Kini ketiga mahasiswa itu duduk mengelilingi meja Martin. Mereka duduk menghadap pada DPS mereka yang sedang memandang dengan seksama kue yang Viona berikan untuknya.Ia memandang lekat-lekat benda yang tampak payah dengan dekorasi tidak beraturan dan bau aneh juga tercium cukup pekat dari kue itu."Sekarang Aku mengerti!" ucap Martin tiba-tiba dengan tatapan datarnya."Hm? Apa?" Viona merasa heran akan perkataan tiba-tiba yang keluar dari mulut dosennya itu.Tanpa mengalihkan pandangannya dari kue yang tidak meyakinkan itu, Martin berkata, "Kue ini begitu unik!" Viona tampak senang, tetapi beberapa saat kemudian ia memandang curiga dengan ungkapan yang sekilas terdengar bagus itu karena teringat bagaimana reaksi Wendy sebelumnya ketika ia mendapat kue darinya itu. "Tunggu dulu, apa maksudnya itu?" tanyanya memastikan.Martin menoleh pada gadis itu seraya memasang senyum ramah khasnya padanya. "Kau ingin membunuhku ya?" ucapnya dengan begitu santainya.Sejenak, Viona mematung dengan k
POV Wendy.Saat ini aku bersama Martin di klinik kampus.. Memang sebenarnya tidak aneh ketika ia memintaku untuk mengantarnya ke fasilitas kesehatan ini, tetapi kupikir sebenarnya ia melakukan itu karena memiliki maksud tersendiri terhadapku.Setelah selesai diperiksa oleh dokter, ia bertanya apakah aku masih ada perkuliahan atau tidak? Dan ketika kujawab 'tidak ada' pria itu memintaku untuk melakukan hal lain, yaitu menemaninya beristirahat di klik sampai ia merasa jauh lebih baik.Di sinilah aku sekarang. Duduk di kursi tepat di samping tempat tidur pasien yang ia gunakan untuk merebahkan diri.Wajah pria itu masih tampak merah meski tidak semerah sebelumnya. Hal itu menandakan bahwa dia sepertinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun meski begitu, sekarang aku bisa melihat dengan kedua mata yang tampak cekung seakan menunjukkan betapa lelahnya pria itu saat ini."Pak, bagaimana keadaan Bapak sekarang?" tanyaku untuk membuka pembicaraan dengan pria yang hanya diam saja memain
Setelah selesai menunaikan tugas dari Martin, Reynold pergi meninggalkan ruang perkuliahan itu menuju ke taman batu, tempat teduh yang kerap kali ia jadikan sebagai tempatnya menunggu sebelum perkuliahan selanjutnya dimulai.Seperti biasa, pemuda itu mengambil buku dari dalam tasnya, lalu mulai membacanya, melanjutkan kembali bacaan sebelumnya.Beberapa menit berlalu, ia membuka lembar demi lembar buku di tangannya, tetapi apa yang dirasakannya adalah sebuah kekosongan, ia tidak bisa menyerap apa yang baru saja dibacanya. "Hm, apa ini?" gumam pemuda itu sembari memijat keningnya yang mengerut itu.Hal itu karena sesungguhnya kepalanya tidak bisa diam berpikir mengenai Martin yang pergi ke klinik kampus bersama Wendy."Hm, haruskah Aku juga pergi ke sana?" pikir Reynold yang entah mengapa merasa tergerak untuk memeriksa apakah yang mahasiswi dan dosen itu lakukan di klinik.Reynold menggelengkan kepalanya seakan berusaha untuk mengusir pikiran random yang tiba-tiba saja menyambangi ke
POV Wendy.Melihat kedatangan Robert yang begitu menghebohkan seisi klinik, tiba-tiba aku terpikirkan sebuah ide."Tadi Reynold yang memberitahuku kalau Bella sedang mengantar Pak Martin ke klinik," ujar Robert, menjelaskan mengapa bisa ia datang ke tempat ini."Rey? Hoo, sepertinya dia sudah melaksanakan permintaanku," ucap Martin.Pria aneh itu menoleh ke arahku, seraya berkata sembari tersenyum penuh arti, "Well, Robert sepertinya tidak begitu saja datang menjengukku, benar kan Rob!" Robert hanya cengengesan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Em, Aku juga ingin menjenguk Bapak mertua kok," ucapnya sembari memanggil Martin dengan panggilan yang lucu sekali."Hahahahaha. Ya, ya, Kau lihat sendiri bukan? Aku baik-baik saja!" Martin tertawa sembari merentangkan tangannya seakan menunjukkan bahwa ia sudah sangat sehat di samping wajahnya yang masih tampak pucat."Well, Aku akan kembali baik-baik saja setelah kue dari Viona itu sudah tercerna dengan sempurna di lambungku," s
