Ia menatap kedua mataku semakin intens setelah menanyakan hal yang membuatku kaget bukan main sebab kupikir dia bertanya seperti itu karena ia mulai mencurigaiku. "Ha ... hah? Apa maksudmu?" tanyaku dengan gugup dan aku bisa merasakan keringat mulai bercucuran di sekujur tubuhku. Dia tidak berkata lagi. Pandangan dinginnya terus terkuci pada mataku sangat lama sehingga mambuatku malah membalikkan pertanyaan padanya karena tingkah anehnya ini. "Rey, seharusnya Aku yang bertanya, apa yang Kau inginkan dariku sekang, hm?" ucapku dengan segenap keberanian, menyembunyikan perasaan gugup ini. Wajahnya semakin mendekat, dan sungguh saat ini aku benar-benar merasa jantungku akan meledak karena saking deg-degannya memikirkan adegan yang akan terjadi selanjutnya di antara aku dan pemuda itu. Sontak karena hal itu, aku langsung menutup mataku karena terlalu malu untuk melihat apa yang hendak ia lakukan. "Tidak ada, Aku hanya sangat senang melihat tampangmu yang seperti ini!" bisik Reynold den
"Oh! Tuan Michael!" Martin yang saat ini sedang berada di gedung kementerian pendidikan pusat itu tanpa sengaja bertemu dengan Michael Clifford. Ayahnya Reynold ini memang sedang berada di luar kota dari kemarin untuk bertemu seseorang, dan secara kebetulan orang itu baru bisa ditemui hari ini di tempat yang sama dengan Martin berada saat ini. Michael yang mendengar seseorang memanggil namanya itu, menoleh dan tampak raut wajahnya begitu kaget. "Akh! Pria cerewet itu!" pikirnya yang sebenarnya begitu malas bertemu dengan orang yang dikenalnya. "Apa kabar, Tuan?" tanya pria itu setelah ia berdiri tepat di hadapan detektif terkenal itu. "Hai Martin. Well, seperti biasa kabarku begini-begini saja. Bagaimana denganmu?" jawab Michael sembari menjabat tangan dosen pembimbing putranya itu. "Tetap bahagia menjadi pengajar!" tegasnya dengan begitu ceria. "Well, tampak sekali ..." ucap Michael dengan senyum ramahnya. "Tugas kampus kah?" sambungnya, memastikan tujuan keberadaan pria itu di
Wendy sudah bersiap dengan dandanan formalnya. Saat ini sudah jam 8 malam, wanita itu sedang berdiri di depan gedung apartement-nya, menunggu Chris menjemputnya.Wanita itu terlihat sedikit cemas karena siapa yang tidak gugup bertemu dengan orang penting misterius yang keberadaan dan sosoknya tidak diketahui banyak orang termasuk para anggotanya."Apa yang harus kulakukan nanti? Aku benar-benar takut menyinggungnya," pikir Wendy.Ia kembali memeriksa jam tangannya. "Chris belum datang juga, dia bahkan tidak menghubungiku atau membalas pesanku, apakah ada masalah?" Ia mulai bertanya-tanya tentang keberadaan Chris yang sampai sekarang belum kunjung datang.BRROOM!CKIT!Tiba-tiba sebuah Lamborgini yang melaju dengan cepat, berhenti tepat di hadapan wanita itu."Cepat masuk!" seru si pengemudi mobil itu yang ternyata adalah Chris.Wendy mengangguk dan dengan sigap langsung masuk ke dalam mobil itu. "Apa yang membuatmu lama?" tanya Wendy ketika mobil sudah mulai melaju.Chris melirik Wen
