Sebuah ruang kerja megah, tapi begitu sunyi. Keheningan yang menyelimuti rungan itu akibat sang pemilik ruangan terlihat sangat memiliki beban di pikirannya. Ya, Destonduduk di kursi kebesarannya seraya menyesap whisky di tangannya. Sorot mata pria paruh baya itu menatap lurus ke depan dengan pikiran menerawang jauh.“Faine,” panggil Deston dengan raut wajah yang begitu serius.“Iya, Tuan?” Faine sedari tadi ada di ruang kerja Deston.“Bagaimana keadaan Ernest?” tanya Deston dingin.“Tuan Ernest sudah siuman, Tuan. Kondisinya sudah membaik. Nona Gilda juga sudah dipindahkan ke Sydney atas perintah Nyonya Kimberly. Selama Tuan Ernest di rumah sakit, Nyonya Kimberly mengambil alih tugas-tugas Tuan Ernest,” jawab Faine memberi tahu.Deston terdiam sebentar mendengar laporan dari Faine. Selama ini Deston tahu sifat Kimberly yang pekerja keras. Tak hanya itu saja, Kimberly juga adalah sosok wanita yang bertanggung jawab. Meski lahir dari keluarga yang berkecukupan, tapi tetap Kimberly tida
Hari berganti hari. Kondisi Ernest berangsur-angsur membaik. Dokter sudah mengizinkan Ernest untuk pulang. Selama Ernest di rumah sakit, Kimberly yang mengurus semua hal termasuk mengenai perusahaan. Saat ini keadaan perusahaan dikatakan cukup membaik walau masih merugi. Akan tetapi, Kimberly tak memungkiri bantuan Damian tempo hari sangat berdampak positive bagi perusahaannya.“Nyonya Kimberly, Tuan Ernest sudah di rumah bersama dengan Nyonya Maisie. Saya sudah meminta beliau untuk fokus pada pemulihan tanpa memikirkan masalah perusahaan,” ujar Brisa melaporkan pada Kimberly.Kimberly terdiam beberapa saat. “Good, pastikan ayahku hanya memikirkan tentang pemulihan kesehatannya saja. Aku tidak mau ayahku memikirkan tentang perusahaan.”“Hm, Nyonya—” Brisa menjeda sebentar, tampak ragu untuk mengatakan sesuatu pada Kimberly.“Ada apa, Brisa?” Sebelah alish Kimberly terangkat, menatap lekat Brisa.“Begini, Nyonya, apa Anda yakin akan keputusan Anda untuk pindah dari negara ini? Anda bel
Kesunyian malam membentang kamar megah itu. Hening dan dinginnya malam begitu menyelimuti, menulusup ke dalam tubuh yang telah membaur pada suasana yang rapuh. Jika biasanya kamar itu dipenuhi dengan kehangatan dan cinta yang meluap, berbeda dengan suasana malam ini. Warna yang ada di kamar megah itu hanya hening akibat rasa rapuh mendalam. Kesedihan bahkan begitu memancar jelas seolah menunjukkan tak berdaya. Kimberly menatap Damian yang terlelap membuat mata Kimberly berkaca-kaca. Air mata wanita itu sudah terbendung hendak menetes, tapi mati-matian dia berusaha untuk tak menangis. Dia tahu dirinya telah melakukan hal yang paling bersalah. Namun, yang dia lakukan adalah yang terbaik untuk semuanya. Terkadang cinta tak harus selalu memiliki. Itu yang dia tanamkan. Dia tak mau mengorbankan ego dalam dirinya, dan mengorbankan banyak orang hanya demi dirinya dan Damian.“Kelak kau akan mendapatkan wanita yang terbaik untukmu, Damian.” Tangan lembut Kimberly membelai rahang Damian. Tak
Aura kemarahan di wajah Damian begitu terlihat jelas. Sorot mata tajam dan menusuk layaknya terbakar oleh api. Rahang pria tampan itu mengetat, menunjukkan kobaran amarah yang tak lagi bisa teratasi. Benak Damian berputar tentang tadi malam, di mana Kimberly membuatkan teh untuknya. Tak ada hal yang sama sekali Damian curigai. Dia hanya mengingat dirinya mengantuk kala sudah meminum teh yang dibuat oleh Kimberly itu.“Shit!” Damian mengumpat kasar. Hatinya mulai semakin tak enak memikirkan tentang teh yang dia minum. Pasalnya, dia tahu dirinya tak mungkin sampai mengantuk hebat sampai tak tertahan. Selelah-lelah dirinya, belum pernah Damian sampai mengantuk seperti tadi malam.Apa mungkin Kimberly menaruh sesuatu ke minumannya? Tapi untuk apa? Ke mana Kimberly pergi? Berengsek! Damian tak henti meloloskan makian akibat jutaan hal yang mengusik pikirannya. Kimberly tak mungkin pergi meninggalkan negara ini, tanpa izin darinya. Jika sampai Kimberly melakukan hal nekat, maka ada hal yang
