Bab 68
Mendung menghiasi langit kota tengah hari ini. Sepanjang perjalanan aku tidak membuka suara dan lebih membiarkan Yuda berceloteh riang bersama dengan Adi. Sesekali juga ibu menanggapi ucapan lelaki itu. Beberapa kali juga Yuda melirik ke arahku namun aku berusaha untuk bersikap setenang mungkin, agar jangan sampai membuat lelaki itu berpikiran hal yang aneh padaku.Setelah berkendara beberapa saat, akhirnya kami sampai di halaman rumahku. Andreas dan Amara sudah tidak ada disana. Ketika pintu gerbang terbuka otomatis, Yuda segera menggendongku dan membawaku masuk ke dalam kamar. Dia merebahkanku dengan hati-hati dan menatap intens saat aku sudah berbaring di atas tempat tidur."Sikapmu lebih dingin dibanding ketika kita hendak pergi untuk makan. Apakah ada sesuatu yang mengganjal hatimu?" tanya Yuda dengan tatapan mata penuh ke arahku. Kami berpandangan cukup lama hingga aku memalingkan sedikit muka."Tidak adaBab 69Kupandangi langit yang terlihat biru. Hari ini cuaca cukup cerah meski sesekali matahari tertutup awan yang berlarian."Kenapa Yuda belum juga datang ya, bukankah jadwal kontrolnya sekitar lima belas menit lagi." Ibu yang berdiri disampingku melirik sekilas ke arah jam dinding yang bertengger di ruang tamu. Akupun tidak mengerti padahal sudah dari satu jam yang lalu Yuda mengatakan padaku akan mengantarku untuk control. Tapi ini sudah satu jam menunggu, bahkan batang hidungnya tidak kelihatan. Sebenarnya bisa saja aku pergi dengan orang lain, tapi tadi Yuda bersikeras mengatakan kalau dia akan membawaku untuk kontrol.Sebuah sedan hitam berhenti di halaman seketika seorang lelaki yang tinggi berwibawa dengan seorang gadis kecil di sampingnya turun dan tersenyum lebar ke arahku. Tak lama kemudian keduanya mendekat."Mama Indira." Eh, 'mama' katanya. Sejak kapan kata itu tersemat dalam panggilannya. Amara menghambur dan langsung me
Bab 70"Aku sudah berulang kali memperingatkanmu agar kamu menjauhi lelaki itu dan tidak terlalu banyak berinteraksi dengannya." Yuda bicara dengan wajah dinginnya. Aku menatap ke samping dimana saat ini kami tengah dalam perjalanan pulang ke rumah. Tadi, Yuda dan Andreas bersitegang karena merasa paling berhak untuk mengantarku pulang. Dan lelaki inilah pemenangnya."Kamu tahu kan kalau Andrean bersikeras mengantar. Tadi, dia sudah tiba di halaman dan memaksa untuk mengajak pergi. Mbak tidak bisa menolaknya karena tidak enak, lagi pula Amara langsung bergelayut manja. Dia-""Jangan terlalu polos, Mbak. Banyak orang yang baik di depannya saja namun kita tidak tahu apa yang dilakukan dan berniat buruk di belakangmu. Kamu harus tetap waspada, jangan mentang-mentang lelaki itu kamu anggap orang yang baik, lantas kamu mengiyakan saja segala ajakannya.""Kenapa kamu lagi-lagi marah seperti itu, Yud? Coba kamu sekali saja berdiri di posisi mbak, pasti kamu pun tidak bisa menolak permintaan
Bab 71Aku masih berdiri di teras ambil memperhatikan mobil Yuda yang tidak juga melaju pergi. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, hingga lelaki itu masih enggan beranjak namun dengan kaca mobil yang tertutup rapat. Entah dia tengah memikirkan apa saat ini, atau entah dia mungkin tengah kesal dan marah atas apa yang kukatakan tadi, kalau aku ingin sendiri tanpa Yuda yang mengganggu hari-hariku. Aku memang butuh ruang sendiri tanpa dia di sampingku, karena melihatnya semakin lama aku semakin ketakutan sendiri, ketika Yuda yang terus-terusan naik darah dan seperti tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah kegagalan pernikahanku dan setelah Mas Agung pergi dari hidupku, banyak sekali hal yang kujalani dengan tidak mudah. Termasuk beberapa kecelakaan yang disengaja hingga membuatku seperti sekarang ini. Ditambah dengan emosi Yuda yang selalu meluap-luap, aku merasa kurang nyaman dan aku merasa sedikit tersiksa. Itu mengingatkanku pada luka luka lama yang kudapat dari Mas Agung dan
Bab 72'Sura langkah dari arah belakang membuat obrolan kami terhenti. Aku menoleh ke belakang dimana beberapa orang tergesa mendekat."Bu Mina, Mbak Indira, bukankah ini suaminya. Tadi kami menemukan lelaki itu di post depan gang. Sepertinya sedang kesakitan. Sementara saya melihat ada poto Mbak Indira di dompetnya." Aku dan ibu mengangguk spontan, dan saling memandang, kemudian menatap lelaki itu yang terlihat menggigil.Belum sempat berbicara, mereka membawa Mas Agung ke dalam rumah."Ya ampun, ada apa dengan Agung, Indi." Ibu terlihat khawatir lalu menyusul mereka masuk. Sementara aku mengikuti di belakangnya dengan perasaan campur aduk. Hatiku terus bertanya-tanya tentang keberadaan Mas Agung di desa ini.Sedang apa lelaki itu sebenarnya. Apakah dia sengaja mencariku dan Adi ke sini, atau hanya kebetulan saja, atau mungkin dia hendak bertemu dengan orang lain? Entah kenapa pikiranku dipenuhi dengan berbagai t
