Suara melengking itu langsung memenuhi udara. Aku bahkan belum sempat menoleh sebelum seorang wanita dengan gaun mahal dan rambut disanggul rapi berjalan cepat ke arah kami. Mata coklatnya menyipit tajam ke arahku. Haelyn Devereaux. Aku belum pernah bertemu dengannya, tapi aku bisa langsung tahu bahwa wanita ini adalah seseorang yang tidak bisa dihadapi dengan sembarang cara. Dia berhenti di depan kami, matanya masih terkunci pada wajahku, sebelum akhirnya bergumam sinis. "Jadi, ini menantu yang kau pilih?" Aku bisa merasakan tubuhku menegang. Ini lebih mengerikan dari sidang skripsi. Tapi Lucian hanya berkata dengan tenang, "Ibu, namanya Seraphina." Haelyn mendecakkan lidahnya, lalu melipat tangan di depan dada. "Sungguh tidak sesuai dengan ekspektasi. Aku pikir kecantikannya di atas Celeste." Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap anggun dan tenang. Aku sudah memperkirakan ini, bukan? Meskipun aku tidak menyangka dia akan membandingkanku dengan istri Damien. Na
Ruangan tamu di rumah keluarga Devereaux terasa lebih seperti ruang sidang daripada tempat berkumpul. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung emas yang berkilauan, dan perabotannya mencerminkan kemewahan yang melebihi kata mewah itu sendiri. Aku duduk di sofa panjang dengan Lucian di sampingku, sementara Haelyn dan Matteo duduk berhadapan. Haelyn masih dengan ekspresi tajamnya, sementara Matteo tampak lebih netral—atau mungkin hanya lelah dengan semua ini. Veronica memilih untuk tidak ikut. Tentu saja. Dia mungkin sedang mengatur strategi baru untuk menyerangku nanti. Lucian kemudian membuka suara langsung ke inti permasalahan. "Jadi, kenapa kalian memanggilku pulang?" Haelyn menegakkan punggungnya. "Lucian, kau benar-benar perlu bertanya? Astaga. Kami bangun pagi-pagi hanya untuk membaca berita bahwa putra kami sudah menikah secara mendadak, tanpa pemberitahuan apa pun?" Lucian tampak tidak terganggu. "Berita itu tidak salah. Aku memang menikah." Haelyn mendecakkan lidahny
"Jadi, sampai kapan kau menganggap tidak ada orang di sini?" Suaraku menggema di dalam lift VIP yang sedang bergerak naik. Aku berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, memandang Lucian yang bersandar santai di sudut lift. Lucian menatap pantulan dirinya di dinding logam, lalu menoleh dengan alis sedikit terangkat. "Aku tidak ada topik pembicaraan.""Lucian." Aku mendesah pelan. "Kau cukup menyebalkan."Sebelum Lucian sempat menjawab, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dia melirik layar lalu beralih padaku. "Aku harus mengangkatnya."Aku memutar mata malas. "Silakan saja."Lucian menjauh, berdiri menghadap dinding lift. Nada suaranya berubah serius begitu dia mulai berbicara. Aku menatap punggungnya dengan pandangan penasaran. Lift berhenti di lantai yang kami tuju, tetapi Lucian menahan pintu dengan satu tangan sambil masih berbicara di telepon. Dia menoleh sebentar. "Ada urusan mendesak. Kau ke ruanganku dulu saja.""Apa itu masalah serius?""Iya, sangat serius. Aku harus segera p
"Felix, ini serius kantin untuk karyawan?" Aku berhenti di depan pintu kaca besar bertuliskan Devereaux Cafeteria. Suara ramai dari dalam terdengar jelas, bercampur aroma sedap yang menggoda. Felix berdiri di sebelahku dengan pandangan menatap sekeliling seolah mewaspadai sesuatu. "Iya, Nona," jawab Felix sambil menoleh padaku. "Tapi ini memang bukan sembarang kantin. Ini tempat yang sering dibilang kantin kantor yang paling mewah dan berbintang lima."Aku spontan menggeleng takjub. "Kedengarannya sombong.""Dan itu fakta." Felix berganti menatapku serius. "Anda yakin ingin makan di sini?""Kenapa tidak?" Aku mendorong pintu kaca dengan percaya diri. "Aku juga bagian dari perusahaan ini. Aku bebas makan di mana saja. Lagi pula aku bosan dengan makanan di kantin VIP."Felix sepertinya tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya mengikuti dari belakang saat aku mulai melangkah masuk.Di dalam, suasananya jauh dari kata biasa. Ruangan luas dengan langit-langit tinggi, dihiasi lampu gantun
“Kau yakin Lucian akan menjemputmu?” Veronica bersandar santai di ambang pintu ruang kerja Lucian. Senyumnya miring, matanya menyorot penuh kemenangan. Aku yang tengah duduk di sofa sengaja tidak langsung menjawab. Wajahku tetap tenang, meskipun hatiku tidak sepenuhnya. “Aku tidak menunggunya,” jawabku akhirnya. Suaraku pelan, tapi tegas. Veronica tertawa kecil. “Oh, ya? Jadi kau di sini untuk apa? Melamun sampai ketiduran?” Aku menarik napas perlahan. Mataku menatap Veronica tanpa ekspresi. Memang, aku ketiduran. Setelah menunggu berjam-jam, aku berkali-kali mengecek ponselku, tapi tidak ada satu pesan pun dari Lucian. Bukan hanya tidak datang, bahkan Lucian tidak mengabariku. “Apa kau tidak lelah?” Veronica melangkah masuk, mendekat dengan langkah pelan seperti singa yang mengintai mangsanya. “Kau tahu kau terlihat menyedihkan? Duduk di sini sepanjang hari,
“Lucian belum pulang juga?" Pertanyaan itu berkali-kali terlintas di kepalaku sejak aku masuk ke apartemen malam ini. Aku bahkan tidak sadar sudah berapa kali melihat jam di dinding. Pukul 11.35 malam. Aku menghela napas panjang. Sepatu hak tinggi yang sejak tadi melekat di kakiku akhirnya aku lepas. Langkahku pelan menuju kamar. Tubuhku lelah, bukan hanya karena menunggu berjam-jam di kantor Lucian tadi, tetapi juga karena perasaanku yang entah kenapa terasa lebih berat malam ini. Begitu masuk kamar, aku langsung melepaskan blazer dan membiarkannya terjatuh di sofa. Udara dingin dari pendingin ruangan menyentuh kulitku, membuatku merinding tipis. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitku, mengalir dari kepala hingga ke ujung kaki. Rasanya menenangkan, tapi tidak cukup untuk menghapus gelisah di dadaku. Aku memejamkan mata, berharap pikiranku tenang. Tapi y
"Astaga. Apa yang aku lakukan?" Aku tersentak dan spontan duduk. Napasku sedikit memburu. Selimut tebal berwarna kelabu masih melilit tubuhku. Tanganku bergetar saat menyibak kain itu, dan ... ternyata aku masih memakai baju. Syukurlah. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Pandanganku menyapu ruangan. Ini jelas bukan kamarku. Ini kamar Lucian. Kasurnya, aromanya—semua familiar. Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku mengacak rambutku dengan frustrasi. Kejadian semalam samar-samar terlintas. Aku menggigit bibir bawahku keras-keras. Aku memang bodoh. Dengan gerakan terburu-buru, aku merapikan selimut dan bantal di tempat tidur. Aku bahkan menepuk-nepuk kasur itu, memastikan tidak ada satu lipatan pun yang mencurigakan. Lalu dengan langkah hati-hati, aku melangkah ke pintu. Namun, begitu kakinya menyentuh lantai ruang tengah, aroma masakan tiba-tiba memenuhi hidungku. T
“Aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba seperti ini, Seraphina.” Suara Lucian terdengar datar dari dapur. Aku mendengus kecil, menatap pintu kamar dari kejauhan. Jarak dari sini ke meja makan hanya beberapa langkah, tapi rasanya seperti ada tembok tak kasat mata yang terlalu tebal buat kulewati. Bau telur orak-arik dan kopi yang baru diseduh memenuhi udara, tapi perutku tidak tertarik. Perutku bahkan terasa kosong, bukan karena lapar, melainkan karena rasa canggung yang menggelayuti hati. “Duduklah di sini, jangan mengurung diri di kamar." Suara Lucian terdengar santai, seolah dia tidak merasakan ketegangan yang mengalir di antara kami. Aku menghela napas. Ini konyol. Setelah kejadian semalam di kamar Lucian—yang sampai sekarang kupikir tidak seharusnya terjadi—aku masih belum siap berhadapan dengannya. Bukan karena aku takut, tapi karena ... aku malu. Kejadian itu terlalu mendebarkan, dan aku belum siap untuk menghadapinya. Aku menenggelamkan wajah ke bantal sofa, berus
Hari ini tidak ada rapat besar. Aku baru sadar ketika membuka pintu ruang kerja Lucian dan mendapati dia duduk santai di sofa panjang, tanpa jas, hanya kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku. Beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Pemandangan yang terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja. "Kau tidak ada rapat hari ini?" Lucian melirikku singkat. "Tidak. Aku hanya menyelesaikan laporan pribadi." Aku melangkah masuk, menutup pintu pelan, lalu berjalan menuju sofa tempat dia duduk. Aku meletakkan tas tangan di meja dan duduk di sampingnya. Tanganku meraih berkas yang dia baca dan meletakkannya ke meja. "Kalau begitu, kau bisa diganggu sebentar, kan?" Dia mengangkat alis. "Gangguan macam apa yang kau tawarkan?" Aku tidak menjawab. Tubuhku bergeser, mendekat hingga hampir memojokkan dia ke sudut sofa. Tanganku menyentuh kerah kemejanya. "Kau terlalu santai. Aku tidak terbiasa melihatmu seperti ini." "Itu artinya kau harus membiasakan diri." Aku tertawa kecil.
Aku baru saja selesai mengeringkan rambut ketika suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu kamar mandi. "Seraphina." Suara itu memang terdengar tenang tanpa godaan, tapi aku masih bisa mendengar sedikit nada iseng di baliknya. Aku akhirnya membuang napas pelan. "Apa, Lucian?" "Kau mau mandi bersamaku?" "Astaga." Aku menggumam pelan. Aku tahu ini pasti ulahnya lagi. Selalu ada saja caranya menjahiliku, dan kali ini jelas-jelas aku tidak akan membiarkannya menang. "Tidak," jawabku cepat sedikit berteriak. Lalu beberapa saat kemudian tidak ada balasan apapun. Aku akhirnya membuka pintu, dan ternyata dia sudah pergi, aku segera melangkah cepat keluar dari kamar mandi. Tubuhku masih diselimuti aroma sabun ketika aku melangkah ke dapur dengan handuk melilit rambut dan baju mandi satin berwarna lembut. Mataku langsung menangkap sosok Lucian yang tengah menata piring di meja makan. Dia tampak fokus, kedua tangannya lincah mengatur sendok dan garpu, dan ... entah kenapa, p
Aku sudah berbaring di tempat tidur, memunggungi Lucian yang masih duduk dan membolak-balikkan lembar dokumen di sampingku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku ataupun mulutnya sejak kami masuk kamar. Entah kenapa, aku merasa canggung. Ini mungkin pertama kalinya sejak kami resmi menikah, aku tidak merasa marah, tidak merasa tertekan, hanya sedikit bingung. Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku ditarik ke belakang. Lucian melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu menekan tubuhnya ke arahku. Tubuhku seketika kaku, tetapi tidak bisa bergerak karena pelukannya terlalu erat. Kepalaku menyentuh dadanya, dan kakinya melingkar di kakiku. Seolah-olah aku sedang dipenjara dalam kehangatan yang tidak bisa kutolak. "Lucian," bisikku menahan gugup. Bukannya menjawab, Lucian justru mengecup bagian atas kepalaku. Hangat. Lembut. Dan terlalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Terima kasih," kata Lucian tiba-tiba. Suaranya nyaris seperti gumaman, tapi cukup jelas di telingaku. "T
Aku berdiri di dapur, diam-diam menyelipkan sebatang cokelat ke mulut sambil memperhatikan Lucian yang melintas lagi dengan koper kecil dan beberapa barang di tangan. Gerak-geriknya tenang, nyaris terlalu biasa … tapi justru itu yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari seharusnya. "Jadi dia benar-benar pindah, ya," gumamku lirih. Lucian melewatiku sekali lagi, kali ini dengan bantal tambahan. Aku mengunyah pelan cokelat di mulutku, seolah rasa manis itu bisa mengalihkan pikiranku yang semakin liar. "Tenang, Seraphina. Pria itu hanya akan tidur. Tidak akan melakukan apa-apa. Meskipun bukan patung es, aku berharap dia tidur seperti batu." Mataku mengikuti punggungnya yang menjauh sambil membatin, "Aku sungguh tidak mengerti … mengapa aku gelisah seperti ini?" Akhirnya dengan langkah pelan, aku menuju kamar. Pintunya sengaja dibiarkan setengah terbuka. Dari celahnya, kulih
Suara gemericik air dari keran masih terdengar saat aku membilas piring terakhir. Lampu dapur kuning redup membuat suasana terasa tenang. Setelah makan malam, Lucian ke kamar sebentar untuk menerima telepon. Entah dari siapa. Aku tidak terlalu peduli. Aku menyeka tangan dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel. Baru saja hendak berbalik, dua tangan kekar tiba-tiba melingkar ke pinggangku dari belakang. "Lucian," panggilku menahan gugup. Lucian hanya berdehem, dagunya sengaja bertumpu di bahuku. Napasnya menyapu kulit leher sehingga membuatku merinding, tapi aku tidak membantah jika itu terasa nyaman. "Kau kenapa? Apa ingin menanyakan sesuatu?" Lucian diam sejenak, lalu mengeratkan pelukannya pada perutku. "Aku tidak sabar untuk tidur bersamamu." Aku merasa jantungku membeku satu detik, tapi berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. "Kau seperti sedang menantikan sesuatu yang menyenangkan." "Itu benar. Kau memang pintar, Istriku." "Lucian ...." "Kenapa?
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar rumah sakit sehingga menciptakan pantulan hangat di lantai putih yang mengilap. Aku berdiri di samping ranjang, menatap wajah ibuku yang tiba-tiba mulai membuka matanya perlahan. Napasku tertahan di tenggorokan saat jari-jarinya bergerak pelan. "Seraphina," panggil wanita itu seperti bisikan, membuat air bening spontan memenuhi pelupuk mataku. "Ibu!" Aku segera menggenggam tangannya dan menunduk untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. "Ibu benar-benar sudah sadar?" Tatapan matanya masih lemah, tapi ada sudah kehangatan di dalamnya. Dia mengedarkan pandangan, seolah memastikan di mana dia berada sekarang. "Berapa lama aku tertidur?" Aku tersenyum lembut sambil menangis. "Cukup lama, tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting, Ibu sudah kembali. Aku senang bisa melihat ibu membuka mata lagi." Pintu kamar kemudian terbuka. Ayahku masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar, kini dipenuh
Aku memperhatikan Lucian yang berdiri di seberang meja. Raut wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan fokus di matanya. Di antara kami, berkas-berkas tersusun rapi—semua bukti yang selama ini dia kumpulkan. Laporan-laporan itu adalah hasil kerja keras yang akan membuktikan semuanya. "Jadi ini yang kau temukan?" Aku meraih salah satu dokumen dan membaca isinya. "Iya, aku sudah lama mencurigai Damien dan Celeste, tapi aku tidak bisa bertindak tanpa bukti konkret. Dan sekarang kita punya semuanya." Aku menggigit bibir. Ada banyak angka dalam laporan ini—transfer mencurigakan, aset yang tidak dilaporkan, dan transaksi ilegal yang mengarah pada penyelundupan. Damien dan Celeste benar-benar tenggelam dalam dunia kejahatan lebih dalam dari yang kuduga. Setiap halaman tampak seperti mencerminkan kegelapan dari kehidupan mereka yang selama ini tersembunyi. Lucian menyandarkan diri pada kursi, lalu menatapku lurus. "Setelah ini, tidak ada jalan kembali bagi mereka. Begitu kita m
Aku menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekosongan. Setelah insiden penculikan itu, segalanya terasa begitu berat. Keberanian yang sebelumnya mengalir dalam diriku perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh keraguan yang menggerogoti. Aku memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana Damien dan Celeste berusaha menghancurkanku. Bagaimana aku hampir tidak bisa keluar dari situasi itu. Setiap detik dalam penangkapan itu terukir jelas di ingatanku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi. Namun, yang lebih mengusik pikiranku adalah bagaimana Lucian muncul tepat waktu, seperti selalu tahu aku dalam bahaya. Dan sekarang, aku duduk di kamar ini, menunggu kejujuran yang katanya akan dia berikan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, apakah aku benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan dikatakannya? Pintu terbuka, dan aku bisa mendengar langkahnya mendekat. Setiap langkahnya terasa seolah beban yang dia bawa jauh lebih berat dari yang aku pikirkan. Ak
Aku menggigit bibir menahan rasa sakit. Mungkin wanita lain akan menangis karena cengkraman Celeste sangat kuat, tapi aku tertawa kecil. Ini tidak sakit sama sekali daripada melihat ibuku terbaring tanpa tahu kapan bisa sadarkan diri."Kau lucu, Celeste.""Jangan tertawa, sialan!" bentak Celeste. Tangannya beralih menekan leherku hingga aku mendongak."Lalu harus apa? Menyebutmu sakit jiwa?" Aku tertawa renyah. Celeste melebarkan mata. "Kau tahu, Seraphina? Aku selalu bertanya-tanya, apa yang membuat Lucian memilih wanita tidak tahu diri sepertimu?" Aku menatap balik tanpa takut. Senyumku masih setia di bibir. "Entahlah, mungkin pria itu sudah gila?" Celeste menyeringai tipis, lalu tiba-tiba melepaskan cengkeramannya. "Aku bisa melakukan ini dengan cara yang lebih mudah. Namun, jika kau ingin cara yang sulit, aku tidak keberatan. Kau memang menarik, Seraphina." Aku terbatuk-batuk sambil mengerutkan kening. Aku melihat wanita itu memberi isyarat kepada seseorang di sudut ruan