POV Ayu"Sah?""Sah!"Dadaku bergetar hebat menahan sakit yang tak berperi. Aku lemah, sungguh. Menatap Mas Rahman yang tengah bersanding dengan tetanggaku sendiri. Jika bisa, aku ingin menghilang ke suatu tempat yang sepi dan luas, berteriak sekancang mungkin atau memukul apa saja yang jadi pelampiasan.Namun semua kutahan, demi kehormatan keluarga kami, pun untuk membeli pelajaran pada dua biadab itu. Ijab kabul dilakukan malam hari, dengan Pak RT dan Pak RW sebagai saksi. Ditambah istri dari kedua aparat tempat tinggal kami.Untunglah, saudara Ibu Sri adalah seorang penghulu. Jadi, dengan mudah semua berjalan lancar. Bukankah Tuhan adil? Rencanaku bahkan berjalan mulus tanpa diduga."Maaf sebelumnya, Mbak. Pernikahan ini harus diulang saat nanti Mbak Sari usai melahirkan. Karena, nanti jatuhnya zina. Memang, ada beberapa ulama yang menyatakan sah dengan pernikahan seperti ini. Pak Rahman juga dilarang menyentuh Mbak Sari selama sembilan bulan ke depan."Mas Rahman tersentak, bisa k
PoV AyuAku terbangun di tengah malam. Rasa haus amat mengganggu. Dengan tubuh yang masih terasa lelah, kupaksakan bangkit. Sempat kulirik Mas Rahman yang tertidur memeluk guling. Rasa tak tega menyusup relung hati.Biasanya laki-laki itu akan memelukku sepanjang malam. Kebiasaan sedari menikah. Namun, bayangam video tak pantas itu seolah menghapus kenangan manisnya dalam sekejap.Aku bergegas melangkahkan kaki menuju dapur. Akan tetapi, langkahku terhenti saat kudengar suara berisik dari arah ruang tengah. Dadaku berdegup kencang. Gemetar, tubuh ini ketakutan. Bagaimana jika itu maling?Rasa haus yang mendera menguap begitu saja. Aku tetap ke dapur, tapi bukan untuk minum, melainkan mencari sapu atau apa pun yang bisa dijadikan senjata.Bisa saja aku membangunkan Mas Rahman, tetapi bagaimana kalau si penyusup itu lebih dulu menjarah harta benda dan kabur?Dengan langkah mengendap-endap aku mencoba menghampiri sumber suara. Ruang keluarga yang gelap membuatku kesulitan untuk melihat.
PoV Ayu"Kalian saling kenal?" tanyaku pada Azam dan Sari bergantian. Sari masih terlihat kaget. Sama halnya dengan Azam. Sedangkan, Ambu dan Abah menatap penampilan Sari dari atas sampai bawah."Kamu tinggal di sini?" tanya Azam, tak menghiraukan pertanyaanku. Mungkin dia masih penasaran dengan adanya Sari di rumah ini."A-aku permisi dulu, mau beli sarapan," ujar Sari tak menjawab, dia malah bergegas pergi ke luar rumah.Gerak-geriknya membuatku curiga. Bagaimana tidak? Wanita yang terlalu berani, bahkan untuk mencuri pun nekat, tiba-tiba saja terlihat ketakutan di depan Azam. Ada apa dengan mereka?Mata Azam mengikuti langkah Sari hingga hilang di balik pintu. Aku hendak bertanya perihal Sari padanya, tapi diurungkan karena kedatangan Mas Rahman.Mas Rahman menyambut orang tuanya, senang. Dia berlaku seolah tak terjadi apa-apa. Aku pun membiarkan saja. Ini bukan berarti aku memaafkannya, hanya saja semua demi mertuaku juga. Aku tidak mau mereka sedih atau marah. Belum waktunya me
