Saat lift bergerak naik, aku bisa merasakan tekanan di dadaku semakin berat. Tanganku masih dalam genggaman Lucian, tetapi bukan kehangatan yang kurasakan—melainkan cengkeraman kekuasaan.
Dia tidak hanya menggandengku. Dia sedang memperlihatkanku pada dunia sebagai miliknya. Pintu lift terbuka dengan bunyi nyaring. Lantai eksekutif. Interior di sini terasa berbeda dari lobi di bawah. Lebih sepi, lebih eksklusif. Karpet lembut meredam suara langkah kaki, tetapi keheningan yang menggantung di udara jauh lebih menusuk. Beberapa pria dan wanita dalam setelan mahal menoleh saat kami lewat. Beberapa berbisik satu sama lain, beberapa hanya menatap tajam dengan ekspresi tak terbaca. Aku tidak perlu menebak siapa mereka. Dewan direksi. Orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam perusahaan ini—dan mereka semua sekarang melihat ke arahku. Seorang pria tua dengan rambut perak rapi berdiri dari kursinya saat kami memasuki ruang rapat. “Lucian,” katanya dengan nada penuh wibawa. “Kami tidak diberitahu bahwa kau akan membawa tamu.” Lucian tetap tenang. Dia menarikku lebih dekat, seolah ingin memastikan semua orang di ruangan ini tidak melewatkan kehadiranku. “Ini istriku, Seraphina Langley yang telah menjadi Nyonya Devereaux.” Dingin. Hening yang terjadi setelah pengumuman itu begitu dingin hingga aku hampir bisa merasakan suhu ruangan turun beberapa derajat. Beberapa dari mereka saling berpandangan, beberapa lainnya tampak berusaha menyembunyikan keterkejutan mereka. Namun, tidak semuanya terkejut. Beberapa justru terlihat… tidak senang. Pria tua tadi—yang sepertinya pemegang saham utama—menyipitkan matanya. “Istri?” ulangnya, seolah dia tidak yakin mendengar dengan benar. Lucian mengangguk santai. “Aku sudah menikah.” “Dan kapan tepatnya keputusan ini dibuat?” Lucian tersenyum kecil, tetapi tidak ada kehangatan di baliknya. “Aku tidak tahu kalau aku harus meminta izin terlebih dahulu.” Pria itu mendesah pelan, sebelum menatapku dengan pandangan meneliti. Aku merasakan ketegangan merayapi tubuhku, tetapi aku menolak untuk menghindari tatapannya. “Seraphina Devereaux,” ulangnya pelan, menguji namaku di lidahnya. “Jadi, kau sekarang bagian dari keluarga ini?” Aku menelan ludah, lalu mengangguk. “Ya.” “Dan kau paham apa yang sedang kau hadapi?” Aku tidak tahu apakah dia berbicara tentang pernikahanku dengan Lucian, atau dunia yang baru saja kumasuki. Tapi aku tidak akan terlihat lemah di hadapan mereka. Jadi aku membalas tatapannya dan berkata, “Tentu saja.” Dia tidak tersenyum. Tetapi aku bisa melihat ketertarikan sekilas di matanya sebelum dia kembali bersandar ke kursinya. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Mari kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan.” Aku tidak tahu apakah itu ancaman atau sekadar pernyataan. Tapi satu hal yang kutahu pasti .