Leandra terperanjat ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rendra.“Jangan ngawur!” tukas Widi dengan mata melotot ke arah sang putra. “Kamu tidak mungkin mau memisahkan Silvi dari bayinya kan?”“Tergantung,” kata Rendra. “Kalau ibu berencana memboyong Silvi ke rumah ini, aku nggak setuju.”“Terus kalau Silvi lahiran, bagaimana?” tanya Widi gelisah seakan cucunya akan lahir hari itu juga.“Biar aku yang datang ke sana,” jawab Rendra kalem. “Lahirannya Silvi kan masih lama, nggak perlu kita pikirkan sekarang.”Leandra cepat-cepat berjingkat pergi menuruni anak tangga sebelum Rendra keluar dari kamar Widi, bisa gawat kalau mereka tahu bahwa Leandra sempat mendengar pembicaraan mereka.Begitu tiba di dapur, Leandra segera menyeduh secangkir kopi sembari memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah ini. Dari cara Widi bersikap akhir-akhir ini kepadanya, Leandra bisa merasakan betapa tidak sukanya sang mertua terhadap dirinya.Memangnya aku salah apa, batin Leandra dengan
Rendra terperanjat ketika Leandra sudah berdiri tepat di depan matanya.“Lea, sejak kapan kamu ada di situ?”“Jawab saja pertanyaan aku, Mas.” Leandra memotong ucapan suaminya. “Kamu rela mengurangi nafkah aku demi istri kedua kamu?”“Bukan maksudku begitu, Lea!” Rendra gelagapan. “Aku bisa jelaskan sama kamu, jadi saat itu mendadak sekali! Silvi berutang sama temannya dan aku diminta ibu untuk menggantinya sekalian transfer nafkah dia—aku akan ganti potongan itu, Lea. Utuh, aku janji!”Leandra menatap Rendra tanpa berkata apa-apa lagi, apa yang suaminya lakukan itu telah menodai kepercayaannya.“Jadi ini yang kamu bilang adil, Mas?” tanya Leandra sambil tersenyum hampa. “Aku nggak peduli alasannya apa, kamu sudah betul-betul bikin aku kecewa untuk kesekian kalinya.”“Lea, dengarkan aku dulu!” bujuk Rendra. “Aku nggak ada niat sedikitpun untuk memotong nafkah bulanan kamu atau apa, aku cuma mengambilnya sebagian! Setelah itu aku akan menggantinya, aku bersumpah!”Leandra menari
“Mas, jangan seperti ini ... malu!” bisik Leandra sambil menarik Rendra menjauh. “Kita bisa bicarakan ini baik-baik, lagian kamu sendiri yang kasih izin sama aku ....”“Tapi kamu nggak pernah bilang sama aku kalau kamu jadi tukang bersih-bersih di tempat orang!” potong Rendra keras, membuat Ibnu menoleh ke arah pasangan suami istri itu.“Ada apa, Bu Lea?” tanya Ibnu dari dalam pos.“Tidak apa-apa, Pak!” sahut Leandra sambil menggeleng, setelah itu dia kembali menatap Rendra. “Aku mohon sama kamu, Mas ... kita bisa bicarakan ini di rumah nanti, tolong jangan bikin ribut di kantor bosku!”“Mana bos kamu? Aku mau bicara!” kata Rendra sambil melangkah maju.“Buat apa sih, Mas?” cegah Leandra seraya menahan Rendra. “Malu kalau sampai ribut-ribut ....”“Aku lebih malu lagi lihat kamu jadi tukang bersih-bersih!” sentak Rendra dengan mata menyipit. “Aku harus bertemu sama bos kamu ....”“Ada apa ini?” Suara seorang pria menengahi keributan itu dan mereka berdua menoleh.“Pak Tian?” uc
Rendra terpaku mendengar permintaan Leandra.“Sudah berapa kali aku bilang kalau aku nggak mau cerai sama kamu?” tukasnya tajam.Leandra menghela napas.“Kamu egois,” katanya sambil menahan nyeri dalam hati. “Apa yang kamu dapatkan dari tetap mempertahankan pernikahan kita? Apa, Mas?”Rendra tidak segera menjawab, di lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih sangat mencintai Leandra.“Kamu selalu minta dimengerti, tapi nggak pernah mau mengerti aku.” Leandra melanjutkan. “Aku akan tetap kerja di tempat Pak Tian. Kalau sampai kamu mempermalukan aku lagi seperti hari ini, aku akan gugat cerai kamu.”Rendra menyipitkan matanya. “Kamu mengancam aku?” Leandra menggeleng dan menyahut tenang, “Aku nggak mengancam, aku Cuma menunjukkan prinsipku. Dan aku nggak main-main, aku akan gugat cerai kamu kalau kamu melarang aku kerja sedangkan di sisi lain kamu nggak memenuhi kewajiban kamu sebagai suami.”Rendra mati kutu, dia benar-benar telah kehilangan Leandra yang penurut. Kini istri
