Deston mengetuk-ngetuk pelan telunjuknya ke atas meja. Pria paruh baya itu menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang memikirkan sesuatu. Aura wajah dingin dan terselimuti ketegasan di sana. Otak Deston sedari tadi tak henti berpikir akan rencananya yang telah tersusun rapi. Rencana sempurna tapi memang terdengar sangat kejam. Ya, Deston tak memiliki pilihan lain. Hanya cara seperti ini yang harus dia tempuh.“Tuan, apa langkah Anda selanjutnya?” tanya Faine begitu sopan.Deston mengembuskan napas pelan. “Apa Damian sudah tahu tentang ini?”“Saya yakin Tuan Damian pasti sudah tahu, Tuan. Putra Anda bukan orang bodoh. Segala informasi pasti akan cepat putra Anda dapatkan,” ujar Faine seraya menuangkan whisky ke gelas sloki di hadapan Deston.“Bagaimana dengan Kimberly? Apa tindakan yang dia lakukan?” Deston mengambil gelas sloki yang telah berisikan whisky, dan menyesapnya perlahan.“Beberapa strategi telah Nyonya Kimberly lakukan, Tuan. Terakhir saya dengar Nyonya Kimberly
“Kim.” Carol bersimpuh tepat samping Kimberly, memeluk erat menenangkan sahabatnya itu yang sedari tadi menangis. Tak ada yang bisa Carol lakukan selain memberikan pelukan. Baru saja Maisie dibawa ke ruang rawat oleh Brisa dan petugas medis karena jatuh pingsan.Tangis Kimberly pecah dalam pelukan Carol. Tangis yang begitu mendera. Benaknya terus terngiang wajah sang ayah. Hal yang paling dia sesali adalah hubungannya dengan sang ayah belum membaik. Rasa marah Kimberly menguasainya sampai menimbulkan ego yang tinggi.“Carol,” isak Kimberly pilu.“Kim, tenangkan dirimu. Ingat kau sedang hamil, Kim.” Carol mengusap pelan punggung Kimberly, menenangkan sahabatnya itu agar bisa jauh lebih tegar.“Ayahku, Carol.” Tangis Kimberly tak bisa terhenti. Berkali-kali dia berusaha untuk tegar, tapi dia tak bisa. Kehilangan ibu kandungnya sudah sangat menyiksa dirinya. Dia tak sanggup jika harus kehilangan ayahnya.“Sabar, Kim. Ingat kau sedang hamil.” Hanya kata-kata ini yang bisa Carol ucapkan.“
Damian mengendurkan dasi yang melingkar di lehernya. Pria tampan itu menyambar wine di hadapannya, dan menenggak kasar. Tampak raut wajah Damian begitu kacau. Pria tampan itu seperti memikirkan beban berat yang membuat emosinya menyulut. Pancaran mata Damian menyalang penuh rasa marah yang bercampur frustrasi. Otaknya seakan penuh dengan banyak hal yang sampai membuatnya tak terkendali.Damian memijat pelipisnya pelan berusaha untuk meredam segala amarah dalam dirinya. Meledakan emosi hanyalah sia-sia. Sebab bagaimanapun, yang Damian lawan adalah ayah kandungnya sendiri. Dia tetap tak bisa menyerang mati-matian. Lepas dari apa yang terjadi, tak mungkin dirinya sampai berani melukai sang ayah.Tatapan Damian teralih pada ponsel miliknya yang ada di atas meja. Benaknya mengingat dirinya belum menghubungi Kimberly hari ini. Pikiran yang sedang tak bisa berpikir jernih akhirnya membuatnya melupakan banyak hal.Damian mengambil ponselnya, dan segera menghubungi nomor Kimberly. Namun, sayan
“Kim, lebih baik kita pulang. Ini sudah malam. Aku akan meminta orangku menjaga ayahmu.” Damian membelai punggung Kimberly, mengajak sang kekasih untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Sudah sedari tadi Damian mengajak Kimberly pulang, tapi tetap kekasihnya itu menolak. Kondisi Kimberly yang hamil muda, membuat Damian terus berusaha membujuk sang kekasih untuk pulang. Pria itu tak mungkin membiarkan Kimberly tinggal di rumah sakit. Bukan melarang menjaga Ernest, tapi Damian takut Kimberly kelelahan.“Damian, aku masih ingin di sini. Jika kau ingin pulang, kau pulang sendiri saja. Aku akan tetap menjaga ayahku, Damian. Aku takut.” Kimberly berucap begitu lirih. Rasa takutnya akan kehilangan sang ayah membuatnya tak berani meninggalkan ayahnya. Benak wanita itu berputar mengingat sang ayah yang berada di ambang kematian.Damian mengambil tangan Kimberly, mencium punggung tangan wanita itu. “Sayang, kau sedang hamil. Besok kita akan ke sini lagi. Aku mohon pikirkan kandun
Pelupuk mata Maisie bergerak-gerak menandakan mata hendak terbuka. Sinar lampu pertama kali yang menyorot ditangkap oleh matanya. Mata Maisie mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa begitu lemah tak berdaya. Kepala Maisie memberat dan sakit mulai menyerang. Beberapa kali Maisie memilih untuk memejamkan mata sebentar demi mengurangi rasa sakit di kepalanya.“Nyonya, Anda sudah sadar?” Brisa menatap Maisie dengan tatapan cemas. Malam ini memang Brisa ditugaskan untuk menjaga Maisie. Pasalnya Ernest telah dijaga oleh orang-orang kepercayaan Damian.“Aku di mana?” Maisie mulai mengendarkan pandangannya, menatap ke sekeliling. Tampak raut wajah Maisie berubah kala melihat dirinya berada di ruang rawat. Kepingan memori mulai mengumpul, tapi belum sepenuhnya membuat dirinya mengingat apa yang terjadi.“Nyonya, Anda di rumah sakit,” jawab Brisa pelan dan hati-hati.Seketika mata Maisie melebar ketika ingatannya menjadi satu. Wajahnya memucat. Rasa takut menjalar, menelusup ke dalam dirinya.
