Saga menyilang kaki dan bersandar di kursi mobilnya. Sorot matanya penuh kepuasan sekaligus diselimuti kilat keji.
"Bukankah kita tidak punya bukti jelas untuk menuduh Estigo, Tuan?" Edward memulai obrolan dari kursi depan di samping kemudi.
Saat itu juga seringai kelam di bibir Saga tercipta secara spontan. "Jika punya bukti jelas, bukan menuduh namanya, Edward, tapi menghukum."
"Jika Estigo bukan pelakunya, maka dia akan mengetahui perihal Nyonya yang lepas dari penjagaan Anda. Dia bisa bergerak maju, Tuan."
Seulas senyum lembut yang mematikan bertakhta di wajah Saga. "Memang itu tujuanku, Edward."
Edward terdiam.
"Kalaupun dia yang membantu Juni, maka dia akan waspada dan mungkin merasa gugup karena aku sudah mengetahuinya, tetapi jika bukan dia maka dia akan bergerak dan aku akan melihat bagaimana dia mencari Juni."
Edward mengerjap. Jadi itu adalah pancingan?
"Aku ingin melihat seberapa hebat Estigo itu."
***
"Aku akan mengatakannya.""Bagus."Maafkan aku, Madam. Serina berbisik dalam hati. Toh dia tidak pernah mengikrarkan janji untuk menjaga kesetiaan itu lebih daripada nyawanya sendiri."Maria Lahendra."Sedetik kemudian, Saga menyeringai lalu kepalanya mendongak disertai tawa yang mengerikan, bergema di seluruh sudut ruang tengah seperti lonceng kematian."Sudah kuduga. Maria Lahendra yang sangat pemberani."Dan saat mata yang berbinar keji itu kembali menatap matanya, aliran darah Serina berdesir dan seketika seluruh tubuhnya merinding."Di mana tempatnya? Di mana dia menyimpan wanitaku?""Aku tidak ingat alamatnya.""Antar aku ke sana."Serina berusaha menegakkan kepala dan menghapus keringat dingin yang membanjiri wajahnya."Aku tidak bisa dalam keadaan begini."Saga menoleh pada Edward. "Suruh Lenna mengurusnya, Edward."***Setelah mengobati luka Serina dan memaksa wanit
Saga menunduk melihat bagaimana Juni meringkuk di dadanya seiring dengan jalannya mobil membelah jalanan yang dingin. Wanita itu terlihat sangat tersiksa dan ketakutan.Ia memangku Juni di kursi belakang sambil melihat kegelisahan yang menyelimuti wajah indahnya.Air matanya bahkan masih berderai kendati mata indah itu tertutup dan napasnya berembus teratur. Namun, keningnya mengerut sangat dalam.Mau tak mau, Saga mengakui. Bahwa semarah apa pun dia. Bagiamana pun dia ingin menghukum wanita ini, ia tetap merasakan gejolak aneh dalam dadanya. Seolah ia ingin melingkupi wanita ini dari kekejaman apa pun, termasuk dirinya. Saga ingin melindunginya. Saga ingin merengkuhnya lebih dalam.Beberapa detik kemudian, ia mengerjap. Tak menyukai bagaimana amarahnya yang menggebu itu terkalahkan oleh perasaan aneh yang tak bisa ia mengerti.Dalam pangkuan Saga, Juni semakin merapat di dada bidang sang suami, seolah mencari kehangatan.Dengan spontan Saga
Saga mematung dengan tatapan lurus menghunjam Juni. Sementara Juni mengeluarkan semua ekspresi ketakutan dan keengganannya."Kenapa? Apa aku sebegitu menjijikkannya untukmu? Baru saja kau merasakan orgasme lewat tanganku dan sekarang kau tidak ingin disentuh?"Mata Saga memicing tajam. Diselimuti kemarahan dan kekecewaan. Juni tak mengerti arti semua eskpresi itu."Katakan apa aku menjijikkan di matamu?"Juni menggigit bibir. Emosi Saga berubah-ubah, dan sekarang lelaki yang berekspresi bengis itu tengah meledak-ledak."KATAKAN!"Juni terdiam."Katakan apa kau juga jijik seperti mereka?! Kau tidak menginginkanku, kan?!"Kening Juni berkerut memikirkan siapa yang Saga maksud dengan mereka.Juni mengira Saga akan kembali menyerangnya dengan kalap, tapi lelaki itu malah berdiri dan turun dari ranjang.Sorot matanya nanar. "Baiklah. Memang siapa yang menginginkanku? Walau begitu, aku tak akan pernah melepa
