Bab 72'Sura langkah dari arah belakang membuat obrolan kami terhenti. Aku menoleh ke belakang dimana beberapa orang tergesa mendekat."Bu Mina, Mbak Indira, bukankah ini suaminya. Tadi kami menemukan lelaki itu di post depan gang. Sepertinya sedang kesakitan. Sementara saya melihat ada poto Mbak Indira di dompetnya." Aku dan ibu mengangguk spontan, dan saling memandang, kemudian menatap lelaki itu yang terlihat menggigil.Belum sempat berbicara, mereka membawa Mas Agung ke dalam rumah."Ya ampun, ada apa dengan Agung, Indi." Ibu terlihat khawatir lalu menyusul mereka masuk. Sementara aku mengikuti di belakangnya dengan perasaan campur aduk. Hatiku terus bertanya-tanya tentang keberadaan Mas Agung di desa ini.Sedang apa lelaki itu sebenarnya. Apakah dia sengaja mencariku dan Adi ke sini, atau hanya kebetulan saja, atau mungkin dia hendak bertemu dengan orang lain? Entah kenapa pikiranku dipenuhi dengan berbagai t
Bab 73"Ya Tuhan, Apa yang terjadi padamu, Mas? Kenapa aku sangat takut sesuatu yang buruk akan menimpamu." Kupandangi lelaki itu yang memejamkan matanya, dengan setetes air bening jatuh di sudut pipinya, membuatku merasa tak tega. Namun demikian, aku tidak bisa berbuat banyak saat ini.Dari arah luar, terdengar suara langkah kaki dan teriakan Adi yang langsung masuk ke indera pendengaranku. Aku dan ibu langsung menoleh ke arah pintu dimana orang yang tak kuduga, tengah berdiri di sana dengan wajah sulit diartikan."Ibu, lihat siapa yang datang?" Adi berdiri bersisian dengan lelaki yang beberapa waktu ini kurindukan. Yuda berdiri mematung di tempatnya."Ayah?" ucap Adi dengan suara pelan. Menatap pada lelaki yang masih berbaring di sofa."Yu-Yuda, kamu disini?" ucapku gugup. Aku terpaku di tempatku dengan tanganku dan Mas Agung masih saling bertautan. Sementara lelaki itu menatap dengan matanya yang memerah. Entahlah, Yuda masih membisu di tempatnya, dan seketika berbalik menin
Bab 74Hari beranjak malam. Keadaan Mas Agung tidak juga berubah, malah lelaki itu semakin menggigil seperti kedinginan dan bahkan sampai saat ini kesadarannya hampir hilang. Lelaki itu sama sekali tidak merespon, meskipun aku dan ibu mencoba untuk menyadarkannya.Adi yang berhasil kubujuk ikut mendekati ayahnya dan memeluk lelaki itu yang seperti kesakitan, entah menahan apa. Anak itu terus terisak dan memanggil-manggil nama ayahnya.Sudah beberapa saat yang lalu, aku menelepon teman, bahkan tetangga yang punya kendaraan agar bisa membawa Mas Agung ke rumah sakit. Mengingat kondisinya yang mengkhawatirkan, aku takut jika sampai terlambat, kondisinya akan sangat parah dan yang lebih buruk lagi dia tidak dapat diselamatkan."Kamu masih belum juga mendapatkan mobilnya, Indira?" Aku menggeleng lemah, menatap ke arah ibu. Di desa memang sangat jarang sekali orang yang mempunyai kendaraan roda empat, hanya beberapa orang saja yang punya mobil dan biasanya itupun dipakai ke kota untuk be
Bab 75"Apa tidak sebaiknya kamu menghubungi keluarganya, mengingat kondisi Agung saat ini, bapak tidak yakin kalau lelaki itu akan bertahan, lagipula mereka berhak tahu kondisi anaknya.""Bapak benar." Aku segera menghentikan tangisku. Ucapannya benar, mengapa aku sampai lupa untuk menghubungi keluarga Mas Agung. Walau bagaimanapun ayah dan ibu mertua berhak tahu akan keadaan anaknya saat ini."Kuatkan hatimu menerima cobaan ini. Mungkin ini sudah takdir yang harus dijalani oleh suamimu, tapi bapak yakin jika suamimu adalah orang yang baik." Aku mengangguk lagi membenarkan apa yang lelaki di depanku ini ucapkan. Mas Agung sebenarnya adalah orang dan suami yang baik, hanya saja mungkin pergaulan dan caranya hidup dan masuk ke dalam pergaulan salah, hingga dalam waktu singkat dia langsung terjerat dalam dunia hitam dan penyakit mematikan ini. Sesuatu hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, yang sampai saat ini, ayah ibunya Zahra belum juga ditemukan. Sebagai orang yang iku
