Saat lift bergerak naik, aku bisa merasakan tekanan di dadaku semakin berat. Tanganku masih dalam genggaman Lucian, tetapi bukan kehangatan yang kurasakan—melainkan cengkeraman kekuasaan.
Dia tidak hanya menggandengku. Dia sedang memperlihatkanku pada dunia sebagai miliknya. Pintu lift terbuka dengan bunyi nyaring. Lantai eksekutif. Interior di sini terasa berbeda dari lobi di bawah. Lebih sepi, lebih eksklusif. Karpet lembut meredam suara langkah kaki, tetapi keheningan yang menggantung di udara jauh lebih menusuk. Beberapa pria dan wanita dalam setelan mahal menoleh saat kami lewat. Beberapa berbisik satu sama lain, beberapa hanya menatap tajam dengan ekspresi tak terbaca. Aku tidak perlu menebak siapa mereka. Dewan direksi. Orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam perusahaan ini—dan mereka semua sekarang melihat ke arahku. Seorang pria tua dengan rambut perak rapi berdiri dari kursinya saat kami memasuki ruang rapat. “Lucian,” katanya dengan nada penuh wibawa. “Kami tidak diberitahu bahwa kau akan membawa tamu.” Lucian tetap tenang. Dia menarikku lebih dekat, seolah ingin memastikan semua orang di ruangan ini tidak melewatkan kehadiranku. “Ini istriku, Seraphina Langley yang telah menjadi Nyonya Devereaux.” Dingin. Hening yang terjadi setelah pengumuman itu begitu dingin hingga aku hampir bisa merasakan suhu ruangan turun beberapa derajat. Beberapa dari mereka saling berpandangan, beberapa lainnya tampak berusaha menyembunyikan keterkejutan mereka. Namun, tidak semuanya terkejut. Beberapa justru terlihat… tidak senang. Pria tua tadi—yang sepertinya pemegang saham utama—menyipitkan matanya. “Istri?” ulangnya, seolah dia tidak yakin mendengar dengan benar. Lucian mengangguk santai. “Aku sudah menikah.” “Dan kapan tepatnya keputusan ini dibuat?” Lucian tersenyum kecil, tetapi tidak ada kehangatan di baliknya. “Aku tidak tahu kalau aku harus meminta izin terlebih dahulu.” Pria itu mendesah pelan, sebelum menatapku dengan pandangan meneliti. Aku merasakan ketegangan merayapi tubuhku, tetapi aku menolak untuk menghindari tatapannya. “Seraphina Devereaux,” ulangnya pelan, menguji namaku di lidahnya. “Jadi, kau sekarang bagian dari keluarga ini?” Aku menelan ludah, lalu mengangguk. “Ya.” “Dan kau paham apa yang sedang kau hadapi?” Aku tidak tahu apakah dia berbicara tentang pernikahanku dengan Lucian, atau dunia yang baru saja kumasuki. Tapi aku tidak akan terlihat lemah di hadapan mereka. Jadi aku membalas tatapannya dan berkata, “Tentu saja.” Dia tidak tersenyum. Tetapi aku bisa melihat ketertarikan sekilas di matanya sebelum dia kembali bersandar ke kursinya. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Mari kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan.” Aku tidak tahu apakah itu ancaman atau sekadar pernyataan. Tapi satu hal yang kutahu pasti .… Aku baru saja masuk ke dalam dunia di mana aku harus berjuang untuk tetap bertahan. Dan aku tidak akan mundur. *** Ruangan itu terasa seperti medan perang tak kasat mata. Meskipun percakapan bisnis mulai bergulir, aku tahu bahwa sebagian besar dari mereka masih meniliku dengan tatapan tajam. Lucian duduk dengan tenang di kursinya, mendengarkan laporan yang dibacakan, sementara aku duduk di sampingnya, berusaha terlihat setenang mungkin. Aku tidak memahami sebagian besar istilah bisnis yang mereka gunakan, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di udara. Tidak semua orang di ruangan ini senang dengan keberadaanku. Beberapa dari mereka tidak menyembunyikan ketidaksukaan mereka, dan itu cukup untuk membuatku sadar bahwa aku sedang berada di sarang ular. Pria tua yang tadi menanyai aku—yang ternyata adalah Henry Devereaux, paman Lucian dan salah satu pemegang saham terbesar—sesekali melirikku, seolah mengamatiku di sela-sela rapat. Aku tidak tahu apakah dia mencoba mengujiku atau sekadar mencari kelemahanku. “Lucian,” Henry akhirnya berbicara setelah laporan selesai dibacakan. “Pernikahan mendadak ini mengejutkan banyak pihak. Kau tahu itu, bukan?” Lucian tetap tenang. “Aku tidak melihat ada yang perlu dikejutkan. Aku sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri.” Henry menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangannya di dada. “Benarkah? Karena yang kudengar, pernikahan ini terjadi tanpa ada satu pun dari kami yang diberi kabar.” “Apa aku harus meminta izin terlebih dahulu?” balas Lucian dengan nada datar. “Bukan izin,” Henry menyipitkan mata. “Tetapi setidaknya penjelasan.” Aku bisa merasakan tatapan mereka berpindah padaku, seolah aku adalah faktor yang harus mereka pahami dalam persamaan ini. Henry menghela napas, lalu menoleh padaku. “Nona Seraphina—atau sekarang Nyonya Devereaux, aku ingin tahu … Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau cukup kuat untuk bertahan di dunia ini?” Aku tidak menyangka akan diserang secara langsung seperti ini, tetapi aku juga tidak akan mundur. Aku menegakkan punggung dan menatapnya langsung. “Saya tidak berpikir, tapi saya tahu.” Henry mengangkat alisnya, jelas tidak menyangka aku akan menjawab seperti itu. “Saya mungkin bukan bagian dari dunia bisnis,” lanjutku, “tapi saya tidak pernah mundur dari tantangan.” Ruangan menjadi sunyi sejenak sebelum Henry terkekeh pelan. “Keberanian yang menarik,” katanya. “Tapi keberanian saja tidak cukup untuk bertahan.” “Beruntung saya memiliki lebih dari sekadar keberanian.” Aku memberikan senyum kecil, mencoba menunjukkan bahwa aku tidak akan goyah. Lucian menatapku sekilas, dan untuk pertama kalinya, aku melihat kilatan ketertarikan di matanya. Henry tidak berkata apa-apa lagi, tetapi aku tahu bahwa percakapan ini belum selesai. Setelah rapat berakhir, Lucian menggandeng tanganku keluar dari ruangan. Saat kami memasuki lift, dia akhirnya bersuara. “Kau tidak perlu menjawab Henry seperti itu,” katanya. Aku menoleh padanya. “Kalau aku diam, dia akan menginjakku.” Lucian menatapku selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Bagus.” Aku terkejut dengan jawabannya. “Bagus?” Dia menyandarkan punggungnya ke dinding lift. “Aku tidak butuh istri yang hanya menjadi pajangan. Aku butuh seseorang yang bisa berdiri di sampingku tanpa goyah.” Aku tidak tahu apakah itu pujian atau sekadar pernyataan, tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa seolah dia benar-benar mengakuiku. *** Aku berjalan di samping Lucian dengan langkah cepat, berusaha mengikuti ritmenya yang selalu mantap dan penuh keyakinan. Rapat dewan direksi baru saja berakhir, dan meskipun aku telah berusaha menjaga ekspresi tenang, pikiranku masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Tatapan penuh penilaian dari para eksekutif tadi masih membekas, membuat dadaku terasa sesak. Tapi aku tetap diam, menjalani peran yang telah kusetujui sejak awal. Di sisiku, Lucian tampak sama sekali tak terganggu. Sejak awal, dia mendominasi seluruh percakapan, menjawab pertanyaan dengan suara tegas yang membuat siapa pun di ruangan itu tak berani meragukannya. Aku seharusnya merasa lega karena semua berjalan sesuai rencana, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menggangguku. Saat kami berbelok menuju lorong utama, aku melihat seorang wanita berdiri di depan lift. Seketika, udara di sekitarku terasa lebih dingin. Wanita itu tinggi, berambut cokelat gelap yang tertata sempurna, dengan sorot mata tajam yang menilai kami dengan ekspresi penuh penghinaan. Aku tidak perlu bertanya siapa dia. Veronica Devereaux. Adik Lucian. Aku mengenal wajahnya dari artikel yang pernah kubaca. Dia adalah wanita yang memiliki reputasi hampir sama kuatnya dengan Lucian—sukses, dingin, dan tak kenal ampun. "Lucian," sapanya dengan nada datar, seolah berbicara dengan seseorang yang sudah lama tak ditemuinya. "Aku dengar kau membawa seseorang ke rapat dewan hari ini." Lucian tetap tenang, ekspresinya nyaris tidak berubah. "Lalu kenapa?" Veronica menyilangkan tangan di depan dadanya, lalu mengalihkan pandangan ke arahku. Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Jadi, ini wanita yang kau nikahi?" Tatapannya menyusuri diriku dari kepala hingga kaki seolah menilai barang murahan yang tidak seharusnya ada di sini. "Kau benar-benar sudah kehilangan akal, Lucian. Dari semua wanita yang bisa kau pilih, kau memilih dia?"Aku menegang. Aku tahu ini akan terjadi—aku tahu cepat atau lambat, aku akan berhadapan dengan Veronica. Tapi menghadapi tatapannya secara langsung tetap saja membuat dadaku terasa sesak. Sebelum aku bisa mengatakan apa pun, Lucian menarikku lebih dekat, tangannya melingkari pinggangku dengan cara yang begitu alami, seolah ingin mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. "Seraphina adalah istriku," katanya, suaranya terdengar begitu dingin dan tak terbantahkan. "Aku tidak butuh persetujuan siapa pun, termasuk kau." Veronica tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan daripada sesuatu yang tulus. "Lucian, kau tahu betapa berharganya nama keluarga kita. Dan sekarang, kau membawa seorang wanita tanpa latar belakang jelas ke dalam keluarga ini? Apa kau serius?" Aku mengepalkan tangan di sisi tubuhku. Aku tidak peduli dengan pendapatnya, tapi cara dia mengatakannya seolah aku ini sampah yang tidak layak berada di sini benar-benar mengusikku. Namun, sebelum aku bisa mem
Sejak pertemuanku dengan Veronica kemarin, aku sudah menduga akan ada konsekuensi. Dan benar saja. Hari ini, dalam acara makan siang bersama beberapa kolega Lucian, aku bisa merasakan tatapan-tatapan terselubung yang memerhatikanku, menilai, dan mungkin meremehkan. Kami berada di restoran mewah dengan pemandangan kota dari ketinggian, ruangan penuh dengan orang-orang berpakaian rapi yang berbicara dengan nada sopan, tapi tajam. Aku tidak asing dengan lingkungan seperti ini. Meski dulu hidupku sederhana, pekerjaanku di toko bunga ibuku sering mempertemukanku dengan klien-klien kaya yang punya standar tinggi. Aku terbiasa menghadapi pelanggan yang memandang rendah pekerjaanku, seolah merangkai bunga bukan hal yang cukup bernilai. Tapi kali ini berbeda. Lucian duduk di sampingku, tenang seperti biasa. Sikapnya dingin dan tak tergoyahkan, seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya. Tapi aku tahu lebih baik dari itu. Dia sedang mengamatiku, menunggu untuk melihat bagaiman
Saat aku kembali ke kantor Lucian setelah pertemuanku dengan Veronica, pria itu sudah menungguku dengan ekspresi datar. Dia sedang berdiri di depan jendela, melihat pemandangan kota yang bermandikan cahaya senja. "Apa yang dia katakan padamu?" Aku menghela napas dan berjalan ke arah meja, meletakkan tas tanganku dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. "Oh, hal biasa. Ancaman terselubung, pertanyaan meremehkan, sedikit penghinaan halus." Lucian akhirnya berbalik menatapku. Mata kelamnya mengamati wajahku seolah mencoba membaca apakah aku sedang berbohong atau tidak. "Dan bagaimana menurutmu?" Aku menyandarkan tubuh ke meja, melipat tangan di depan dada. "Aku pikir dia menganggapku sebagai pengganggu dalam hidupmu. Dan dia ingin memastikan aku tidak bertahan lama." Sudut bibir Lucian sedikit terangkat, tapi bukan dalam senyuman. "Itu sudah bisa diduga." Aku menatapnya tajam. "Kau tidak akan melakukan apa pun soal itu?" "Apa kau ingin aku melakukannya?" Dia b
Aku selalu berpikir aku cukup pintar membaca orang. Sebelum mengelola toko bunga, aku pernah bekerja sebagai asisten pribadi selama bertahun-tahun. Pekerjaan itu mengajarkanku bagaimana memahami ekspresi, nada suara, dan kata-kata terselubung. Tapi Lucian Devereaux? Dia teka-teki yang tidak mudah dipecahkan. Aku masih mengingat percakapanku dengannya di dalam mobil semalam. Cara dia menatapku, seolah menimbang apakah aku pantas mengetahui rahasianya. Itu bukan ekspresi pria yang hanya menjalani pernikahan kontrak tanpa rasa peduli. Ada sesuatu di balik matanya—sesuatu yang lebih dalam dari pada yang pernah dia tunjukkan. Tapi pagi ini, aku tidak punya waktu untuk menganalisis tatapannya lebih jauh. Aku harus kembali ke kantor pusat Devereaux Industries. Meskipun aku hanya "istri kontrak" Lucian, peranku dalam perusahaan ini menjadi lebih besar dari yang kuduga. Saat aku memasuki gedung, aku merasakan tatapan para karyawan yang penuh rasa ingin tahu. Beberapa dari mereka m
Saat aku kembali ke rumah malam itu, Lucian sudah ada di ruang kerjanya. Aku mengetuk pintu sebelum masuk, membuatnya menoleh. "Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanyanya. Aku menutup pintu di belakangku dan melangkah mendekat. "Katakan padaku yang sebenarnya, Lucian. Apa yang terjadi antara kau dan Veronica?" Dia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela. "Itu bukan sesuatu yang mudah dijelaskan." "Aku tidak meminta penjelasan yang mudah. Aku meminta kejujuran." Dia diam sejenak sebelum akhirnya berbalik menatapku. "Kami memiliki masa lalu yang sulit. Ayah kami selalu menekan kami dengan ekspektasi tinggi. Aku mengambil alih perusahaan lebih cepat dari yang seharusnya, dan Veronica merasa itu adalah tanggung jawab yang seharusnya dia bagi denganku."
