“Kim, aku harus keluar sebentar. Freddy menungguku di kafe rumah sakit yang ada di lantai bawah. Ada beberapa dokumen penting yang aku harus periksa. Kau di sini akan ditemani perawat. Tidak apa-apa, kan?” Damian membelai pipi Kimberly seraya memberikan kecupan di hidung kekasihnya itu. Tatapannya menatap hangat Kimberly, dan penuh damba.“Apa ada pekerjaan yang tertunda, Damian?” Kimberly bertanya pelan. Sudah beberapa hari ini Kimberly berada di rumah sakit, dan selalu Damian yang menunggu dirinya. “Semua baik-baik saja. Pekerjaanku lancar. Kau tidak usah khawatir. Aku hanya memeriksa dokumen sebentar. Nanti aku akan segera ke sini. Jika kau butuh sesuatu, kau bisa bilang pada perawat,” kata Damian seraya memberikan kecupan di bibir sang kekasih. Kimberly menganggukkan kepalanya. “Ya sudah, tidak apa-apa. Kau pergi saja. Tidak usah mencemaskanku, Damian. Kau selesaikan dulu pekerjaanmu.”Damian tersenyum seraya mengecup kening Kimberly. Detik selanjutnya, ketika dia pergi mening
Suara Deston bertanya pada Kimberly dengan nada dingin tersirat penuh ancaman. Kilat mata cokelat menatap lekat, dan tegas pada Kimberly yang duduk di hadapannya. Sudah sejak kemarin Deston ingin berbicara berdua dengan Kimberly, tapi dia terus menunda karena menunggu sampai Damian tak ada di samping Kimberly.Ruang rawat Kimberly itu terselimuti keheningan yang bercampur rasa cemas, takut, khawatir. Meskipun tenang, tapi wajahnya tak menampik menunjukkan rasa takut. Benaknya berusaha berpikir positive dari maksud ucapan Deston, tetapi yang ada malah hanya pikiran negative. Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, akibat kerisauan yang melanda.Hingga ketika Kimberly telah mengumpulkan keberaniannya, tatapan matanya menatap dalam, tegas, dan tersirat sopan pada Deston. Dia menyadari bahwa ini pasti akan terjadi. Statusnya yang pernah menikah dengan Fargo, pasti akan membuat keluarga malu.“Grandpa, sebelumnya aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk melawan atau bersikap tidak s
Sudah lebih dari lima hari Kimberly dirawat di rumah sakit. Kondisinya sebenarnya sudah sehat dan pulih. Dua hari lalu dokter sudah memperbolehkan Kimberly untuk pulang, tapi Damian belum mengizinkan karena pria tampan itu ingin dokter benar-benar mengawasi kesehatannya dulu. Mengingat Kimberly jatuh dari tebing, membuat Damian selalu cemas.Kimberly sudah tak betah di rumah sakit. Beberapa kali dia merengek meminta pulang pada Damian, tapi tetap Damian ingin Kimberly benar-benar pulih. Lagi pula jika masih berada di rumah sakit, dokter bisa extra mengawasi Kimberly. Itu yang ada di dalam pikiran Damian. Well, mau tak mau Kimberly pasrah tak bisa membantah.Selama lebih dari lima hari di rumah sakit, yang kerap menjenguk Kimberly adalah Carol dan terkadang Fargo datang membawakan makanan untuknya. Sementara keluarga Fargo tak sama sekali menjenguk. Hanya pernah Deston, itu pun bukan menjenguk melainkan hanya memberikan ancaman pada Kimberly. Meski demikian, Kimberly sama sekali tak ma
Damian menarik selimut Kimberly, merapatkan selimut itu ke tubuh sang kekasih. Pria tampan itu mengecup kening kekasihnya itu seraya memberikan tatapan hangat pada sang kekasih. Beruntung malam ini Kimberly tidur lebih awal. Paling tidak, dia sudah tenang Kimberly tidur lebih awal. Dia akan bisa kembali memeriksa pekerjaan tanpa harus memikirkan Kimberly yang menunggunya istirahat.Damian membenarkan posisi berdiri, pria tampan itu mengambil ponselnya yang ada di atas meja, lalu hendak menuju sofa yang ada di ruang rawat VVIP Kimberly. Namun, langkah Damian terhenti kala melihat kenop pintu terputar.Tatapan Damian menatap lekat ke arah pintu, memastikan siapa yang datang di malam hari seperti ini, dan ketika pintu sudah terbuka. Sepasang iris mata cokelat gelap Damian menatap Fargo yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan lekat.“Ada apa kau ke sini malam-malam seperti ini, Fargo?” tanya Damian dingin dengan sorot mata tegas.“Maaf aku mengganggumu. Ada yang ingin aku bicarakan pa
