"Sudah semua, Mas?" tanya Ayu, sembari memasukan baju terakhir ke ransel milik suaminya.
Rahman yang tengah mengecek ponsel pun menoleh sebentar, lalu tersenyum.
"Kalau gitu, aku siapkan sarapan dulu. Sesudah sarapan Mas baru berangkat, ya?" Wanita berjilbab itu langsung keluar kamar tanpa menunggu jawaban suaminya.
Rahman mengikuti langkah Ayu sampai bibir pintu. Kepalanya menyembul sedikit untuk melihat situasi. Setelah dirasa aman, si laki-laki bergegas menutup pintu dan kembali berjalan mendekati jendela kamar. Dia harus mencari tempat aman, setidaknya agar tak ada yang mendengar percakapannya.
Rahman memijat kontak Sari, lalu dipilihnya tombol hijau. Tak perlu menunggu lama sampai nada sambung berbunyi. Rahman mengawasi pintu kamar, bisa saja Ayu atau anaknya masuk.
Tak berapa lama, terdengar suara dari seberang. Ya, suara yang membuatnya tersiksa karena penasaran.
"Halo, Mas?" Suara Sari memenuhi gendang telinga. Dari nadanya terdengar begitu antusias.
"Halo, Sari. Aku akan menemuimu hari ini. Jadi, jangan ke mana-mana dan tunggu aku," bisik Rahman, langsung mengakhiri panggilan.
Rahman bernapas lega melihat keadaannya saat ini. Untung saja tak ada orang yang mendengarnya tadi. Hari ini, dia harus mendapat penjelasan dari Sari. Semua yang membebani Rahman akan diselesaikan saat itu juga.
Laki-laki itu mengatur napas. Setelah dirasa tenang, barulah dia melenggang keluar kamar. Ayu dan yang lainnya sudah pasti tengah menunggu.
***
Di tempat Sari, wanita itu berjingkrak senang mendapat kabar dari kekasih hati. Walaupun tadi Rahman meneleponnya sebentar, tapi egonya melambung tinggi. Itu artinya, Rahman memilih dia dibanding istri pertama dan anaknya.
Dengan antusias, Sari merias diri di depan cermin. Tidak lupa mengganti baju dengan pakaian yang membuat Rahman terpikat padanya. Bukahkah kabar kehamilannya adalah kebahagiaan? Dia harus merayakannya dengan Rahman.
Wanita itu sudah menanti hadirnya buah hati sedari dulu. Namun, tak juga terlaksana. Dia sampai berpikir, mungkin rahimnya tak subur. Ternyata, memang bibitnya yang berbeda. Dan Rahman berhasil menaburkan benih di rahimnya itu.
Dengan begini, tak ada alasan lain untuk Rahman membuangnya. Kehamilannya juga akan dijadikan alat untuk mengikat Rahman dalam pernikahan. Sari ingin Rahman seutuhnya.
"Sayang, nanti kita bicara dengan Papa, ya. Papa kamu pasti senang," ujarnya sembari mengelus perut yang masih rata.
***
"Kamu yakin mau pulang? Anak sama istrimu ditinggal di sini loh, Nak." Ambu terlihat tak setuju dengan keputusan anaknya.
Di sisi lain, wanita yang sudah tak muda itu merasa kasihan dengan Ayu. Kesibukan Rahman membuat menantu dan cucunya harus mengorbankan waktu berharga untuk berkumpul.
"Gak apa, Ambu. Kebetulan Rafli mau lebih lama di sini. Biar Ayu juga bisa temani Ambu dan Abah lebih lama lagi. Toh, Mas Rahman pergi karena pekerjaan juga." Ayu memberi pengertian pada mertuanya.
Namun, semua itu membuat Rahman tak enak hati. Apakah dia setega itu berbohong pada wanita sebaik Ayu? Rasa bersalahnya sudah menggunung, memenuhi bilik hatinya. Tak pernah terbayangkan reaksi Ayu jika kelakuan bejatnya terbongkar.
Ambu menghela napas dalam sambil mengusap punggung menantunya. Dia benar-benar beruntung menikahkan Ayu dan Rahman. Selain paras, hatinya pun baik.