Saat kami berjalan keluar dari restoran, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Lucian … apa yang ada di dalam amplop itu?” Dia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Sesuatu yang tidak perlu kau lihat.” Aku mengerutkan kening. “Jadi kau memang menyembunyikan sesuatu?” Dia menghentikan langkahnya, lalu menatapku dengan mata gelapnya. “Seraphina, percayalah padaku dalam hal ini.” Aku ingin mempercayainya. Aku benar-benar ingin. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya jika dia terus menutupi sesuatu dariku? "Kalau begitu, jawablah satu pertanyaanku.” “Apa?” Aku menelan ludah, lalu bertanya, “Ap
Aku menyandarkan diri ke sofa, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang hampir muncul. "Ini rumah juga, bukan? Aku tidak harus berdandan seperti mau rapat dewan setiap saat." Lucian tidak menanggapi. Dia berjalan menuju dapur, menuangkan air ke dalam gelas, lalu kembali bersandar di meja bar. Dia tetap memperhatikanku, meskipun dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Apa kau ingin membahas sesuatu?" tanyaku akhirnya, merasa aneh dengan keheningan ini. Lucian meletakkan gelasnya di meja. "Besok kita ada jadwal makan malam bersama investor. Aku ingin kau ikut." Aku menegakkan tubuh. "Aku? Untuk apa?" "Aku ingin mereka melihat bahwa pernikahan kita memang nyata," jawabnya singkat. Aku menghela napas. Ini bukan pertama kalinya dia memintaku hadir dalam acara bisnisnya, tet
Aku tersenyum manis. "Memang. Tapi aku suka tantangan." Veronica tersenyum kecil, seolah menantangku lebih jauh. "Aku penasaran," katanya dengan nada acuh tak acuh. "Apa yang kau lihat dalam diri Lucian? Kau menikah dengannya begitu cepat. Tidak ada yang percaya ini hanya karena cinta." Ruangan terasa lebih hening, tetapi aku tahu semua orang di meja ini tertarik mendengar jawabanku. Aku menoleh ke arah Lucian. Mata kami bertemu, dan dalam sepersekian detik, aku merasa dia ingin tahu jawaban apa yang akan kuberikan. Aku tersenyum tipis sebelum beralih kembali ke Veronica. "Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu, bukan?" Veronica menyipitkan mata, sementara beberapa orang di meja itu tampak terkejut dengan jawabanku. Lucian, di sisi lain, tampak tenang. Bahkan,
"Aku serius. Jangan mencium lagi, Lucian. Aku harus segera berangkat." Namun, Lucian tidak peduli. Tangannya tetap melingkar di pinggangku, kepalanya menunduk, mencium pelipisku sekali, dua kali, lalu turun ke pipi. Aku memiringkan wajah, berusaha menghindar, tapi dia justru menahan daguku erat. "Aku tidak akan lama. Serius!" ucapku lagi dengan suara yang sudah mulai kesal. Lucian menatapku datar, tapi terlihat memohon seperti anak kecil. "Malam ini aku tidur sendiri. Itu masalah yang sulit." Aku mendorong dadanya pelan. "Masalah sulitmu tidak lebih penting dari ayahku yang menyuruhku pulang." "Sebenarnya kenapa dia menyuruhmu pulang? Dia tahu kau sudah menikah. Artinya rumahmu di sini bersamaku." "Astaga, Lucian." "Sayang." Aku menahan napas. Sial. Kenapa dia harus memanggilku seperti itu sekarang? Aku mengeram pelan untuk berusaha sabar. "Jangan mulai menyebalkan lagi. Aku benar-benar harus berangkat. Ayah pasti sudah lama menungguku." "Baiklah, aku akan ikut."
