“Kau yakin Lucian akan menjemputmu?”
Veronica bersandar santai di ambang pintu ruang kerja Lucian. Senyumnya miring, matanya menyorot penuh kemenangan. Aku yang tengah duduk di sofa sengaja tidak langsung menjawab. Wajahku tetap tenang, meskipun hatiku tidak sepenuhnya. “Aku tidak menunggunya,” jawabku akhirnya. Suaraku pelan, tapi tegas. Veronica tertawa kecil. “Oh, ya? Jadi kau di sini untuk apa? Melamun sampai ketiduran?” Aku menarik napas perlahan. Mataku menatap Veronica tanpa ekspresi. Memang, aku ketiduran. Setelah menunggu berjam-jam, aku berkali-kali mengecek ponselku, tapi tidak ada satu pesan pun dari Lucian. Bukan hanya tidak datang, bahkan Lucian tidak mengabariku. “Apa kau tidak lelah?” Veronica melangkah masuk, mendekat dengan langkah pelan seperti singa yang mengintai mangsanya. “Kau tahu kau terlihat menyedihkan? Duduk di sini sepanjang hari,“Lucian belum pulang juga?" Pertanyaan itu berkali-kali terlintas di kepalaku sejak aku masuk ke apartemen malam ini. Aku bahkan tidak sadar sudah berapa kali melihat jam di dinding. Pukul 11.35 malam. Aku menghela napas panjang. Sepatu hak tinggi yang sejak tadi melekat di kakiku akhirnya aku lepas. Langkahku pelan menuju kamar. Tubuhku lelah, bukan hanya karena menunggu berjam-jam di kantor Lucian tadi, tetapi juga karena perasaanku yang entah kenapa terasa lebih berat malam ini. Begitu masuk kamar, aku langsung melepaskan blazer dan membiarkannya terjatuh di sofa. Udara dingin dari pendingin ruangan menyentuh kulitku, membuatku merinding tipis. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitku, mengalir dari kepala hingga ke ujung kaki. Rasanya menenangkan, tapi tidak cukup untuk menghapus gelisah di dadaku. Aku memejamkan mata, berharap pikiranku tenang. Tapi y
"Astaga. Apa yang aku lakukan?" Aku tersentak dan spontan duduk. Napasku sedikit memburu. Selimut tebal berwarna kelabu masih melilit tubuhku. Tanganku bergetar saat menyibak kain itu, dan ... ternyata aku masih memakai baju. Syukurlah. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Pandanganku menyapu ruangan. Ini jelas bukan kamarku. Ini kamar Lucian. Kasurnya, aromanya—semua familiar. Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku mengacak rambutku dengan frustrasi. Kejadian semalam samar-samar terlintas. Aku menggigit bibir bawahku keras-keras. Aku memang bodoh. Dengan gerakan terburu-buru, aku merapikan selimut dan bantal di tempat tidur. Aku bahkan menepuk-nepuk kasur itu, memastikan tidak ada satu lipatan pun yang mencurigakan. Lalu dengan langkah hati-hati, aku melangkah ke pintu. Namun, begitu kakinya menyentuh lantai ruang tengah, aroma masakan tiba-tiba memenuhi hidungku. T
“Aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba seperti ini, Seraphina.” Suara Lucian terdengar datar dari dapur. Aku mendengus kecil, menatap pintu kamar dari kejauhan. Jarak dari sini ke meja makan hanya beberapa langkah, tapi rasanya seperti ada tembok tak kasat mata yang terlalu tebal buat kulewati. Bau telur orak-arik dan kopi yang baru diseduh memenuhi udara, tapi perutku tidak tertarik. Perutku bahkan terasa kosong, bukan karena lapar, melainkan karena rasa canggung yang menggelayuti hati. “Duduklah di sini, jangan mengurung diri di kamar." Suara Lucian terdengar santai, seolah dia tidak merasakan ketegangan yang mengalir di antara kami. Aku menghela napas. Ini konyol. Setelah kejadian semalam di kamar Lucian—yang sampai sekarang kupikir tidak seharusnya terjadi—aku masih belum siap berhadapan dengannya. Bukan karena aku takut, tapi karena ... aku malu. Kejadian itu terlalu mendebarkan, dan aku belum siap untuk menghadapinya. Aku menenggelamkan wajah ke bantal sofa, berus