Tiga hari sudah Ernest di rumah sakit. Selama tiga hari ini, Kimberly lebih banyak diam. Yang Kimberly fokuskan hanyalah kondisi sang ayah saat ini. Dia tak peduli pada apa pun. Dia hanya ingin ayahnya segera pulih. Namun, sayangnya sudah tiga hari ini, Ernest tak kunjung membuka mata. Hal itu yang membuat Kimberly selalu cemas. Meski dokter mengatakan kondisi Ernest baik, tapi tetap saja Kimberly akan selalu khawatir sang ayah belum juga membuka mata.Lepas dari semua masalah, kemarin Kimberly sudah meminta salah satu orang kepercayaanya untuk memindahkan Gilda ke rumah sakit di Sydney. Sesuai dengan perintah ayahnya terakhir sebelum masuk rumah sakit. Kimberly yang menjalankan karena tak mau menambah beban sang ayah. Sementara Maisie u tak mau meninggalkan Los Angeles.Kimberly sudah memaksa Maisie untuk pindah sementara ke Florida, tapi alih-alih menerima malah Maisie menolak dengan tegas. Yang membuatnya tersentuh adalah Maisie ingin tetap berada di sisi Ernest. Kata-kata yang sed
Sebuah ruang kerja megah, tapi begitu sunyi. Keheningan yang menyelimuti rungan itu akibat sang pemilik ruangan terlihat sangat memiliki beban di pikirannya. Ya, Destonduduk di kursi kebesarannya seraya menyesap whisky di tangannya. Sorot mata pria paruh baya itu menatap lurus ke depan dengan pikiran menerawang jauh.“Faine,” panggil Deston dengan raut wajah yang begitu serius.“Iya, Tuan?” Faine sedari tadi ada di ruang kerja Deston.“Bagaimana keadaan Ernest?” tanya Deston dingin.“Tuan Ernest sudah siuman, Tuan. Kondisinya sudah membaik. Nona Gilda juga sudah dipindahkan ke Sydney atas perintah Nyonya Kimberly. Selama Tuan Ernest di rumah sakit, Nyonya Kimberly mengambil alih tugas-tugas Tuan Ernest,” jawab Faine memberi tahu.Deston terdiam sebentar mendengar laporan dari Faine. Selama ini Deston tahu sifat Kimberly yang pekerja keras. Tak hanya itu saja, Kimberly juga adalah sosok wanita yang bertanggung jawab. Meski lahir dari keluarga yang berkecukupan, tapi tetap Kimberly tida
Hari berganti hari. Kondisi Ernest berangsur-angsur membaik. Dokter sudah mengizinkan Ernest untuk pulang. Selama Ernest di rumah sakit, Kimberly yang mengurus semua hal termasuk mengenai perusahaan. Saat ini keadaan perusahaan dikatakan cukup membaik walau masih merugi. Akan tetapi, Kimberly tak memungkiri bantuan Damian tempo hari sangat berdampak positive bagi perusahaannya.“Nyonya Kimberly, Tuan Ernest sudah di rumah bersama dengan Nyonya Maisie. Saya sudah meminta beliau untuk fokus pada pemulihan tanpa memikirkan masalah perusahaan,” ujar Brisa melaporkan pada Kimberly.Kimberly terdiam beberapa saat. “Good, pastikan ayahku hanya memikirkan tentang pemulihan kesehatannya saja. Aku tidak mau ayahku memikirkan tentang perusahaan.”“Hm, Nyonya—” Brisa menjeda sebentar, tampak ragu untuk mengatakan sesuatu pada Kimberly.“Ada apa, Brisa?” Sebelah alish Kimberly terangkat, menatap lekat Brisa.“Begini, Nyonya, apa Anda yakin akan keputusan Anda untuk pindah dari negara ini? Anda bel