Aku duduk di sudut sofa, menggenggam cangkir teh hangat yang diberikan pelayan apartemen Lucian. Tanganku masih sedikit gemetar, tapi bukan karena suhu minuman ini—melainkan karena aku masih belum bisa memproses sepenuhnya apa yang baru saja terjadi dalam hidupku.
Pernikahanku dengan Damien telah hancur sebelum sempat dimulai, dan sekarang aku terjebak dalam pernikahan lain—dengan seorang pria yang sama sekali tidak kukenal. Lucian Devereaux. CEO dingin dengan tatapan yang mampu membuat siapa pun tunduk dalam hitungan detik. Lucian duduk di seberangku, membaca sesuatu di tabletnya dengan ekspresi tanpa emosi. Kami belum berbicara lagi sejak percakapan singkat tadi. Suasana di antara kami terasa begitu canggung, seolah-olah ada jurang tak kasat mata yang memisahkan kami. Aku memutuskan untuk mengakhiri keheningan lebih dulu. "Jadi ... apa yang terjadi sekarang?" Lucian tidak langsung menjawab. Dia meletakkan tabletnya di meja dan menatapku. "Sekarang, kita akan mulai menyesuaikan diri dengan peran masing-masing." Aku mengernyit. "Maksudmu?" Dia menyandarkan punggungnya ke sofa, menatapku dengan intens. "Aku butuh istri yang bisa meyakinkan dunia bahwa pernikahan kita nyata. Tak hanya tinggal di sini, kau harus mengikuti semua acara sosial bersamaku, dan memainkan peran sebagai istri yang sempurna." Aku mencengkeram cangkir teh lebih erat. "Dan bagaimana dengan tujuanku?" Lucian menatapku sejenak sebelum menjawab, "Kau bisa memulai balas dendam." Aku terdiam. Tentu saja aku menginginkannya. Aku ingin Damien melihatku bahagia tanpa dirinya. Aku ingin dia menyesal telah meninggalkanku demi wanita lain. Lucian melanjutkan, "Aku bisa memberimu kesempatan itu. Dengan status barumu sebagai Nyonya Devereaux, kau akan mendapatkan perhatian yang selama ini tak pernah kau miliki. Kau akan berada dalam lingkaran sosial yang sama dengan Damien dan Celeste, dan kau bisa menunjukkan pada mereka betapa mereka telah membuat kesalahan besar." Aku merenungkan kata-katanya. Itu memang terdengar seperti rencana yang sempurna. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. "Dan setelah semua ini selesai? Setelah kau mendapatkan warisanmu dan aku mendapatkan balas dendamku?" Lucian mengangkat bahu. "Kita berpisah. Pernikahan ini akan berakhir secepat kita mengawalinya." Aku tidak tahu kenapa, tapi jawaban itu membuat dadaku terasa sedikit sesak. Aku mengangguk pelan. "Baiklah. Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?" Lucian tersenyum tipis, senyum yang entah kenapa membuatku merasa sedang menandatangani perjanjian dengan iblis. "Mulai besok, kita akan mengumumkan pernikahan kita ke publik. Bersiaplah, Seraphina. Hidupmu tidak akan pernah sama lagi." *** Pagi itu, aku terbangun lebih awal dari biasanya. Pikiranku masih berkecamuk dengan berbagai hal tentang pernikahan ini, tapi aku tahu tidak ada jalan kembali. Aku telah membuat keputusan, dan sekarang aku harus menjalani konsekuensinya. Aku melangkah keluar dari kamar, dan mataku langsung menangkap sosok Lucian yang berdiri di dekat jendela besar apartemennya. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung, satu tangan memasukkan kopi ke dalam mulutnya, sementara tangan lainnya menggenggam ponsel. Aku menatapnya beberapa detik lebih lama dari seharusnya. Sial. Tidak bisa disangkal bahwa pria ini memiliki aura yang mampu menarik perhatian siapa saja. Lucian menyadari kehadiranku dan menoleh. "Kau sudah bangun. Bagus. Kita akan pergi dalam satu jam." Aku mengerutkan kening. "Pergi ke mana?" Dia menyeruput kopinya dengan tenang sebelum menjawab, "Ke kantor pusat Devereaux Group. Semua orang harus tahu bahwa kau sekarang adalah istriku." Aku menelan ludah. "Bagaimana jika mereka tidak menerimaku?" Lucian menatapku dalam-dalam, lalu berjalan mendekat. Aku menahan napas saat dia berhenti hanya beberapa inci dariku. "Biarkan aku yang mengurus mereka," katanya pelan, tapi penuh