Aku berdiri di depan meja Lucian, menggenggam sebuah dokumen yang baru saja kutemukan tadi. Tatapanku menuntut jawaban, tetapi Lucian hanya menatap balik dengan wajah tanpa ekspresi. Kekhawatiran dan rasa ingin tahuku berpadu dalam satu titik fokus: dokumen itu. “Tolong jelaskan, apa maksudnya ini?” Lucian tidak menjawab. Dia hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya menghentikan aktivitasnya yang mengetik. Rasa frustrasiku meningkat. Seakan-akan dia memiliki semua jawaban, tapi tidak ingin membagikannya. "Hei, jawab aku." Aku tidak menyerah. Kutemukan keberanian untuk mendekat, menggoda dengan kata-kata manis dan senyum yang dirancang untuk melunakkan hati. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—Lucian menangkap pergelangan tanganku dengan cepat dan menarikku ke pangkuan. Kini aku duduk di atas satu paha Lucian. Posisi itu cukup intim untuk membuat pikiranku kosong seketika. Nafasku tersendat, dan aku tak bisa mempercayai situasi ini. Lucian tersenyum tipis, penuh makna yan
“Lucian memang selalu punya selera yang ... unik, ya?” Suara Celeste terdengar begitu manis, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti ditaburi racun ular. Mataku bergerak dari piring kecil berisi mini eclair dengan isian krim vanila di tanganku ke arah perempuan itu. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya, sementara jemarinya melingkari gelas anggur putih yang tampak nyaris kosong. “Oh, aku setuju,” sahut salah satu wanita di sebelahnya dengan rambut sebahu. “Aku dengar dulu mereka berdua benar-benar tidak terpisahkan. Siapa sangka akhirnya dia beralih ke ... pilihan lain?” Mereka tertawa pelan, cukup lirih untuk dianggap sopan, tapi cukup nyaring untuk membuat siapa pun paham. Aku mengambil gigitan kecil dari eclair di tanganku, mengunyah perlahan, dan menyesap rasa lembut vanila yang meleleh di lidah. Aku tidak menoleh. Tidak sekarang. “Maksudku." Celeste melanjutkan. "Gaun emerald itu cantik, tapi blazer tailored dipadukan stiletto nude dan clutch sat
"Suamimu itu ... benar-benar pria yang menarik perhatian, ya?” Suara itu datang dari belakang, pelan tapi penuh maksud. Aku tidak perlu berbalik untuk tahu siapa pemiliknya. Hanya ada satu orang yang selalu mulai percakapan dengan nada seolah-olah aku harus peduli. Damien Vaughn. Aku menghela napas pendek. Jari-jariku mencengkeram piring kecil berisi kue yang kubawa dari acara tadi. Aku sengaja pergi ke sisi lain mansion ini untuk menenangkan diri. Aku duduk di kursi kecil di dekat kolam renang. Meletakkan piring di pangkuan, lalu mengambil sepotong kue tanpa menoleh ke arahnya. Satu gigitan manis meleleh di lidahku, tapi rasanya hambar dengan kehadiran Damien yang masih berdiri di belakangku. “Kau baik-baik aja?” tanyanya lagi. Kali ini suaranya lebih dekat. Aku tetap diam. Memilih memotong lagi kue di piringku. Aku sebenarnya sedang menahan muak dan malas. “Aku mendengar tentang kejadian tadi.” Damien melangkah ke sisi kananku, akhirnya berdiri di samping kursi. “Celest
Aku menatap lurus ke depan, tapi otakku berputar memutar ulang kejadian tadi di pertemuan bisnis. Suara mesin mobil berdengung halus di telinga, tapi yang mengganggu justru gema tawa Veronica dan Celeste. Sialan. “Mereka bilang apa saja?” Suara Lucian terdengar tiba-tiba di keheningan, hampir tanpa emosi. Dia menyandarkan punggung ke jok mobil, tangan kirinya menggenggam setir dengan santai. Aku mendesah panjang. “Celeste. Dia mengatakan beberapa kalimat sampah di depan semua wanita di sana. Dia berpikir aku menikahimu hanya mendapat kekuasaan. Dan Veronica, entah kenapa tiba-tiba datang dan mendukung Celeste. Seperti biasa, saudarimu itu melontar kata-kata mutiara yang membuat telingaku panas." Lucian masih diam. Sorot matanya tetap fokus ke jalanan, seolah semua ini bukan hal yang mengejutkan. “Lalu Damien ternyata mengikutiku saat aku pergi ke tempat sepi." Aku melanjutkan dengan nada sedikit jengkel, “Dia meminta maaf atas nama istrinya. Tapi yang paling menyebalkan dia be
Kepalaku masih berat saat membuka mata. Rasa pusing menyerang begitu cepat, seperti efek samping dari malam yang penuh kekacauan. Aku menghela napas sambil menatap langit-langit kamar. Kemudian mataku bergerak ke arah kaki yang diperban rapi. Luka yang kuterima semalam kembali muncul dalam ingatan. Seseorang memberikanku teror. Namun yang membuatku lebih terkejut adalah bagaimana Lucian bertindak. Dia tidak seharusnya begitu peduli, tapi perlakuannya padaku kemarin menunjukkan sebaliknya. Aku menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran yang mulai berantakan. Tak lama suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu kamar terbuka, dan di sana berdiri sosok yang sama sekali tak kuduga akan muncul pagi ini. Lucian. Aku pikir dia sudah berangkat ke kantor. Dengan santai, dia masuk sambil membawa nampan berisi sepiring pancake mini dengan maple syrup dan segelas susu hangat. Aku menatapnya dengan alis terangkat, tidak yakin harus merespons bagaimana. "Aku tidak meminta apapun," kataku s
Suara langkah kakiku terdengar cepat di lantai rumah sakit. Jantungku berdegup kencang saat aku kembali menghampiri ruangan dokter. Tanganku gemetar saat mengetuk pintu, berharap ada kabar baik yang bisa meredakan sesak di dadaku. Dokter yang sama seperti tadi pagi membuka pintu. Ekspresinya masih sama—serius dan penuh kehati-hatian. "Bagaimana kondisi Ibu saya, Dokter?" tanyaku mendesak. Dokter itu menghela napas. "Kami masih melakukan yang terbaik. Tapi sampai sekarang, ibu Anda belum menunjukkan respons yang signifikan." "Tidak bisakah Anda memprediksi kapan ibu saya akan sadar?" "Kami tidak bisa memberikan kepastian, Nona. Lukanya cukup parah, dan masa pemulihan setiap pasien berbeda-beda. Kami hanya bisa terus memantau dan memberikan perawatan terbaik." Aku mengepalkan tanganku, menahan rasa frustrasi yang meluap di dadaku. "Jadi, saya hanya bisa menunggu tanpa kepastian?" Dokter itu menatapku penuh pengertian. "Saya mengerti ini sulit untuk Anda. Tapi percayalah, k
“Ayah, aku ingin mengenalkan seseorang,” ucapku setelah duduk kembali ke kursi tunggu dan Lucian di sebelahku. Namun sebelum aku sempat melanjutkan, suara Lucian terdengar lebih dulu. “Selamat malam, Tuan Dawson.” Aku spontan menoleh. Melihat wajah Lucian tampak serius, tetapi ada nada hormat dalam suaranya. Sesuatu yang cukup mengejutkanku, mengingat sebelumnya tak pernah menunjukkan sikap seperti itu pada orang tuanya sendiri. Dawson menatap Lucian dengan seksama, lalu tersenyum tipis. “Jadi kau yang namanya Lucian Devereaux, ya?" Lucian mengangguk sopan. “Benar, saya Lucian Devereaux, suami dari Seraphina, putri Anda." Dawson mengangguk dengan senyum lembut. “Salam kenal. Aku sering mendengar tentangmu.” Aku membelalakkan mata. Apa maksudnya? Dari siapa ayah mendengar tentang Lucian? Padahal setahuku ini pertama kalinya mereka bertemu. “Ayah mengenal Lucian?” tanyaku mengangkat alis heran. "Tentu saja, Seraphina. Semua orang mengetahui siapa saja keluarga Deverea
Aku menatap kosong ke dalam cangkir kopi yang sudah dingin di hadapanku. Pikiranku masih dipenuhi dengan ucapan Joanne beberapa jam lalu. Gemetar ringan di meja menyadarkanku. Ponselku bergetar untuk menampilkan sebuah pesan masuk. Aku mengulurkan tangan dan mengambilnya dengan setengah hati. Namun, saat melihat nama pengirimnya, aku langsung tersentak. Margaret Roseanne. Alisku berkerut, rasa cemas langsung menjalari tubuhku. Margaret jarang sekali menghubungiku, apalagi di jam segini. Dengan cepat aku membuka pesannya. [Seraphina, ibumu kecelakaan. Sekarang dia ada di rumah sakit dekat perusahaan Devereaux. Kondisinya sangat kritis.] Dadaku langsung sesak. Jantungku berdetak begitu kencang hingga aku merasa nyaris pingsan jika aku tidak menampar pipiku. Tanpa pikir panjang, aku buru-buru bangkit. Bahkan kursi yang berdecit saat terdorong ke belakang hampir saja jatuh. Aku meraih tas dan ponselku, lalu bergegas keluar dari apartemen. Aku mengemudi secepat yang aku bisa
Kepalaku masih berat saat membuka mata. Rasa pusing menyerang begitu cepat, seperti efek samping dari malam yang penuh kekacauan. Aku menghela napas sambil menatap langit-langit kamar. Kemudian mataku bergerak ke arah kaki yang diperban rapi. Luka yang kuterima semalam kembali muncul dalam ingatan. Seseorang memberikanku teror. Namun yang membuatku lebih terkejut adalah bagaimana Lucian bertindak. Dia tidak seharusnya begitu peduli, tapi perlakuannya padaku kemarin menunjukkan sebaliknya. Aku menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran yang mulai berantakan. Tak lama suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu kamar terbuka, dan di sana berdiri sosok yang sama sekali tak kuduga akan muncul pagi ini. Lucian. Aku pikir dia sudah berangkat ke kantor. Dengan santai, dia masuk sambil membawa nampan berisi sepiring pancake mini dengan maple syrup dan segelas susu hangat. Aku menatapnya dengan alis terangkat, tidak yakin harus merespons bagaimana. "Aku tidak meminta apapun," kataku s
Aku menatap lurus ke depan, tapi otakku berputar memutar ulang kejadian tadi di pertemuan bisnis. Suara mesin mobil berdengung halus di telinga, tapi yang mengganggu justru gema tawa Veronica dan Celeste. Sialan. “Mereka bilang apa saja?” Suara Lucian terdengar tiba-tiba di keheningan, hampir tanpa emosi. Dia menyandarkan punggung ke jok mobil, tangan kirinya menggenggam setir dengan santai. Aku mendesah panjang. “Celeste. Dia mengatakan beberapa kalimat sampah di depan semua wanita di sana. Dia berpikir aku menikahimu hanya mendapat kekuasaan. Dan Veronica, entah kenapa tiba-tiba datang dan mendukung Celeste. Seperti biasa, saudarimu itu melontar kata-kata mutiara yang membuat telingaku panas." Lucian masih diam. Sorot matanya tetap fokus ke jalanan, seolah semua ini bukan hal yang mengejutkan. “Lalu Damien ternyata mengikutiku saat aku pergi ke tempat sepi." Aku melanjutkan dengan nada sedikit jengkel, “Dia meminta maaf atas nama istrinya. Tapi yang paling menyebalkan dia be