"Ya sudah, Mas. Cepat berangkat, takut telat," ujar Ayu yang langsung diangguki Rahman.
"Iya, Sayang. Sekali lagi maaf ya, rencana liburannya berantakan." Ayu menganggguk, masih dengan senyuman menghiasi wajah.
"Oh iya, HP-ku akan di-silent. Takut mengganggu pekerjaan. Kamu gak apa-apa, kan?" tanya Rahman, memastikan. Dia harus fokus untuk mencari jalan keluar dari masalahnya dan Sari. Maka dari itu, Rahman senyapkan ponselnya.
"Iya, gak masalah. Semoga kerjaan kamu cepat selesai, ya." Rahman membalas dengan anggukan.
Laki-laki itu bergegas menyalami ambunya, lalu beralih mengecup kening Ayu. Dia tak pamit pada sang ayah karena tengah mengajak main Rafli agar tidak merengek dengan kepulangan Rahman.
Serasa cukup, Rahman pun pamit. Dia melambaikan tangan sambil melajukan mobil, meninggalkan pelataran rumah.
Ayu menatap kepergian mobil Rahman dengan helaan napas. Wanita itu sedikit sedih karena rencana yang sudah lama dibuat harus berubah karena pekerjaan Rahman yang mendadak.
Namun, Ayu tidak boleh egois. Rahman bekerja pun untuknya dan Rafli. Dari itulah, selama ini wanita itu mencoba untuk mengerti dan memaklumi kesibukan suaminya.
"Ayo, Ambu!" ajak Ayu untuk masuk ke rumah.
Akan tetapi, baru juga sampai bibir pintu, ponselnya bergetar. Alisnya saling bertautan melihat nama yang tertera di layar pipihnya.
"Nia?" gumam Ayu, keheranan.
Ambu yang melihat perubahan ekspresi menantunya ikut penasaran. "Ada apa, Nak?"
Ayu tersentak. Dia tersenyum kecil sebelum menjawab. "Ah, ini. Ada telepon dari sekretarisnya Mas Rahman, Ambu. Mungkin penting," jawab Ayu yang langsung diangguki Ambu.
"Ya sudah. Kamu angkat saja, siapa tahu penting. Ambu masuk dulu."
Ambu bergegas masuk, sedangkan Ayu kembali ke teras rumah dan menjawab panggilan itu.
"Halo?"
"Halo, Bu. Maaf ganggu. Saya mau bertanya, apa Pak Rahman ada? Soalnya, sedari tadi saya telepon tidak diangkat," ujar Nia, di seberang sana.
Ayu mengernyit, bingung. Hatinya mulai dirundung was-was.
"Pak Rahman baru saja berangkat. Mungkin karena HP-nya di-silent. Dia sedang di perjalanan. Semoga pekerjaannya masih bisa menunggu."
"Pekerjaan? Pekerjaan apa ya, Bu?"
Seketika jantung Ayu mencelos mendengar pertanyaan Nia. Hati yang awalnya was-was berubah menjadi curiga. Dengan jelas wanita itu mendengar Rahman akan pulang untuk bekerja. Lalu, kenapa sekretarisnya berkata berbeda? Jelas, ada kejanggalan di sini.
"Maaf, Bu. Saya cuma mau bilang, besok saya izin tidak masuk. Ibu saya sakit. Berkas penting untuk rapat besok, sudah saya siapkan di meja Pak Rahman."
Ayu mematung. Otaknya seperti tak berfungsi saat itu juga. Dia mendudukkan diri dengan lemah di bangku teras. Ada sesuatu yang membuatnya sesak, tapi entah itu apa. Rasanya, jantungnya mulai berdetak melemah.
"Jadi, tidak ada pekerjaan hari ini?" tanya Ayu dengan bibir bergetar menahan gejolak di dada.
"Tidak, Bu. Kemarin lusa Pak Rahman baru saja menyelesaikan tender. Memangnya kenapa, Bu?" Sepertinya Nia mulai curiga, mengingat pertanyaan Ayu yang sama.