ketegasan. "Tugasmu hanyalah bersikap seperti seorang istri. Sisanya, aku yang tangani." Aku ingin membalas, tapi sesuatu dalam sorot matanya membuatku tidak bisa berkata-kata. Aku baru menyadari bahwa mulai hari ini, aku tidak hanya harus berurusan dengan Damien dan Celeste. Tapi juga dunia Lucian Devereaux yang penuh rahasia. Dan mungkin, aku tidak siap untuk itu. *** Aku menatap pantulan diriku di cermin. Gaun berwarna biru tua yang Lucian siapkan untukku terlihat sangat elegan, lebih mahal dari apa pun yang pernah kupakai sebelumnya. Rambutku digulung rapi ke belakang, memberi kesan anggun dan berkelas—seperti istri seorang miliarder seharusnya. Namun, di balik semua ini, aku merasa seperti boneka yang dipoles agar sesuai dengan standar dunia yang bukan milikku. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari kamar. Lucian sudah menungguku di ruang tamu, mengenakan setelan abu-abu yang sempurna membingkai tubuh tegapnya. Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu mengangguk kecil. “Bagus. Kau terlihat seperti istri yang seharusnya kumiliki.” Aku tidak tahu apakah itu pujian atau sekadar pernyataan, tapi aku tidak membalasnya. Di dalam mobil, suasana terasa sedikit tegang. Lucian duduk di sampingku, tetapi dia lebih banyak fokus pada ponselnya. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, menyaksikan kota yang mulai sibuk dengan aktivitas paginya. “Ada sesuatu yang perlu kau ketahui sebelum kita sampai di kantor.” Aku menoleh ke arahnya. “Apa?” Lucian meletakkan ponselnya dan menatapku serius. “Di sana, aku memiliki banyak musuh—dan tidak semuanya akan menyambutmu dengan baik. Beberapa dari mereka akan mempertanyakan keputusan ini, beberapa akan mencoba menjatuhkanmu. Aku ingin kau tetap tenang dan tidak menunjukkan kelemahan.” Aku menelan ludah. “Bagaimana jika aku melakukan kesalahan?” “Jangan lakukan.” Aku mendesah. Pria ini benar-benar tidak memberi ruang untuk kesalahan. Saat mobil berhenti di depan gedung pencakar langit dengan logo Devereaux Group yang mencolok, aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Kaca gedung yang besar memantulkan bayangan kami saat kami turun dari mobil. Beberapa karyawan yang lewat berhenti dan berbisik satu sama lain. Lucian, seperti biasa, tetap tak tergoyahkan. Dia menggenggam tanganku dengan mantap, seolah ingin memastikan semua orang di sini tahu siapa aku sekarang. Kami melangkah masuk ke dalam lobi utama yang luas dan mewah. Suara langkah kaki kami menggema di lantai marmer. Aku bisa merasakan tatapan tajam dari beberapa pegawai yang berusaha menebak siapa aku. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi menghampiri kami. “Selamat pagi, Tuan Devereaux.” Tatapannya beralih padaku. “Dan … ini?” Lucian tidak ragu sedikit pun saat menjawab, “Istriku.” Hening. Beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Wanita itu—yang kuduga adalah sekretaris pribadi Lucian—terlihat terkejut, tetapi profesionalisme membuatnya segera menguasai ekspresinya. “Saya mengerti, Tuan. Ruang rapat sudah disiapkan untuk pertemuan dewan direksi.” Lucian mengangguk. “Baik. Aku akan membawa istriku ke sana.” Aku tersentak. “Aku harus ikut?” Lucian menoleh padaku. “Tentu saja. Ini bagian dari peranmu.” Aku tidak punya waktu untuk protes. Dia menggenggam tanganku lebih erat dan membawaku ke lift. Saat pintu tertutup dan kami mulai naik ke lantai atas, aku menyadari satu hal. Aku mungkin mengira sudah siap menghadapi pernikahan kontrak ini, tapi aku sama sekali tidak siap menghadapi dunia Lucian Devereaux.Saat lift bergerak naik, aku bisa merasakan tekanan di dadaku semakin berat. Tanganku masih dalam genggaman Lucian, tetapi bukan kehangatan yang kurasakan—melainkan cengkeraman kekuasaan. Dia tidak hanya menggandengku. Dia sedang memperlihatkanku pada dunia sebagai miliknya. Pintu lift terbuka dengan bunyi nyaring. Lantai eksekutif. Interior di sini terasa berbeda dari lobi di bawah. Lebih sepi, lebih eksklusif. Karpet lembut meredam suara langkah kaki, tetapi keheningan yang menggantung di udara jauh lebih menusuk. Beberapa pria dan wanita dalam setelan mahal menoleh saat kami lewat. Beberapa berbisik satu sama lain, beberapa hanya menatap tajam dengan ekspresi tak terbaca. Aku tidak perlu menebak siapa mereka. Dewan direksi. Orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam perusahaan ini—dan mereka semua sekarang melihat ke arahku. Seorang pria tua dengan rambut perak rapi berdiri dari kursinya saat kami memasuki ruang rapat. “Lucian,” katanya dengan nada penuh wibawa. “Ka
Aku menegang. Aku tahu ini akan terjadi—aku tahu cepat atau lambat, aku akan berhadapan dengan Veronica. Tapi menghadapi tatapannya secara langsung tetap saja membuat dadaku terasa sesak. Sebelum aku bisa mengatakan apa pun, Lucian menarikku lebih dekat, tangannya melingkari pinggangku dengan cara yang begitu alami, seolah ingin mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. "Seraphina adalah istriku," katanya, suaranya terdengar begitu dingin dan tak terbantahkan. "Aku tidak butuh persetujuan siapa pun, termasuk kau." Veronica tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan daripada sesuatu yang tulus. "Lucian, kau tahu betapa berharganya nama keluarga kita. Dan sekarang, kau membawa seorang wanita tanpa latar belakang jelas ke dalam keluarga ini? Apa kau serius?" Aku mengepalkan tangan di sisi tubuhku. Aku tidak peduli dengan pendapatnya, tapi cara dia mengatakannya seolah aku ini sampah yang tidak layak berada di sini benar-benar mengusikku. Namun, sebelum aku bisa mem
Sejak pertemuanku dengan Veronica kemarin, aku sudah menduga akan ada konsekuensi. Dan benar saja. Hari ini, dalam acara makan siang bersama beberapa kolega Lucian, aku bisa merasakan tatapan-tatapan terselubung yang memerhatikanku, menilai, dan mungkin meremehkan. Kami berada di restoran mewah dengan pemandangan kota dari ketinggian, ruangan penuh dengan orang-orang berpakaian rapi yang berbicara dengan nada sopan, tapi tajam. Aku tidak asing dengan lingkungan seperti ini. Meski dulu hidupku sederhana, pekerjaanku di toko bunga ibuku sering mempertemukanku dengan klien-klien kaya yang punya standar tinggi. Aku terbiasa menghadapi pelanggan yang memandang rendah pekerjaanku, seolah merangkai bunga bukan hal yang cukup bernilai. Tapi kali ini berbeda. Lucian duduk di sampingku, tenang seperti biasa. Sikapnya dingin dan tak tergoyahkan, seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya. Tapi aku tahu lebih baik dari itu. Dia sedang mengamatiku, menunggu untuk melihat bagaiman
Saat aku kembali ke kantor Lucian setelah pertemuanku dengan Veronica, pria itu sudah menungguku dengan ekspresi datar. Dia sedang berdiri di depan jendela, melihat pemandangan kota yang bermandikan cahaya senja. "Apa yang dia katakan padamu?" Aku menghela napas dan berjalan ke arah meja, meletakkan tas tanganku dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. "Oh, hal biasa. Ancaman terselubung, pertanyaan meremehkan, sedikit penghinaan halus." Lucian akhirnya berbalik menatapku. Mata kelamnya mengamati wajahku seolah mencoba membaca apakah aku sedang berbohong atau tidak. "Dan bagaimana menurutmu?" Aku menyandarkan tubuh ke meja, melipat tangan di depan dada. "Aku pikir dia menganggapku sebagai pengganggu dalam hidupmu. Dan dia ingin memastikan aku tidak bertahan lama." Sudut bibir Lucian sedikit terangkat, tapi bukan dalam senyuman. "Itu sudah bisa diduga." Aku menatapnya tajam. "Kau tidak akan melakukan apa pun soal itu?" "Apa kau ingin aku melakukannya?" Dia b
Aku selalu berpikir aku cukup pintar membaca orang. Sebelum mengelola toko bunga, aku pernah bekerja sebagai asisten pribadi selama bertahun-tahun. Pekerjaan itu mengajarkanku bagaimana memahami ekspresi, nada suara, dan kata-kata terselubung. Tapi Lucian Devereaux? Dia teka-teki yang tidak mudah dipecahkan. Aku masih mengingat percakapanku dengannya di dalam mobil semalam. Cara dia menatapku, seolah menimbang apakah aku pantas mengetahui rahasianya. Itu bukan ekspresi pria yang hanya menjalani pernikahan kontrak tanpa rasa peduli. Ada sesuatu di balik matanya—sesuatu yang lebih dalam dari pada yang pernah dia tunjukkan. Tapi pagi ini, aku tidak punya waktu untuk menganalisis tatapannya lebih jauh. Aku harus kembali ke kantor pusat Devereaux Industries. Meskipun aku hanya "istri kontrak" Lucian, peranku dalam perusahaan ini menjadi lebih besar dari yang kuduga. Saat aku memasuki gedung, aku merasakan tatapan para karyawan yang penuh rasa ingin tahu. Beberapa dari mereka m
Saat aku kembali ke rumah malam itu, Lucian sudah ada di ruang kerjanya. Aku mengetuk pintu sebelum masuk, membuatnya menoleh. "Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanyanya. Aku menutup pintu di belakangku dan melangkah mendekat. "Katakan padaku yang sebenarnya, Lucian. Apa yang terjadi antara kau dan Veronica?" Dia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela. "Itu bukan sesuatu yang mudah dijelaskan." "Aku tidak meminta penjelasan yang mudah. Aku meminta kejujuran." Dia diam sejenak sebelum akhirnya berbalik menatapku. "Kami memiliki masa lalu yang sulit. Ayah kami selalu menekan kami dengan ekspektasi tinggi. Aku mengambil alih perusahaan lebih cepat dari yang seharusnya, dan Veronica merasa itu adalah tanggung jawab yang seharusnya dia bagi denganku."
Saat kami berjalan keluar dari restoran, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Lucian … apa yang ada di dalam amplop itu?” Dia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Sesuatu yang tidak perlu kau lihat.” Aku mengerutkan kening. “Jadi kau memang menyembunyikan sesuatu?” Dia menghentikan langkahnya, lalu menatapku dengan mata gelapnya. “Seraphina, percayalah padaku dalam hal ini.” Aku ingin mempercayainya. Aku benar-benar ingin. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya jika dia terus menutupi sesuatu dariku? "Kalau begitu, jawablah satu pertanyaanku.” “Apa?” Aku menelan ludah, lalu bertanya, “Ap
Aku menyandarkan diri ke sofa, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang hampir muncul. "Ini rumah juga, bukan? Aku tidak harus berdandan seperti mau rapat dewan setiap saat." Lucian tidak menanggapi. Dia berjalan menuju dapur, menuangkan air ke dalam gelas, lalu kembali bersandar di meja bar. Dia tetap memperhatikanku, meskipun dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Apa kau ingin membahas sesuatu?" tanyaku akhirnya, merasa aneh dengan keheningan ini. Lucian meletakkan gelasnya di meja. "Besok kita ada jadwal makan malam bersama investor. Aku ingin kau ikut." Aku menegakkan tubuh. "Aku? Untuk apa?" "Aku ingin mereka melihat bahwa pernikahan kita memang nyata," jawabnya singkat. Aku menghela napas. Ini bukan pertama kalinya dia memintaku hadir dalam acara bisnisnya, tet
"Aku serius. Jangan mencium lagi, Lucian. Aku harus segera berangkat." Namun, Lucian tidak peduli. Tangannya tetap melingkar di pinggangku, kepalanya menunduk, mencium pelipisku sekali, dua kali, lalu turun ke pipi. Aku memiringkan wajah, berusaha menghindar, tapi dia justru menahan daguku erat. "Aku tidak akan lama. Serius!" ucapku lagi dengan suara yang sudah mulai kesal. Lucian menatapku datar, tapi terlihat memohon seperti anak kecil. "Malam ini aku tidur sendiri. Itu masalah yang sulit." Aku mendorong dadanya pelan. "Masalah sulitmu tidak lebih penting dari ayahku yang menyuruhku pulang." "Sebenarnya kenapa dia menyuruhmu pulang? Dia tahu kau sudah menikah. Artinya rumahmu di sini bersamaku." "Astaga, Lucian." "Sayang." Aku menahan napas. Sial. Kenapa dia harus memanggilku seperti itu sekarang? Aku mengeram pelan untuk berusaha sabar. "Jangan mulai menyebalkan lagi. Aku benar-benar harus berangkat. Ayah pasti sudah lama menungguku." "Baiklah, aku akan ikut."
