Aku menatap lurus ke depan, tapi otakku berputar memutar ulang kejadian tadi di pertemuan bisnis. Suara mesin mobil berdengung halus di telinga, tapi yang mengganggu justru gema tawa Veronica dan Celeste. Sialan. “Mereka bilang apa saja?” Suara Lucian terdengar tiba-tiba di keheningan, hampir tanpa emosi. Dia menyandarkan punggung ke jok mobil, tangan kirinya menggenggam setir dengan santai. Aku mendesah panjang. “Celeste. Dia mengatakan beberapa kalimat sampah di depan semua wanita di sana. Dia berpikir aku menikahimu hanya mendapat kekuasaan. Dan Veronica, entah kenapa tiba-tiba datang dan mendukung Celeste. Seperti biasa, saudarimu itu melontar kata-kata mutiara yang membuat telingaku panas." Lucian masih diam. Sorot matanya tetap fokus ke jalanan, seolah semua ini bukan hal yang mengejutkan. “Lalu Damien ternyata mengikutiku saat aku pergi ke tempat sepi." Aku melanjutkan dengan nada sedikit jengkel, “Dia meminta maaf atas nama istrinya. Tapi yang paling menyebalkan dia be
Kepalaku masih berat saat membuka mata. Rasa pusing menyerang begitu cepat, seperti efek samping dari malam yang penuh kekacauan. Aku menghela napas sambil menatap langit-langit kamar. Kemudian mataku bergerak ke arah kaki yang diperban rapi. Luka yang kuterima semalam kembali muncul dalam ingatan. Seseorang memberikanku teror. Namun yang membuatku lebih terkejut adalah bagaimana Lucian bertindak. Dia tidak seharusnya begitu peduli, tapi perlakuannya padaku kemarin menunjukkan sebaliknya. Aku menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran yang mulai berantakan. Tak lama suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu kamar terbuka, dan di sana berdiri sosok yang sama sekali tak kuduga akan muncul pagi ini. Lucian. Aku pikir dia sudah berangkat ke kantor. Dengan santai, dia masuk sambil membawa nampan berisi sepiring pancake mini dengan maple syrup dan segelas susu hangat. Aku menatapnya dengan alis terangkat, tidak yakin harus merespons bagaimana. "Aku tidak meminta apapun," kataku s
Aku menatap kosong ke dalam cangkir kopi yang sudah dingin di hadapanku. Pikiranku masih dipenuhi dengan ucapan Joanne beberapa jam lalu. Gemetar ringan di meja menyadarkanku. Ponselku bergetar untuk menampilkan sebuah pesan masuk. Aku mengulurkan tangan dan mengambilnya dengan setengah hati. Namun, saat melihat nama pengirimnya, aku langsung tersentak. Margaret Roseanne. Alisku berkerut, rasa cemas langsung menjalari tubuhku. Margaret jarang sekali menghubungiku, apalagi di jam segini. Dengan cepat aku membuka pesannya. [Seraphina, ibumu kecelakaan. Sekarang dia ada di rumah sakit dekat perusahaan Devereaux. Kondisinya sangat kritis.] Dadaku langsung sesak. Jantungku berdetak begitu kencang hingga aku merasa nyaris pingsan jika aku tidak menampar pipiku. Tanpa pikir panjang, aku buru-buru bangkit. Bahkan kursi yang berdecit saat terdorong ke belakang hampir saja jatuh. Aku meraih tas dan ponselku, lalu bergegas keluar dari apartemen. Aku mengemudi secepat yang aku bisa
“Ayah, aku ingin mengenalkan seseorang,” ucapku setelah duduk kembali ke kursi tunggu dan Lucian di sebelahku. Namun sebelum aku sempat melanjutkan, suara Lucian terdengar lebih dulu. “Selamat malam, Tuan Dawson.” Aku spontan menoleh. Melihat wajah Lucian tampak serius, tetapi ada nada hormat dalam suaranya. Sesuatu yang cukup mengejutkanku, mengingat sebelumnya tak pernah menunjukkan sikap seperti itu pada orang tuanya sendiri. Dawson menatap Lucian dengan seksama, lalu tersenyum tipis. “Jadi kau yang namanya Lucian Devereaux, ya?" Lucian mengangguk sopan. “Benar, saya Lucian Devereaux, suami dari Seraphina, putri Anda." Dawson mengangguk dengan senyum lembut. “Salam kenal. Aku sering mendengar tentangmu.” Aku membelalakkan mata. Apa maksudnya? Dari siapa ayah mendengar tentang Lucian? Padahal setahuku ini pertama kalinya mereka bertemu. “Ayah mengenal Lucian?” tanyaku mengangkat alis heran. "Tentu saja, Seraphina. Semua orang mengetahui siapa saja keluarga Deverea