Ketika Reynold tengah tenggelam dalam pemikirannya mengenai surat di tangan kurir yang duduk di sebelahnya itu, si penunggu toko kembali dengan sebuah paket kecil yang ditujukan untuk pemuda itu."Oh, hai Jill, ada paket baru kah?" sapa si pemilik toko pada kurir yang dipanggil Jill itu."Yap, tapi kali ini hanya sebuah surat, tak ada kiriman lain lagi!" jawab Jill sembari menunjukkan sepucuk surat yang sedari tadi diamati Reynold itu.Si penunggu toko itu mengambil surat itu dan membaca muka amplopnya untuk memastikan siapa si pengirim dan penerima surat itu."Hm ... Baiklah Aku akan menghubungi si penerimanya nanti," ucap si penunggu toko itu sembari memasukkan suratnya ke dalam laci khusus di dekatnya."Well, surat sudah ada di tanganmu, jadi tugasku sudah selesai! Kalau begitu Aku pergi!" ujar Jill sembari menggendong kembali tasnya."Yap, terima kasih!" timpal si penunggu toko.Jill mengangguk, lalu menoleh pada Reynold sembari memasang senyum ramahnya. "Oh, dan selamat malam Ana
Bruno membawa wanita itu ke salah satu ruangan di rumah singgahnya itu. Sebuah ruangan yang nyaman dan hangat, benar-benar nyaman sehingga siapa pun yang berada di dalamnya akan merasa sangat betah. Selain itu, dalamnya juga terdapat berbagai jenis alat musik klasik seperti piano, biola, selo, klarinet, saksofon, dan sebagainya.Mengetahui dirinya di bawa ke sebuah ruangan yang tidak biasa, tentu saja membuat Wendy merasa heran. Ia benar-benar tidak mengerti dengan maksud pria tua itu membawanya ke tempat itu, tetapi Wendy tetap diam saja mengikuti arus, seperti dengan apa yang dikatakan Chris."Well, duduklah di sana, Wendy!" seru Bruno sembari menunjuk sebuah sofa yang membelakangi sebuah jendela besar.Wendy hanya mengangguk, dan melakukan apa yang diperintahkan pria tua itu."Apakah Kau bisa memainkan alat musik?" tanya Bruno setelah memastikan Wendy sudah duduk dengan manis di sofa yang ia tunjuk itu."Tidak, Bos! Selama ini Saya lebih suka mendengarkan dari pada mencoba memainka
POV Wendy.Setelah pertarungan kilat sebelumnya, bos besar mengajakku untuk makan malam bersamanya di ruang makannya. Di sinilah aku sekarang, berdiri dengan tegap di samping bos besar yang duduk di meja makan besar dengan beberapa hidangan sudah tersajikan dengan rapi di atasnya. Hidangan sehat yang cukup banyak sehingga membuatku berpikir bahwa tidak mungkin pria tua itu memakan semuanya sendirian. "Duduk dan makanlah apa pun yang Kau mau!" seru bos besar yang sepertinya menyadari bahwa sedari tadi aku hanya memandangi semua hidangan di hadapanku.Aku terperanjat, menyadari bahwa aku sudah sangat tidak sopan sehingga membuat bos besar menawarkan makanannya padaku."Terima kasih, Bos Besar! Tapi tak apa, Saya di sini saja! Silakan nikmati santap malam Anda, atau jika Anda terganggu dengan kehadiran Saya, Saya akan per-""Duduklah!" sela pria itu. "Sangat jarang sekali seseorang menemaniku makan. Well, lagi pula kapan lagi Kau bisa duduk satu meja dengan Bos Besar ini, hm? Aku yakin
"Mau apa Kau datang ke sini? Jika yang Kau cari adalah ayahku, dia tidak ada di rumah!" ucap Reynold dengan ketus tanpa menghiraukan rayuan wanita di hadapannya itu.Wanita genit itu semakin melebarkan senyumnya. Senyum yang sangat mencurigakan karena memang ada sesuatu hal yang dipikirkan wanita itu di baliknya."Ah, sayang sekali ... Padahal Aku sudah jauh-jauh datang ke sini, mana sekarang sudah dini hari lagi, jika Aku pulang lagi, apa yang-""Lakukan sama seperti dengan cara Kau datang ke sini!" sela Reynold.DUG!Pemuda dingin itu langsung menutup pintu kembali tepat di depan wajah wanita cantik yang menggoda itu dan menguncinya tanpa rasa iba sedikit pun."Merepotkan sekali," gerutu Reynold di balik pintu dan bergegas menuju ke kamarnya.TOKTOKTOKKaren tidak menyerah, dia mengetuk pintu rumah itu kembali.Namun Reynold tidak peduli, dan ia pun melanjutkan langkahnya, tanpa memedulikan wanita yang ia kunci di luar itu."Rey! Rey! Tolong buka pintunya! Biarkan Aku masuk!" ucap