Bab 76Setiap manusia membawa takdirnya masing-masing. Hidup mati semua sudah digariskan oleh yang kuasa. Begitu pun dengan Mas Agung, yang pada akhirnya menyerah pada takdirnya. Lelaki itu meninggal tepat ketika aku melafalkan doa-doa di telinganya.Mas Agung meninggal. Menyisakan kesedihan pada orang-orang yang ditinggalkannya. Termasuk padaku, Adi, orang tua dan seluruh kerabat. Tidak ada yang menyangka lelaki berusia 36 tahun tersebut harus kembali kepada sang pencipta, dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.Wajah Yuda yang marah karena aku menghindarinya dan terpaksa memilih pergi untuk menenangkan diri ke kampung halaman, hadir saat pemakaman tiba. Lelaki itu menghampiri dan terus mencoba untuk menenangkan Adi yang bersedih, dan tidak mau menghentikan tangisan di depan pusara Mas Agung yang telah tertimbun tanah."Maafkan aku, Mbak, aku tidak tahu jika pada akhirnya–""Sudahlah, Yud, ini bukan salahmu. Lagi pula kamu tidak melakukan kesalahan apapun," kataku sambil meningg
Bab 77Pada akhirnya setelah memikirkan keadaan yang terjadi, aku memutuskan untuk menerima Yuni bekerja di tempatku. Selain alasan kemanusiaan, aku juga merasa kasihan padanya. Hidup tanpa orang tua, dengan dua anak dan tanpa suami, tentu saja membuat wanita itu merasa sedih dan kekurangan biaya. Setidaknya aku yang tidak bisa memberi apa-apa, bisa menawarkan pekerjaan yang halal untuknya. Agar mereka juga tidak kesulitan untuk bertahan hidup. Selain itu, Adi juga jadi punya teman, yaitu Dea yang setiap hari selalu mengajaknya bermain dan belajar bersama, sambil mengasuh bayi kecil yang menurut Yuni usianya baru menginjak tiga bulan. Bayi kecil yang lucu, yang bentuk wajah dan hidung serta bibirnya mirip dengan Mas Agung dan Adi. Sesekali kupandangi mereka yang tampak asik dengan bercanda sambil memainkan permainan. Dan tanpa terasa aku terharu melihat ketiganya, yang sama-sama tidak memiliki ayah, dan hanya memiliki seorang ibu yang single parent sepertiku dan juga Yuni. Bed
Bab 78Aku menatap Andreas tak percaya saat ini, mendengar apa yang dituturkan oleh mulutnya barusan. Ternyata penyakit Amira memang tertular dari ibunya sendiri."Gaya hidup Winda yang kelewat batas dan jauh dari hal-hal baik, menyebabkan Amira terkena dampaknya. Wanita itu selain gemar mabuk-mabukan juga sangat gemar sekali merokok, bahkan berbungkus-bungkus rokok dihabiskan dalam waktu satu hari tanpa henti. Wanita itu juga sering begadang dan kumpul-kumpul dengan teman-temannya yang tidak berguna itu, dibandingkan bersama dengan anak dan suaminya di rumah." Kelihatan tangan Andreas mengepal kuat saat menuturkannya. Mungkin dia masih menyimpan kekesalan kepada wanita yang bernama Winda barusan."Oh ya, ngomong-ngomong dimana wanita itu sekarang? Apakah kalian sudah berpisah?""Dia meninggal karena overdosis saat pesta minuman di salah satu hotel mewah bersama teman-temannya. ketika itu, Amira baru berusia 2 bulan. Winda sering marah dan stres karena berat badannya naik drastis.
Bab 79Angin dingin berhembus di penghujung bulan September, saat terdengar suara ketukan pintu dari arah depan, dan mau tak mau membuatku harus membukanya."Ada paket, Bu." Seorang kurir mengangsurkan bingkisan dan sebuket bunga mawar."Tapi aku merasa tidak memesannya, Mas." Jujur aku merasa heran tiba-tiba mendapat mawar sepagi ini dengan bingkisan yang dibawanya. Lelaki yang tengah mengenakan jas hujan dan helm itu, hanya tersenyum menatap ke arahku. Senyum polos yang cukup menggemaskan. "Saya hanya disuruh untuk mengantar, silakan diterima.""Baiklah." Akhirnya dengan terpaksa kuterima bingkisan itu dan buru-buru segera masuk ke dalam rumah, karena udara dingin dari rintik air hujan membasahi tubuhku yang saat ini tidak mengenakan payung. Kuletakkan bingkisan itu di atas meja, sebelum akhirnya membuka sweater dan kerudung yang kupakai barusan, karena basahnya hampir menembus ke dalam kulit kepalaku.Rupanya mawar putih itu dikirim oleh Andreas. [Selamat ulang tahun, Indira. K