… Aku baru saja masuk ke dalam dunia di mana aku harus berjuang untuk tetap bertahan. Dan aku tidak akan mundur. *** Ruangan itu terasa seperti medan perang tak kasat mata. Meskipun percakapan bisnis mulai bergulir, aku tahu bahwa sebagian besar dari mereka masih meniliku dengan tatapan tajam. Lucian duduk dengan tenang di kursinya, mendengarkan laporan yang dibacakan, sementara aku duduk di sampingnya, berusaha terlihat setenang mungkin. Aku tidak memahami sebagian besar istilah bisnis yang mereka gunakan, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di udara. Tidak semua orang di ruangan ini senang dengan keberadaanku. Beberapa dari mereka tidak menyembunyikan ketidaksukaan mereka, dan itu cukup untuk membuatku sadar bahwa aku sedang berada di sarang ular. Pria tua yang tadi menanyai aku—yang ternyata adalah Henry Devereaux, paman Lucian dan salah satu pemegang saham terbesar—sesekali melirikku, seolah mengamatiku di sela-sela rapat. Aku tidak tahu apakah dia mencoba mengujiku atau sekadar mencari kelemahanku. “Lucian,” Henry akhirnya berbicara setelah laporan selesai dibacakan. “Pernikahan mendadak ini mengejutkan banyak pihak. Kau tahu itu, bukan?” Lucian tetap tenang. “Aku tidak melihat ada yang perlu dikejutkan. Aku sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri.” Henry menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangannya di dada. “Benarkah? Karena yang kudengar, pernikahan ini terjadi tanpa ada satu pun dari kami yang diberi kabar.” “Apa aku harus meminta izin terlebih dahulu?” balas Lucian dengan nada datar. “Bukan izin,” Henry menyipitkan mata. “Tetapi setidaknya penjelasan.” Aku bisa merasakan tatapan mereka berpindah padaku, seolah aku adalah faktor yang harus mereka pahami dalam persamaan ini. Henry menghela napas, lalu menoleh padaku. “Nona Seraphina—atau sekarang Nyonya Devereaux, aku ingin tahu … Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau cukup kuat untuk bertahan di dunia ini?” Aku tidak menyangka akan diserang secara langsung seperti ini, tetapi aku juga tidak akan mundur. Aku menegakkan punggung dan menatapnya langsung. “Saya tidak berpikir, tapi saya tahu.” Henry mengangkat alisnya, jelas tidak menyangka aku akan menjawab seperti itu. “Saya mungkin bukan bagian dari dunia bisnis,” lanjutku, “tapi saya tidak pernah mundur dari tantangan.” Ruangan menjadi sunyi sejenak sebelum Henry terkekeh pelan. “Keberanian yang menarik,” katanya. “Tapi keberanian saja tidak cukup untuk bertahan.” “Beruntung saya memiliki lebih dari sekadar keberanian.” Aku memberikan senyum kecil, mencoba menunjukkan bahwa aku tidak akan goyah. Lucian menatapku sekilas, dan untuk pertama kalinya, aku melihat kilatan ketertarikan di matanya. Henry tidak berkata apa-apa lagi, tetapi aku tahu bahwa percakapan ini belum selesai. Setelah rapat berakhir, Lucian menggandeng tanganku keluar dari ruangan. Saat kami memasuki lift, dia akhirnya bersuara. “Kau tidak perlu menjawab Henry seperti itu,” katanya. Aku menoleh padanya. “Kalau aku diam, dia akan menginjakku.” Lucian menatapku selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Bagus.” Aku terkejut dengan jawabannya. “Bagus?” Dia menyandarkan punggungnya ke dinding lift. “Aku tidak butuh istri yang hanya menjadi pajangan. Aku butuh seseorang yang bisa berdiri di sampingku tanpa goyah.” Aku tidak tahu apakah itu pujian atau sekadar pernyataan, tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa seolah dia benar-benar mengakuiku. *** Aku berjalan di samping Lucian dengan langkah cepat, berusaha mengikuti ritmenya yang selalu mantap dan penuh keyakinan. Rapat dewan direksi baru saja berakhir, dan meskipun aku telah berusaha