Suara langkah kakiku terdengar cepat di lantai rumah sakit. Jantungku berdegup kencang saat aku kembali menghampiri ruangan dokter. Tanganku gemetar saat mengetuk pintu, berharap ada kabar baik yang bisa meredakan sesak di dadaku. Dokter yang sama seperti tadi pagi membuka pintu. Ekspresinya masih sama—serius dan penuh kehati-hatian. "Bagaimana kondisi Ibu saya, Dokter?" tanyaku mendesak. Dokter itu menghela napas. "Kami masih melakukan yang terbaik. Tapi sampai sekarang, ibu Anda belum menunjukkan respons yang signifikan." "Tidak bisakah Anda memprediksi kapan ibu saya akan sadar?" "Kami tidak bisa memberikan kepastian, Nona. Lukanya cukup parah, dan masa pemulihan setiap pasien berbeda-beda. Kami hanya bisa terus memantau dan memberikan perawatan terbaik." Aku mengepalkan tanganku, menahan rasa frustrasi yang meluap di dadaku. "Jadi, saya hanya bisa menunggu tanpa kepastian?" Dokter itu menatapku penuh pengertian. "Saya mengerti ini sulit untuk Anda. Tapi percayalah, k
Sejak tadi pagi, Lucian menghubungi beberapa orang, termasuk tim investigasi pribadinya. Tatapannya tajam, wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak biasa. Ternyata pria itu sungguh tidak akan diam saja setelah insiden kecelakaan Ibuku. Lucian berdiri di dekat jendela dengan punggungnya yang menghadapku. “Aku ingin laporan lengkap dalam waktu dua puluh empat jam,” katanya dengan nada tegas. “Cari tahu siapa yang ada di sekitar lokasi kejadian sebelum dan sesudah kecelakaan.” Aku mendengar suara seseorang di seberang telepon menjawab dengan cepat, lalu Lucian melanjutkan, “Termasuk semua aktivitas mencurigakan yang berkaitan dengan keluarga Langley dan Devereaux.” Dia menutup telepon tanpa banyak basa-basi. Aku segera mendekatinya untuk mencari tahu seberapa jauh dia sudah mendapatkan informasi. “Apa ada perkembangan?” tanyaku dengan ekspresi penuh harap. Lucian menoleh padaku. “Masih dalam tahap pengumpulan data. Aku juga meminta rekaman CCTV di sekitar rumah sakit.” Aku me
Aku masih terbaring di sofa ruangan kerja Lucian saat suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan seorang wanita masuk dengan langkah anggun. Joanne Devereaux. Matanya yang tajam menelusuri ruangan sebelum akhirnya berhenti padaku. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tapi ada ketegasan yang sulit diabaikan. Aku menarik napas pelan, bersiap menghadapi percakapan yang kemungkinan besar tidak disertai candaan. "Hai, Seraphina," sapanya sambil duduk di sampingku. "Hai juga, Joanne. Saya tidak menyangka Anda datang ke sini," balasku setelah duduk dan menoleh padanya. Dia mengamati wajahku dengan saksama. "Bagaimana kondisi ibumu?" "Masih belum ada kabar baik," jawabku singkat tanpa emosi berlebih. Lebih tepatnya air mataku sudah kering berlarut-larut dalam kesedihan. Joanne mengangguk pelan sebelum akhirnya melipat tangannya di atas pangkuan. "Aku tidak akan bertele-tele. Aku datang untuk membicarakan sesuatu yang mungkin ingin kau
Langkahku terhenti di depan pintu kafe Serenity Sips, jantungku berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Aku tidak yakin apakah ini ide yang baik, tetapi aku harus mendapatkan jawaban. Damien sudah menungguku di dalam, duduk di sudut ruangan dengan ekspresi yang sulit diterka. Aku menarik napas perlahan, lalu melangkah masuk. Begitu matanya menangkap sosokku, ekspresinya berubah sejenak—seperti ada kegugupan yang berusaha dia tutupi. Namun, pria itu segera menegakkan punggung dan menatapku dengan tajam. “Aku tidak menyangka kau akan benar-benar datang.” Aku menarik kursi di hadapannya dan duduk tanpa basa-basi. “Kita perlu bicara sesuatu yang penting.” Damien menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tangannya terlipat di dada. “Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan?” Mataku menelusuri ekspresinya untuk mencari
"Aku serius. Jangan mencium lagi, Lucian. Aku harus segera berangkat." Namun, Lucian tidak peduli. Tangannya tetap melingkar di pinggangku, kepalanya menunduk, mencium pelipisku sekali, dua kali, lalu turun ke pipi. Aku memiringkan wajah, berusaha menghindar, tapi dia justru menahan daguku erat. "Aku tidak akan lama. Serius!" ucapku lagi dengan suara yang sudah mulai kesal. Lucian menatapku datar, tapi terlihat memohon seperti anak kecil. "Malam ini aku tidur sendiri. Itu masalah yang sulit." Aku mendorong dadanya pelan. "Masalah sulitmu tidak lebih penting dari ayahku yang menyuruhku pulang." "Sebenarnya kenapa dia menyuruhmu pulang? Dia tahu kau sudah menikah. Artinya rumahmu di sini bersamaku." "Astaga, Lucian." "Sayang." Aku menahan napas. Sial. Kenapa dia harus memanggilku seperti itu sekarang? Aku mengeram pelan untuk berusaha sabar. "Jangan mulai menyebalkan lagi. Aku benar-benar harus berangkat. Ayah pasti sudah lama menungguku." "Baiklah, aku akan ikut."