Bab 73"Ya Tuhan, Apa yang terjadi padamu, Mas? Kenapa aku sangat takut sesuatu yang buruk akan menimpamu." Kupandangi lelaki itu yang memejamkan matanya, dengan setetes air bening jatuh di sudut pipinya, membuatku merasa tak tega. Namun demikian, aku tidak bisa berbuat banyak saat ini.Dari arah luar, terdengar suara langkah kaki dan teriakan Adi yang langsung masuk ke indera pendengaranku. Aku dan ibu langsung menoleh ke arah pintu dimana orang yang tak kuduga, tengah berdiri di sana dengan wajah sulit diartikan."Ibu, lihat siapa yang datang?" Adi berdiri bersisian dengan lelaki yang beberapa waktu ini kurindukan. Yuda berdiri mematung di tempatnya."Ayah?" ucap Adi dengan suara pelan. Menatap pada lelaki yang masih berbaring di sofa."Yu-Yuda, kamu disini?" ucapku gugup. Aku terpaku di tempatku dengan tanganku dan Mas Agung masih saling bertautan. Sementara lelaki itu menatap dengan matanya yang memerah. Entahlah, Yuda masih membisu di tempatnya, dan seketika berbalik menin
Bab 74Hari beranjak malam. Keadaan Mas Agung tidak juga berubah, malah lelaki itu semakin menggigil seperti kedinginan dan bahkan sampai saat ini kesadarannya hampir hilang. Lelaki itu sama sekali tidak merespon, meskipun aku dan ibu mencoba untuk menyadarkannya.Adi yang berhasil kubujuk ikut mendekati ayahnya dan memeluk lelaki itu yang seperti kesakitan, entah menahan apa. Anak itu terus terisak dan memanggil-manggil nama ayahnya.Sudah beberapa saat yang lalu, aku menelepon teman, bahkan tetangga yang punya kendaraan agar bisa membawa Mas Agung ke rumah sakit. Mengingat kondisinya yang mengkhawatirkan, aku takut jika sampai terlambat, kondisinya akan sangat parah dan yang lebih buruk lagi dia tidak dapat diselamatkan."Kamu masih belum juga mendapatkan mobilnya, Indira?" Aku menggeleng lemah, menatap ke arah ibu. Di desa memang sangat jarang sekali orang yang mempunyai kendaraan roda empat, hanya beberapa orang saja yang punya mobil dan biasanya itupun dipakai ke kota untuk be
Bab 75"Apa tidak sebaiknya kamu menghubungi keluarganya, mengingat kondisi Agung saat ini, bapak tidak yakin kalau lelaki itu akan bertahan, lagipula mereka berhak tahu kondisi anaknya.""Bapak benar." Aku segera menghentikan tangisku. Ucapannya benar, mengapa aku sampai lupa untuk menghubungi keluarga Mas Agung. Walau bagaimanapun ayah dan ibu mertua berhak tahu akan keadaan anaknya saat ini."Kuatkan hatimu menerima cobaan ini. Mungkin ini sudah takdir yang harus dijalani oleh suamimu, tapi bapak yakin jika suamimu adalah orang yang baik." Aku mengangguk lagi membenarkan apa yang lelaki di depanku ini ucapkan. Mas Agung sebenarnya adalah orang dan suami yang baik, hanya saja mungkin pergaulan dan caranya hidup dan masuk ke dalam pergaulan salah, hingga dalam waktu singkat dia langsung terjerat dalam dunia hitam dan penyakit mematikan ini. Sesuatu hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, yang sampai saat ini, ayah ibunya Zahra belum juga ditemukan. Sebagai orang yang iku
Bab 76Setiap manusia membawa takdirnya masing-masing. Hidup mati semua sudah digariskan oleh yang kuasa. Begitu pun dengan Mas Agung, yang pada akhirnya menyerah pada takdirnya. Lelaki itu meninggal tepat ketika aku melafalkan doa-doa di telinganya.Mas Agung meninggal. Menyisakan kesedihan pada orang-orang yang ditinggalkannya. Termasuk padaku, Adi, orang tua dan seluruh kerabat. Tidak ada yang menyangka lelaki berusia 36 tahun tersebut harus kembali kepada sang pencipta, dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.Wajah Yuda yang marah karena aku menghindarinya dan terpaksa memilih pergi untuk menenangkan diri ke kampung halaman, hadir saat pemakaman tiba. Lelaki itu menghampiri dan terus mencoba untuk menenangkan Adi yang bersedih, dan tidak mau menghentikan tangisan di depan pusara Mas Agung yang telah tertimbun tanah."Maafkan aku, Mbak, aku tidak tahu jika pada akhirnya–""Sudahlah, Yud, ini bukan salahmu. Lagi pula kamu tidak melakukan kesalahan apapun," kataku sambil meningg