Sial. Ternyata Theo tidak bisa di percaya.
"Apa Theo mengatakan itu padamu?" tanyanya beberapa saat memelototinya tanpa berkedip."Aku lupa, apa Theo pernah memberitahu ini padaku, Sayang," jawab Aland enteng. Pria itu mempermainkan jari kedua tangannya seraya membuang wajah menghindari tatapan tajam Miley. "Tidak perlu dari siapa aku mengetahuinya, Miley. Jawab saja pertanyaanku tadi."Yah, ia merasa nyaman di rumah Theo, tapi itu kemarin, sekarang ia perlu berpikir lagi untuk tetap tinggal di sana. Tetapi, mau ke mana? Karena sampai saat ini iapun belum menerima gaji. Bingung harus menyalahkan Theo yang telah ingkar janji, di sisi lain ia juga merasa terhutang kepada pria tampan itu."Kamu salah melihat, aku tidak tinggal di sana," jawab Miley menurunkan pandangannya."Masih ingin menutupinya, Miley?""Yahh, kalau iya kenapa? Apa kamu meminjamkan ku uang untuk biaya hidupku sebelum gajian? Tetapi Theo ---""Kau pilih keluMiley mendelik, bertanggungjawab bagaimana maksud pria itu, itu juga bukan sepenuhnya kesalahannya. Lagian siapa yang mau jadi pacarnya? Belum sempat membuka mulut, Aland sudah menarik rambut belakangnya. Miley sempat menghindar dengan memundurkan kepalanya, tapi tangan Aland dengan gesit menggagalkan aksinya itu. "Lepaskan, Aland," pintanya mengerang kesakitan. Tamparan keras bertubi-tubi di wajahnya sebagai luapan kemarahan Aland. Jerit kesakitan dari Miley tidak mengurungkan sikap kasarnya tersebut. Belum puas hanya menyiksanya dengan tamparan yang membabi-buta, Aland juga mendorongnya sekuat tenaga ke belakang. BRUKK"Ahhh!"Miley menjerit keras, ketika punggung lemahnya berbenturan keras ke dinding kamar, rasanya seluruh sendi tubuhnya seperti berlepasan. Ia pun terus berusaha mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk bertahan berdiri. Ia tidak ingin menjadi luapan kemarahan Aland. Hatinya yang panas membakar emosinya semakin meluap
Miley tidak menggubrisnya. Sementara malam semakin larut, dan ia butuh istirahat untuk mengurangi rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Aku bertanya Miley! Aku tahu kau mendengar! Jadi, jangan selalu memancing amarahku!" geram Aland menarik selimut yang menutupi seluruh tubuh Miley. "Ingat! Aku bisa melakukan apapun, Miley! Bahkan membunuhmu sekarang!" ancamnya tidak main-main.Seketika jantung Miley berhenti berdetak. Emosi dan amarahnya yang sempat mereda itu juga turut bergejolak. Kali ini ia tidak mau diperlakukan kasar dan tidak manusiawi oleh Aland. Ancaman Aland barusan dan juga kekasarannya tadi bisa dituntut dalam hukum. Tapi ... apa yang bisa ia buktikan.Miley memutar badan. Ia harus bisa menghadapi pria monster itu."Silakan bunuh saja! Bukankah itu jauh lebih baik daripada menjadi budak hasrat gila mu itu?" tantangnya tidak takut. "Lagi apa urusanmu aku cinta pada siapapun!""Kurang ajar! Kau berani ---""Stop! Ambi
"Katakan kamu juga mencintaiku, Miley.""Jangan bicara cinta padaku, Aland," ucapnya menghempas napasnya kasar. Ia sendiri juga belum pernah mencintai pria manapun. Meski beberapa waktu lalu di kebersamaannya dengan Aland, pria itu pernah menyentuh hatinya. Tetapi itu karena terlalu larut dengan kehangatan Aland saja, bukan cinta.Malah Miley lebih mengagumi sosok Theo yang sopan dan perhatian. Tapi Miley juga bingung dengan rasa nyamannya kepada pengawal tampan itu, itu benar cinta atau hanya sekedar rasa kagum saja."Miley, aku mohon terima ---""Aland, cukup. Jujur aku masih bingung memahami dirimu. Sikapmu yang memperlakukanku selama ini, membuatku hilang kepercayaan padamu. Seolah apa yang barusan kamu akui itu, berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat dan rasakan."Miley menarik tangannya dari genggaman Aland yang masih bersimpuh, DNA berpindah ke sisi ranjang. Kemudian diikuti oleh Aland yang duduk merapat padanya.