PoV Author"Kamu sedang apa di sini?" tanya Azam tiba-tiba, saat Sari hendak ke dapur.Sari kaget, dia langsung menoleh ke arah sekitar. Takut ada orang yang mendengar. Dengan cepat, Sari menarik tangan Azam hingga mereka sampai di dekat kolam renang."Apa yang kamu lakukan? Lepas!" sentak Azam membuat Sari langsung melepaskan tangan Azam.Azam yang terkenal kalem dan lemah lembut, seketika berubah sinis. Tatapan tajam pun dia berikan pada Sari."Jawab pertanyaanku, sedang apa kamu di rumah kakak iparku?" tanya Azam sekali lagi, kali ini dengan menyelidik. Wajah Sari tampak pucat dan bingung. Bagaimana tidak? Dia bertemu dengan mantan pacarnya yang pernah diselingkuhi. Sampai Sari menikah dengan selingkuhannya yang tidak lain adalah mantan suaminya juga temannya Azam.Yang membuat Sari takut adalah, jika Azam menceritakan masa lalunya pada Rahman. Dia tidak mungkin menjawab jika statusnya seorang istri muda. Bisa gawat berkali-kali lipat. Hidupnya saja sudah sengsara karena permainan
"Man, yang bener kalau nyari pembantu itu!" seru Ambu, tiba-tiba keluar dari dapur.Rahman yang sedang main catur bersama Abah pun sontak menoleh. Abah juga tak luput menatap istrinya."Emangnya kenapa, Bu?" Kali ini malah Abah yang bertanya.Ambu berdecak sembari duduk di antara dua lelakinya. "Masa pembantu pakaiannya kayak wanita murahan!" cecar Ambu membuat Abah terkekeh.Dari arah dapur, Sari mendengar dengan jelas cecaran ibu mertuanya. Ingin Sari mencacah Ambu seperti sayuran yang sedang dia olah. Semua mertua sama saja, bikin sakit hati. Itu yang ada dalam pikiran Sari."Loh, Bah. Jangan senyam-senyum sembarangan! Wanita kayak gitu bisa merusak rumah tangga tahu!" hardik Ambu membuat Rahman tersentak.Kata-kata ibunya amat tepat sasaran. Rahman memilih diam dan hanya mendengarkan."Kamu nemu dia dari mana, sih?" tanya Ambu, sarkas.Sari meremas-remas beras yang akan dia cuci. Benar-benar bikin kesal sampai ubun-ubun. Kalau Rahman menurut pada Sari, sudah dibuat susah ibu mert
Sari langsung menutup mulutnya. Sedangkan semua orang beralih menatap wanita itu. Ambu yang kesal dengan tingkah Sari pun lantas berdiri dengan menyimpan sendok secara kasar."Heh! Benar-benar gak punya sopan santu kamu! Orang mau makan kamu malah mau muntah!" hardik Ambu, wajahnya sudah memerah.Ayu hanya diam menyaksikan semua drama gratisan ini. Sedangkan Rahman sudah mulai takut, ya takut jika Sari terus terang jika tengah mengandung anaknya.Di sisi lain, kecurigaan Azam semakin kentara. Dia merasa ada yang janggal dengan kehadiran Sari di sana. Ditambah Haris yang tak ada bersama wanita itu."Ma-maaf, Bu. Sa-saya sedang hamil. Hoek!" Merasa tak tahan lagi, Sari bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya.Suara Sari yang muntah amat jelas ke ruang makan. Membuat masing-masing orang di sana terdiam dan mengurungkan niat untuk menyantap makanan yang tadinya tampak menggiurkan, justru berubah menjadi penyebab mual dan jijik."Bu, Abah tidak bisa makan kalau begini," uja
"Kosong?!" Sari menatap kecewa. Ada sedikit rasa kesal menyelinap.Akan tetapi, wanita itu tak begitu saja putus asa. Dia mencari di laci yang lainnya. Seketika mata itu berbinar melihat kotak merah besar beludru, tempat penyimpanan untuk perhiasan. Dengan cepat Sari membukanya. Matanya semakin membulat dengan isi kotak itu. Berbagai macam perhiasan saling bertumpuk di sana. Wanita itu seperti mendapatkan lotre, tanpa menunggu lama memasukkan isinya ke tas yang dia bawa.Seringai licik terpampang jelas di wajah Sari. Dia akan menjarah harta Ayu tanpa sisa. Setelah memastikan kotak perhiasan itu kosong, Sari beralih ke laci yang selanjutnya.Ada empat laci di meja rias Ayu. Sayangnya, yang berisi hanya laci kedua. Sedangkan sisanya, nihil. Hanya ada bros dan aksesoris untuk rambut juga kerudung, Sari tak butuh itu.Aksinya tidak berhenti sampai di situ. Dia beralih ke lemari Ayu juga Rahman. Siapa tahu surat-surat berharga milik madunya ada di lemari. Biasanya dia juga menyimpan benda