Entah bagaimana kini akhirnya Viona ikut bergabung di antara aku dan Robert. Meski tidak mengatakannya, tetapi aku bisa melihat dan merasakan sendiri bahwa gadis angkuh itu tengah marah akan sesuatu."Well, apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya gadis itu sembari tersenyum sinis pada pemuda yang tengah bersamaku itu."Hm, tadinya Aku mau mengajak Bella jalan-jalan, Kami-""Tidak bisa, hari ini Bella sudah berjanji mau menemaniku ke suatu tempat!" sela Viona dengan gesit langsung menyela apa yang hendak pemuda itu utarakan mengenai hal yang tidak pernah kutahu.Aku hanya melongo sembari bergumam. "Eh? Benarkah?" "Oh, baiklah, kalau begitu bolehkah Aku ikut! Aku berjanji tidak akan macam-macam!" tegas pemuda itu dengan kekeh.Viona memandangnya dengan begitu sengit, lalu berkata dengan begitu tegas pada pemuda itu, "Tidak boleh! Ini urusan wanita! Sebaiknya Kau jangan ikut campur!""Tapi Aku -""Em, Rob!" Aku mengangkat tanganku untuk memberikan isyarat pada Robert agar ia menden
Aku pun mengikuti langkah pemuda itu di belakangnya. Ia mengajakku ke parkiran, menuju ke tempat di mana motornya diparkirkan. "Em, Rey, sebenarnya apa yang mau Kita 'diskusikan'?" tanyaku dengan heran melihatnya malah menaiki motornya dan tengah mengenakan helm-nya, seperti ia sedang bersiap untuk pergi dengan kendaraan roda duanya itu."Naiklah!" seru pemuda itu sembari menyodorkan sebuah helm, tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya."Tapi-" Aku menghentikan protesku ketika kulihat tatapan pemuda yang datar itu memandangku dengan tidak sabar sehingga membuatku merasa bahwa memprotesnya adalah ide yang buruk."Well, baiklah!" Aku menerima helm itu dan dengan segera mengenakannya di kepalaku, lalu duduk di jok penumpang.Setelah merasa penumpangnya sudah siap, Reynold pun mulai melajukan motornya.***Kendaraan yang kami naiki ini kini sedang melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya. Selama perjalanan entah ke mana ini kami benar-benar diam. Hal ini kerena, seperti biasa, Reynold
Aku tertegun mendengar perkataan manis itu. Sungguh, ucapan itu mampu membuat perasaanku tidak karuan lagi, benar-benar berbahaya sekali pemuda itu."Mengapa Kau tertegun seperti itu? Bukan kah Kau sendiri yang mengatakan bahwa Kau adalah temanku, hm?" Reynold berkata lagi setelah ia sepertinya menyadari ketertegunanku.Aku mengerjap, dan langsung kembali fokus pada pemuda tampan yang usianya 7 tahun lebih muda dariku itu."A ... Aku tidak tertegun, Aku hanya terpikirkan sesuatu mengenai Kau yang membawaku ke tempat ini!" jawabku tergagap. "Ekhm ... Aku yakin keberadaan Kita di sini pasti berarti sesuatu bukan hanya sekedar seperti apa yang Kau katakan barusan. Well, jadi apa itu?" tanyaku, mempertanyakan maksud pemuda itu sebenarnya.Reynold mengangkat alisnya, lalu berjalan mendekat ke danau indah itu. "Bukankah sudah kubilang sejak awal bahwa Kita akan berdiskusi?" ucapnya dengan begitu datar."Itulah yang menjadi pertanyaanku sedari tadi, 'diskusi' apa yang dia maksud!" gerutuku s
Cukup lama kami berada dalam posisi ini. Reynold tak membebaskan bibirku begitu saja, dan aku pun tak kuasa untuk membebaskan diri darinya seakan enggan sekali diriku untuk melepaskan kesempatan langka mendapatkan kehangatan ini barang sebentar saja.Kulirik wajah tampan yang sedang terpejam dari posisiku saat ini seakan ia sedang menghayati apa yang sedang ia lakukan sekaligus menantikan balasanku atas tindakannya."I ... Ini gila! Apa yang harus kulakukan sekarang?! Aku benar-benar tidak bisa melakukan sesuatu yang seperti ini!" Kepalaku dilanda kepanikan atas langkah apa yang harus kulakukan untuk menghadapi apa yang sedang terjadi di antara kami.Perlahan tangan Reynold meraih rambut poni sampingku yang menjuntai, lalu melipkannya ke belakang telingaku dengan begitu lembut. Setelah itu ia mengusap kepala bagian belakangku berkali-kali sehingga membuatku terbuai dan perlahan memejamkan kedua mataku.Karena perasaan nyaman itu, perlahan juga aku membuka mulutku sehingga akhirnya ia