🌱
Tok! Tok! Tok!
Terdengar sebuah ketukan yang berasal dari pintu rumahku. Aku mendengkus kesal. Rasanya baru beberapa menit mataku terpejam menyambut mimpi, sudah ada saja yang mengusiknya.
Mas Tedy masih terlelap di sebelahku. Entah mengapa dia tidak terbangun mendengar suara gedoran keras di pintu rumah ini.
Aku melangkah dengan gontai menuju sumber suara. Menahan rahang yang pegal karena terus-terusan menguap menahan kantuk yang tak tertahankan.
Kemudian aku menghentikan jalanku sejenak tatkala bergidik setelah melirik jam dinding yang menempel di tembok.
Hah? Perasaan tadi masih jam sepuluh malam, ternyata sudah jam satu dini hari.
Lalu siapa tengah malam begini datang bertamu? Pikiranku berkecamuk, antara membuka pintu atau mengacuhkannya.
Ketukan masih saja terdengar, normalnya bertamu diiringi salam atau memanggil nama salah satu anggota keluarga pemilik rumah. Tapi tidak dengan tamu ini. Aneh!
Kuputuskan untuk mengintipnya dahulu dari balik tirai. Untungnya, jendela rumah ini tak terlalu dekat dengan pintu. Jadi bisa dengan aman melihat siapa yang datang bertamu.
Tirai bermotif bunga itu kusibak pelan, netraku menyelidik ke arah teras depan pintu rumahku. Genggamanku mengeras meremas tirai, mencegah apabila terjadi hal yang mengagetkan di depan mataku, aku bisa menahan tubuhku yang akan tumbang karena kaget.
Apa?! Tak ada siapapun? Ah, yang benar saja.
Aku mengamati kembali keadaan di luar. Namun, seketika pandangan tiba-tiba kabur karena gumpalan kabut yang mulai menebal di udara malam, sampai-sampai tak terlihat apa pun di luar sana.
Diri ini harus tetap memeriksa situasi kembali, untuk pastikan ada tidaknya seseorang di luar sana. Tepatnya, di balik pintu yang telah terketuk selama hampir 15 menit tak kunjung berhenti.
Hmm, aku mulai menerka-nerka. Mungkinkah ada sesuatu yang tak kasat mata? Atau, perampok?
Aarggh, tidak!
Detak jantungku mulai memacu kencang. Pikiran-pikiran negatif pun merambat di otakku.
Piyama yang hangat menjadi semakin dingin karena hampir basah terkena keringat yang sedari tadi mengucur deras dari tengkuk.
Tangan ini gemetaran menggapai gagang pintu, tapi untungnya kaki masih kuasa menopang tubuhku yang berangsur-angsur melemas.
"Siapaa?" teriakku sambil memutar kunci.
Tak ada yang menjawab. Tuli mungkin, gerutuku kesal.
Pelan-pelan kubuka pintu kayu berflitur putih minimalis, penasaran ini hampir sampai pada tujuannya.
Pandanganku tertaut pada sosok di depanku. Serasa lunglai badan ini menyambut kedatangan 'tamu' itu.
"Della, maafin aku ganggu kamu malam-malam begini. Aku butuh bantuanmu, Del."
"Ya ampun, Sita! Ada apa? Kukira siapa tadi. Ngagetin aja! Malam-malam begini nggedorin pintu orang," sindirku sambil sedikit melotot padanya.
Tepat di hadapanku berdiri seorang wanita bertubuh mungil, berambut pendek keriting, memakai kaos tanpa lengan serta celana pendek. Begitu melihatku wanita itu langsung menggelayuti tanganku.
Ah, dasar! Ternyata si tetangga baru sebelah rumah. Sita namanya, dia pengantin baru yang LDR dengan suaminya.
Memang benar, orang-orang bilang wanita ini berpenampilan terlalu seksi. Sampai-sampai para bapak di komplek ini banyak yang terpikat oleh kemolekannya.
Ekspresi cemas dan kebingungan tersirat pada wajah glowingnya. Tampak pula peluh yang mengalir deras di pelipisnya, menambah kesan ketakutan yang tak bisa diungkapkan.
"Del, aku boleh masuk, gak? Dingin nih," pintanya lalu menggosok-gosokkan tangan di lengannya yang putih itu.