Hari ini tidak ada rapat besar. Aku baru sadar ketika membuka pintu ruang kerja Lucian dan mendapati dia duduk santai di sofa panjang, tanpa jas, hanya kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku. Beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Pemandangan yang terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja. "Kau tidak ada rapat hari ini?" Lucian melirikku singkat. "Tidak. Aku hanya menyelesaikan laporan pribadi." Aku melangkah masuk, menutup pintu pelan, lalu berjalan menuju sofa tempat dia duduk. Aku meletakkan tas tangan di meja dan duduk di sampingnya. Tanganku meraih berkas yang dia baca dan meletakkannya ke meja. "Kalau begitu, kau bisa diganggu sebentar, kan?" Dia mengangkat alis. "Gangguan macam apa yang kau tawarkan?" Aku tidak menjawab. Tubuhku bergeser, mendekat hingga hampir memojokkan dia ke sudut sofa. Tanganku menyentuh kerah kemejanya. "Kau terlalu santai. Aku tidak terbiasa melihatmu seperti ini." "Itu artinya kau harus membiasakan diri." Aku tertawa kecil.
Aku baru saja selesai mengeringkan rambut ketika suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu kamar mandi. "Seraphina." Suara itu memang terdengar tenang tanpa godaan, tapi aku masih bisa mendengar sedikit nada iseng di baliknya. Aku akhirnya membuang napas pelan. "Apa, Lucian?" "Kau mau mandi bersamaku?" "Astaga." Aku menggumam pelan. Aku tahu ini pasti ulahnya lagi. Selalu ada saja caranya menjahiliku, dan kali ini jelas-jelas aku tidak akan membiarkannya menang. "Tidak," jawabku cepat sedikit berteriak. Lalu beberapa saat kemudian tidak ada balasan apapun. Aku akhirnya membuka pintu, dan ternyata dia sudah pergi, aku segera melangkah cepat keluar dari kamar mandi. Tubuhku masih diselimuti aroma sabun ketika aku melangkah ke dapur dengan handuk melilit rambut dan baju mandi satin berwarna lembut. Mataku langsung menangkap sosok Lucian yang tengah menata piring di meja makan. Dia tampak fokus, kedua tangannya lincah mengatur sendok dan garpu, dan ... entah kenapa, p
Aku sudah berbaring di tempat tidur, memunggungi Lucian yang masih duduk dan membolak-balikkan lembar dokumen di sampingku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku ataupun mulutnya sejak kami masuk kamar. Entah kenapa, aku merasa canggung. Ini mungkin pertama kalinya sejak kami resmi menikah, aku tidak merasa marah, tidak merasa tertekan, hanya sedikit bingung. Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku ditarik ke belakang. Lucian melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu menekan tubuhnya ke arahku. Tubuhku seketika kaku, tetapi tidak bisa bergerak karena pelukannya terlalu erat. Kepalaku menyentuh dadanya, dan kakinya melingkar di kakiku. Seolah-olah aku sedang dipenjara dalam kehangatan yang tidak bisa kutolak. "Lucian," bisikku menahan gugup. Bukannya menjawab, Lucian justru mengecup bagian atas kepalaku. Hangat. Lembut. Dan terlalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Terima kasih," kata Lucian tiba-tiba. Suaranya nyaris seperti gumaman, tapi cukup jelas di telingaku. "T
Aku berdiri di dapur, diam-diam menyelipkan sebatang cokelat ke mulut sambil memperhatikan Lucian yang melintas lagi dengan koper kecil dan beberapa barang di tangan. Gerak-geriknya tenang, nyaris terlalu biasa … tapi justru itu yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari seharusnya. "Jadi dia benar-benar pindah, ya," gumamku lirih. Lucian melewatiku sekali lagi, kali ini dengan bantal tambahan. Aku mengunyah pelan cokelat di mulutku, seolah rasa manis itu bisa mengalihkan pikiranku yang semakin liar. "Tenang, Seraphina. Pria itu hanya akan tidur. Tidak akan melakukan apa-apa. Meskipun bukan patung es, aku berharap dia tidur seperti batu." Mataku mengikuti punggungnya yang menjauh sambil membatin, "Aku sungguh tidak mengerti … mengapa aku gelisah seperti ini?" Akhirnya dengan langkah pelan, aku menuju kamar. Pintunya sengaja dibiarkan setengah terbuka. Dari celahnya, kulih
