"Setelah meninggalkan vila itu, Maria Lahendra tak lagi kembali."
Tiga hari setelah Saga memporak-porandakan vila milik sang mertua, Maria tak lagi bergerak ke mana pun. Ia hanya ke kantornya lalu pulang ke rumah. Begitulah laporan yang Saga terima dari Edward.
"Sudahi mengawasinya. Sekarang bergerak dan awasi Estigo."
"Baik."
Untuk waktu yang lama, Saga hanya menumpukan kedua sikunya di atas meja kerja. Saat ekor matanya menangkap ponsel di samping tubuhnya, ia mengangkat wajah dan kembali memandang Edward tajam.
"Ponsel Juni sudah diperbaiki?"
"Sudah, Tuan. Seluruh data di dalamnya masih tersimpan dan dapat terbaca."
"Bagus. Berikan aku file-nya."
Edward mengulurkan sebuah disk kecil ke tangan Saga. Dengan cepat Saga memasukkan data-data disk itu ke dalam laptopnya kemudian memutar salah satu percakapan Juni bersama kontak bernama Rafael.
"Sayang ...."
Sapaan pembuka yang terdengar lirih dan sangat m
Saga menyilang kaki dan bersandar di kursi mobilnya. Sorot matanya penuh kepuasan sekaligus diselimuti kilat keji."Bukankah kita tidak punya bukti jelas untuk menuduh Estigo, Tuan?" Edward memulai obrolan dari kursi depan di samping kemudi.Saat itu juga seringai kelam di bibir Saga tercipta secara spontan. "Jika punya bukti jelas, bukan menuduh namanya, Edward, tapi menghukum.""Jika Estigo bukan pelakunya, maka dia akan mengetahui perihal Nyonya yang lepas dari penjagaan Anda. Dia bisa bergerak maju, Tuan."Seulas senyum lembut yang mematikan bertakhta di wajah Saga. "Memang itu tujuanku, Edward."Edward terdiam."Kalaupun dia yang membantu Juni, maka dia akan waspada dan mungkin merasa gugup karena aku sudah mengetahuinya, tetapi jika bukan dia maka dia akan bergerak dan aku akan melihat bagaimana dia mencari Juni."Edward mengerjap. Jadi itu adalah pancingan?"Aku ingin melihat seberapa hebat Estigo itu."***
"Aku akan mengatakannya.""Bagus."Maafkan aku, Madam. Serina berbisik dalam hati. Toh dia tidak pernah mengikrarkan janji untuk menjaga kesetiaan itu lebih daripada nyawanya sendiri."Maria Lahendra."Sedetik kemudian, Saga menyeringai lalu kepalanya mendongak disertai tawa yang mengerikan, bergema di seluruh sudut ruang tengah seperti lonceng kematian."Sudah kuduga. Maria Lahendra yang sangat pemberani."Dan saat mata yang berbinar keji itu kembali menatap matanya, aliran darah Serina berdesir dan seketika seluruh tubuhnya merinding."Di mana tempatnya? Di mana dia menyimpan wanitaku?""Aku tidak ingat alamatnya.""Antar aku ke sana."Serina berusaha menegakkan kepala dan menghapus keringat dingin yang membanjiri wajahnya."Aku tidak bisa dalam keadaan begini."Saga menoleh pada Edward. "Suruh Lenna mengurusnya, Edward."***Setelah mengobati luka Serina dan memaksa wanit
Saga menunduk melihat bagaimana Juni meringkuk di dadanya seiring dengan jalannya mobil membelah jalanan yang dingin. Wanita itu terlihat sangat tersiksa dan ketakutan.Ia memangku Juni di kursi belakang sambil melihat kegelisahan yang menyelimuti wajah indahnya.Air matanya bahkan masih berderai kendati mata indah itu tertutup dan napasnya berembus teratur. Namun, keningnya mengerut sangat dalam.Mau tak mau, Saga mengakui. Bahwa semarah apa pun dia. Bagiamana pun dia ingin menghukum wanita ini, ia tetap merasakan gejolak aneh dalam dadanya. Seolah ia ingin melingkupi wanita ini dari kekejaman apa pun, termasuk dirinya. Saga ingin melindunginya. Saga ingin merengkuhnya lebih dalam.Beberapa detik kemudian, ia mengerjap. Tak menyukai bagaimana amarahnya yang menggebu itu terkalahkan oleh perasaan aneh yang tak bisa ia mengerti.Dalam pangkuan Saga, Juni semakin merapat di dada bidang sang suami, seolah mencari kehangatan.Dengan spontan Saga
Saga mematung dengan tatapan lurus menghunjam Juni. Sementara Juni mengeluarkan semua ekspresi ketakutan dan keengganannya."Kenapa? Apa aku sebegitu menjijikkannya untukmu? Baru saja kau merasakan orgasme lewat tanganku dan sekarang kau tidak ingin disentuh?"Mata Saga memicing tajam. Diselimuti kemarahan dan kekecewaan. Juni tak mengerti arti semua eskpresi itu."Katakan apa aku menjijikkan di matamu?"Juni menggigit bibir. Emosi Saga berubah-ubah, dan sekarang lelaki yang berekspresi bengis itu tengah meledak-ledak."KATAKAN!"Juni terdiam."Katakan apa kau juga jijik seperti mereka?! Kau tidak menginginkanku, kan?!"Kening Juni berkerut memikirkan siapa yang Saga maksud dengan mereka.Juni mengira Saga akan kembali menyerangnya dengan kalap, tapi lelaki itu malah berdiri dan turun dari ranjang.Sorot matanya nanar. "Baiklah. Memang siapa yang menginginkanku? Walau begitu, aku tak akan pernah melepa
