“Kim, minum dulu obatmu.” Damian memberikan obat yang ada di tangannya pada Kimberly. Pun tanpa bantahan Kimberly segera meminum obat yang diberikan oleh Damian. Wanita cantik itu tak mungkin lupa akan obatnya yang wajib dihabiskan.“Terima kasih, Sayang.” Kimberly berucap seraya menyandarkan kepalanya di dada bidang Damian, kala dirinya sudah meminum obat. Dia memejamkan mata sambil melingkarkan tangannya ke pinggang sang kekasih. Berada di pelukan Damian adalah tempat yang paling nyaman baginya.“Kim,” panggil Damian seraya mengusap punggung Kimberly.“Hm?” Kimberly mendongakkan kepalanya, menatap Damian hangat.“Aku bangga padamu.” Damian mengecup hidung Kimberly lembut.“Bangga denganku? Kenapa?” Sebelah alis Kimberly terangkat, menatap lekat Damian.“Aku bangga karena kau memiliki sifat yang bijak. Kau tidak menjebloskan Gilda ke penjara adalah cara yang hebat. Kau memintanya pergi meninggalkan kota ini, menurutku itu menunjukkan kau sosok wanita yang bisa mengambil keputusan san
Kimberly melangkahkan kaki keluar dari ruang persidangan bersama dengan Damian, Fargo dan Carol. Entah, langkah kaki Kimberly terhenti secara otomatis mengikuti naluri hatinya. Tatapannya menatap Fargo dengan tenang. Senyuman di wajah cantik Kimberly terlukis pada Fargo. Jika dulu dia membenci Fargo yang telah menipunya, sekarang kebencian itu telah sirna. Dia menyadari bahwa dirinya dan Fargo sama-sama bersalah. Apa pun alasannya perselingkuhan adalah hal yang tak dibenarkan.“Kim, bagaimana perasaanmu?” tanya Fargo seraya menatap Kimberly hangat.“Yang pasti aku sekarang tenang, Fargo. Aku tidak lagi merasa berdosa padamu,” jawab Kimberly hangat.Fargo tersenyum. “Aku juga sekarang tenang. Paling tidak, aku melepasmu untuk pria yang tepat. Maaf selama kau menjadi istriku, aku tidak bisa memberikan kebahagiaan padamu.”“Aku juga minta maaf tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu, Fargo. Percayalah kau akan mendapatkan yang terbaik,” ucap Kimberly dengan senyuman tulus di wajahnya.
Mata Kimberly melebar terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Brisa. Begitu pun Carol yang ada di samping Kimberly ikut terkejut. Tampak Kimberly nyaris tak mampu berkata-kata akibat mendengar kabar dari sang asisten. Raut wajah Kimberly begitu memucat panik.“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, Brisa?!” seru Kimberly dengan nada tinggi, dan keras.“Brisa, aku tahu kondisi perusahaan baik-baik saja. Selama Kimberly tidak datang ke perusahaan, aku selalu memeriksa keadaan perusahaan. Kau pasti salah,” sanggah Carol meyakinkan kalau informasi Brisa pasti salah.“Nyonya Kimberly, Nona Carol, saya juga bingung apa yang sebenarnya terjadi. Saat ini saya masih menyelidiki kekacauan ini, tapi dugaan saya, ada seseorang yang memiliki power tinggi sampai mampu membuat kekacauan seperti ini.” Brisa berucap dengan resah dan kepanikan yang melanda.Kimberly menghela napas dalam dan memejamkan mata singkat. “Aku tidak pernah memiliki musuh dalam berbisnis, Brisa. Ayahku juga tidak memiliki musu
Deston mengetuk-ngetuk pelan telunjuknya ke atas meja. Pria paruh baya itu menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang memikirkan sesuatu. Aura wajah dingin dan terselimuti ketegasan di sana. Otak Deston sedari tadi tak henti berpikir akan rencananya yang telah tersusun rapi. Rencana sempurna tapi memang terdengar sangat kejam. Ya, Deston tak memiliki pilihan lain. Hanya cara seperti ini yang harus dia tempuh.“Tuan, apa langkah Anda selanjutnya?” tanya Faine begitu sopan.Deston mengembuskan napas pelan. “Apa Damian sudah tahu tentang ini?”“Saya yakin Tuan Damian pasti sudah tahu, Tuan. Putra Anda bukan orang bodoh. Segala informasi pasti akan cepat putra Anda dapatkan,” ujar Faine seraya menuangkan whisky ke gelas sloki di hadapan Deston.“Bagaimana dengan Kimberly? Apa tindakan yang dia lakukan?” Deston mengambil gelas sloki yang telah berisikan whisky, dan menyesapnya perlahan.“Beberapa strategi telah Nyonya Kimberly lakukan, Tuan. Terakhir saya dengar Nyonya Kimberly