Ayu memejamkan mata, bersamaan dengan lolosnya air mata yang tiba-tiba menyeruak. Kali ini dadanya sakit, jantungnya berdegup kencang. Ada sesak yang memenuhi hati.
"Tidak, Nia. Saya hanya bertanya, soalnya suami saya tampak sibuk hari ini. Mungkin, dia ada pekerjaan lain," timpal Ayu, mencoba tenang.
Syukurlah Nia tak curiga dan akhirnya panggilan terputus. Tangis Ayu pecah, pikirannya carut-marut. Rasanya begitu sakit. Ya, sakit karena kebohongan Rahman.
Jika di kantor tak ada pekerjaan, ke mana suaminya pergi? Lalu, kenapa dia memberi alasan sibuk dengan urusan kantor? Apa yang Rahman sembunyikan darinya, sehingga Ayu tak sadar akan itu? Semua pertanyaan itu terus berdatangan di benak Ayu.
Kalut, itu yang tengah melanda Ayu. Dia tidak mau berpikiran macam-macam. Rumah tangganya sudah berjalan 8 tahun, tidak begitu saja Ayu berpikiran buruk tanpa bukti dan alasan yang jelas. Wanita itu harus mencari tahu sendiri, apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan sigap, Ayu bangkit. Dia bergegas masuk, mengambil tas dan ponselnya. Wanita itu akan mencari tahu hari ini juga. Dia tidak mau berlarut dalam pikiran buruk yang nantinya berefek pada kelanjutan biduk rumah tangga.
Dipesannya taksi online untuk pulang ke rumah. Biarlah Ayu merogoh ongkos tebal, yang penting niatnya harus tercapai. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Ambu, Ayu pamit pergi dulu. Tadi, sekretaris Mas Rahman telepon, ada yang perlu disampaikan," ucap Ayu beralasan.
Ambu tampak keheranan. Baru saja Rahman pergi beberapa menit, lalu sekarang menantunya yang pamit pulang.
"Apa ada masalah, Nak?" tanya Ambu khawatir.
Ayu langsung menggeleng. Dia harus berpikir jernih dan berprasangka biak. Tentang ini, Ayu tidak akan melibatkan pihak orang tua. Biarlah Ayu menyelesaikannya sendiri.
"Gak ada, Ambu. Hanya menyampaikan pesan dari sekretarisnya, tentang dokumen, Ambu."
Ambu bernapas lega. Dia pikir ada masalah atau kejadian yang membuat hatinya takut.
"Ya sudah, sana. Hati-hati."
Ayu mengangguk mantap. "Titip Rafli, Ambu. Nanti Ayu balik ke sini lagi buat jemput Rafli," ujar Ayu sambil menyalami mertuanya.
Setelah itu, Ayu pun bergegas meluncur untuk pulang. Dia harus bertemu dengan Rahman dan menanyakan semua kejanggalan ini. Apa pun yang terjadi, Ayu akan mencoba untuk tenang. Namun, tetap harus mendapat jawaban tentang kejadian hari ini.
"Sari, buka pintunya!" seru Rahman dengan tangan yang terus mengetuk pintu rumah.Laki-laki itu sedari tadi mengawasi keadaan sekitar. Takut, jika tetangganya ada yang melihat. Terlebih, kemarin Ayu bilang jika pernah melihat laki-laki masuk ke rumah ini. Yang dimaksud pasti dirinya sendiri.Rahman menengok kaca yang tertutup tirai transparan. Dia sudah tak sabar menunggu Sari membuka pintu. Kembali, matanya mengawasi sekeliling rumah Sari yang hanya dikelilingi pagar bambu."Duh, ke masa sih, dia? Sudah dibilang diam di rumah," rutuk Rahman, mulai berdiri tak tenang.Tangannya hendak mengetuk pintu lagi, tapi diurungkan saat knop pintu dibuka."Kamu lama sekali. Ya Tuhan!" Mata Rahman langsung melotot. Dia pun mendorong Sari untuk masuk.Secepat kilat menutup pintu rumah Sari, tapi sebelumnya mengecek keadaan sekitar yang dirasa aman. Rahman mundur beberapa langkah sembari memindai Sari dari ujung rambut sampai ujung kaki."Apa yang kamu lakukan?" tanya Rahman, bingung.Sari mengedip
Wanita paruh baya bertubuh tambun dengan dahi mengernyit, menatap Rahman dan Sari bergantian. Di belakangnya, ada wanita yang juga paruh baya dengan jilbab rapi, tampak lebih tenang."Siapa yang hamil?" ulang wanita tambun bernama Ibu Sri. Dia adalah Ibu RT di sana.Jakun Rahman naik turun. Keringat dingin tampak bermunculan di dahi laki-laki itu. Sama halnya dengan Sari, wajahnya sudah pucat dengan tangan gemetar membenarkan baju mini yang dia kenakan.Tak mendapat jawaban dari kedua orang itu, Ibu Sri menoleh pada wanita di belakangnya, yang ternyata Ibu RW bernama Arum."Bagaimana ini, Bu Arum? Sepertinya, mereka yang diperbincangkan oleh ibu-ibu selama ini," ujar Ibu Sri, lalu kembali menatap kedua orang itu.Rahman tak berkutik. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan dan kaki Rahman seolah membatu.Berbeda dengan Sari. Dia tersadar akan situasi dan ide gila pun muncul di benaknya. Jika Rahman tak mau tanggung jawab, maka melalui kedua wanita itu dia akan mendapatkan Rahman s
Secepat kilat Sari masuk ke kamar, mengambil jaket untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terbuka. Tanpa membuang waktu, Sari berlari keluar tanpa menghiraukan tiga orang yang ada di rumahnya.Rahman yang ketakutan pun bergegas mengikuti langkah Sari, disusul oleh Ibu RT dan Ibu RW."Mbak Ayu!" seru Sari dari arah pagar rumahnya, menghentikan wanita berjilbab yang hendak membuka gerbang rumah.Ayu sontak membalikkan badan dan terheran-heran melihat tetangga sebelahnya berlari tergopoh-gopoh. Wanita itu semakin mengernyit bingung kala Rahman keluar dari rumah Sari."Mbak, aku perlu bicara," ucap Sari menggenggam tangan Ayu erat. Rahman yang baru sampai pun bergegas merangkul pundak istrinya."Ma, jangan dengarkan dia! Ayo kita masuk saja," ajak Rahman kelabakan. Dia memaksa Ayu membalikkan badan, tapi cekalan Sari makin erat."Gak, Mbak. Dengerin aku dulu, ini penting!" seru Sari tak mau kalah.Rahman menatap tajam pada Sari, tapi tak digubris. Laki-laki itu bersikukuh mengajak Ayu m