menjaga ekspresi tenang, pikiranku masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Tatapan penuh penilaian dari para eksekutif tadi masih membekas, membuat dadaku terasa sesak. Tapi aku tetap diam, menjalani peran yang telah kusetujui sejak awal. Di sisiku, Lucian tampak sama sekali tak terganggu. Sejak awal, dia mendominasi seluruh percakapan, menjawab pertanyaan dengan suara tegas yang membuat siapa pun di ruangan itu tak berani meragukannya. Aku seharusnya merasa lega karena semua berjalan sesuai rencana, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menggangguku. Saat kami berbelok menuju lorong utama, aku melihat seorang wanita berdiri di depan lift. Seketika, udara di sekitarku terasa lebih dingin. Wanita itu tinggi, berambut cokelat gelap yang tertata sempurna, dengan sorot mata tajam yang menilai kami dengan ekspresi penuh penghinaan. Aku tidak perlu bertanya siapa dia. Veronica Devereaux. Adik Lucian. Aku mengenal wajahnya dari artikel yang pernah kubaca. Dia adalah wanita yang memiliki reputasi hampir sama kuatnya dengan Lucian—sukses, dingin, dan tak kenal ampun. "Lucian," sapanya dengan nada datar, seolah berbicara dengan seseorang yang sudah lama tak ditemuinya. "Aku dengar kau membawa seseorang ke rapat dewan hari ini." Lucian tetap tenang, ekspresinya nyaris tidak berubah. "Lalu kenapa?" Veronica menyilangkan tangan di depan dadanya, lalu mengalihkan pandangan ke arahku. Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Jadi, ini wanita yang kau nikahi?" Tatapannya menyusuri diriku dari kepala hingga kaki seolah menilai barang murahan yang tidak seharusnya ada di sini. "Kau benar-benar sudah kehilangan akal, Lucian. Dari semua wanita yang bisa kau pilih, kau memilih dia?"Aku menegang. Aku tahu ini akan terjadi—aku tahu cepat atau lambat, aku akan berhadapan dengan Veronica. Tapi menghadapi tatapannya secara langsung tetap saja membuat dadaku terasa sesak. Sebelum aku bisa mengatakan apa pun, Lucian menarikku lebih dekat, tangannya melingkari pinggangku dengan cara yang begitu alami, seolah ingin mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. "Seraphina adalah istriku," katanya, suaranya terdengar begitu dingin dan tak terbantahkan. "Aku tidak butuh persetujuan siapa pun, termasuk kau." Veronica tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan daripada sesuatu yang tulus. "Lucian, kau tahu betapa berharganya nama keluarga kita. Dan sekarang, kau membawa seorang wanita tanpa latar belakang jelas ke dalam keluarga ini? Apa kau serius?" Aku mengepalkan tangan di sisi tubuhku. Aku tidak peduli dengan pendapatnya, tapi cara dia mengatakannya seolah aku ini sampah yang tidak layak berada di sini benar-benar mengusikku. Namun, sebelum aku bisa mem
Sejak pertemuanku dengan Veronica kemarin, aku sudah menduga akan ada konsekuensi. Dan benar saja. Hari ini, dalam acara makan siang bersama beberapa kolega Lucian, aku bisa merasakan tatapan-tatapan terselubung yang memerhatikanku, menilai, dan mungkin meremehkan. Kami berada di restoran mewah dengan pemandangan kota dari ketinggian, ruangan penuh dengan orang-orang berpakaian rapi yang berbicara dengan nada sopan, tapi tajam. Aku tidak asing dengan lingkungan seperti ini. Meski dulu hidupku sederhana, pekerjaanku di toko bunga ibuku sering mempertemukanku dengan klien-klien kaya yang punya standar tinggi. Aku terbiasa menghadapi pelanggan yang memandang rendah pekerjaanku, seolah merangkai bunga bukan hal yang cukup bernilai. Tapi kali ini berbeda. Lucian duduk di sampingku, tenang seperti biasa. Sikapnya dingin dan tak tergoyahkan, seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya. Tapi aku tahu lebih baik dari itu. Dia sedang mengamatiku, menunggu untuk melihat bagaiman
