanita itu menyimpan sesuatu di rumahnya," papar Wak Toriq yang langsung disetujui Ambu.Sebelum pergi, Ayu menelepon Ibu RT dan Ibu RW. Dia ingin penutupan pembalasan dengan cantik. Hukum sosial akan lebih menyakitkan dibanding dengan hukuman jeruji besi.***"Sari, buka pintunya!" seru Ibu RT yang menggetuk pintu rumah Sari dengan kasar.Sari yang tengah bermesraan dengan Rahman pun terperanjat. Bagaimana Ibu RT tahu kalau dia ada di rumah? Padahal kunci rumah sudah diganti tanpa sepengetahuan Ibu RT dan Ibu RW."Siapa?" tanya Rahman, bingung.Sari gelagapan. Dia seperti terciduk untuk kedua k
"Ma, kok Papa sama Tante Sari terus?" tanya Rafli setelah pulang sekolah. Anak kecil itu keheranan melihat tingkah ayahnya yang cuek padanya juga jarang berkumpul dengan Ayu dan dirinya. Tentu semenjak Sari datang ke rumah itu.Ayu mengelus surai hitam milik Rafli. Marah dan sedih memenuhi rongga dada Ayu. Apalagi saat anaknya dengan terpaksa melihat kemesraan Sari dan Rahman. Sebelumnya, Ayu sudah mengusir dua manusia laknat itu agar Rafli tak melihat yang seharusnya tak dilihat.Namun, permintaan Ambu membuat Ayu tak bisa berkutik. Wanita itu tidak tahu apa yang terjadi pada Rahman, hingga dalam sekejap berubah drastis. Dia benci dan muak melihat itu semua. Sakit hatinya sudah tak terbendung. Hanya saja, lagi-lagi Ayu harus menahan semua demi Rafli. Psikologis Rafli lebih penting dari apa pun. Ayu mengehela napas sebentar. Dia pun menangkup wajah anaknya dengan senyum palsu."Emm, Rafli. Mulai besok Papa akan sering bareng Tante Sari," ujar Ayu mecoba menjelaskan."Kenapa?" tanya
"Buat kopi hitam tanpa gula. Taruh di kolong tempat tidur Rahman. Nanti malam, aku ke sana. Kalau berkurang, berarti Rahman kena guna-guna," papar Wak Toriq dari seberang sana.Ambu dan Abah yang mendengar itu pun tersentak. Mereka saling pandang. Awalnya, besok akan memanggil Kakak Ambu itu.Tetapi karena penasaran, Ambu berinisiatif untuk meneleponnya terlebih dahulu. Ternyata, praduga mereka terwujud. Walaupun belum pasti, tapi melihat gerak-gerik Rahman rasanya semua yang dimungkinkan itu terjadi."Lalu, kami harus bagaimana, Wak?" tanya Abah, khawatir.Kebetulan panggilan di louspeker, jadi Ambu dan Abah bisa leluasa mengobrol. Mereka sekarang sedang di kamar, agar tak ada yang mengganggu, terutama Sari."Biarkan saja dulu, nanti malam baru aku kasih tahu selanjutnya," timpal Wak Toriq yang langsung dipatuhi Ambu dan Abah.Setelah itu, mereka menutup panggilan. Keduanya mulai mencari cara menaruh kopi hitam di bawah kolong ranjang Sari. Ya, karena Rahman sekarang tidur di kamar S
"Dari mana saja kamu?" Ambu melipat tangan di depan dada. Tatapannya tajam pada Rahman dan Sari yang baru saja pulang.Waktu menunjukkan pukul 8. Namun, kedua manusia laknat itu baru sampai rumah. Yang membuat Ambu kesal, Sari bergelayut manja pada Rahman.Di sana sudah berkumpul Ayu, Azam dan Abah. Rafli sendiri sudah diantar sekolah. Anak kecil itu sedari malam menanyakan keberadaan Rahman, Ayu terpaksa berbohong tentang suaminya."Rahman! Ambu tanya, dari mana saja kamu tidak pulang kemarin?!" bentak Ambu. Setelah sekian lama, ini kali pertama lagi Ambu membentak anaknya. Sakit memang, tapi Ambu tak punya pilihan lain untuk mendidik Rahman."Dari hotel," jawab Rahman, enteng dan datar. Sari tersenyum miring mendengar jawaban Rahman. Sedangkan Ambu dan Abah kaget bukan main. Biasanya, Rahman akan menunduk dan meminta maaf jika melakukan kesalahan. Kali ini ada yang lain. Anaknya malah berkata santai, tanpa bersalah. Bahkan tatapan matanya terlihat kosong.Ambu mendekati Rahman den
"Jadi, dia hamil anak Rahman?" tanya Ambu, matanya sudah berkaca-kaca. Jelas tampak kekecewaan di wajah tuanya.Ayu mengangguk lemah. Isakan sudah lolos dari mulut wanita itu. Dia tidak bisa berbohong lagi. Jikalau bisa, lalu bagaimana dengan Sari? Jalang itu pasti akan dengan senang hati jujur akan kondisinya."Maafkan Ayu yang tidak bisa jadi istri yang baik buat anak Ambu. Mungkin kalau Ayu lebih--""Gak, Nak. Ini bukan salahmu," potong Abah. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang tertahan.Abah malu, benar-benar malu. Merasa tidak becus mendidik anaknya. Padahal, selama hidupnya, Abah pantang berkhianat. Entah pada rekan atau pasangan. Jika sudah tak nyaman, Abah lebih mengutamakan untuk jujur. Tetapi Rahman, dalam sekejap telah mencoreng prinsip itu."Yu, maafkan Rahman. Kami benar-benar minta maaf. Kami malu sama kamu, Nak," ujar Ambu, memegang tangan Ayu erat.Ayu menggeleng kuat. Dia tidak bisa menyalahkan mertuanya. Entah salah siapa, yang pasti nasi sudah jadi bubur. Ayu harus
"Hotel?" gumam Azam dengan wajah tak percaya.Laki-laki itu tidak perlu berpikir keras untuk mengartikan apa yang akan terjadi jika dua orang berbeda jenis masuk ke sana. Terlebih lagi dengan mesra seperti itu.Dadanya terasa dihantam batu besar. Kaget, marah dan kecewa bercampur jadi satu. Ternyata benar, ada yang tidak beres dengan kehadiran mantannya di rumah Ayu. Azam hanya tidak menyangka jika sang kakaklah yang menjadi korban Sari.Azam rasa, dia tidak perlu mengikuti mereka sampai ke dalam hotel. Cukup tahu saja dan dia akan memberitahukan semuanya pada Ayu. Dengan cepat, dia memutar kemudi untuk pulang.Bagaimanapun perbuatan kakaknya tidak benar. Dia tidak mungkin menyimpan bangkai ini terlalu lama, atau akan banyak orang yang tersakiti, termasuk orang tuanya.Selama perjalanan, Azam terus bertanya-tanya. Kenapa sampai bisa Sari dan Rahman melakukan hubungan terlarang? Apa kekurangan Ayu sebagai istri? Apalagi dia saja iri pada Rahman karena mendapatkan istri terbaik Ayu.Aza