Hari ini tidak ada rapat besar. Aku baru sadar ketika membuka pintu ruang kerja Lucian dan mendapati dia duduk santai di sofa panjang, tanpa jas, hanya kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku. Beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Pemandangan yang terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja. "Kau tidak ada rapat hari ini?" Lucian melirikku singkat. "Tidak. Aku hanya menyelesaikan laporan pribadi." Aku melangkah masuk, menutup pintu pelan, lalu berjalan menuju sofa tempat dia duduk. Aku meletakkan tas tangan di meja dan duduk di sampingnya. Tanganku meraih berkas yang dia baca dan meletakkannya ke meja. "Kalau begitu, kau bisa diganggu sebentar, kan?" Dia mengangkat alis. "Gangguan macam apa yang kau tawarkan?" Aku tidak menjawab. Tubuhku bergeser, mendekat hingga hampir memojokkan dia ke sudut sofa. Tanganku menyentuh kerah kemejanya. "Kau terlalu santai. Aku tidak terbiasa melihatmu seperti ini." "Itu artinya kau harus membiasakan diri." Aku tertawa kecil.
Aku baru saja selesai mengeringkan rambut ketika suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu kamar mandi. "Seraphina." Suara itu memang terdengar tenang tanpa godaan, tapi aku masih bisa mendengar sedikit nada iseng di baliknya. Aku akhirnya membuang napas pelan. "Apa, Lucian?" "Kau mau mandi bersamaku?" "Astaga." Aku menggumam pelan. Aku tahu ini pasti ulahnya lagi. Selalu ada saja caranya menjahiliku, dan kali ini jelas-jelas aku tidak akan membiarkannya menang. "Tidak," jawabku cepat sedikit berteriak. Lalu beberapa saat kemudian tidak ada balasan apapun. Aku akhirnya membuka pintu, dan ternyata dia sudah pergi, aku segera melangkah cepat keluar dari kamar mandi. Tubuhku masih diselimuti aroma sabun ketika aku melangkah ke dapur dengan handuk melilit rambut dan baju mandi satin berwarna lembut. Mataku langsung menangkap sosok Lucian yang tengah menata piring di meja makan. Dia tampak fokus, kedua tangannya lincah mengatur sendok dan garpu, dan ... entah kenapa, p
Aku sudah berbaring di tempat tidur, memunggungi Lucian yang masih duduk dan membolak-balikkan lembar dokumen di sampingku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku ataupun mulutnya sejak kami masuk kamar. Entah kenapa, aku merasa canggung. Ini mungkin pertama kalinya sejak kami resmi menikah, aku tidak merasa marah, tidak merasa tertekan, hanya sedikit bingung. Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku ditarik ke belakang. Lucian melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu menekan tubuhnya ke arahku. Tubuhku seketika kaku, tetapi tidak bisa bergerak karena pelukannya terlalu erat. Kepalaku menyentuh dadanya, dan kakinya melingkar di kakiku. Seolah-olah aku sedang dipenjara dalam kehangatan yang tidak bisa kutolak. "Lucian," bisikku menahan gugup. Bukannya menjawab, Lucian justru mengecup bagian atas kepalaku. Hangat. Lembut. Dan terlalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Terima kasih," kata Lucian tiba-tiba. Suaranya nyaris seperti gumaman, tapi cukup jelas di telingaku. "T
Aku berdiri di dapur, diam-diam menyelipkan sebatang cokelat ke mulut sambil memperhatikan Lucian yang melintas lagi dengan koper kecil dan beberapa barang di tangan. Gerak-geriknya tenang, nyaris terlalu biasa … tapi justru itu yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari seharusnya. "Jadi dia benar-benar pindah, ya," gumamku lirih. Lucian melewatiku sekali lagi, kali ini dengan bantal tambahan. Aku mengunyah pelan cokelat di mulutku, seolah rasa manis itu bisa mengalihkan pikiranku yang semakin liar. "Tenang, Seraphina. Pria itu hanya akan tidur. Tidak akan melakukan apa-apa. Meskipun bukan patung es, aku berharap dia tidur seperti batu." Mataku mengikuti punggungnya yang menjauh sambil membatin, "Aku sungguh tidak mengerti … mengapa aku gelisah seperti ini?" Akhirnya dengan langkah pelan, aku menuju kamar. Pintunya sengaja dibiarkan setengah terbuka. Dari celahnya, kulih