Saat aku kembali ke kantor Lucian setelah pertemuanku dengan Veronica, pria itu sudah menungguku dengan ekspresi datar. Dia sedang berdiri di depan jendela, melihat pemandangan kota yang bermandikan cahaya senja. "Apa yang dia katakan padamu?" Aku menghela napas dan berjalan ke arah meja, meletakkan tas tanganku dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. "Oh, hal biasa. Ancaman terselubung, pertanyaan meremehkan, sedikit penghinaan halus." Lucian akhirnya berbalik menatapku. Mata kelamnya mengamati wajahku seolah mencoba membaca apakah aku sedang berbohong atau tidak. "Dan bagaimana menurutmu?" Aku menyandarkan tubuh ke meja, melipat tangan di depan dada. "Aku pikir dia menganggapku sebagai pengganggu dalam hidupmu. Dan dia ingin memastikan aku tidak bertahan lama." Sudut bibir Lucian sedikit terangkat, tapi bukan dalam senyuman. "Itu sudah bisa diduga." Aku menatapnya tajam. "Kau tidak akan melakukan apa pun soal itu?" "Apa kau ingin aku melakukannya?" Dia b
Aku selalu berpikir aku cukup pintar membaca orang. Sebelum mengelola toko bunga, aku pernah bekerja sebagai asisten pribadi selama bertahun-tahun. Pekerjaan itu mengajarkanku bagaimana memahami ekspresi, nada suara, dan kata-kata terselubung. Tapi Lucian Devereaux? Dia teka-teki yang tidak mudah dipecahkan. Aku masih mengingat percakapanku dengannya di dalam mobil semalam. Cara dia menatapku, seolah menimbang apakah aku pantas mengetahui rahasianya. Itu bukan ekspresi pria yang hanya menjalani pernikahan kontrak tanpa rasa peduli. Ada sesuatu di balik matanya—sesuatu yang lebih dalam dari pada yang pernah dia tunjukkan. Tapi pagi ini, aku tidak punya waktu untuk menganalisis tatapannya lebih jauh. Aku harus kembali ke kantor pusat Devereaux Industries. Meskipun aku hanya "istri kontrak" Lucian, peranku dalam perusahaan ini menjadi lebih besar dari yang kuduga. Saat aku memasuki gedung, aku merasakan tatapan para karyawan yang penuh rasa ingin tahu. Beberapa dari mereka m
Saat aku kembali ke rumah malam itu, Lucian sudah ada di ruang kerjanya. Aku mengetuk pintu sebelum masuk, membuatnya menoleh. "Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanyanya. Aku menutup pintu di belakangku dan melangkah mendekat. "Katakan padaku yang sebenarnya, Lucian. Apa yang terjadi antara kau dan Veronica?" Dia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela. "Itu bukan sesuatu yang mudah dijelaskan." "Aku tidak meminta penjelasan yang mudah. Aku meminta kejujuran." Dia diam sejenak sebelum akhirnya berbalik menatapku. "Kami memiliki masa lalu yang sulit. Ayah kami selalu menekan kami dengan ekspektasi tinggi. Aku mengambil alih perusahaan lebih cepat dari yang seharusnya, dan Veronica merasa itu adalah tanggung jawab yang seharusnya dia bagi denganku."
