Air mata Leandra luruh tak tertahankan lagi sejak beberapa saat yang lalu setelah Rendra pergi meninggalkan kamar mereka. Dia sekarang tahu kalau berbagi suami itu berat, tapi kenapa dia tetap mencoba untuk bertahan?Selama sepersekian detik lamanya Leandra merasa ragu-ragu, haruskah dia bercerita tentang bebannya kepada Ivana?Leandra menghilang nafas, dia merasa belum siap untuk menceritakan tentang pernikahan kedua Rendra kepada sang tante. Jujur saja Leandra belum siap seandainya Ivana mengusulkan perceraian di antara dia dan sang suami.Karena perpisahan sekilas terlihat mudah untuk dilakukan, tapi Leandra juga tidak ingin gegabah karena dia tidak memiliki kedua orang tua yang sanggup menjadi pegangan hidupnya jika dia benar-benar berpisah dari Rendra.Apa yang harus aku lakukan, batin Leandra dalam hatinya.Malam pun merayap turun, Leandra tidak sempat berlama-lama memikirkan Rendra karena dia harus menyusun rencana untuk masa depannya yang masih abu-abu.Sekilas dia ter
Sejak pertengkaran mereka yang terakhir itu, Leandra bersikap jauh lebih formal terhadap suaminya. Sulit untuk menjelaskan apa yang kini menjangkiti hati dan pikiran Rendra, karena tuntutan untuk membagi segalanya kepada dua istri yang sama-sama sah dia nikahi. Widi yang melihat sikap Leandra terhadap Rendra, jadi bisa menilai kalau hubungan keduanya mulai ad kerenggangan yang tercipta. “Kenapa istri kamu?” tanya Widi setelah Leandra berangkat kerja. “Apa yang terjadi?” Rendra menggeleng dan menjawab, “Nggak ada apa-apa.” Widi melirik Irawan yang baru saja selesai sarapan. “Ibu mau usul, Ren. Nanti kalau kandungan Silvi sudah tujuh bulan lebih, bagaimana kalau kamu boyong dia ke rumah ini?” tanya Widi, nadanya justru lebih mirip dengan keharusan yang tidak bisa dibantah. “Nggak perlu, Bu. Silvi kan sudah ada rumah,” jawab Rendra tidak setuju. “Aku nggak mau Lea sama Silvi tinggal seatap, bisa repot urusannya!” Widi menunjukkan ekspresi tidak setuju. “Justru kalau mereka tingga
Leandra terperanjat ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rendra.“Jangan ngawur!” tukas Widi dengan mata melotot ke arah sang putra. “Kamu tidak mungkin mau memisahkan Silvi dari bayinya kan?”“Tergantung,” kata Rendra. “Kalau ibu berencana memboyong Silvi ke rumah ini, aku nggak setuju.”“Terus kalau Silvi lahiran, bagaimana?” tanya Widi gelisah seakan cucunya akan lahir hari itu juga.“Biar aku yang datang ke sana,” jawab Rendra kalem. “Lahirannya Silvi kan masih lama, nggak perlu kita pikirkan sekarang.”Leandra cepat-cepat berjingkat pergi menuruni anak tangga sebelum Rendra keluar dari kamar Widi, bisa gawat kalau mereka tahu bahwa Leandra sempat mendengar pembicaraan mereka.Begitu tiba di dapur, Leandra segera menyeduh secangkir kopi sembari memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah ini. Dari cara Widi bersikap akhir-akhir ini kepadanya, Leandra bisa merasakan betapa tidak sukanya sang mertua terhadap dirinya.Memangnya aku salah apa, batin Leandra dengan
Rendra terperanjat ketika Leandra sudah berdiri tepat di depan matanya.“Lea, sejak kapan kamu ada di situ?”“Jawab saja pertanyaan aku, Mas.” Leandra memotong ucapan suaminya. “Kamu rela mengurangi nafkah aku demi istri kedua kamu?”“Bukan maksudku begitu, Lea!” Rendra gelagapan. “Aku bisa jelaskan sama kamu, jadi saat itu mendadak sekali! Silvi berutang sama temannya dan aku diminta ibu untuk menggantinya sekalian transfer nafkah dia—aku akan ganti potongan itu, Lea. Utuh, aku janji!”Leandra menatap Rendra tanpa berkata apa-apa lagi, apa yang suaminya lakukan itu telah menodai kepercayaannya.“Jadi ini yang kamu bilang adil, Mas?” tanya Leandra sambil tersenyum hampa. “Aku nggak peduli alasannya apa, kamu sudah betul-betul bikin aku kecewa untuk kesekian kalinya.”“Lea, dengarkan aku dulu!” bujuk Rendra. “Aku nggak ada niat sedikitpun untuk memotong nafkah bulanan kamu atau apa, aku cuma mengambilnya sebagian! Setelah itu aku akan menggantinya, aku bersumpah!”Leandra menari