Suara gemericik air dari keran masih terdengar saat aku membilas piring terakhir. Lampu dapur kuning redup membuat suasana terasa tenang. Setelah makan malam, Lucian ke kamar sebentar untuk menerima telepon. Entah dari siapa. Aku tidak terlalu peduli. Aku menyeka tangan dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel. Baru saja hendak berbalik, dua tangan kekar tiba-tiba melingkar ke pinggangku dari belakang. "Lucian," panggilku menahan gugup. Lucian hanya berdehem, dagunya sengaja bertumpu di bahuku. Napasnya menyapu kulit leher sehingga membuatku merinding, tapi aku tidak membantah jika itu terasa nyaman. "Kau kenapa? Apa ingin menanyakan sesuatu?" Lucian diam sejenak, lalu mengeratkan pelukannya pada perutku. "Aku tidak sabar untuk tidur bersamamu." Aku merasa jantungku membeku satu detik, tapi berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. "Kau seperti sedang menantikan sesuatu yang menyenangkan." "Itu benar. Kau memang pintar, Istriku." "Lucian ...." "Kenapa?
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar rumah sakit sehingga menciptakan pantulan hangat di lantai putih yang mengilap. Aku berdiri di samping ranjang, menatap wajah ibuku yang tiba-tiba mulai membuka matanya perlahan. Napasku tertahan di tenggorokan saat jari-jarinya bergerak pelan. "Seraphina," panggil wanita itu seperti bisikan, membuat air bening spontan memenuhi pelupuk mataku. "Ibu!" Aku segera menggenggam tangannya dan menunduk untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. "Ibu benar-benar sudah sadar?" Tatapan matanya masih lemah, tapi ada sudah kehangatan di dalamnya. Dia mengedarkan pandangan, seolah memastikan di mana dia berada sekarang. "Berapa lama aku tertidur?" Aku tersenyum lembut sambil menangis. "Cukup lama, tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting, Ibu sudah kembali. Aku senang bisa melihat ibu membuka mata lagi." Pintu kamar kemudian terbuka. Ayahku masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar, kini dipenuh
Aku memperhatikan Lucian yang berdiri di seberang meja. Raut wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan fokus di matanya. Di antara kami, berkas-berkas tersusun rapi—semua bukti yang selama ini dia kumpulkan. Laporan-laporan itu adalah hasil kerja keras yang akan membuktikan semuanya. "Jadi ini yang kau temukan?" Aku meraih salah satu dokumen dan membaca isinya. "Iya, aku sudah lama mencurigai Damien dan Celeste, tapi aku tidak bisa bertindak tanpa bukti konkret. Dan sekarang kita punya semuanya." Aku menggigit bibir. Ada banyak angka dalam laporan ini—transfer mencurigakan, aset yang tidak dilaporkan, dan transaksi ilegal yang mengarah pada penyelundupan. Damien dan Celeste benar-benar tenggelam dalam dunia kejahatan lebih dalam dari yang kuduga. Setiap halaman tampak seperti mencerminkan kegelapan dari kehidupan mereka yang selama ini tersembunyi. Lucian menyandarkan diri pada kursi, lalu menatapku lurus. "Setelah ini, tidak ada jalan kembali bagi mereka. Begitu kita m
Aku menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekosongan. Setelah insiden penculikan itu, segalanya terasa begitu berat. Keberanian yang sebelumnya mengalir dalam diriku perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh keraguan yang menggerogoti. Aku memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana Damien dan Celeste berusaha menghancurkanku. Bagaimana aku hampir tidak bisa keluar dari situasi itu. Setiap detik dalam penangkapan itu terukir jelas di ingatanku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi. Namun, yang lebih mengusik pikiranku adalah bagaimana Lucian muncul tepat waktu, seperti selalu tahu aku dalam bahaya. Dan sekarang, aku duduk di kamar ini, menunggu kejujuran yang katanya akan dia berikan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, apakah aku benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan dikatakannya? Pintu terbuka, dan aku bisa mendengar langkahnya mendekat. Setiap langkahnya terasa seolah beban yang dia bawa jauh lebih berat dari yang aku pikirkan. Ak