Saat kami berjalan keluar dari restoran, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Lucian … apa yang ada di dalam amplop itu?” Dia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Sesuatu yang tidak perlu kau lihat.” Aku mengerutkan kening. “Jadi kau memang menyembunyikan sesuatu?” Dia menghentikan langkahnya, lalu menatapku dengan mata gelapnya. “Seraphina, percayalah padaku dalam hal ini.” Aku ingin mempercayainya. Aku benar-benar ingin. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya jika dia terus menutupi sesuatu dariku? "Kalau begitu, jawablah satu pertanyaanku.” “Apa?” Aku menelan ludah, lalu bertanya, “Ap
Aku menyandarkan diri ke sofa, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang hampir muncul. "Ini rumah juga, bukan? Aku tidak harus berdandan seperti mau rapat dewan setiap saat." Lucian tidak menanggapi. Dia berjalan menuju dapur, menuangkan air ke dalam gelas, lalu kembali bersandar di meja bar. Dia tetap memperhatikanku, meskipun dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Apa kau ingin membahas sesuatu?" tanyaku akhirnya, merasa aneh dengan keheningan ini. Lucian meletakkan gelasnya di meja. "Besok kita ada jadwal makan malam bersama investor. Aku ingin kau ikut." Aku menegakkan tubuh. "Aku? Untuk apa?" "Aku ingin mereka melihat bahwa pernikahan kita memang nyata," jawabnya singkat. Aku menghela napas. Ini bukan pertama kalinya dia memintaku hadir dalam acara bisnisnya, tet
Aku tersenyum manis. "Memang. Tapi aku suka tantangan." Veronica tersenyum kecil, seolah menantangku lebih jauh. "Aku penasaran," katanya dengan nada acuh tak acuh. "Apa yang kau lihat dalam diri Lucian? Kau menikah dengannya begitu cepat. Tidak ada yang percaya ini hanya karena cinta." Ruangan terasa lebih hening, tetapi aku tahu semua orang di meja ini tertarik mendengar jawabanku. Aku menoleh ke arah Lucian. Mata kami bertemu, dan dalam sepersekian detik, aku merasa dia ingin tahu jawaban apa yang akan kuberikan. Aku tersenyum tipis sebelum beralih kembali ke Veronica. "Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu, bukan?" Veronica menyipitkan mata, sementara beberapa orang di meja itu tampak terkejut dengan jawabanku. Lucian, di sisi lain, tampak tenang. Bahkan,
Aku masih terbaring di sofa ruangan kerja Lucian saat suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan seorang wanita masuk dengan langkah anggun. Joanne Devereaux. Matanya yang tajam menelusuri ruangan sebelum akhirnya berhenti padaku. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tapi ada ketegasan yang sulit diabaikan. Aku menarik napas pelan, bersiap menghadapi percakapan yang kemungkinan besar tidak disertai candaan. "Hai, Seraphina," sapanya sambil duduk di sampingku. "Hai juga, Joanne. Saya tidak menyangka Anda datang ke sini," balasku setelah duduk dan menoleh padanya. Dia mengamati wajahku dengan saksama. "Bagaimana kondisi ibumu?" "Masih belum ada kabar baik," jawabku singkat tanpa emosi berlebih. Lebih tepatnya air mataku sudah kering berlarut-larut dalam kesedihan. Joanne mengangguk pelan sebelum akhirnya melipat tangannya di atas pangkuan. "Aku tidak akan bertele-tele. Aku datang untuk membicarakan sesuatu yang mungkin ingin kau
Sejak tadi pagi, Lucian menghubungi beberapa orang, termasuk tim investigasi pribadinya. Tatapannya tajam, wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak biasa. Ternyata pria itu sungguh tidak akan diam saja setelah insiden kecelakaan Ibuku. Lucian berdiri di dekat jendela dengan punggungnya yang menghadapku. “Aku ingin laporan lengkap dalam waktu dua puluh empat jam,” katanya dengan nada tegas. “Cari tahu siapa yang ada di sekitar lokasi kejadian sebelum dan sesudah kecelakaan.” Aku mendengar suara seseorang di seberang telepon menjawab dengan cepat, lalu Lucian melanjutkan, “Termasuk semua aktivitas mencurigakan yang berkaitan dengan keluarga Langley dan Devereaux.” Dia menutup telepon tanpa banyak basa-basi. Aku segera mendekatinya untuk mencari tahu seberapa jauh dia sudah mendapatkan informasi. “Apa ada perkembangan?” tanyaku dengan ekspresi penuh harap. Lucian menoleh padaku. “Masih dalam tahap pengumpulan data. Aku juga meminta rekaman CCTV di sekitar rumah sakit.” Aku me
Suara langkah kakiku terdengar cepat di lantai rumah sakit. Jantungku berdegup kencang saat aku kembali menghampiri ruangan dokter. Tanganku gemetar saat mengetuk pintu, berharap ada kabar baik yang bisa meredakan sesak di dadaku. Dokter yang sama seperti tadi pagi membuka pintu. Ekspresinya masih sama—serius dan penuh kehati-hatian. "Bagaimana kondisi Ibu saya, Dokter?" tanyaku mendesak. Dokter itu menghela napas. "Kami masih melakukan yang terbaik. Tapi sampai sekarang, ibu Anda belum menunjukkan respons yang signifikan." "Tidak bisakah Anda memprediksi kapan ibu saya akan sadar?" "Kami tidak bisa memberikan kepastian, Nona. Lukanya cukup parah, dan masa pemulihan setiap pasien berbeda-beda. Kami hanya bisa terus memantau dan memberikan perawatan terbaik." Aku mengepalkan tanganku, menahan rasa frustrasi yang meluap di dadaku. "Jadi, saya hanya bisa menunggu tanpa kepastian?" Dokter itu menatapku penuh pengertian. "Saya mengerti ini sulit untuk Anda. Tapi percayalah, k
“Ayah, aku ingin mengenalkan seseorang,” ucapku setelah duduk kembali ke kursi tunggu dan Lucian di sebelahku. Namun sebelum aku sempat melanjutkan, suara Lucian terdengar lebih dulu. “Selamat malam, Tuan Dawson.” Aku spontan menoleh. Melihat wajah Lucian tampak serius, tetapi ada nada hormat dalam suaranya. Sesuatu yang cukup mengejutkanku, mengingat sebelumnya tak pernah menunjukkan sikap seperti itu pada orang tuanya sendiri. Dawson menatap Lucian dengan seksama, lalu tersenyum tipis. “Jadi kau yang namanya Lucian Devereaux, ya?" Lucian mengangguk sopan. “Benar, saya Lucian Devereaux, suami dari Seraphina, putri Anda." Dawson mengangguk dengan senyum lembut. “Salam kenal. Aku sering mendengar tentangmu.” Aku membelalakkan mata. Apa maksudnya? Dari siapa ayah mendengar tentang Lucian? Padahal setahuku ini pertama kalinya mereka bertemu. “Ayah mengenal Lucian?” tanyaku mengangkat alis heran. "Tentu saja, Seraphina. Semua orang mengetahui siapa saja keluarga Deverea
Aku menatap kosong ke dalam cangkir kopi yang sudah dingin di hadapanku. Pikiranku masih dipenuhi dengan ucapan Joanne beberapa jam lalu. Gemetar ringan di meja menyadarkanku. Ponselku bergetar untuk menampilkan sebuah pesan masuk. Aku mengulurkan tangan dan mengambilnya dengan setengah hati. Namun, saat melihat nama pengirimnya, aku langsung tersentak. Margaret Roseanne. Alisku berkerut, rasa cemas langsung menjalari tubuhku. Margaret jarang sekali menghubungiku, apalagi di jam segini. Dengan cepat aku membuka pesannya. [Seraphina, ibumu kecelakaan. Sekarang dia ada di rumah sakit dekat perusahaan Devereaux. Kondisinya sangat kritis.] Dadaku langsung sesak. Jantungku berdetak begitu kencang hingga aku merasa nyaris pingsan jika aku tidak menampar pipiku. Tanpa pikir panjang, aku buru-buru bangkit. Bahkan kursi yang berdecit saat terdorong ke belakang hampir saja jatuh. Aku meraih tas dan ponselku, lalu bergegas keluar dari apartemen. Aku mengemudi secepat yang aku bisa