"Non, Tuan Muda menunggu Anda di depan," kata seorang pelayan yang tergopoh-gopoh menghampirinya. Belum lagi bertanya di depan mana, pelayan sudah menarik tangannya menuruni tangga. Tampak Aland duduk menunggu di ruang tamu. Sesaat setelah melihatnya, pria itu langsung bangkit menghampirinya. "Ayo, Sayang," katanya mengulurkan lengan tangannya. Miley yang tengah mengenakan sepatu high heels itu melepas tangan pelayan dan berpindah ke lengan kekar Aland. "Kenapa tidak ---""Kamu sudah makan, Sayang?" tanya Aland membuat Miley semakin penasaran karena pria itu selalu saja memotong ucapannya.Miley hanya mengangguk saja. Perutnya seakan tidak merasakan lapar, mungkin juga karena takut Aland telah membubuhi makanan dan minumannya dengan obat tidur. Aland mengernyitkan dahi tidak percaya. Apalagi melihat Miley baru saja turun dari kamar.Tapi waktunya yang mepet memaksanya harus segera bergerak."Kita ke ru
Harusnya ia mendengarnya, tetapi Miley malah menjatuhkan kepalanya di punggung kekar Aland. Tidak peduli seseorang yang bisa saja masuk dan memergokinya."Pergi!" pekik Aland mendorong Miley dengan menggeser bahunya ke belakang. Namun, gadis itu semakin mempererat pelukannya. "Jangan salahkan aku bersikap kasar, ya," peringat Aland dengan sesenggukan yang semakin menjadi-jadi. Pria itu sudah berusaha keras menguasai dirinya, tetapi tangisannya malah memecah. Semakin menenggelamkan wajahnya di lengannya yang melipat. Aland tidak sanggup menampakkan wajahnya. Di satu sisi dia malu kepada Miley, malu dengan sifat kekanakan dan cengengnya itu. Di sisi yang lain dia sebenarnya tidak ingin Miley pergi. Dia hanya berusaha menahan diri dengan perasaannya, dan membebaskan Miley. Percuma juga memaksanya, gadis itu tidak mencintainya.Miley hanya terdiam tanpa melepas pelukannya dari Aland, setidaknya sampai pria itu tenang. Ia juga tidak tega h
"Bawa aku bertemu dengannya? Bukankah dia sudah di sini, Aland?" burunya tidak memberi waktu kepada Aland membuat alasan menolaknya.Aland tertunduk sebenarnya bingung. Dia sudah berjanji tidak akan pernah melibatkan Miley dalam masalah-masalahnya dengan Jenny. Tapi melihat Jenny semakin gencar menuduh dan ancamannya juga tak main-main, bahkan mantan istri kontraknya itupun ingin membongkarnya kepada Tuan Daniel. Aland tidak punya pilihan selain mengiyakannya."Iya, tapi aku bisa minta satu hal?" tanyanya merangsang kedua mata Miley kembali menatapnya sembari mengangguk pelan."Apa kamu akan ikut dengan Jenny nanti?" Miley tersenyum kecil seraya berpindah ke kursi depan mejanya. Ia tahu apa yang dimaksud pria itu, iapun menjawab dengan balik bertanya, "Lalu, kapan kamu membawaku ke Tuan Daniel?"Aland yang masih penasaran dengan pertanyaannya tadi kaget setengah mati. Bahkan dia sendiri belum punya percaya dengan Miley yang mau jadi keka
Belum sempat mendekat, suara Jenny yang tidak sopan menyentakkan ketiga orang yang masih berdiri di halaman. Lantas Theo berbalik badan dan berlari ke dalam mobil. Sementara Aland menarik tangan Miley menghampiri Jenny yang berdiri di pintu. Lagi-lagi Miley tidak berdaya menolak, dengan kakinya terseok mengikuti langkah Aland. "Maaf, aku tadi bicara dengan Theo," ucap Aland seolah tidak ingin menutupi apapun dari Jenny. Padahal wanita itu tidak menanyakannya.Miley semakin tidak berhenti mengutuki dirinya. Melihat Aland benar-benar tidak berkutik di hadapan Jenny. Itu menggiring asumsi Miley berpikir pria itu masih sangat mencintai Jenny.'Pantas saja selama ini selalu bersikap kasar padaku. Benar, pria gila ini hanya membuatku sebagai pelampiasan dendamnya kepada Jenny.' Miley ingin menghilang dan melarikan diri saja meninggalkan kedua orang menyebalkan itu.'Gila, kalau masih cinta kenapa harus bercerai? Kembali saja, dan jangan buat aku jadi korban.'Miley menarik tangannya d
Aland menutup mulut Miley dengan telapak tangannya, agar tidak membahas Benjamin lagi. Dia tahu Jenny akan marah besar jika ada yang menyebut nama Benjamin, apalagi harus membandingkannya dengan dirinya."Stt, kamu ralat ucapanmu tadi, Miley," bisik Aland memutar badan menghadap Miley."Kenapa tidak bisa menyebut nama Tuan Terhormat Benjamin itu, Mam?" berang Miley menepis tangan Aland dan mengabaikan pria itu. Lantas memangkas jarak dengan Mamanya. "Bahkan Mama tidak berniat mengenalkannya padaku, kan?" geram Miley tidak suka dengan ego tinggi Jenny yang selalu merasa benar."Aku rasa lebih baik tidak usah bertemu dengannya, Miley. Tahu kenapa?" Jenny bangkit dan mencondongkan wajahnya kepada putri semata wayangnya itu. Senyum seringai menghiasi bibir bergincu merah menyala tebalnya.Miley hanya tertawa kecil menanggapinya. Mungkin Jenny berpikir ia hendak meminta harta kekayaan Benjamin. Atau mungkin meminta tinggal dengan mereka. Tetapi meliha