"Oh, ya ampun. Maaf-maaf, ayo sini masuk. Duduk dulu. Bentar, aku ambilkan air minum dulu."
Aku membimbing Sita untuk duduk di sofa ruang tamu, lalu gegas mengambil segelas air mineral dari dapur.
"Ah, makasih ya, Del." Setelah meneguk air yang kuberikan, Sita meletakkan gelas di atas meja kaca dekat sofa. Wajahnya kini berubah sumringah, hal aneh yang membuatku tak mengerti apa maksudnya.
"Udah lega? Terus, ada apa kamu jam segini kesini?"
"Anu, kayaknya tadi ada orang yang memata-matai aku deh, terlihat di tirai jendela kamarku. Aku takut banget mau tidur sendirian. Beneran. Suer!"
Kuhela napas dalam-dalam. Sita memang keterlaluan, masalah sepele begini mengganggu orang istirahat. Jengkel tapi kasihan, bila saja ia tak memelas begitu sudah kuusir dari rumahku saat ini juga.
"Oke, lalu?" Aku mencoba memancing ceritanya. Entah yang dikatakannya itu nyata atau kebohongan semata.
"Aku boleh menginap di sini satu malam saja, Del. Plis!" Sita memohon dengan menyeringai, memperlihatkan deretan giginya. Jemarinya meremas lenganku.
Seketika aku terkejut mendengar permintaan konyolnya, bagaimana bisa seorang wanita bersuami tidur di rumah tetangganya yang telah berkeluarga.
Yang mana wanita itu bukanlah siapa-siapa, hubungan darah pun tidak.
"Ah, akhir-akhir ini memang banyak orang aneh," desisku sambil memutar bola mata, lalu mengamati lagi detil penampilan eksotis Sita yang santai bak berada di pantai.
Lagi-lagi aku menghela napas kasar, berusaha tetap tenang. Mungkin, Sita memang sedang dalam keadaan genting.
Aku mencoba menasihatinya agar kembali pulang. Menghindari terjadinya hal yang tidak-tidak nantinya.
"Sita, bukannya aku tidak memperbolehkan kamu menginap di sini. Tapi ...."
"Ayolah, Del. Semalam ini saja, aku janji besok tak akan mengganggumu lagi. Orang tuaku sedang dalam perjalanan kemari. Aku takut di rumah sendirian," bujuknya dengan memelas.
Ah, memang dasar aku orangnya tidak tegaan. Akhirnya menyetujuinya, tentu dengan berat hati.
Ia tersenyum girang, kemudian memelukku dengan tiba-tiba. Seketika perasaan aneh menjalar di pikiranku.
"Eh, bentar, Sit. Kamu pakai beginian kalau mau tidur? Nggak dingin?" sindirku sambil menunjuk pakaiannya dari atas sampai bawah.
"Udah biasa tidur begini aja sih."
"What? Are you crazy? Di sini ada suami dan anakku yang sama-sama cowok, Sit. Kamu gak tau malu?"
Sita menggeleng pelan, aku mengelus-elus dada. Memancing kesabaranku yang tinggal lima persen saja.
"Oke, kamu tidur di kamar belakang. Ya? Nanti aku kasih tahu tempatnya. Sekarang aku mau kunci pintu dulu, kamu tunggu di sini."
Setelah selesai mengunci pintu, aku menengok. Sita tak berada pada tempatnya? Padahal ia harusnya masih duduk dengan manisnya di sofa ruangan ini.
Hmm, ke mana dia?
"Siit, Sitaa!" teriakku. Aku mencari di kamar belakang yang seperti kukatakan padanya tadi. Namun, tak ada orang di sana.
Ah, sial. Bikin susah aja nih, orang. Lalu tampak di kejauhan, pintu kamarku terbuka lebar. Padahal aku ingat, sebelum ke depan, pintu kamarku tertutup rapat.
Jangan-jangan?