"Sayang, buka pintunya!" seru Rahman, menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci.Sepulang Ibu RT, Ibu RW dan Sari, Ayu terus mengurung diri di kamarnya. Penampilan berantakan dan rasa laparnya tak dipedulikan laki-laki itu. Dia harus bicara dengan Sari, harus.Dada Rahman sakit. Tentu saja, sakit karena kejadian sudah terjadi pada Ayu, istrinya. Perubahan Ayu yang baru beberapa jam membuatnya frustasi. Bagaimana kalau Ayu berubah selamanya?Di kamar, wanita bermata indah itu hanya diam menatap pantulan diri di cermin meja rias. Air matanya terus mengalir meski tak ada isakan. Kehidupan rumah tangga yang sangat manis selama ini ternyata menyimpan duri yang tajam.Jangan tanya hatinya. Sudah pasti terluka. Suami yang disangka baik dan setia, ternyata tidak lebih dari seorang bajingan. Ayu menangkup wajahnya, kali ini isakan kepiluan keluar dari mulut itu.Betapa hancurnya dirinya mengingat video tak senonoh di ponsel Sari. Dengan jelas pemain adegan itu adalah Rahman. Hidupnya terjatuh
"Pertama, mobil dan harta lainnya harus balik nama Rafli. Nikahi Sari, karena bagaimanapun ada anak yang harus kamu akui, tapi cukup kita saja yang tahu pernikahan ini. Ketiga, biarkan Sari tinggal di rumah ini selama dia hamil. Sari tidak boleh keluar rumah tanpa izinku. Kamu hanya boleh memegang 30 % gajimu, itu termasuk nafkah untuk Sari nanti. Setelah Sari lahiran, pergilah bersamanya keluar dari rumah ini, tanpa membawa apa pun," papar Ayu mengajukan syarat.Rahman melongo mendengar pemaparan Ayu. Hatinya dirundung gundah. Syarat Ayu terlalu menakutinya. Takut, jika semua akan hilang dari Rahman. Bukan hanya kasih sayang dan cinta, tapi harta. Apalagi harus tinggal bersama Sari. Bukan ini yang Rahman harapkan."Kamu mau dimadu?" tanya Rahman, hati-hati.Ayu menatap tajam suaminya. Tidak, tentu saja Ayu akan mengatakan itu. Wanita mana yang mau berbagi suami? Apalagi dengan cara yang menyakitkan seperti itu."Sampai mati pun aku gak ikhlas, Mas! Kamu tahu? Aku lakukan ini demi nam
POV Ayu"Sah?""Sah!"Dadaku bergetar hebat menahan sakit yang tak berperi. Aku lemah, sungguh. Menatap Mas Rahman yang tengah bersanding dengan tetanggaku sendiri. Jika bisa, aku ingin menghilang ke suatu tempat yang sepi dan luas, berteriak sekancang mungkin atau memukul apa saja yang jadi pelampiasan.Namun semua kutahan, demi kehormatan keluarga kami, pun untuk membeli pelajaran pada dua biadab itu. Ijab kabul dilakukan malam hari, dengan Pak RT dan Pak RW sebagai saksi. Ditambah istri dari kedua aparat tempat tinggal kami.Untunglah, saudara Ibu Sri adalah seorang penghulu. Jadi, dengan mudah semua berjalan lancar. Bukankah Tuhan adil? Rencanaku bahkan berjalan mulus tanpa diduga."Maaf sebelumnya, Mbak. Pernikahan ini harus diulang saat nanti Mbak Sari usai melahirkan. Karena, nanti jatuhnya zina. Memang, ada beberapa ulama yang menyatakan sah dengan pernikahan seperti ini. Pak Rahman juga dilarang menyentuh Mbak Sari selama sembilan bulan ke depan."Mas Rahman tersentak, bisa k
PoV AyuAku terbangun di tengah malam. Rasa haus amat mengganggu. Dengan tubuh yang masih terasa lelah, kupaksakan bangkit. Sempat kulirik Mas Rahman yang tertidur memeluk guling. Rasa tak tega menyusup relung hati.Biasanya laki-laki itu akan memelukku sepanjang malam. Kebiasaan sedari menikah. Namun, bayangam video tak pantas itu seolah menghapus kenangan manisnya dalam sekejap.Aku bergegas melangkahkan kaki menuju dapur. Akan tetapi, langkahku terhenti saat kudengar suara berisik dari arah ruang tengah. Dadaku berdegup kencang. Gemetar, tubuh ini ketakutan. Bagaimana jika itu maling?Rasa haus yang mendera menguap begitu saja. Aku tetap ke dapur, tapi bukan untuk minum, melainkan mencari sapu atau apa pun yang bisa dijadikan senjata.Bisa saja aku membangunkan Mas Rahman, tetapi bagaimana kalau si penyusup itu lebih dulu menjarah harta benda dan kabur?Dengan langkah mengendap-endap aku mencoba menghampiri sumber suara. Ruang keluarga yang gelap membuatku kesulitan untuk melihat.