Rahman mengernyit saat tangannya mengusap samping pembaringan. Dengan cepat laki-laki itu membuka mata, tak ada sosok Ayu di sana. Lalu, matanya yang masih melihat sekitar dengan samar-samar pun menoleh pada samping kiri, di mana jam bertengger. Baru pukul tiga dini hari.Seperti kebiasaan Ayu setiap hari, dia akan bangun di jam-jam tersebut untuk menunaikkan kewajibannya sebagai seorang istri. Namun, sebelumnya salat dua rakaat tak pernah absen Ayu lakukan.Selama menikah dengan Rahman dan tinggal di rumah itu, Ayu memang sengaja tidak mempekerjakan pembantu. Kalau pun mendesak, dia akan menyewa pembantu yang hanya digaji beberapa hari. Itu demi kepuasaannya sebagai seorang istri, mengurus rumah dan suami dengan totalitas.Namun, semua pengorbanan Ayu sia-sia karena tingkah Rahman yang menyakitinya.Rahman turun dari pembaringan. Sebenarnya, dia tahu Ayu pasti tengah berkutat di dapur. Ada sedikit rasa senang menyelusup, itu berarti Ayu masih peduli dengannya, hingga tetap bangun di
Sari berdiri. Air mata mulai luruh di pipinya. Dia tidak tahu jika perbuatannya bisa sampai menjadi bumerang karenanya. Bukan bahagia yang didapat, tapi sengsara dan cemoohan yang menyambut."Iya, Bu. Aku siap," jawab Sari, yakin.Ambu menghela napas panjang. Wanita paruh baya itu mencoba untuk tenang menghadapi situasi seperti ini. Dia belum berniat juga mempersilakan masuk pada Sari. Sampai ...."Sari?"Dari balik gerbang, Rahman datang dengan wajah bingung.***Tiga bulan kemudian....“Azam?” Ayu mengernyit bingung menatap mantan adik iparnya yang datang.Azam tersenyum, tangannya penuh dengan kantong kertas. Isinya adalah mainan untuk keponakannya, Rafli. Semenjak perceraian Rahman dengan Ayu, Azam kerap kali menengok Rafli. Dia merasa kasihan karena Rahman jarang bertemu Rafli. Alasannya adalah Sari.Istri baru kakaknya itu sering sekali menghalangi Rahman menemui Rafli dengan berbagai alasan. Jadilah, Azam berinisiatif untuk menggantikan peran kakaknya. Meskipun Ayu sering berti
"Aku tidak bisa, Mas." Ayu berdiri, menjauhi Rahman yang duduk dengan wajah menghiba."Kenapa?" tanya Rahman, kesedihan tampak jelas di wajah itu.Ayu memejamkan mata sejenak. Dia mencoba untuk tidak memakai perasaan lagi. Walaupun ada rasa iba, tapi sakit hatinya mendominasi. Ayu tidak mau bersanding dengan mantan pengkhianat."Kamu sudah beristri Sari, Mas. Aku pun ingin memulai hidup baru tanpamu. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, Mas," terang Ayu, mencoba membuat Rahman mengerti.Rahman bangkit dan mencoba mendekati Ayu. Tetapi, lagi-lagi Ayu menjauh. Wanita itu benar-benar sudah menghilangkan nama Rahman di hidupnya."Jangan buat semua semakin sulit, Mas. Aku membebaskanmu bertemu Rafli, tapi bukan berarti kita bisa kembali bersama. Kamu sudah punya Sari, perlakukan dia dengan baik. Karena, bagaimanapun dia juga ibu dari calon anakmu."Ayu mencoba untuk tegar. Walaupun mengatakan itu semua butuh keberanian dan kesiapan hati, tapi hanya dengan cara ini Rahman bisa ditolak. Setiap