Aku menelisik masuk ke kamar yang pintunya terbuka lebar. Aih, alangkah terkejutnya diriku mendapati Sita berada di sana. Ia tampak baru selesai keluar dari toilet yang ada di dalamnya."Hei, kamu! Masuk kamar orang tanpa ijin!" bentakku pada Sita yang berdiri di depan pintu toilet. Tampak ia sedang mengelap betisnya yang basah, tanpa rasa bersalah ia meringis padaku dengan wajah innocent-nya."Kamu habis ngapain itu, Sit? Kok, tahu kamar ini ada toiletnya?" imbuhku sambil berkacak pinggang."Emm, itu aku nebak sendiri, sih. Karena aku sudah kebelet buang air kecil. Tanpa kusadari masuk dalam kamarmu yang tampak bagus ini. Lalu, aku lihat ada toilet di dalamnya, akhirnya masuk, deh.""Ah, alasan aja kamu, Sit. Bilang aja kamu--."Mas Tedy tiba-tiba terbangun. Ia tertegun melihatku bersama wanita super sek
Tiga buah gumpalan tissue yang sudah gepeng tertindih kasur, akhirnya aku bersihkan dengan sapu.Beberapa diataranya terdapat noda di permukaan tissue itu. Saking jijiknya, sampai cepat-cepat kubuang dalam sampah.Nafasku tak karuan, keringat dingin mulai mengucur deras di tengkuk.Dalam benakku terpikir, bagaimana bisa gumpalan tissue itu bersembunyi di sana. Di tempat yang tak semestinya. Benar-benar di luar nalar.Seketika khayalanku menerawang jauh. Bisa saja tissue itu adalah milik Sita yang dibawanya dari rumah lalu disimpan dalam kantong celana hotpants-nya.Kemudian ia memakainya untuk mengelap anggota tubuhnya yang basah oleh keringat, mengingat kamar itu tak ber-AC. Hanya kipas kecil saja yang menempel di dinding.Atau kemungkinan lainnya yaitu ....&nbs
Sampailah di rumah orang tuaku. Rumah masa kecilku dulu. Jarak dari rumahku ke sini tidaklah lebih dari lima kilometer, jadi bisa saja aku pulang sewaktu-waktu tanpa memberi tahu suamiku terlebih dahulu.Dio merasa bahagia bila menginap di sini. Karena ia sangat dimanja oleh kakek dan neneknya, begitupun sebaliknya. Orang tuaku selalu menanti-nanti kehadiran cucunya untuk menginap di sini."Della, Tedy mana? Kok nggak ikut?" tanya ibuku tiba-tiba mengagetkan lamunanku."Mm, anu Bu. Mas Tedy lagi nggak enak badan. Jadi tidak ikut," jawabku kikuk. Pikiranku buntuk tak bisa mencari alasan lain lagi."Lho, kok, ditinggal sendiri di rumah? Harusnya kamu ada di sana kalau si Tedy sakit, Del."Ibuku selalu mencemaskan menantunya itu, sedangkan aku sebagai anaknya hanya disuruh menurut kepada suami.
Tak kusangka ....Ternyata keadaan kamar itu kosong! Tak ada seorang pun di sana.Aneh sekali!Suara yang ditimbulkan itu ternyata hanyalah dari sebuah ponsel yang sedang memutar video 'film biru', dengan volume yang keras.Apa maksud ini semua? Ada apa ini? Kenapa ada ponsel di kamar ini. Lalu ponsel siapa itu?Ponsel 'Apel koyak' itu tampak familiar. Ah, seperti milik Mas Tedy? Tipe dan warnanya sama, hanya softcase-nya saja yang berbeda.Kumatikan video, lalu mengambil ponsel itu dan menyimpannya dalam tas. Ini adalah salah satu barang bukti dari misteri yang akhir-akhir ini membuatku berpikir keras siapa dalang di balik ini semua.Aku menyelinap dan melanjutkan penyelidikanku. Kini aku menuju kamar pribadi