Suara gemericik air dari keran masih terdengar saat aku membilas piring terakhir. Lampu dapur kuning redup membuat suasana terasa tenang. Setelah makan malam, Lucian ke kamar sebentar untuk menerima telepon. Entah dari siapa. Aku tidak terlalu peduli. Aku menyeka tangan dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel. Baru saja hendak berbalik, dua tangan kekar tiba-tiba melingkar ke pinggangku dari belakang. "Lucian," panggilku menahan gugup. Lucian hanya berdehem, dagunya sengaja bertumpu di bahuku. Napasnya menyapu kulit leher sehingga membuatku merinding, tapi aku tidak membantah jika itu terasa nyaman. "Kau kenapa? Apa ingin menanyakan sesuatu?" Lucian diam sejenak, lalu mengeratkan pelukannya pada perutku. "Aku tidak sabar untuk tidur bersamamu." Aku merasa jantungku membeku satu detik, tapi berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. "Kau seperti sedang menantikan sesuatu yang menyenangkan." "Itu benar. Kau memang pintar, Istriku." "Lucian ...." "Kenapa?
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar rumah sakit sehingga menciptakan pantulan hangat di lantai putih yang mengilap. Aku berdiri di samping ranjang, menatap wajah ibuku yang tiba-tiba mulai membuka matanya perlahan. Napasku tertahan di tenggorokan saat jari-jarinya bergerak pelan. "Seraphina," panggil wanita itu seperti bisikan, membuat air bening spontan memenuhi pelupuk mataku. "Ibu!" Aku segera menggenggam tangannya dan menunduk untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. "Ibu benar-benar sudah sadar?" Tatapan matanya masih lemah, tapi ada sudah kehangatan di dalamnya. Dia mengedarkan pandangan, seolah memastikan di mana dia berada sekarang. "Berapa lama aku tertidur?" Aku tersenyum lembut sambil menangis. "Cukup lama, tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting, Ibu sudah kembali. Aku senang bisa melihat ibu membuka mata lagi." Pintu kamar kemudian terbuka. Ayahku masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar, kini dipenuh
Aku memperhatikan Lucian yang berdiri di seberang meja. Raut wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan fokus di matanya. Di antara kami, berkas-berkas tersusun rapi—semua bukti yang selama ini dia kumpulkan. Laporan-laporan itu adalah hasil kerja keras yang akan membuktikan semuanya. "Jadi ini yang kau temukan?" Aku meraih salah satu dokumen dan membaca isinya. "Iya, aku sudah lama mencurigai Damien dan Celeste, tapi aku tidak bisa bertindak tanpa bukti konkret. Dan sekarang kita punya semuanya." Aku menggigit bibir. Ada banyak angka dalam laporan ini—transfer mencurigakan, aset yang tidak dilaporkan, dan transaksi ilegal yang mengarah pada penyelundupan. Damien dan Celeste benar-benar tenggelam dalam dunia kejahatan lebih dalam dari yang kuduga. Setiap halaman tampak seperti mencerminkan kegelapan dari kehidupan mereka yang selama ini tersembunyi. Lucian menyandarkan diri pada kursi, lalu menatapku lurus. "Setelah ini, tidak ada jalan kembali bagi mereka. Begitu kita m
Aku menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekosongan. Setelah insiden penculikan itu, segalanya terasa begitu berat. Keberanian yang sebelumnya mengalir dalam diriku perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh keraguan yang menggerogoti. Aku memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana Damien dan Celeste berusaha menghancurkanku. Bagaimana aku hampir tidak bisa keluar dari situasi itu. Setiap detik dalam penangkapan itu terukir jelas di ingatanku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi. Namun, yang lebih mengusik pikiranku adalah bagaimana Lucian muncul tepat waktu, seperti selalu tahu aku dalam bahaya. Dan sekarang, aku duduk di kamar ini, menunggu kejujuran yang katanya akan dia berikan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, apakah aku benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan dikatakannya? Pintu terbuka, dan aku bisa mendengar langkahnya mendekat. Setiap langkahnya terasa seolah beban yang dia bawa jauh lebih berat dari yang aku pikirkan. Ak