Hari ini tidak ada rapat besar. Aku baru sadar ketika membuka pintu ruang kerja Lucian dan mendapati dia duduk santai di sofa panjang, tanpa jas, hanya kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku. Beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Pemandangan yang terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja. "Kau tidak ada rapat hari ini?" Lucian melirikku singkat. "Tidak. Aku hanya menyelesaikan laporan pribadi." Aku melangkah masuk, menutup pintu pelan, lalu berjalan menuju sofa tempat dia duduk. Aku meletakkan tas tangan di meja dan duduk di sampingnya. Tanganku meraih berkas yang dia baca dan meletakkannya ke meja. "Kalau begitu, kau bisa diganggu sebentar, kan?" Dia mengangkat alis. "Gangguan macam apa yang kau tawarkan?" Aku tidak menjawab. Tubuhku bergeser, mendekat hingga hampir memojokkan dia ke sudut sofa. Tanganku menyentuh kerah kemejanya. "Kau terlalu santai. Aku tidak terbiasa melihatmu seperti ini." "Itu artinya kau harus membiasakan diri." Aku tertawa kecil.
Aku baru saja selesai mengeringkan rambut ketika suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu kamar mandi. "Seraphina." Suara itu memang terdengar tenang tanpa godaan, tapi aku masih bisa mendengar sedikit nada iseng di baliknya. Aku akhirnya membuang napas pelan. "Apa, Lucian?" "Kau mau mandi bersamaku?" "Astaga." Aku menggumam pelan. Aku tahu ini pasti ulahnya lagi. Selalu ada saja caranya menjahiliku, dan kali ini jelas-jelas aku tidak akan membiarkannya menang. "Tidak," jawabku cepat sedikit berteriak. Lalu beberapa saat kemudian tidak ada balasan apapun. Aku akhirnya membuka pintu, dan ternyata dia sudah pergi, aku segera melangkah cepat keluar dari kamar mandi. Tubuhku masih diselimuti aroma sabun ketika aku melangkah ke dapur dengan handuk melilit rambut dan baju mandi satin berwarna lembut. Mataku langsung menangkap sosok Lucian yang tengah menata piring di meja makan. Dia tampak fokus, kedua tangannya lincah mengatur sendok dan garpu, dan ... entah kenapa, p
Aku sudah berbaring di tempat tidur, memunggungi Lucian yang masih duduk dan membolak-balikkan lembar dokumen di sampingku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku ataupun mulutnya sejak kami masuk kamar. Entah kenapa, aku merasa canggung. Ini mungkin pertama kalinya sejak kami resmi menikah, aku tidak merasa marah, tidak merasa tertekan, hanya sedikit bingung. Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku ditarik ke belakang. Lucian melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu menekan tubuhnya ke arahku. Tubuhku seketika kaku, tetapi tidak bisa bergerak karena pelukannya terlalu erat. Kepalaku menyentuh dadanya, dan kakinya melingkar di kakiku. Seolah-olah aku sedang dipenjara dalam kehangatan yang tidak bisa kutolak. "Lucian," bisikku menahan gugup. Bukannya menjawab, Lucian justru mengecup bagian atas kepalaku. Hangat. Lembut. Dan terlalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Terima kasih," kata Lucian tiba-tiba. Suaranya nyaris seperti gumaman, tapi cukup jelas di telingaku. "T
Aku berdiri di dapur, diam-diam menyelipkan sebatang cokelat ke mulut sambil memperhatikan Lucian yang melintas lagi dengan koper kecil dan beberapa barang di tangan. Gerak-geriknya tenang, nyaris terlalu biasa … tapi justru itu yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari seharusnya. "Jadi dia benar-benar pindah, ya," gumamku lirih. Lucian melewatiku sekali lagi, kali ini dengan bantal tambahan. Aku mengunyah pelan cokelat di mulutku, seolah rasa manis itu bisa mengalihkan pikiranku yang semakin liar. "Tenang, Seraphina. Pria itu hanya akan tidur. Tidak akan melakukan apa-apa. Meskipun bukan patung es, aku berharap dia tidur seperti batu." Mataku mengikuti punggungnya yang menjauh sambil membatin, "Aku sungguh tidak mengerti … mengapa aku gelisah seperti ini?" Akhirnya dengan langkah pelan, aku menuju kamar. Pintunya sengaja dibiarkan setengah terbuka. Dari celahnya, kulih