“Kim, minum dulu obatmu.” Damian memberikan obat yang ada di tangannya pada Kimberly. Pun tanpa bantahan Kimberly segera meminum obat yang diberikan oleh Damian. Wanita cantik itu tak mungkin lupa akan obatnya yang wajib dihabiskan.“Terima kasih, Sayang.” Kimberly berucap seraya menyandarkan kepalanya di dada bidang Damian, kala dirinya sudah meminum obat. Dia memejamkan mata sambil melingkarkan tangannya ke pinggang sang kekasih. Berada di pelukan Damian adalah tempat yang paling nyaman baginya.“Kim,” panggil Damian seraya mengusap punggung Kimberly.“Hm?” Kimberly mendongakkan kepalanya, menatap Damian hangat.“Aku bangga padamu.” Damian mengecup hidung Kimberly lembut.“Bangga denganku? Kenapa?” Sebelah alis Kimberly terangkat, menatap lekat Damian.“Aku bangga karena kau memiliki sifat yang bijak. Kau tidak menjebloskan Gilda ke penjara adalah cara yang hebat. Kau memintanya pergi meninggalkan kota ini, menurutku itu menunjukkan kau sosok wanita yang bisa mengambil keputusan san
Kimberly melangkahkan kaki keluar dari ruang persidangan bersama dengan Damian, Fargo dan Carol. Entah, langkah kaki Kimberly terhenti secara otomatis mengikuti naluri hatinya. Tatapannya menatap Fargo dengan tenang. Senyuman di wajah cantik Kimberly terlukis pada Fargo. Jika dulu dia membenci Fargo yang telah menipunya, sekarang kebencian itu telah sirna. Dia menyadari bahwa dirinya dan Fargo sama-sama bersalah. Apa pun alasannya perselingkuhan adalah hal yang tak dibenarkan.“Kim, bagaimana perasaanmu?” tanya Fargo seraya menatap Kimberly hangat.“Yang pasti aku sekarang tenang, Fargo. Aku tidak lagi merasa berdosa padamu,” jawab Kimberly hangat.Fargo tersenyum. “Aku juga sekarang tenang. Paling tidak, aku melepasmu untuk pria yang tepat. Maaf selama kau menjadi istriku, aku tidak bisa memberikan kebahagiaan padamu.”“Aku juga minta maaf tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu, Fargo. Percayalah kau akan mendapatkan yang terbaik,” ucap Kimberly dengan senyuman tulus di wajahnya.
Mata Kimberly melebar terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Brisa. Begitu pun Carol yang ada di samping Kimberly ikut terkejut. Tampak Kimberly nyaris tak mampu berkata-kata akibat mendengar kabar dari sang asisten. Raut wajah Kimberly begitu memucat panik.“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, Brisa?!” seru Kimberly dengan nada tinggi, dan keras.“Brisa, aku tahu kondisi perusahaan baik-baik saja. Selama Kimberly tidak datang ke perusahaan, aku selalu memeriksa keadaan perusahaan. Kau pasti salah,” sanggah Carol meyakinkan kalau informasi Brisa pasti salah.“Nyonya Kimberly, Nona Carol, saya juga bingung apa yang sebenarnya terjadi. Saat ini saya masih menyelidiki kekacauan ini, tapi dugaan saya, ada seseorang yang memiliki power tinggi sampai mampu membuat kekacauan seperti ini.” Brisa berucap dengan resah dan kepanikan yang melanda.Kimberly menghela napas dalam dan memejamkan mata singkat. “Aku tidak pernah memiliki musuh dalam berbisnis, Brisa. Ayahku juga tidak memiliki musu
Deston mengetuk-ngetuk pelan telunjuknya ke atas meja. Pria paruh baya itu menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang memikirkan sesuatu. Aura wajah dingin dan terselimuti ketegasan di sana. Otak Deston sedari tadi tak henti berpikir akan rencananya yang telah tersusun rapi. Rencana sempurna tapi memang terdengar sangat kejam. Ya, Deston tak memiliki pilihan lain. Hanya cara seperti ini yang harus dia tempuh.“Tuan, apa langkah Anda selanjutnya?” tanya Faine begitu sopan.Deston mengembuskan napas pelan. “Apa Damian sudah tahu tentang ini?”“Saya yakin Tuan Damian pasti sudah tahu, Tuan. Putra Anda bukan orang bodoh. Segala informasi pasti akan cepat putra Anda dapatkan,” ujar Faine seraya menuangkan whisky ke gelas sloki di hadapan Deston.“Bagaimana dengan Kimberly? Apa tindakan yang dia lakukan?” Deston mengambil gelas sloki yang telah berisikan whisky, dan menyesapnya perlahan.“Beberapa strategi telah Nyonya Kimberly lakukan, Tuan. Terakhir saya dengar Nyonya Kimberly