“Kim.” Carol bersimpuh tepat samping Kimberly, memeluk erat menenangkan sahabatnya itu yang sedari tadi menangis. Tak ada yang bisa Carol lakukan selain memberikan pelukan. Baru saja Maisie dibawa ke ruang rawat oleh Brisa dan petugas medis karena jatuh pingsan.Tangis Kimberly pecah dalam pelukan Carol. Tangis yang begitu mendera. Benaknya terus terngiang wajah sang ayah. Hal yang paling dia sesali adalah hubungannya dengan sang ayah belum membaik. Rasa marah Kimberly menguasainya sampai menimbulkan ego yang tinggi.“Carol,” isak Kimberly pilu.“Kim, tenangkan dirimu. Ingat kau sedang hamil, Kim.” Carol mengusap pelan punggung Kimberly, menenangkan sahabatnya itu agar bisa jauh lebih tegar.“Ayahku, Carol.” Tangis Kimberly tak bisa terhenti. Berkali-kali dia berusaha untuk tegar, tapi dia tak bisa. Kehilangan ibu kandungnya sudah sangat menyiksa dirinya. Dia tak sanggup jika harus kehilangan ayahnya.“Sabar, Kim. Ingat kau sedang hamil.” Hanya kata-kata ini yang bisa Carol ucapkan.“
Damian mengendurkan dasi yang melingkar di lehernya. Pria tampan itu menyambar wine di hadapannya, dan menenggak kasar. Tampak raut wajah Damian begitu kacau. Pria tampan itu seperti memikirkan beban berat yang membuat emosinya menyulut. Pancaran mata Damian menyalang penuh rasa marah yang bercampur frustrasi. Otaknya seakan penuh dengan banyak hal yang sampai membuatnya tak terkendali.Damian memijat pelipisnya pelan berusaha untuk meredam segala amarah dalam dirinya. Meledakan emosi hanyalah sia-sia. Sebab bagaimanapun, yang Damian lawan adalah ayah kandungnya sendiri. Dia tetap tak bisa menyerang mati-matian. Lepas dari apa yang terjadi, tak mungkin dirinya sampai berani melukai sang ayah.Tatapan Damian teralih pada ponsel miliknya yang ada di atas meja. Benaknya mengingat dirinya belum menghubungi Kimberly hari ini. Pikiran yang sedang tak bisa berpikir jernih akhirnya membuatnya melupakan banyak hal.Damian mengambil ponselnya, dan segera menghubungi nomor Kimberly. Namun, sayan
“Kim, lebih baik kita pulang. Ini sudah malam. Aku akan meminta orangku menjaga ayahmu.” Damian membelai punggung Kimberly, mengajak sang kekasih untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Sudah sedari tadi Damian mengajak Kimberly pulang, tapi tetap kekasihnya itu menolak. Kondisi Kimberly yang hamil muda, membuat Damian terus berusaha membujuk sang kekasih untuk pulang. Pria itu tak mungkin membiarkan Kimberly tinggal di rumah sakit. Bukan melarang menjaga Ernest, tapi Damian takut Kimberly kelelahan.“Damian, aku masih ingin di sini. Jika kau ingin pulang, kau pulang sendiri saja. Aku akan tetap menjaga ayahku, Damian. Aku takut.” Kimberly berucap begitu lirih. Rasa takutnya akan kehilangan sang ayah membuatnya tak berani meninggalkan ayahnya. Benak wanita itu berputar mengingat sang ayah yang berada di ambang kematian.Damian mengambil tangan Kimberly, mencium punggung tangan wanita itu. “Sayang, kau sedang hamil. Besok kita akan ke sini lagi. Aku mohon pikirkan kandun
Pelupuk mata Maisie bergerak-gerak menandakan mata hendak terbuka. Sinar lampu pertama kali yang menyorot ditangkap oleh matanya. Mata Maisie mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa begitu lemah tak berdaya. Kepala Maisie memberat dan sakit mulai menyerang. Beberapa kali Maisie memilih untuk memejamkan mata sebentar demi mengurangi rasa sakit di kepalanya.“Nyonya, Anda sudah sadar?” Brisa menatap Maisie dengan tatapan cemas. Malam ini memang Brisa ditugaskan untuk menjaga Maisie. Pasalnya Ernest telah dijaga oleh orang-orang kepercayaan Damian.“Aku di mana?” Maisie mulai mengendarkan pandangannya, menatap ke sekeliling. Tampak raut wajah Maisie berubah kala melihat dirinya berada di ruang rawat. Kepingan memori mulai mengumpul, tapi belum sepenuhnya membuat dirinya mengingat apa yang terjadi.“Nyonya, Anda di rumah sakit,” jawab Brisa pelan dan hati-hati.Seketika mata Maisie melebar ketika ingatannya menjadi satu. Wajahnya memucat. Rasa takut menjalar, menelusup ke dalam dirinya.