Rendra dan Widi menghentikan perdebatan mereka ketika leandra muncul dan melewati keduanya.“Lea, kenapa baru pulang?” tegur Rendra.“Nggak apa-apa, mas!” jawab Leandra, pura-pura tidak mendengar percakapan mertua dan suami sebelumnya.“Yang tadi bagaimana?” tanya Widi ingin tahu. “Jangan sekarang, Bu.” Rendra menggeleng sambil berjalan menyusul Leandra ke kamar mereka.Leandra baru saja membuka pakaian ketika Rendra melangkah masuk, cepat-cepat dia mengenakannya kembali sebelum sang suami tiba.“Kok nggak ketuk pintu dulu sih, Mas?” protes Leandra sambil mengancingkan atasan yang dikenakannya.Rendra berkerut ketika mendengar ucapan Leandra.“Memangnya kenapa, aku ini kan suami kamu.” Rendra mengingatkan. “Ganti baju saja harus sembunyi-sembunyi begini, bikin curiga orang saja.”Leandra memilih diam dan tidak menanggapi. “Kamu tadi dengar apa yang ibu katakan, nggak?” tanya Rendra lagi.“Enggak,” jawab Leandra pura-pura tidak tahu. “Aku agak capek karena pulang kesorean
Rendra menoleh ketika mendengar pertanyaan Tian kepada istrinya. “Oh, memangnya kita mau ke mana Pak?” tanya Leandra ingin tahu. “Hari ini Bu Dini tidak masuk, sedangkan saya butuh orang untuk bersih-bersih di klinik.” Tian menjelaskan. Sebelum Leandra sempat menjawab, tiba-tiba Rendra menyala pembicaraan mereka. “Maksud Anda mengajak istri saya buat apa ya?” Tian melirik ke arah Rendra dengan sorot matanya yang setajam elang. “Bukankah tadi saya sudah katakan, kalau saya butuh orang untuk bersih-bersih di klinik?” ucap Tian mengulang jawabannya. Menyadari ada hawa-hawa tidak enak yang tercipta di antara Tian dan juga Rendra, Leandra buru-buru menengahi. “Baik Pak, saya akan ikut Bapak!” Sontak Rendra langsung menoleh ke arah istrinya dan melayangkan protes, “Kamu kok malah ikut dia?” “Mas, aku kerja!” desis Leandra sambil menatap Rendra dengan sorot mata memperingatkan. “Kita sudah sepakat kan?” “Aku ...” Rendra terpaku. “Leandra, saya tidak punya banyak waktu.” Tian mengi
Di dalam kantor, Leandra cepat-cepat meraih tasnya dan keluar dari kantor.“Mas, ngapain teriak-teriak?” Leandra melayangkan protes ketika dia sudah berhadapan dengan suaminya.“Tadi mencari Ibu,” sahut Ibnu memberi tahu.“Maaf ya, Pak?” ucap Leandra menahan malu. “Saya permisi pulang ....”“Silakan, Bu!” sahut Ibnu ramah.Rendra tidak menunjukkan tanda-tanda merasa bersalah kepada istrinya.“Harus ya kamu teriak-teriak seperti tadi?” tanya Leandra dengan wajah masam.“Aku nggak lihat bos kamu, di mana dia?” tanya Rendra balik.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Mas!” tegur Leandra seraya menyandarkan punggungnya. “Aku benar-benar nggak suka sama cara kamu bersikap, padahal seharusnya aku yang lebih pantas marah ke perempuan yang tiba-tiba jadi istri kedua kamu. Aku tuh hampir kehilangan pekerjaan, tahu nggak? Untung Pak Tian orangnya baik ....”“Kamu lebih khawatir kehilangan pekerjaan kamu daripada aku?” tanya Rendra tak percaya.“Aku memang sudah kehilangan kamu sejak perem
Leandra sudah membulatkan tekadnya, tapi Rendra juga tidak kurang akal untuk membujuk sang istri yang sedang dikuasai amarah. “Lea, dengarkan aku dulu!” ucap Rendra sambil menahan langkah istrinya. “Apa lagi sih, Mas?” tukas Leandra gusar. “Kamu sudah memilih kan, jadi biarkan aku sama pilihan aku sendiri!” “Aku nggak bisa tanpa kamu!” tegas Rendra sambil meraup wajah Leandra dengan kedua tangannya. “Aku sedang berusaha adil, demi kamu dan masa depan kita ....” “Nggak ada gunanya, sudah ada Silvi kan?” potong Leandra dengan bahu naik turun menahan emosi. “Masa depan kamu sudah ada sama dia dan calon anak kalian.” “Dengarkan aku,” kata Rendra dengan nada memaksa. “Aku Cuma akan memantau Silvi dari jauh dan nggak akan mengabaikan kamu, ibu bilang ini cuma sementara saja. Kalau kandungan Silvi sudah nggak ada masalah lagi, aku akan pulangkan dia ke tempatnya semula.” Leandra terdiam dengan napas memburu. “Kalau kamu ke rumah Tante Ivana, kamu mau alasan apa?” Rendra melanjutkan. “