“Mas, jangan seperti ini ... malu!” bisik Leandra sambil menarik Rendra menjauh. “Kita bisa bicarakan ini baik-baik, lagian kamu sendiri yang kasih izin sama aku ....”“Tapi kamu nggak pernah bilang sama aku kalau kamu jadi tukang bersih-bersih di tempat orang!” potong Rendra keras, membuat Ibnu menoleh ke arah pasangan suami istri itu.“Ada apa, Bu Lea?” tanya Ibnu dari dalam pos.“Tidak apa-apa, Pak!” sahut Leandra sambil menggeleng, setelah itu dia kembali menatap Rendra. “Aku mohon sama kamu, Mas ... kita bisa bicarakan ini di rumah nanti, tolong jangan bikin ribut di kantor bosku!”“Mana bos kamu? Aku mau bicara!” kata Rendra sambil melangkah maju.“Buat apa sih, Mas?” cegah Leandra seraya menahan Rendra. “Malu kalau sampai ribut-ribut ....”“Aku lebih malu lagi lihat kamu jadi tukang bersih-bersih!” sentak Rendra dengan mata menyipit. “Aku harus bertemu sama bos kamu ....”“Ada apa ini?” Suara seorang pria menengahi keributan itu dan mereka berdua menoleh.“Pak Tian?” uc
Rendra terpaku mendengar permintaan Leandra.“Sudah berapa kali aku bilang kalau aku nggak mau cerai sama kamu?” tukasnya tajam.Leandra menghela napas.“Kamu egois,” katanya sambil menahan nyeri dalam hati. “Apa yang kamu dapatkan dari tetap mempertahankan pernikahan kita? Apa, Mas?”Rendra tidak segera menjawab, di lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih sangat mencintai Leandra.“Kamu selalu minta dimengerti, tapi nggak pernah mau mengerti aku.” Leandra melanjutkan. “Aku akan tetap kerja di tempat Pak Tian. Kalau sampai kamu mempermalukan aku lagi seperti hari ini, aku akan gugat cerai kamu.”Rendra menyipitkan matanya. “Kamu mengancam aku?” Leandra menggeleng dan menyahut tenang, “Aku nggak mengancam, aku Cuma menunjukkan prinsipku. Dan aku nggak main-main, aku akan gugat cerai kamu kalau kamu melarang aku kerja sedangkan di sisi lain kamu nggak memenuhi kewajiban kamu sebagai suami.”Rendra mati kutu, dia benar-benar telah kehilangan Leandra yang penurut. Kini istri
Rendra dan Widi menghentikan perdebatan mereka ketika leandra muncul dan melewati keduanya.“Lea, kenapa baru pulang?” tegur Rendra.“Nggak apa-apa, mas!” jawab Leandra, pura-pura tidak mendengar percakapan mertua dan suami sebelumnya.“Yang tadi bagaimana?” tanya Widi ingin tahu. “Jangan sekarang, Bu.” Rendra menggeleng sambil berjalan menyusul Leandra ke kamar mereka.Leandra baru saja membuka pakaian ketika Rendra melangkah masuk, cepat-cepat dia mengenakannya kembali sebelum sang suami tiba.“Kok nggak ketuk pintu dulu sih, Mas?” protes Leandra sambil mengancingkan atasan yang dikenakannya.Rendra berkerut ketika mendengar ucapan Leandra.“Memangnya kenapa, aku ini kan suami kamu.” Rendra mengingatkan. “Ganti baju saja harus sembunyi-sembunyi begini, bikin curiga orang saja.”Leandra memilih diam dan tidak menanggapi. “Kamu tadi dengar apa yang ibu katakan, nggak?” tanya Rendra lagi.“Enggak,” jawab Leandra pura-pura tidak tahu. “Aku agak capek karena pulang kesorean
Rendra menoleh ketika mendengar pertanyaan Tian kepada istrinya. “Oh, memangnya kita mau ke mana Pak?” tanya Leandra ingin tahu. “Hari ini Bu Dini tidak masuk, sedangkan saya butuh orang untuk bersih-bersih di klinik.” Tian menjelaskan. Sebelum Leandra sempat menjawab, tiba-tiba Rendra menyala pembicaraan mereka. “Maksud Anda mengajak istri saya buat apa ya?” Tian melirik ke arah Rendra dengan sorot matanya yang setajam elang. “Bukankah tadi saya sudah katakan, kalau saya butuh orang untuk bersih-bersih di klinik?” ucap Tian mengulang jawabannya. Menyadari ada hawa-hawa tidak enak yang tercipta di antara Tian dan juga Rendra, Leandra buru-buru menengahi. “Baik Pak, saya akan ikut Bapak!” Sontak Rendra langsung menoleh ke arah istrinya dan melayangkan protes, “Kamu kok malah ikut dia?” “Mas, aku kerja!” desis Leandra sambil menatap Rendra dengan sorot mata memperingatkan. “Kita sudah sepakat kan?” “Aku ...” Rendra terpaku. “Leandra, saya tidak punya banyak waktu.” Tian mengi