Juni mengernyit. "A-apa maksudmu?"Juni tak tahu mengapa pertanyaan Lenna barusan mendadak membuatnya gugup.Lenna melirik pelayan yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Pelayan itu terkejut lagi lalu tahu-tahu sudah keluar dari kamar Saga. Sepertinya ia mengerti peringatan lewat sorot mata Lenna."Saya tahu saya tidak berhak mengatakan ini, tapi jika Anda ingin membuka mata, tolong pahamilah keadaan Tuan Besar."Juni menahan diri untuk tidak bertanya apa pun atau membalas perkataan Lenna."Tuan bukanlah orang yang berada di posisi bisa menyatakan perasaannya. Ia mungkin akan selalu terlihat marah dan sering berlaku kejam, tapi saya mohon ... dampingilah beliau sampai—" Lenna menunduk seolah ragu ingin melanjutkan ucapannya."Tunggu, apa maksudmu? Maksudmu Saga punya perasaan pada ... ku?" Juni menunjuk dirinya ragu. Seolah hal itu adalah kemustahilan yang benar-benar nyata.Tapi Lenna tak memberikan reaksi apa pun. "Jika saya
"Sudah menemukan lokasinya?""Belum. Kami masih mencarinya."Rafael menyandarkan punggung pada sofa sambil menghela napas berat. "Kurasa dia tidak bisa kabur begitu saja dari kediaman Atlanta sendirian. Pasti ada yang membantunya."Sang asisten yang sejak tadi duduk di sofa seberang menatap lantai untuk menelaah ucapan Rafael.Rafael mengernyit menahan pening di kepalanya. "Apa keluarganya membantunya?""Bisa jadi. Tapi sepertinya Lahendra bukanlah keluarga yang loyal padanya."Rafael menyetujui dalam hati. Ia melihat bagaimana Juni diusir dengan dingin dan dibuang begitu saja. Lahendra menikahkan Juni dengan Saga pasti karena urusan bisnis. Tidak mungkin mereka membantunya kabur."Setahuku Juni juga tidak punya teman yang loyal."Juni pernah cerita jika semua temannya dipilihkan oleh Maria. Mereka berteman hanya karena asas keuntungan karena mereka sama-sama dari keluarga yang terhormat."Aku yakin ada yang membantunya.
Seharian Saga mengurung Juni di kamarnya sementara dia pergi bekerja.Juni tak tahu harus melakukan apa. Tak ada ponsel, televisi, buku atau apa pun yang bisa mempercepat waktunya dan menghilangkan rasa bosannya.Hanya Lenna dan beberapa pelayan yang mengantarkan makanan pada pagi dan siang hari, juga mengantarkan camilan-camilan yang sangat banyak.Juni banyak berpikir. Ia harus bersyukur karena Saga tidak menyentuh Maria maupun Serina. Ia pikir lelaki itu akan membunuhnya dan orang-orang yang sudah membantunya kabur.Sudah hampir waktunya makan malam, tapi Saga belum pulang. Dulu lelaki itu selalu pulang tepat waktu sebelum jam makan malam. Mungkin saja ia akan mengajak Juni makan di ruang makan. Ia perlu menghirup udara di luar kamar ini.Pukul delapan malam, pintu diketuk pelan. Spontan Juni berlari ke arah pintu lalu langkahnya tiba-tiba berhenti.Saga tak akan mengetuk pintu, apalagi dengan pelan.Munculnya Lenna dan dua pelayan
"Jadi apa rencanamu?" Rafael memusatkan perhatian pada gadis berkuncir satu itu.Siang ini Jeni mengajaknya bertemu di restoran yang lain sesuai janji mereka semalam.Jeni memutar bola mata. Wajahnya terlihat sangat serius. "Penjagaan Atlanta sangat susah ditembus. Kita perlu rencana yang sangat matang dan waktu yang tidak sedikit.""Aku tahu.""Tenang saja, aku tidak akan menyakitinya kok."Rafael mengerjap. Sepertinya sejak tadi ia menatap Jeni dengan sorot tidak percaya."Hanya saja ... kita perlu menyiapkan umpan yang besar untuk memancing ikan yang besar pula. Bukan begitu?"Rafael menatap Jeni lamat-lamat. Menunggu ucapan gadis itu selanjutnya."Kita tinggal menunggu celah. Menunggu kapan sang mangsa akan keluar dari kandangnya.""Jangan berbelit-belit. Katakan saja."Jeni membulatkan mata. "Hei! Aku sedang menjelaskan secara keren, ya! Jangan memotongku!" Ia mendengus. "Dasar! Aku yang menawari bantua
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari