Tak ada obrolan apa pun antara Kimberly dan Fargo selama di perjalanan dari bandara menuju mansion mereka. Kimberly seolah enggan untuk memulai percakapan. Fargo fokus mengemudikan mobil, dan Kimberly memilih melihat ke luar jendela, menatap jalaanan di kota Los Angeles.Raut wajah Kimberly dan Fargo dingin dan seakan tak ingin diganggu. Hanya saja sesekali, Fargo masih melirik Kimberly yang tampak berbeda. Pasalnya baru kali ini Fargo melihat Kimberly hanya diam. Biasanya paling tidak ada percakapan yang Kimberly mulai. “Kim,” tegur Fargo yang sontak membuyarkan lamunan Kimberly.“Hm? Iya?” Kimberly mengalihkan pandangannya, menatap Fargo.“Kau kenapa?” tanya Fargo yang merasa ada perubahan dari Kimberly.“Kenapa apanya?” Kimberly balik bertanya. Keningnya mengerut bingung dan tak mengerti akan pertanyaan yang dilontarkan Fargo.“Kau terlihat berbeda, Kim. Apa ada masalah?” tanya Fargo lagi penasaran.“Ah, tidak. Aku baik-baik saja. Aku hanya kelelahan. Kau kan tahu aku baru saja ke
Pagi menyapa Kimberly sudah berada di kantor. Dia sengaja berangkat lebih awal, dan ternyata dia tidak sendirian. Carol sudah berada di ruang kerjanya. Senyuman di wajah Kimberly terlukis. Dia langsung memberikan oleh-oleh yang dia beli untuk Carol yaitu tas keluaran terbaru.“Thank you, Kim! Kau memang yang terbaik,” seru Carol bahagia mendapatkan oleh-oleh dari Kimberly.“Kau terlihat menyukai tas yang aku beli, aku senang melihatmu senang,” balas Kimberly tulus.“Tentu saja! Kau membelikanku tas keluaran terbaru! Pasti aku sangat senang,” kata Carol antusias.Kimberly menggelengkan kepalanya pelan. “Anyway, bagaimana keadaan perusahaan selama aku tidak ada? Semuanya baik-baik saja, kan?”“Well, semua baik-baik saja. Jennisa juga sudah mulai pemotretan beberapa produk yang sudah siap diedarkan di pasar.”“Good, tapi hasil fotonya bagus, kan? Maksudku produk kita sesuai jika memakai Jennisa sebagai brand ambassador kita?”“Luar biasa bagus. Aku mengakui kalau Jennis sangat cantik. Wa
Fargo meminta Kimberly duduk di sampingnya, lalu pria itu kembali duduk di kursi kepemimpinan. Tampak sejak tadi tatapan Damian tak lepas menatapnya, hingga membuat Kimberly menjadi salah tingkah.“Tuan Fargo, jadi ini Nyonya Kimberly, istri Anda?” tanya salah satu rekan bisnis Fargo yang ada di sana. “Iya, ini Kimberly Jerald, istriku,” jawab Fargo memperkenalkan Kimberly.Kimberly tersenyum ramah pada rekan bisnis Fargo. Entah apa yang membuat Fargo sampai memintanya untuk datang. Padahal, ini bukanlah meeting pemegang saham.“Nyonya Jerald, dulu saya pernah datang di pesta pernikahan Anda dan Tuan Fargo, Anda terlihat semakin cantik,” puji rekan bisnis Fargo yang lainnya.Kimberly kembali tersenyum. “Terima kasih, Tuan.”“Hai, Kim. Aku tidak mengira Fargo akan membawamu ke sini,” ucap Deston pada Kimberly.“Hai, Grandpa.” Kimberly mengulas sebuah senyuman hangat dan tulus pada Deston.“Aku meminta Kimberly ke sini, karena ada beberapa dokumen yang harus dia lihat, Grandpa. Aku ju
“Damian, apa kau tidak memiliki tempat lain selain di toilet?”Kimberly berseru kesal seraya merapikan kembali pakaiannya akibat ulah Damian. Sungguh, dia tak menyangka akan bercinta dengan Damian di toilet. Oh, Ya Tuhan! Kimberly tahu dirinya ini bukan wanita suci. Lihat saja suami dan kakek mertua ada di tempat yang sama, tapi malah dia bercinta dengan paman tiri suaminya di toilet. Memikirkan itu semua kepala Kimberly mau pecah. Dia merasa sudah tak lagi waras.Senyuman samar di wajah Damian terlukis kala melihat Kimberly kesal. Pria tampan itu membantu Kimberly menarik resleting gaunnya, memakaikan pakaian wanita itu—dan memberikan kecupan lembut di bibir Kimberly.“Jika aku mengajakmu ke hotel, bukankah nanti akan ada yang lihat? Fargo dan ayahku ada di luar,” bisik Damian tepat di depan bibir Kimberly.Kimberly mendesah pelan. Setelah dipikir-pikir apa yang dikatakan Damian adalah benar. Tidak mungkin mereka ke hotel. Di depan ada suami dan kakek mertuanya. Jika sampai Fargo dan
Seharian Kimberly disibukan dengan banyaknya pekerjaan yang tak berkesudahan. Mulai dari meeting penting dengan beberapa rekan bisnis. Hingga memeriksa beberapa produk skin care di perusahaan barunya yang sebentar lagi akan launching di pasaran. Dia terkenal dengan sosok wanita pekerja keras. Ditambah, dia adalah anak tunggal. Jadi, tak heran jika dia sudah ditanamkan sejak dini pemikiran tentang dunia bisnis. Hari menjelang sore, Kimberly memutuskan untuk menuju kediaman keluarganya. Wanita berparas cantik itu tak langsung pulang ke rumahnya, karena dia merasa rindu pada kamar lamanya. Pun tadi pagi saat sarapan bersama Fargo, dia sudah izin pada sang suami tak langsung pulang ke rumah. “Selamat sore, Nyonya Kimberly,” sapa sang pelayan sopan di kala Kimberly sudah tiba di mansion keluarganya.“Sore, apa ayahku ada di dalam?” tanya Kimberly seraya menatap pelayan yang telah menyapanya.“Tuan Ernest, Nyonya Maisie, dan Nona Gilda ada di dalam, Nyonya. Mereka ada di ruang keluarga,
“Sialan! Beraninya kau, Kim!” Damian mengumpat kasar kala sudah menutup panggilan telepon. Raut wajahnya menunjukkan jelas kemarahannya ketika tahu Kimberly berada di klub malam. Dengan wajah yang emosi, Damian mencari letak titik GPS ponsel Kimberly. Tepat di kala dia sudah mengetahui letak keberadaan Kimberly—dia langsung menyambar kunci mobilnya dan berlari meninggalkan penthouse-nya.Sepanjang perjalanan, Damian tak henti meloloskan umpatan. Pria tampan itu memukul setir mobilnya. Benaknya terus mengingat tentang Kimberly yang lemah pada alkohol. Amarah Damian seakan melahapnya. Berani sekali wanita itu pergi ke klub malam tanpa memberitahunya.Damian tak memedulikan kecepatan yang ditempuh oleh mobilnya. Pria itu mengemudikan mobil di atas rata-rata. Malam semakin larut, jalanan pun sepi. Hal itu yang membuat Damian bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.Saat mobil Damian sudah tiba di titik keberadaan GPS ponsel Kimberly, Damian melompat turun—memarkirkan mobilnya semba
Sinar matahari menyinari bumi bersamaan dengan suara kicauan burung saling bersahutan. Cahaya matahari telah menyelinap masuk ke dalam sela-sela jendela, menyentuh wajah Kimberly, hingga membuat mata Kimberly bergerak-gerak dan mulai terbuka.Kimberly menggeliat dan menguap ketika pagi sudah menyapa. Mata wanita itu menyipit, lalu mengendar ke sekitar melihat ke setiap sudut kamar. Saat mata Kimberly terbuka, betapa terkejut kala dirinya menyadari berada di sebuah kamar asing.Kimberly menjadi sangat panik. Buru-buru, dia melihat ke tubuhnya—dan seketika embusan napas lega terdengar ketika dia melihat tubuhnya masih berpakaian lengkap. Dia kembali mengendarkan pandangannya ke setiap sudut kamar, dia merasa tak asing dengan aroma parfume maskulin yang memenuhi kamar itu.Kimberly terdiam beberapa saat. Benaknya berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi, hingga membuat dirinya berada di kamar asing ini. Perlahan kepingan puzzle ingatan mulai tersusun di otak Kimberly. Ingatan di ma
Mata Kimberly berkaca-kaca mendengar ucapan Damian. Dadanya bergemuruh tak menentu. Damian telah mengucapkan janji di mana tak akan pernah meninggalkannya. Senyuman haru bahagia terlukis di wajah cantik Kimberly. Sebuah senyuman yang menunjukkan jelas bahwa wanita itu sangatlah bahagia.“Kenapa masih menangis, hm?” Damian membelai pipi Kimberly, memberikan kecupan di kedua mata Kimberly lembut.Kimberly tak menampik keberadaan Damian membuat hidup Kimberly jauh lebih hidup. Jika saja tak ada Damian di hidupnya, maka Kimberly akan lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya. Terkadang dia membenci takdir. Akan tetapi, terkadang dia bersyukur karena takdir mempertemukannya dengan Damian.“Aku bukan menangis sedih,” bisik Kimberly di telinga Damian. Wanita itu masih duduk di pangkuan Damian. Meringkuk manja di pelukan pria itu persis seperti anak kecil. “Aku menangis, karena aku bahagia mendengar ucapanmu, Damian. Aku belum pernah mendengar ucapan itu dari siapa pun.” “Sepertinya aku selalu