PoV Ayu"Kalian saling kenal?" tanyaku pada Azam dan Sari bergantian. Sari masih terlihat kaget. Sama halnya dengan Azam. Sedangkan, Ambu dan Abah menatap penampilan Sari dari atas sampai bawah."Kamu tinggal di sini?" tanya Azam, tak menghiraukan pertanyaanku. Mungkin dia masih penasaran dengan adanya Sari di rumah ini."A-aku permisi dulu, mau beli sarapan," ujar Sari tak menjawab, dia malah bergegas pergi ke luar rumah.Gerak-geriknya membuatku curiga. Bagaimana tidak? Wanita yang terlalu berani, bahkan untuk mencuri pun nekat, tiba-tiba saja terlihat ketakutan di depan Azam. Ada apa dengan mereka?Mata Azam mengikuti langkah Sari hingga hilang di balik pintu. Aku hendak bertanya perihal Sari padanya, tapi diurungkan karena kedatangan Mas Rahman.Mas Rahman menyambut orang tuanya, senang. Dia berlaku seolah tak terjadi apa-apa. Aku pun membiarkan saja. Ini bukan berarti aku memaafkannya, hanya saja semua demi mertuaku juga. Aku tidak mau mereka sedih atau marah. Belum waktunya me
Sari berdiri. Air mata mulai luruh di pipinya. Dia tidak tahu jika perbuatannya bisa sampai menjadi bumerang karenanya. Bukan bahagia yang didapat, tapi sengsara dan cemoohan yang menyambut."Iya, Bu. Aku siap," jawab Sari, yakin.Ambu menghela napas panjang. Wanita paruh baya itu mencoba untuk tenang menghadapi situasi seperti ini. Dia belum berniat juga mempersilakan masuk pada Sari. Sampai ...."Sari?"Dari balik gerbang, Rahman datang dengan wajah bingung.***Tiga bulan kemudian....“Azam?” Ayu mengernyit bingung menatap mantan adik iparnya yang datang.Azam tersenyum, tangannya penuh dengan kantong kertas. Isinya adalah mainan untuk keponakannya, Rafli. Semenjak perceraian Rahman dengan Ayu, Azam kerap kali menengok Rafli. Dia merasa kasihan karena Rahman jarang bertemu Rafli. Alasannya adalah Sari.Istri baru kakaknya itu sering sekali menghalangi Rahman menemui Rafli dengan berbagai alasan. Jadilah, Azam berinisiatif untuk menggantikan peran kakaknya. Meskipun Ayu sering berti
"Aku tidak bisa, Mas." Ayu berdiri, menjauhi Rahman yang duduk dengan wajah menghiba."Kenapa?" tanya Rahman, kesedihan tampak jelas di wajah itu.Ayu memejamkan mata sejenak. Dia mencoba untuk tidak memakai perasaan lagi. Walaupun ada rasa iba, tapi sakit hatinya mendominasi. Ayu tidak mau bersanding dengan mantan pengkhianat."Kamu sudah beristri Sari, Mas. Aku pun ingin memulai hidup baru tanpamu. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, Mas," terang Ayu, mencoba membuat Rahman mengerti.Rahman bangkit dan mencoba mendekati Ayu. Tetapi, lagi-lagi Ayu menjauh. Wanita itu benar-benar sudah menghilangkan nama Rahman di hidupnya."Jangan buat semua semakin sulit, Mas. Aku membebaskanmu bertemu Rafli, tapi bukan berarti kita bisa kembali bersama. Kamu sudah punya Sari, perlakukan dia dengan baik. Karena, bagaimanapun dia juga ibu dari calon anakmu."Ayu mencoba untuk tegar. Walaupun mengatakan itu semua butuh keberanian dan kesiapan hati, tapi hanya dengan cara ini Rahman bisa ditolak. Setiap