"Suamimu itu ... benar-benar pria yang menarik perhatian, ya?” Suara itu datang dari belakang, pelan tapi penuh maksud. Aku tidak perlu berbalik untuk tahu siapa pemiliknya. Hanya ada satu orang yang selalu mulai percakapan dengan nada seolah-olah aku harus peduli. Damien Vaughn. Aku menghela napas pendek. Jari-jariku mencengkeram piring kecil berisi kue yang kubawa dari acara tadi. Aku sengaja pergi ke sisi lain mansion ini untuk menenangkan diri. Aku duduk di kursi kecil di dekat kolam renang. Meletakkan piring di pangkuan, lalu mengambil sepotong kue tanpa menoleh ke arahnya. Satu gigitan manis meleleh di lidahku, tapi rasanya hambar dengan kehadiran Damien yang masih berdiri di belakangku. “Kau baik-baik aja?” tanyanya lagi. Kali ini suaranya lebih dekat. Aku tetap diam. Memilih memotong lagi kue di piringku. Aku sebenarnya sedang menahan muak dan malas. “Aku mendengar tentang kejadian tadi.” Damien melangkah ke sisi kananku, akhirnya berdiri di samping kursi. “Celest
“Lucian memang selalu punya selera yang ... unik, ya?” Suara Celeste terdengar begitu manis, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti ditaburi racun ular. Mataku bergerak dari piring kecil berisi mini eclair dengan isian krim vanila di tanganku ke arah perempuan itu. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya, sementara jemarinya melingkari gelas anggur putih yang tampak nyaris kosong. “Oh, aku setuju,” sahut salah satu wanita di sebelahnya dengan rambut sebahu. “Aku dengar dulu mereka berdua benar-benar tidak terpisahkan. Siapa sangka akhirnya dia beralih ke ... pilihan lain?” Mereka tertawa pelan, cukup lirih untuk dianggap sopan, tapi cukup nyaring untuk membuat siapa pun paham. Aku mengambil gigitan kecil dari eclair di tanganku, mengunyah perlahan, dan menyesap rasa lembut vanila yang meleleh di lidah. Aku tidak menoleh. Tidak sekarang. “Maksudku." Celeste melanjutkan. "Gaun emerald itu cantik, tapi blazer tailored dipadukan stiletto nude dan clutch sat
Aku berdiri di depan meja Lucian, menggenggam sebuah dokumen yang baru saja kutemukan tadi. Tatapanku menuntut jawaban, tetapi Lucian hanya menatap balik dengan wajah tanpa ekspresi. Kekhawatiran dan rasa ingin tahuku berpadu dalam satu titik fokus: dokumen itu. “Tolong jelaskan, apa maksudnya ini?” Lucian tidak menjawab. Dia hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya menghentikan aktivitasnya yang mengetik. Rasa frustrasiku meningkat. Seakan-akan dia memiliki semua jawaban, tapi tidak ingin membagikannya. "Hei, jawab aku." Aku tidak menyerah. Kutemukan keberanian untuk mendekat, menggoda dengan kata-kata manis dan senyum yang dirancang untuk melunakkan hati. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—Lucian menangkap pergelangan tanganku dengan cepat dan menarikku ke pangkuan. Kini aku duduk di atas satu paha Lucian. Posisi itu cukup intim untuk membuat pikiranku kosong seketika. Nafasku tersendat, dan aku tak bisa mempercayai situasi ini. Lucian tersenyum tipis, penuh makna yan
“Aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba seperti ini, Seraphina.” Suara Lucian terdengar datar dari dapur. Aku mendengus kecil, menatap pintu kamar dari kejauhan. Jarak dari sini ke meja makan hanya beberapa langkah, tapi rasanya seperti ada tembok tak kasat mata yang terlalu tebal buat kulewati. Bau telur orak-arik dan kopi yang baru diseduh memenuhi udara, tapi perutku tidak tertarik. Perutku bahkan terasa kosong, bukan karena lapar, melainkan karena rasa canggung yang menggelayuti hati. “Duduklah di sini, jangan mengurung diri di kamar." Suara Lucian terdengar santai, seolah dia tidak merasakan ketegangan yang mengalir di antara kami. Aku menghela napas. Ini konyol. Setelah kejadian semalam di kamar Lucian—yang sampai sekarang kupikir tidak seharusnya terjadi—aku masih belum siap berhadapan dengannya. Bukan karena aku takut, tapi karena ... aku malu. Kejadian itu terlalu mendebarkan, dan aku belum siap untuk menghadapinya. Aku menenggelamkan wajah ke bantal sofa, berus