["Halo, halo!"] Suara Mas Tedy di sana. Aku terdiam tak menjawabnya.Lalu panggilan itu putus ditutupnya. Sial! Bagaimana ini? Aku harus bisa mengungkap ini semua.Semakin lama, aku semakin lemas, perutku lapar dan berbunyi keroncongan. Akhirnya, kuputuskan untuk makan dahulu dengan membuat mie instan dari dapur. Setelah kenyang, aku kembali berbaring di sofa untuk memikirkan rencana apa yang mau kuperbuat.Mengingat aku sudah berpamitan untuk menginap di rumah Ibu, jadi mau tak mau sebelum Mas Tedy pulang, aku harus segera pergi dari sini.Kulihat dari tirai, rumah Sita gelap gulita. Hanya lampu teras yang menyala. Kira-kira dia ada di rumah atau sedang keluar bersama Mas Tedy tadi nggak ya?Karena penasaran, akhirnya aku putuskan untuk mengintipnya. Karena jendela dapur belakang rumah Sita belum
Lalu Mas Tedy tertawa. Seketika dari arah belakang, seseorang menyiramku air hingga basah kuyup."Aaarrgh!"Aku terkesiap. Netraku mengerjap cepat. Rupanya ini hanyalah mimpi. Sepertinya aku menyenggol laci hingga menumpahkan gelas plastik yang berisi air, hingga jatuh mengenai kepalaku.Huh, sungguh sial. Aku harus cepat-cepat bangun dan berganti pakaian.Ketika aku bangkit, Mas Tedy sedang tidur sambil mendengkur di atas ranjang. Dengkurannya sungguh keras, membuat kegaduhan kecil yang aku buat tak terdengar olehnya.Perlahan aku bergerak melewati tubuh Mas Tedy. Tiba-tiba, dia menggeliat dan mendapati diriku berada di atas tubuhnya. Ia langsung memelukku dengan mata masih terpejam. Aku masih terdiam, menunggu suamiku benar-benar terlelap kembali.Setelah beberapa menit, aku mencoba mengangkat pelan-pelan tangannya yang menindihku.
Lampu rumah Sita yang terang benderang, mendadak hampir setengahnya dipadamkan. Padahal, pria itu masih bertamu di rumah Sita. Wah, benar-benar menyeramkan, apa sebenarnya yang terjadi di sana?"Kamu lagi ngapain? Kok sampe ngintip segala kayak gitu?" tanya Mas Tedy, kepalanya ikutan nongol di bibir pintu."Sudahlah, Mas. Nggak usah ikut-ikutan deh. Aku aja yang ngerti. Intinya sekarang kamu jelasin padaku, ponsel siapa itu dan mengapa bisa sampai di kamar belakang? Titik!"Aku mengotot sampai hampir tersengal. Setelah meneguk air putih, aku bernafas lega kembali.Pandanganku fokus terarah pada wajah Mas Tedy. Ia merunduk tatkala aku mulai melotot padanya."Maaass! Woii! Jangan diem aja dong!" teriakku.Mas Tedy menghela napasnya. Seakan mau bicara serius padaku."Begini, ini bukan seperti yang kamu bayangk
🌱🌱🌱Sita membawa seorang pria yang tampak seumuran dengannya. Pria itu berpakaian rapi serta rambut yang klimis. Bau harum parfum keduanya menyeruak di penjuru ruangan."Kak Della, kenalin ini suamiku. Namanya Reino."Sita menyikut pria di sebelahnya, memberi isyarat agar berjabat tangan denganku. Aku masih tak percaya bila orang tersebut adalah benar suami Sita.Aku membalas jabatan si pria itu dengan senyum kaku. Agar si Sita menyadari bahwa kelakuannya masih salah di mataku."Sudah, tak usah berlama-lama. Mari kita langsung makan malam saja," tawar Mas Tedy.Anggukan serempak kedua tamuku itu sangat membuatku muak. Andai saja mereka tahu betapa menyebalkannya tetangga seperti dia, pasti mereka takkan berani menginjakkan kaki di sini."Ah, benar. Mari ke sebelah sini." Aku mempersilakan para tamuku menuju ke tempat