Damian tak memedulikan pelanggaran lalu lintas yang telah dia lakukan. Beberapa kali dia menerobos lampu merah demi mengejar tiba di bandara. Meski Damian tahu dirinya pasti akan langsung mendapatkan panggilan dari pihak kepolisian, tetap saja pria tampan itu sama sekali tidak peduli. Yang dia pikirkan saat ini hanya segera menyusul Kimberly.“Shit!” Damian menekan klakson mobilnya kala tiba-tiba ada mobil yang berani menyalip mobilnya. Dengan penuh amarah, dia menginjak pedal gas, dan menyalip mobil yang ada di hadapannya. Dia menginjak pedal gas kuat-kuat. Bahkan di kala ada truck, dia terus menyalip tanpa memedulikan risiko yang terjadi pada dirinya. Damian memukul setir mobilnya keras. Makian dan umpatan sedari tadi lolos di bibirnya. Tak pernah dia sangka Kimberly memilih negara Singapore yang letaknya jauh dari Amerika. Berjam-jam lamanya Kimberly harus melakukan penerbangan jauh, dalam kondisi hamil muda. Itu yang membuat Damian semakin cemas. Tampak di belakang mobil Damia
Kimberly tak pernah menyangka Damian telah melamarnya. Terlebih lamaran itu sangat indah. Sejak tadi benak Kimberly tak henti memikirkan kejadian indah tadi siang. Kejadian di mana Damian mencegatnya yang sudah berada di boarding gate. Sungguh, Kimberly benar-benar tersentuh mendengar semua ungkapan hati Damian. Sebuah ungkapan yang membuatnya merasa benar-benar beruntung memiliki pria yang sangat mencintainya dengan cara yang luar biasa.Kimberly pernah merasa dirinya tak dicintai. Dia pernah merasa tak diinginkan. Pernah juga merasa dirinya paling sial di dunia ini, tapi nyatanya apa yang ada dipikirannya salah. Sebab kebahagiaan akan tiba di cara yang tepat. Seperti dirinya yang telah menemukan Damian di hidupnya. Tak pernah sedikit pun dia menyesali pertemuannya dengan Damian. Meski harus diawali dengan skandal, tapi nyatanya berujung pada hal yang luar biasa indah.Saat ini, Kimberly berada di berbaring di ranjang tak boleh pergi ke mana pun. Sementara Damian berada di luar kamar
Suara lantang dan tegas Damian membuat semua orang yang ada di sana diam membeku. Tampak Rula, Fidelya, dan Olsen dibuat terkejut akan ucapan Damian. Sementara Deston yang sedari tadi duduk tenang, menatap dingin dan tajam Damian. Sayangnya, tatapan dingin dan tajam Deston sama sekali tak dipedulikan oleh Damian. Sorot mata Damian bagaikan laser yang siap menembak. Begitu menusuk pada object utama. Jantung Kimberly berpacu dengan kencang mendengar ucapan Damian. Tak ada nada ragu sedikit pun. Semua begitu matang. Tangannya berkeringat cemas. Pinjakan kakinya sempat melemah kala dihadapkan dengan keluarga Damian. Terlebih Deston sedari tadi memberikan tatapan tajam pada Kimberly. Tidak! Kimberly langsung menata hati dan rasa cemas dalam dirinya. Jika dirinya lemah, maka yang ada hanya akan semakin disudutkan. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun merendahkan dirinya.“Demi seorang wanita, kau sampai tidak menghormati ayahmu, Damian?” Deston mulai mengeluarkan suaranya. Nadanya
Kimberly diam seribu bahasa tak mengatakan sepatah kata pun. Bahkan di kala sekarang Damian membawanya ke kamar pria itu, tetap saja dia hanya diam. Bukan tanpa alasan, tapi dia sejak tadi memikirkan semua kata-kata Deston. Rasanya seperti mimpi kala Deston mengatakan memintanya menikah dengan Damian. Berkali-kali Kimberly meyakinkan dirinya berada di dunia mimpi, tapi kenyataan yang ada ini adalah sebuah kenyataan indah. Saat ini Kimberly berada di kamar Damian yang berada di kediaman keluarga Darrel. Sejak percakapan tadi, Damian tak membawa Kimberly pulang ke penthouse yang mereka tempati. Pria tampan itu sengaja membawa Kimberly masuk ke dalam kamarnya. Pun ini merupakan pertama kali Kimberly berada di kamar Damian yang ada di kediaman keluarga Darrel.Dulu, setiap kali Kimberly datang ke kediaman keluarga Darrel yang kerap Kimberly datangi adalah kamar milik Fargo. Sekarang wanita berparas cantik itu berada di kamar Damian. Bagi banyak orang mungkin ini memang seperti lelucon.
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s