Warga di sana semakin gaduh. Sedangkan Sari semakin ketakutan. Badannya sudah panas dingin karena melihat Wak Toriq yang terus merapalkan sesuatu.Lalu, Wak Toriq mengusap seluruh tangan dan kaki Rahman, hingga dia menemukan sesuatu di pergelangan tangan Rahman. Sebuah rambut melingkar di tangan Rahman, hanya beberapa helai, sehingga tak begitu jelas jika tidak diamati.Wak Toriq mengucap asma Allah sembari menarik gelang itu sampai putus. Sari langsung menjerit dan tumbang, bersamaan dengan itu disusul robohnya Rahman yang tidak sadarkan diri."Rahman!" seru Abah dan Ambu berbarengan.***"Saya atas nama keluarga Rahman, memohon maaf yang sebesar-besarnya. Ini di luar dugaan. Maaf jika kelakukan keponakan saya merugikan banyak pihak," tutur Wak Toriq memulai pembicaraan.Masih di rumah Sari, ada Pak RT, Pak RW, Ibu RT, Ibu RW, orang tua Rahman dan Ayu. Warga yang masih betah di sana pun hanya beberapa orang. Mereka sengaja dibubarkan demi keamanan. Hanya tersisa mereka yang menemani
Ayu diam sejenak. Dia mengehela napas pendek sebelum berucap. "Baiklah, Wak. Aku akan memanggilnya. Dia ada di rumah Sari," ujar Ayu, membuat Ambu dan Abah menghela napas lega.Kedua orang itu pikir Sari berbuat macam-macam atau membawa kabur Rahman entah ke mana. Ternyata, dibawa ke rumah Sari yang tidak ingin dianggap menantu oleh mereka."Biar kita saja yang ke sana. Uwak juga mau tahu, apa wanita itu menyimpan sesuatu di rumahnya," papar Wak Toriq yang langsung disetujui Ambu.Sebelum pergi, Ayu menelepon Ibu RT dan Ibu RW. Dia ingin penutupan pembalasan dengan cantik. Hukum sosial akan lebih menyakitkan dibanding dengan hukuman jeruji besi.***"Sari, buka pintunya!" seru Ibu RT yang menggetuk pintu rumah Sari dengan kasar.Sari yang tengah bermesraan dengan Rahman pun terperanjat. Bagaimana Ibu RT tahu kalau dia ada di rumah? Padahal kunci rumah sudah diganti tanpa sepengetahuan Ibu RT dan Ibu RW."Siapa?" tanya Rahman, bingung.Sari gelagapan. Dia seperti terciduk untuk kedua k
"Ma, kok Papa sama Tante Sari terus?" tanya Rafli setelah pulang sekolah. Anak kecil itu keheranan melihat tingkah ayahnya yang cuek padanya juga jarang berkumpul dengan Ayu dan dirinya. Tentu semenjak Sari datang ke rumah itu.Ayu mengelus surai hitam milik Rafli. Marah dan sedih memenuhi rongga dada Ayu. Apalagi saat anaknya dengan terpaksa melihat kemesraan Sari dan Rahman. Sebelumnya, Ayu sudah mengusir dua manusia laknat itu agar Rafli tak melihat yang seharusnya tak dilihat.Namun, permintaan Ambu membuat Ayu tak bisa berkutik. Wanita itu tidak tahu apa yang terjadi pada Rahman, hingga dalam sekejap berubah drastis. Dia benci dan muak melihat itu semua. Sakit hatinya sudah tak terbendung. Hanya saja, lagi-lagi Ayu harus menahan semua demi Rafli. Psikologis Rafli lebih penting dari apa pun. Ayu mengehela napas sebentar. Dia pun menangkup wajah anaknya dengan senyum palsu."Emm, Rafli. Mulai besok Papa akan sering bareng Tante Sari," ujar Ayu mecoba menjelaskan."Kenapa?" tanya
"Buat kopi hitam tanpa gula. Taruh di kolong tempat tidur Rahman. Nanti malam, aku ke sana. Kalau berkurang, berarti Rahman kena guna-guna," papar Wak Toriq dari seberang sana.Ambu dan Abah yang mendengar itu pun tersentak. Mereka saling pandang. Awalnya, besok akan memanggil Kakak Ambu itu.Tetapi karena penasaran, Ambu berinisiatif untuk meneleponnya terlebih dahulu. Ternyata, praduga mereka terwujud. Walaupun belum pasti, tapi melihat gerak-gerik Rahman rasanya semua yang dimungkinkan itu terjadi."Lalu, kami harus bagaimana, Wak?" tanya Abah, khawatir.Kebetulan panggilan di louspeker, jadi Ambu dan Abah bisa leluasa mengobrol. Mereka sekarang sedang di kamar, agar tak ada yang mengganggu, terutama Sari."Biarkan saja dulu, nanti malam baru aku kasih tahu selanjutnya," timpal Wak Toriq yang langsung dipatuhi Ambu dan Abah.Setelah itu, mereka menutup panggilan. Keduanya mulai mencari cara menaruh kopi hitam di bawah kolong ranjang Sari. Ya, karena Rahman sekarang tidur di kamar S