Seketika Reynold teringat akan nama Diana Madeline dan Wendy Madeline. Ternyata kedua nama di muka amplop rahasia yang membuatnya tertarik itu benar-benar berarti sesuatu sekarang."Benar-benar sebuah takdir. Sepertinya Aku ditakdirkan untuk sempat membaca pengirim dan penerima surat itu agar Aku bisa segera menemukan si wanita licik sialan itu!" simpul Reynold di tengah-tengah pemikiran dalamnya."Namun masalahnya sekarang adalah di antara kedua wanita itu, siapakah Madeline yang kumaksud?" pikirnya lagi semakin dalam."Hm, karena surat itu dikirim secara sembrono untuk dikatakan sebagai surat rahasia, jadi kusimpulkan si pengirim ini hanya wanita polos sehingga hal yang paling masuk akal adalah si penerima itulah wanita licik yang kucari, yaitu Wendy Madeline!" Pemuda itu akhirnya mencapai pada sebuah kesimpulan sementaranya, meski sebenarnya ia sudah sangat yakin.Reynold lalu menatap tajam-tajam pada wanita penggoda itu seraya berpikir, "Itu artinya wanita yang bertarung bersama K
POV Wendy. "Misi apa yang akan pria itu berikan dengan membuat kita bertiga berkumpul seperti ini?" pikirku sembari menatap sosok Chris yang tengah duduk sembari menatap kami bertiga dengan serius. "Si bajingan Vincent kemarin buka mulut. Dia terus mengoceh, sehingga pada akhirnya mengatakan bahwa ada hal serius yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, dan itu berhubungan Coltello. Mau tidak mau organisasi akan terlibat dalam sebuah perang antar organisasi kecil dan itu tidak bisa dihindari!" Chris mulai menuturkan hal yang menjadi penyebab yang sepertinya membuat pikirannya terganggu. Mendengar hal itu, sontak saja semua orang terlihat semakin serius. "Dia tidak mengatakan detailnya, tetapi itu berhubungan dengan tuan Jimmy Heartnewt. Dia hanya bilang bahwa dengan adanya pejabat itu di sisi mereka, maka Coltello pasti tidak akan baik-baik saja!" Chris melanjutkan perkataannya. Pria itu, melirik ke arahku, kemudian berkata, "Wendy, kuperintahkan Kau untuk mengawasi
Michael memandang Hilde dengan perasaan penuh antusias, benar-benar ingin segera mengetahui apa yang hendak tante girang itu bicarakan dengannya, di samping dia ingin 'benda' yang ada padanya. Sedangkan wanita itu tampak tertunduk sedih di samping pria itu sembari memainkan tangannya. "Hm? Nyonya Hilde, mengapa Anda hanya diam saja?" tanya Michael sambil memasang senyumnya yang menawan. Hilde dengan ragu melirik pria rupawan itu. "Tuan Clifford, Saya merasa ketakutan," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Well, itulah yang seharusnya Anda rasakan. Anda baru saja menjadi target pembunuhan, tentu saja hal semacam itulah yang harus Anda rasakan," ujar pria itu. Hilde langsung berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari Michael, lalu berkata dengan menggebu-gebu, "Tuan, Anda sudah menyelamatkan nyawa Saya malam itu. Saya yakin Anda bisa-" "Sejujurnya, Nyonya Hilde, yang Saya lakukan hanyalah menangguhkan waktu pembunuhan Anda. Anda berhasil lolos malam itu, bukan berarti Anda
"Well, Rey, Rob, tunggu sebentar ya! Sebentar lagi kelasku selesai," seru Martin. "Baik, ayah mertua!" timpal Robert dengan bersemangat, berbanding terbalik dengan Reynold yang hanya merespons dengan sebuah anggukan malas. Martin tersenyum, lalu kembali ke dalam kelas, melanjutkan perkuliahannya. Tinggallah kedua pemuda itu sendiri. "Sebenarnya untuk apa Kau menemui Pak Martin?" Reynold yang masih penasaran, menanyakan hal yang menurutnya ganjil itu. "Eh? Aku hanya datang untuk kunjungan rutinku. Takada masalah mengenai itu, kan?" jawab Robert dengan santainya. "Kunjungan rutin apa?" Reynold bertanya makin jauh. "Itu bukan urusanmu~" timpal lawan bicaranya yang terlihat seperti sedang menjahilinya. Mendengar respons itu, Reynold tidak memperpanjangnya lagi karena sejujurnya ia cukup kesal mendengar bagaimana pemuda itu menjawab tiap pertanyaannya. "Tapi ada satu hal pasti yang menjadi urusanmu, yaitu uruslah kekasihmu sendiri, dan jauh-jauhlah dari Bella!" Pemuda it
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di depan pintu masuk gedung aprtement-ku. "Terima kasih, Rey!" ucapku dengan riang gembira. Reynold hanya memandang dengan malas padaku. Aku memeluk erat boneka unicorn pemberian darinya sembari cengengesan. "Terima kasih juga bonekana ... Aku sangat menyukainya," ungkapku. "Aku tidak sengaja memberikannya-" "Aku akan menamainya ReyBell!" selaku, langsung memberitahukan nama boneka pemberiannya. "Hm, Reynold Bella, kah? Dasar gadis aneh!" gumamnya sembari menyalakan kembali motornya, sepertinya ia bersiap untuk pergi. Aku menghadapkan kepala boneka itu pada Reynold, seraya berkata dengan nada jahil, "Reybell, ayo katakan sesuatu pada Papa!" Reynold langsung menoleh padaku dengan tampang terkejut. "Papa, hati-hati di jalan ... sampai jumpa lagi!" Aku mengubah suaraku sembari mengerak-gerakkan kaki depan boneka unicorn itu seakan dia sedang melambai pada pemuda yang sudah memberikan boneka ini padaku. "Dasar gadis aneh!" guma
Belum sempat aku menjawab apa yang ditanyakannya, Reynold menghentikan laju motornya di depan sebuah kedai makanan sederhana. "Em, Rey?" Aku memanggilnya dengan heran. "Turunlah!" serunya. Aku pun melakukan apa yang diserukannya dengan tampang bingung. "Kenapa Kita berhenti di sini?" tanyaku. Pemuda itu menurunkan standar motornya, lalu turun dari motornya, dan setelah itu melengos pergi menuju ke pintu masuk kedai seraya berkata, "Aku lapar!" "Hah? Apa? Eh, tunggu Aku!" Takingin tertinggal olehnya, aku berlari kecil untuk mengejarnya. *** Kini kami duduk berhadapan di dalam kedai itu. Makanan sudah dipesan dan kami hanya tinggal menunggu pesanan kami datang. Ini pertama kalinya aku dan Reynold makan berdua seperti ini. Sejujurnya entah mengapa aku merasa gugup, karena kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam saling menatap. Pemuda itu bahkan tidak memainkan ponselnya dan ia hanya memandangi sekitar dan sesekali memandang ke arahku dengan tampang
"Aku akan tahu rahasia Reynold! Aku harus berjuang!" pikirku dengan rasa begitu antusias mengikuti langkah targetku ini. Pintu geser kaca otomatis pun langsung terbuka ketika kaki kami menyentuh lantai di depannya. "WOAH ...." Aku memasang tampang bodoh seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke dalam sebuah gedung yang penuh dengan berbagai macam game arcade di dalamnya. Aku langsung beralih pada Reynold dengan antusias, seraya bertanya sambil menarik-narik bajunya, "Rey, Rey! Mau main yang mana dulu ini?" Pemuda itu menoleh padaku dengan malas, lalu berjalan begitu saja menuju ke tempat pembelian koin. "Kau yang pilih!" tegasnya setelah ia membeli koin yang cukup banyak. "Eh? Baiklah!" timpalku dengan bersemangat. Kuedarkan pandanganku untuk mencari mesin permainan yang terlihat menarik untuk pertandingan kami. "Ayo Kita main itu!" Aku menunjuk sebuah mesin game arcade Tekken yang terlihat masih baru tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hm." Reynold hanya m
POV Wendy. Kedua mataku terbelalak melihat pemandangan mengejutkan itu. Setelah mencari pemuda itu selama satu setengah jam, akhirnya Aku menemukannya dalam situasi yang membuatku takhabis pikir. Sebuah situasi di mana Reynold terlihat bahagia bercanda dan beberapa kali ia juga tertawa dengan gadis kecil yang terlihat seperti berumur 7 tahunan di punggungnya itu. "Bocah cilik itu siapanya Reynold?" gumamku yang masih tak percaya dengan apa yang kulihat. "Reynold! Luna!" Seorang wanita berlari kecil sambil memanggil mereka. Pemuda dan bocah cilik itu menoleh pada wanita itu. Seorang wanita dewasa yang terlihat manis dan terlihat menenteng kantong kresek. Bocah itu terlihat antusias dan Reynold pun berjalan mendekat pada wanita itu sambil menggendong gadis cilik yang sepertinya bernama Luna itu. Mereka bertiga terlihat bercengkerama bersama dengan menampakkan senyum lepas satu sama lain sehingga mereka benar-benar terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia. "Aku tida
Michael tengah duduk di depan seorang pria bermantel biru khas seragam kepolisian. Mereka duduk berhadapan dengan tampang si pria dari kepolisian itu terlihat kesal. Sedangkan Michael terlihat begitu santai, takpeduli dengan tampang kesal pria itu. "Jadi, Kau tetap takingin menyerahkan benda yang Kau dapatkan itu?" tanya pria itu dengan gigi bergemertak seakan sedang menahan kekesalannya. "Yaps! Aku berhak menolak karena itu adalah properti pribadiku. Kau ini polisi, pasti Kau sangat tahu hak-hak warga negara bukan?" jawab Michael dengan tenang. "Tuan Michael Clifford, Aku rasa itu bukan benda milikmu, jadi kami berhak untuk mengambilnya demi kepentingan negara!" Polisi itu menyanggah apa yang dikatakan pria yang tampak menyebalkan dengan seringainya yang tiba-tiba saja tampak semenjak mereka bertemu. Michael menghela napas, lalu sidekap di pahanya, lalu berkata, "Kau sepertinya lupa dengan tujuanmu sejak awal. Semenjak Kau datang Kau hanya membicarakan 'benda itu.' Well, Kau
Reynold sudah tidak terlihat lagi. Dia berlari dengan sangat cepat. Wendy tidak mengira pemuda itu bisa berlari secepat itu, bahkan ia bisa membuat seorang eksekutor seperti dirinya kehilangan jejak. "Well, sebenarnya dia tidak berlari secepat itu, tetapi ia menggunakan keadaan sekitarnya yang cukup ramai untuk menyamarkan jejaknya," pikir wanita itu, masih tetap berlari untuk mencari sosok jangkung pemuda menawan itu. "Pemuda itu benar-benar selalu melampaui ekspetasiku." Wendy tersenyum mengingat betapa menariknya target yang harus ia dapatkan itu. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat seakan memvisualkan bagaimana sangat bersemangatnya ia saat ini. "Aku tidak boleh menyerah! Aku harus menemukannya!" ucap wanita itu dengan begitu bersemangat. *** Sementara itu di sisi Chris. Pria casanova itu tampak sedang duduk di meja kerjanya sembari memandangi ponselnya lekat-lekat seakan ia sedang mempelajari sesuatu dari sana. "Hm, sepertinya wanita itu sedang bersenang-senang," guma