Suara gemericik air dari keran masih terdengar saat aku membilas piring terakhir. Lampu dapur kuning redup membuat suasana terasa tenang. Setelah makan malam, Lucian ke kamar sebentar untuk menerima telepon. Entah dari siapa. Aku tidak terlalu peduli. Aku menyeka tangan dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel. Baru saja hendak berbalik, dua tangan kekar tiba-tiba melingkar ke pinggangku dari belakang. "Lucian," panggilku menahan gugup. Lucian hanya berdehem, dagunya sengaja bertumpu di bahuku. Napasnya menyapu kulit leher sehingga membuatku merinding, tapi aku tidak membantah jika itu terasa nyaman. "Kau kenapa? Apa ingin menanyakan sesuatu?" Lucian diam sejenak, lalu mengeratkan pelukannya pada perutku. "Aku tidak sabar untuk tidur bersamamu." Aku merasa jantungku membeku satu detik, tapi berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. "Kau seperti sedang menantikan sesuatu yang menyenangkan." "Itu benar. Kau memang pintar, Istriku." "Lucian ...." "Kenapa?
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar rumah sakit sehingga menciptakan pantulan hangat di lantai putih yang mengilap. Aku berdiri di samping ranjang, menatap wajah ibuku yang tiba-tiba mulai membuka matanya perlahan. Napasku tertahan di tenggorokan saat jari-jarinya bergerak pelan. "Seraphina," panggil wanita itu seperti bisikan, membuat air bening spontan memenuhi pelupuk mataku. "Ibu!" Aku segera menggenggam tangannya dan menunduk untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. "Ibu benar-benar sudah sadar?" Tatapan matanya masih lemah, tapi ada sudah kehangatan di dalamnya. Dia mengedarkan pandangan, seolah memastikan di mana dia berada sekarang. "Berapa lama aku tertidur?" Aku tersenyum lembut sambil menangis. "Cukup lama, tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting, Ibu sudah kembali. Aku senang bisa melihat ibu membuka mata lagi." Pintu kamar kemudian terbuka. Ayahku masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar, kini dipenuh
Aku memperhatikan Lucian yang berdiri di seberang meja. Raut wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan fokus di matanya. Di antara kami, berkas-berkas tersusun rapi—semua bukti yang selama ini dia kumpulkan. Laporan-laporan itu adalah hasil kerja keras yang akan membuktikan semuanya. "Jadi ini yang kau temukan?" Aku meraih salah satu dokumen dan membaca isinya. "Iya, aku sudah lama mencurigai Damien dan Celeste, tapi aku tidak bisa bertindak tanpa bukti konkret. Dan sekarang kita punya semuanya." Aku menggigit bibir. Ada banyak angka dalam laporan ini—transfer mencurigakan, aset yang tidak dilaporkan, dan transaksi ilegal yang mengarah pada penyelundupan. Damien dan Celeste benar-benar tenggelam dalam dunia kejahatan lebih dalam dari yang kuduga. Setiap halaman tampak seperti mencerminkan kegelapan dari kehidupan mereka yang selama ini tersembunyi. Lucian menyandarkan diri pada kursi, lalu menatapku lurus. "Setelah ini, tidak ada jalan kembali bagi mereka. Begitu kita m
Aku menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekosongan. Setelah insiden penculikan itu, segalanya terasa begitu berat. Keberanian yang sebelumnya mengalir dalam diriku perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh keraguan yang menggerogoti. Aku memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana Damien dan Celeste berusaha menghancurkanku. Bagaimana aku hampir tidak bisa keluar dari situasi itu. Setiap detik dalam penangkapan itu terukir jelas di ingatanku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi. Namun, yang lebih mengusik pikiranku adalah bagaimana Lucian muncul tepat waktu, seperti selalu tahu aku dalam bahaya. Dan sekarang, aku duduk di kamar ini, menunggu kejujuran yang katanya akan dia berikan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, apakah aku benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan dikatakannya? Pintu terbuka, dan aku bisa mendengar langkahnya mendekat. Setiap langkahnya terasa seolah beban yang dia bawa jauh lebih berat dari yang aku pikirkan. Ak