"Dari mana saja kamu?" Ambu melipat tangan di depan dada. Tatapannya tajam pada Rahman dan Sari yang baru saja pulang.Waktu menunjukkan pukul 8. Namun, kedua manusia laknat itu baru sampai rumah. Yang membuat Ambu kesal, Sari bergelayut manja pada Rahman.Di sana sudah berkumpul Ayu, Azam dan Abah. Rafli sendiri sudah diantar sekolah. Anak kecil itu sedari malam menanyakan keberadaan Rahman, Ayu terpaksa berbohong tentang suaminya."Rahman! Ambu tanya, dari mana saja kamu tidak pulang kemarin?!" bentak Ambu. Setelah sekian lama, ini kali pertama lagi Ambu membentak anaknya. Sakit memang, tapi Ambu tak punya pilihan lain untuk mendidik Rahman."Dari hotel," jawab Rahman, enteng dan datar. Sari tersenyum miring mendengar jawaban Rahman. Sedangkan Ambu dan Abah kaget bukan main. Biasanya, Rahman akan menunduk dan meminta maaf jika melakukan kesalahan. Kali ini ada yang lain. Anaknya malah berkata santai, tanpa bersalah. Bahkan tatapan matanya terlihat kosong.Ambu mendekati Rahman den
"Jadi, dia hamil anak Rahman?" tanya Ambu, matanya sudah berkaca-kaca. Jelas tampak kekecewaan di wajah tuanya.Ayu mengangguk lemah. Isakan sudah lolos dari mulut wanita itu. Dia tidak bisa berbohong lagi. Jikalau bisa, lalu bagaimana dengan Sari? Jalang itu pasti akan dengan senang hati jujur akan kondisinya."Maafkan Ayu yang tidak bisa jadi istri yang baik buat anak Ambu. Mungkin kalau Ayu lebih--""Gak, Nak. Ini bukan salahmu," potong Abah. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang tertahan.Abah malu, benar-benar malu. Merasa tidak becus mendidik anaknya. Padahal, selama hidupnya, Abah pantang berkhianat. Entah pada rekan atau pasangan. Jika sudah tak nyaman, Abah lebih mengutamakan untuk jujur. Tetapi Rahman, dalam sekejap telah mencoreng prinsip itu."Yu, maafkan Rahman. Kami benar-benar minta maaf. Kami malu sama kamu, Nak," ujar Ambu, memegang tangan Ayu erat.Ayu menggeleng kuat. Dia tidak bisa menyalahkan mertuanya. Entah salah siapa, yang pasti nasi sudah jadi bubur. Ayu harus
"Hotel?" gumam Azam dengan wajah tak percaya.Laki-laki itu tidak perlu berpikir keras untuk mengartikan apa yang akan terjadi jika dua orang berbeda jenis masuk ke sana. Terlebih lagi dengan mesra seperti itu.Dadanya terasa dihantam batu besar. Kaget, marah dan kecewa bercampur jadi satu. Ternyata benar, ada yang tidak beres dengan kehadiran mantannya di rumah Ayu. Azam hanya tidak menyangka jika sang kakaklah yang menjadi korban Sari.Azam rasa, dia tidak perlu mengikuti mereka sampai ke dalam hotel. Cukup tahu saja dan dia akan memberitahukan semuanya pada Ayu. Dengan cepat, dia memutar kemudi untuk pulang.Bagaimanapun perbuatan kakaknya tidak benar. Dia tidak mungkin menyimpan bangkai ini terlalu lama, atau akan banyak orang yang tersakiti, termasuk orang tuanya.Selama perjalanan, Azam terus bertanya-tanya. Kenapa sampai bisa Sari dan Rahman melakukan hubungan terlarang? Apa kekurangan Ayu sebagai istri? Apalagi dia saja iri pada Rahman karena mendapatkan istri terbaik Ayu.Aza