Kenapa Mas Tedy malah minta Sita dan suaminya ikut liburan? Ada apa gerangan?"Mas, sadar gak sih, yang kamu katakan itu?" tanyaku. Mas Tedy terdiam tak menjawab.Aku merebahkan diri dalam ranjang empuk, Mas Tedy ternyata sudah lebih dulu tertidur ternyata, pantas saja aku ajak ngobrol tak menyahut.Suara ponsel bergetar membangunkanku yang baru saja terpejam. Aku raih ponselku yang tergeletak di atas laci, tapi tak ada satupun panggilan atau notifikasi masuk.Ponsel siapa ini yang bergetar? Ah, pasti milik Mas Tedy. Terpaksa aku menunda dulu tidur malam ini, dan mencari-cari barang yang bergetar sedari tadi.Ponsel Mas Tedy ternyata tertindih badannya, haruskah aku mengambilnya?Tak lama aku mematung, duduk di atas ranjang. Menunggu Mas Tedy menggeliat dan merubah posisi tidurnya.Getaran sudah
🌱🌱🌱Sita membawa seorang pria yang tampak seumuran dengannya. Pria itu berpakaian rapi serta rambut yang klimis. Bau harum parfum keduanya menyeruak di penjuru ruangan."Kak Della, kenalin ini suamiku. Namanya Reino."Sita menyikut pria di sebelahnya, memberi isyarat agar berjabat tangan denganku. Aku masih tak percaya bila orang tersebut adalah benar suami Sita.Aku membalas jabatan si pria itu dengan senyum kaku. Agar si Sita menyadari bahwa kelakuannya masih salah di mataku."Sudah, tak usah berlama-lama. Mari kita langsung makan malam saja," tawar Mas Tedy.Anggukan serempak kedua tamuku itu sangat membuatku muak. Andai saja mereka tahu betapa menyebalkannya tetangga seperti dia, pasti mereka takkan berani menginjakkan kaki di sini."Ah, benar. Mari ke sebelah sini." Aku mempersilakan para tamuku menuju ke tempat
Lampu rumah Sita yang terang benderang, mendadak hampir setengahnya dipadamkan. Padahal, pria itu masih bertamu di rumah Sita. Wah, benar-benar menyeramkan, apa sebenarnya yang terjadi di sana?"Kamu lagi ngapain? Kok sampe ngintip segala kayak gitu?" tanya Mas Tedy, kepalanya ikutan nongol di bibir pintu."Sudahlah, Mas. Nggak usah ikut-ikutan deh. Aku aja yang ngerti. Intinya sekarang kamu jelasin padaku, ponsel siapa itu dan mengapa bisa sampai di kamar belakang? Titik!"Aku mengotot sampai hampir tersengal. Setelah meneguk air putih, aku bernafas lega kembali.Pandanganku fokus terarah pada wajah Mas Tedy. Ia merunduk tatkala aku mulai melotot padanya."Maaass! Woii! Jangan diem aja dong!" teriakku.Mas Tedy menghela napasnya. Seakan mau bicara serius padaku."Begini, ini bukan seperti yang kamu bayangk
Lalu Mas Tedy tertawa. Seketika dari arah belakang, seseorang menyiramku air hingga basah kuyup."Aaarrgh!"Aku terkesiap. Netraku mengerjap cepat. Rupanya ini hanyalah mimpi. Sepertinya aku menyenggol laci hingga menumpahkan gelas plastik yang berisi air, hingga jatuh mengenai kepalaku.Huh, sungguh sial. Aku harus cepat-cepat bangun dan berganti pakaian.Ketika aku bangkit, Mas Tedy sedang tidur sambil mendengkur di atas ranjang. Dengkurannya sungguh keras, membuat kegaduhan kecil yang aku buat tak terdengar olehnya.Perlahan aku bergerak melewati tubuh Mas Tedy. Tiba-tiba, dia menggeliat dan mendapati diriku berada di atas tubuhnya. Ia langsung memelukku dengan mata masih terpejam. Aku masih terdiam, menunggu suamiku benar-benar terlelap kembali.Setelah beberapa menit, aku mencoba mengangkat pelan-pelan tangannya yang menindihku.