Warga di sana semakin gaduh. Sedangkan Sari semakin ketakutan. Badannya sudah panas dingin karena melihat Wak Toriq yang terus merapalkan sesuatu.Lalu, Wak Toriq mengusap seluruh tangan dan kaki Rahman, hingga dia menemukan sesuatu di pergelangan tangan Rahman. Sebuah rambut melingkar di tangan Rahman, hanya beberapa helai, sehingga tak begitu jelas jika tidak diamati.Wak Toriq mengucap asma Allah sembari menarik gelang itu sampai putus. Sari langsung menjerit dan tumbang, bersamaan dengan itu disusul robohnya Rahman yang tidak sadarkan diri."Rahman!" seru Abah dan Ambu berbarengan.***"Saya atas nama keluarga Rahman, memohon maaf yang sebesar-besarnya. Ini di luar dugaan. Maaf jika kelakukan keponakan saya merugikan banyak pihak," tutur Wak Toriq memulai pembicaraan.Masih di rumah Sari, ada Pak RT, Pak RW, Ibu RT, Ibu RW, orang tua Rahman dan Ayu. Warga yang masih betah di sana pun hanya beberapa orang. Mereka sengaja dibubarkan demi keamanan. Hanya tersisa mereka yang menemani
Ayu diam sejenak. Dia mengehela napas pendek sebelum berucap. "Baiklah, Wak. Aku akan memanggilnya. Dia ada di rumah Sari," ujar Ayu, membuat Ambu dan Abah menghela napas lega.Kedua orang itu pikir Sari berbuat macam-macam atau membawa kabur Rahman entah ke mana. Ternyata, dibawa ke rumah Sari yang tidak ingin dianggap menantu oleh mereka."Biar kita saja yang ke sana. Uwak juga mau tahu, apa wanita itu menyimpan sesuatu di rumahnya," papar Wak Toriq yang langsung disetujui Ambu.Sebelum pergi, Ayu menelepon Ibu RT dan Ibu RW. Dia ingin penutupan pembalasan dengan cantik. Hukum sosial akan lebih menyakitkan dibanding dengan hukuman jeruji besi.***"Sari, buka pintunya!" seru Ibu RT yang menggetuk pintu rumah Sari dengan kasar.Sari yang tengah bermesraan dengan Rahman pun terperanjat. Bagaimana Ibu RT tahu kalau dia ada di rumah? Padahal kunci rumah sudah diganti tanpa sepengetahuan Ibu RT dan Ibu RW."Siapa?" tanya Rahman, bingung.Sari gelagapan. Dia seperti terciduk untuk kedua k
"Ma, kok Papa sama Tante Sari terus?" tanya Rafli setelah pulang sekolah. Anak kecil itu keheranan melihat tingkah ayahnya yang cuek padanya juga jarang berkumpul dengan Ayu dan dirinya. Tentu semenjak Sari datang ke rumah itu.Ayu mengelus surai hitam milik Rafli. Marah dan sedih memenuhi rongga dada Ayu. Apalagi saat anaknya dengan terpaksa melihat kemesraan Sari dan Rahman. Sebelumnya, Ayu sudah mengusir dua manusia laknat itu agar Rafli tak melihat yang seharusnya tak dilihat.Namun, permintaan Ambu membuat Ayu tak bisa berkutik. Wanita itu tidak tahu apa yang terjadi pada Rahman, hingga dalam sekejap berubah drastis. Dia benci dan muak melihat itu semua. Sakit hatinya sudah tak terbendung. Hanya saja, lagi-lagi Ayu harus menahan semua demi Rafli. Psikologis Rafli lebih penting dari apa pun. Ayu mengehela napas sebentar. Dia pun menangkup wajah anaknya dengan senyum palsu."Emm, Rafli. Mulai besok Papa akan sering bareng Tante Sari," ujar Ayu mecoba menjelaskan."Kenapa?" tanya
"Buat kopi hitam tanpa gula. Taruh di kolong tempat tidur Rahman. Nanti malam, aku ke sana. Kalau berkurang, berarti Rahman kena guna-guna," papar Wak Toriq dari seberang sana.Ambu dan Abah yang mendengar itu pun tersentak. Mereka saling pandang. Awalnya, besok akan memanggil Kakak Ambu itu.Tetapi karena penasaran, Ambu berinisiatif untuk meneleponnya terlebih dahulu. Ternyata, praduga mereka terwujud. Walaupun belum pasti, tapi melihat gerak-gerik Rahman rasanya semua yang dimungkinkan itu terjadi."Lalu, kami harus bagaimana, Wak?" tanya Abah, khawatir.Kebetulan panggilan di louspeker, jadi Ambu dan Abah bisa leluasa mengobrol. Mereka sekarang sedang di kamar, agar tak ada yang mengganggu, terutama Sari."Biarkan saja dulu, nanti malam baru aku kasih tahu selanjutnya," timpal Wak Toriq yang langsung dipatuhi Ambu dan Abah.Setelah itu, mereka menutup panggilan. Keduanya mulai mencari cara menaruh kopi hitam di bawah kolong ranjang Sari. Ya, karena Rahman sekarang tidur di kamar S