Juni mengernyit. "A-apa maksudmu?"Juni tak tahu mengapa pertanyaan Lenna barusan mendadak membuatnya gugup.Lenna melirik pelayan yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Pelayan itu terkejut lagi lalu tahu-tahu sudah keluar dari kamar Saga. Sepertinya ia mengerti peringatan lewat sorot mata Lenna."Saya tahu saya tidak berhak mengatakan ini, tapi jika Anda ingin membuka mata, tolong pahamilah keadaan Tuan Besar."Juni menahan diri untuk tidak bertanya apa pun atau membalas perkataan Lenna."Tuan bukanlah orang yang berada di posisi bisa menyatakan perasaannya. Ia mungkin akan selalu terlihat marah dan sering berlaku kejam, tapi saya mohon ... dampingilah beliau sampai—" Lenna menunduk seolah ragu ingin melanjutkan ucapannya."Tunggu, apa maksudmu? Maksudmu Saga punya perasaan pada ... ku?" Juni menunjuk dirinya ragu. Seolah hal itu adalah kemustahilan yang benar-benar nyata.Tapi Lenna tak memberikan reaksi apa pun. "Jika saya
"Sudah menemukan lokasinya?""Belum. Kami masih mencarinya."Rafael menyandarkan punggung pada sofa sambil menghela napas berat. "Kurasa dia tidak bisa kabur begitu saja dari kediaman Atlanta sendirian. Pasti ada yang membantunya."Sang asisten yang sejak tadi duduk di sofa seberang menatap lantai untuk menelaah ucapan Rafael.Rafael mengernyit menahan pening di kepalanya. "Apa keluarganya membantunya?""Bisa jadi. Tapi sepertinya Lahendra bukanlah keluarga yang loyal padanya."Rafael menyetujui dalam hati. Ia melihat bagaimana Juni diusir dengan dingin dan dibuang begitu saja. Lahendra menikahkan Juni dengan Saga pasti karena urusan bisnis. Tidak mungkin mereka membantunya kabur."Setahuku Juni juga tidak punya teman yang loyal."Juni pernah cerita jika semua temannya dipilihkan oleh Maria. Mereka berteman hanya karena asas keuntungan karena mereka sama-sama dari keluarga yang terhormat."Aku yakin ada yang membantunya.
Seharian Saga mengurung Juni di kamarnya sementara dia pergi bekerja.Juni tak tahu harus melakukan apa. Tak ada ponsel, televisi, buku atau apa pun yang bisa mempercepat waktunya dan menghilangkan rasa bosannya.Hanya Lenna dan beberapa pelayan yang mengantarkan makanan pada pagi dan siang hari, juga mengantarkan camilan-camilan yang sangat banyak.Juni banyak berpikir. Ia harus bersyukur karena Saga tidak menyentuh Maria maupun Serina. Ia pikir lelaki itu akan membunuhnya dan orang-orang yang sudah membantunya kabur.Sudah hampir waktunya makan malam, tapi Saga belum pulang. Dulu lelaki itu selalu pulang tepat waktu sebelum jam makan malam. Mungkin saja ia akan mengajak Juni makan di ruang makan. Ia perlu menghirup udara di luar kamar ini.Pukul delapan malam, pintu diketuk pelan. Spontan Juni berlari ke arah pintu lalu langkahnya tiba-tiba berhenti.Saga tak akan mengetuk pintu, apalagi dengan pelan.Munculnya Lenna dan dua pelayan
"Jadi apa rencanamu?" Rafael memusatkan perhatian pada gadis berkuncir satu itu.Siang ini Jeni mengajaknya bertemu di restoran yang lain sesuai janji mereka semalam.Jeni memutar bola mata. Wajahnya terlihat sangat serius. "Penjagaan Atlanta sangat susah ditembus. Kita perlu rencana yang sangat matang dan waktu yang tidak sedikit.""Aku tahu.""Tenang saja, aku tidak akan menyakitinya kok."Rafael mengerjap. Sepertinya sejak tadi ia menatap Jeni dengan sorot tidak percaya."Hanya saja ... kita perlu menyiapkan umpan yang besar untuk memancing ikan yang besar pula. Bukan begitu?"Rafael menatap Jeni lamat-lamat. Menunggu ucapan gadis itu selanjutnya."Kita tinggal menunggu celah. Menunggu kapan sang mangsa akan keluar dari kandangnya.""Jangan berbelit-belit. Katakan saja."Jeni membulatkan mata. "Hei! Aku sedang menjelaskan secara keren, ya! Jangan memotongku!" Ia mendengus. "Dasar! Aku yang menawari bantua
Pada tatapan intens Saga, Juni berdiri mematung di tengah ruangan tanpa tahu harus berbuat apa. Tubuhnya memanas dan ia merasa perlu mengambil remote AC dan menurunkan suhunya sekarang juga.Saga tak memutus tatapannya dalam waktu yang lama sampai Juni menghela napas dan membalas sorot mata lelaki itu."Boleh aku duduk?""Ya. Duduklah." Namun, pandangan lekat Saga masih belum berakhir juga.Juni hampir saja menjatuhkan bokongnya di atas sofa ketika suara dingin Saga menginterupsi."Bukan di situ."Juni mengerutkan kening dan kembali berdiri dengan tegak."Di sini."Apa? Di mejanya?Juni tidak yakin dengan kode dari kepala Saga. Karena tak ada satu pun kursi di sekitar mejanya selain kursi yang sedang dia duduki."Kemarilah."Dan kaki Juni bergerak begitu saja mendatangi meja Saga.Sesampainya di samping meja kerja Saga, lelaki itu melepas jasnya kemudian membuka tiga kancing