["Halo, halo!"] Suara Mas Tedy di sana. Aku terdiam tak menjawabnya.Lalu panggilan itu putus ditutupnya. Sial! Bagaimana ini? Aku harus bisa mengungkap ini semua.Semakin lama, aku semakin lemas, perutku lapar dan berbunyi keroncongan. Akhirnya, kuputuskan untuk makan dahulu dengan membuat mie instan dari dapur. Setelah kenyang, aku kembali berbaring di sofa untuk memikirkan rencana apa yang mau kuperbuat.Mengingat aku sudah berpamitan untuk menginap di rumah Ibu, jadi mau tak mau sebelum Mas Tedy pulang, aku harus segera pergi dari sini.Kulihat dari tirai, rumah Sita gelap gulita. Hanya lampu teras yang menyala. Kira-kira dia ada di rumah atau sedang keluar bersama Mas Tedy tadi nggak ya?Karena penasaran, akhirnya aku putuskan untuk mengintipnya. Karena jendela dapur belakang rumah Sita belum
Tak kusangka ....Ternyata keadaan kamar itu kosong! Tak ada seorang pun di sana.Aneh sekali!Suara yang ditimbulkan itu ternyata hanyalah dari sebuah ponsel yang sedang memutar video 'film biru', dengan volume yang keras.Apa maksud ini semua? Ada apa ini? Kenapa ada ponsel di kamar ini. Lalu ponsel siapa itu?Ponsel 'Apel koyak' itu tampak familiar. Ah, seperti milik Mas Tedy? Tipe dan warnanya sama, hanya softcase-nya saja yang berbeda.Kumatikan video, lalu mengambil ponsel itu dan menyimpannya dalam tas. Ini adalah salah satu barang bukti dari misteri yang akhir-akhir ini membuatku berpikir keras siapa dalang di balik ini semua.Aku menyelinap dan melanjutkan penyelidikanku. Kini aku menuju kamar pribadi
Sampailah di rumah orang tuaku. Rumah masa kecilku dulu. Jarak dari rumahku ke sini tidaklah lebih dari lima kilometer, jadi bisa saja aku pulang sewaktu-waktu tanpa memberi tahu suamiku terlebih dahulu.Dio merasa bahagia bila menginap di sini. Karena ia sangat dimanja oleh kakek dan neneknya, begitupun sebaliknya. Orang tuaku selalu menanti-nanti kehadiran cucunya untuk menginap di sini."Della, Tedy mana? Kok nggak ikut?" tanya ibuku tiba-tiba mengagetkan lamunanku."Mm, anu Bu. Mas Tedy lagi nggak enak badan. Jadi tidak ikut," jawabku kikuk. Pikiranku buntuk tak bisa mencari alasan lain lagi."Lho, kok, ditinggal sendiri di rumah? Harusnya kamu ada di sana kalau si Tedy sakit, Del."Ibuku selalu mencemaskan menantunya itu, sedangkan aku sebagai anaknya hanya disuruh menurut kepada suami.
Tiga buah gumpalan tissue yang sudah gepeng tertindih kasur, akhirnya aku bersihkan dengan sapu.Beberapa diataranya terdapat noda di permukaan tissue itu. Saking jijiknya, sampai cepat-cepat kubuang dalam sampah.Nafasku tak karuan, keringat dingin mulai mengucur deras di tengkuk.Dalam benakku terpikir, bagaimana bisa gumpalan tissue itu bersembunyi di sana. Di tempat yang tak semestinya. Benar-benar di luar nalar.Seketika khayalanku menerawang jauh. Bisa saja tissue itu adalah milik Sita yang dibawanya dari rumah lalu disimpan dalam kantong celana hotpants-nya.Kemudian ia memakainya untuk mengelap anggota tubuhnya yang basah oleh keringat, mengingat kamar itu tak ber-AC. Hanya kipas kecil saja yang menempel di dinding.Atau kemungkinan lainnya yaitu ....&nbs
Aku menelisik masuk ke kamar yang pintunya terbuka lebar. Aih, alangkah terkejutnya diriku mendapati Sita berada di sana. Ia tampak baru selesai keluar dari toilet yang ada di dalamnya."Hei, kamu! Masuk kamar orang tanpa ijin!" bentakku pada Sita yang berdiri di depan pintu toilet. Tampak ia sedang mengelap betisnya yang basah, tanpa rasa bersalah ia meringis padaku dengan wajah innocent-nya."Kamu habis ngapain itu, Sit? Kok, tahu kamar ini ada toiletnya?" imbuhku sambil berkacak pinggang."Emm, itu aku nebak sendiri, sih. Karena aku sudah kebelet buang air kecil. Tanpa kusadari masuk dalam kamarmu yang tampak bagus ini. Lalu, aku lihat ada toilet di dalamnya, akhirnya masuk, deh.""Ah, alasan aja kamu, Sit. Bilang aja kamu--."Mas Tedy tiba-tiba terbangun. Ia tertegun melihatku bersama wanita super sek