"Dari mana saja kamu?" Ambu melipat tangan di depan dada. Tatapannya tajam pada Rahman dan Sari yang baru saja pulang.Waktu menunjukkan pukul 8. Namun, kedua manusia laknat itu baru sampai rumah. Yang membuat Ambu kesal, Sari bergelayut manja pada Rahman.Di sana sudah berkumpul Ayu, Azam dan Abah. Rafli sendiri sudah diantar sekolah. Anak kecil itu sedari malam menanyakan keberadaan Rahman, Ayu terpaksa berbohong tentang suaminya."Rahman! Ambu tanya, dari mana saja kamu tidak pulang kemarin?!" bentak Ambu. Setelah sekian lama, ini kali pertama lagi Ambu membentak anaknya. Sakit memang, tapi Ambu tak punya pilihan lain untuk mendidik Rahman."Dari hotel," jawab Rahman, enteng dan datar. Sari tersenyum miring mendengar jawaban Rahman. Sedangkan Ambu dan Abah kaget bukan main. Biasanya, Rahman akan menunduk dan meminta maaf jika melakukan kesalahan. Kali ini ada yang lain. Anaknya malah berkata santai, tanpa bersalah. Bahkan tatapan matanya terlihat kosong.Ambu mendekati Rahman den
"Jadi, dia hamil anak Rahman?" tanya Ambu, matanya sudah berkaca-kaca. Jelas tampak kekecewaan di wajah tuanya.Ayu mengangguk lemah. Isakan sudah lolos dari mulut wanita itu. Dia tidak bisa berbohong lagi. Jikalau bisa, lalu bagaimana dengan Sari? Jalang itu pasti akan dengan senang hati jujur akan kondisinya."Maafkan Ayu yang tidak bisa jadi istri yang baik buat anak Ambu. Mungkin kalau Ayu lebih--""Gak, Nak. Ini bukan salahmu," potong Abah. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang tertahan.Abah malu, benar-benar malu. Merasa tidak becus mendidik anaknya. Padahal, selama hidupnya, Abah pantang berkhianat. Entah pada rekan atau pasangan. Jika sudah tak nyaman, Abah lebih mengutamakan untuk jujur. Tetapi Rahman, dalam sekejap telah mencoreng prinsip itu."Yu, maafkan Rahman. Kami benar-benar minta maaf. Kami malu sama kamu, Nak," ujar Ambu, memegang tangan Ayu erat.Ayu menggeleng kuat. Dia tidak bisa menyalahkan mertuanya. Entah salah siapa, yang pasti nasi sudah jadi bubur. Ayu harus
"Hotel?" gumam Azam dengan wajah tak percaya.Laki-laki itu tidak perlu berpikir keras untuk mengartikan apa yang akan terjadi jika dua orang berbeda jenis masuk ke sana. Terlebih lagi dengan mesra seperti itu.Dadanya terasa dihantam batu besar. Kaget, marah dan kecewa bercampur jadi satu. Ternyata benar, ada yang tidak beres dengan kehadiran mantannya di rumah Ayu. Azam hanya tidak menyangka jika sang kakaklah yang menjadi korban Sari.Azam rasa, dia tidak perlu mengikuti mereka sampai ke dalam hotel. Cukup tahu saja dan dia akan memberitahukan semuanya pada Ayu. Dengan cepat, dia memutar kemudi untuk pulang.Bagaimanapun perbuatan kakaknya tidak benar. Dia tidak mungkin menyimpan bangkai ini terlalu lama, atau akan banyak orang yang tersakiti, termasuk orang tuanya.Selama perjalanan, Azam terus bertanya-tanya. Kenapa sampai bisa Sari dan Rahman melakukan hubungan terlarang? Apa kekurangan Ayu sebagai istri? Apalagi dia saja iri pada Rahman karena mendapatkan istri terbaik Ayu.Aza