Kepalaku masih berat saat membuka mata. Rasa pusing menyerang begitu cepat, seperti efek samping dari malam yang penuh kekacauan. Aku menghela napas sambil menatap langit-langit kamar. Kemudian mataku bergerak ke arah kaki yang diperban rapi. Luka yang kuterima semalam kembali muncul dalam ingatan. Seseorang memberikanku teror. Namun yang membuatku lebih terkejut adalah bagaimana Lucian bertindak. Dia tidak seharusnya begitu peduli, tapi perlakuannya padaku kemarin menunjukkan sebaliknya. Aku menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran yang mulai berantakan. Tak lama suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu kamar terbuka, dan di sana berdiri sosok yang sama sekali tak kuduga akan muncul pagi ini. Lucian. Aku pikir dia sudah berangkat ke kantor. Dengan santai, dia masuk sambil membawa nampan berisi sepiring pancake mini dengan maple syrup dan segelas susu hangat. Aku menatapnya dengan alis terangkat, tidak yakin harus merespons bagaimana. "Aku tidak meminta apapun," kataku s
Aku menatap lurus ke depan, tapi otakku berputar memutar ulang kejadian tadi di pertemuan bisnis. Suara mesin mobil berdengung halus di telinga, tapi yang mengganggu justru gema tawa Veronica dan Celeste. Sialan. “Mereka bilang apa saja?” Suara Lucian terdengar tiba-tiba di keheningan, hampir tanpa emosi. Dia menyandarkan punggung ke jok mobil, tangan kirinya menggenggam setir dengan santai. Aku mendesah panjang. “Celeste. Dia mengatakan beberapa kalimat sampah di depan semua wanita di sana. Dia berpikir aku menikahimu hanya mendapat kekuasaan. Dan Veronica, entah kenapa tiba-tiba datang dan mendukung Celeste. Seperti biasa, saudarimu itu melontar kata-kata mutiara yang membuat telingaku panas." Lucian masih diam. Sorot matanya tetap fokus ke jalanan, seolah semua ini bukan hal yang mengejutkan. “Lalu Damien ternyata mengikutiku saat aku pergi ke tempat sepi." Aku melanjutkan dengan nada sedikit jengkel, “Dia meminta maaf atas nama istrinya. Tapi yang paling menyebalkan dia be
"Suamimu itu ... benar-benar pria yang menarik perhatian, ya?” Suara itu datang dari belakang, pelan tapi penuh maksud. Aku tidak perlu berbalik untuk tahu siapa pemiliknya. Hanya ada satu orang yang selalu mulai percakapan dengan nada seolah-olah aku harus peduli. Damien Vaughn. Aku menghela napas pendek. Jari-jariku mencengkeram piring kecil berisi kue yang kubawa dari acara tadi. Aku sengaja pergi ke sisi lain mansion ini untuk menenangkan diri. Aku duduk di kursi kecil di dekat kolam renang. Meletakkan piring di pangkuan, lalu mengambil sepotong kue tanpa menoleh ke arahnya. Satu gigitan manis meleleh di lidahku, tapi rasanya hambar dengan kehadiran Damien yang masih berdiri di belakangku. “Kau baik-baik aja?” tanyanya lagi. Kali ini suaranya lebih dekat. Aku tetap diam. Memilih memotong lagi kue di piringku. Aku sebenarnya sedang menahan muak dan malas. “Aku mendengar tentang kejadian tadi.” Damien melangkah ke sisi kananku, akhirnya berdiri di samping kursi. “Celest
“Lucian memang selalu punya selera yang ... unik, ya?” Suara Celeste terdengar begitu manis, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti ditaburi racun ular. Mataku bergerak dari piring kecil berisi mini eclair dengan isian krim vanila di tanganku ke arah perempuan itu. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya, sementara jemarinya melingkari gelas anggur putih yang tampak nyaris kosong. “Oh, aku setuju,” sahut salah satu wanita di sebelahnya dengan rambut sebahu. “Aku dengar dulu mereka berdua benar-benar tidak terpisahkan. Siapa sangka akhirnya dia beralih ke ... pilihan lain?” Mereka tertawa pelan, cukup lirih untuk dianggap sopan, tapi cukup nyaring untuk membuat siapa pun paham. Aku mengambil gigitan kecil dari eclair di tanganku, mengunyah perlahan, dan menyesap rasa lembut vanila yang meleleh di lidah. Aku tidak menoleh. Tidak sekarang. “Maksudku." Celeste melanjutkan. "Gaun emerald itu cantik, tapi blazer tailored dipadukan stiletto nude dan clutch sat