Mobil yang berusaha dihentikan sama sekali tidak berhenti. Seketika itu juga Anna merasa bahwa sekarang adalah akhir hidupnya. Air matanya jatuh ketika terbayang wajah Eric. Akankah pria itu bersedih ketika dia sudah meninggalkan dunia ini?Anna meminjamkan mata, kedua tangannya terkepal dengan erat. Dia pasrah jika memang harus berakhir dengan cara yang seperti ini.Hingga tiba-tiba dia mendengar suara mobil yang berhenti, perlahan kedua matanya membuka, dan melihat pintu mobil yang terbuka. Silau cahaya lampu mobil membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas. Hingga seorang pria berjalan mendekat, barulah dia bisa melihat orang itu sebenarnya. "Eric," Anna bergumam. Saat ini dia tidak bisa berkata-kata, keterkejutan yang dia rasakan membuat suaranya seakan sirna."Kau tidak apa-apa?" Eric memegang bahu Anna, melihat ke segala sisi tubuh sang istri, setelah melihat tidak ada yang terluka, barulah dia bisa bernapas dengan lega. "Apa yang kau lakukan? Kenapa malah berhenti di depan mo
Perjalanan yang lumayan panjang ditambah dengan pelukan Eric tanpa sadar telah membuat Anna terlelap. Merasakan mesin mobil yang telah mati, seketika itu juga dia membuka kedua mata meski terasa berat.Padahal sebelumnya dia tidak mengantuk sama sekali tetapi entah kenapa dia bisa merasa nyaman tidur dalam pelukan suaminya. Anna seperti merasakan tidur di kasur dengan kualitas terbaik. Membuat tubuhnya menjadi nyaman meski tidur dalam keadaan duduk.Anna melihat ke arah sekitar, tidak ada Liam di kursi pengemudi, tetapi dia bisa merasakan dada bidang yang menjadi tempat yang bersandar. Perlahan dia mengangkat wajah dan tepat pada saat itu dia melihat wajah sang suami yang sedang melihat ke arahnya."Sudah bangun?" "Apakah ini mimpi?" Sudut bibirnya sedikit tertarik, kemudian dia kembali bergumam, "Jika ini mimpi, rasanya menyenangkan sekali karena bisa memimpikan wajah suamiku yang tampan."Setelah mengucapkan kalimat itu, Anna kembali memejamkan kedua mata. Rasa kantuknya kian membe
Eric sedang bersiap di walk in closet miliknya ketika tiba-tiba Liam datang dengan wajah gelisah. Dia hanya melirik Liam sekilas kemudian kembali fokus mengikat dasinya. "Tuan," Liam tidak melanjutkan perkataannya, dia memberikan tab pada Eric, membiarkan atasannya membaca. Eric menerima tab tersebut, saat itulah tubuhnya menegang. Dia mengembalikan tab tersebut pada Liam seraya berkata, "Bereskan!" Eric segera keluar dari kamar, naik ke lantai dua dan segera masuk ke kamar istrinya dengan menggunakan kunci cadangan yang sudah dia bawa. Saat pintu kamar Anna terbuka, Eric bisa melihat sang istri yang masih duduk di ranjang dengan memegang ponsel di tangan. Dia langsung berkesimpulan bahwa Anna sudah mengetahui artikel buruk tentangnya. "Kenapa kau ... ke sini?" Ekspresi wajah dan juga nada suaranya, sudah cukup memberitahu bagaimana perasaannya sekarang. Hal itulah yang membuat hati Eric menjadi sakit seakan ada sebilah pisau yang menancap di sana. Tanpa berkata-kata, Eri
Anna menatap kedua mata Eric, pria ini sangat lihai hingga bisa membuatnya percaya dengan setiap perkataannya. Mungkin perkataan Eric benar, bahwa naskahnya bagus tetapi sangat jelas terlihat bahwa pria ini yang sudah membantunya. Rumah produksi yang besar, biasanya mereka sudah memiliki penulis untuk naskah film ataupun drama yang akan mereka buat. Sangat jarang rumah produksi terkenal seperti tempat Erlan bekerja, menerima penulis baru yang kemampuannya belum diketahui. Mungkin ada satu atau dua orang penulis baru yang mereka rekrut. Tetapi tidak dalam jangka waktu sebulan atau setahun sekali. Anna sadar ketika dia mengirimkan naskahnya, sudah ada penulis baru yang direkrut. Jadi memang dia tidak terlalu berharap untuk bisa diterima. Anna tersenyum, dia menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Tidak apa-apa jika kau tidak mau mengaku. Tapi, terima kasih atas bantuanmu, Eric." Eric menatap kedua mata Anna secara bergantian. Gadis ini, telah menemukan celah dirinya berbohong. Tetapi m
Ketika sedang dalam perjalan menuju rumah sakit, ponsel Liam tak hentinya berdering. Dia sudah berulang kali meminta ijin tetapi tetap tidak diperbolehkan oleh Eric. Hingga pada dering yang terakhir, perasaannya tidak bisa dibohongi. "Tuan, maafkan saya ...."Liam segera menekan sebuah tombol di earphone yang sedang dia kenakan. Sementara Eric, menatapnya dengan kesal. Sebenarnya sejak tadi juga dia merasakan getaran di ponselnya yang tersimpan di saku jas. Tetapi dia hiraukan karena pasti hanya sebuah omelan yang dia dapatkan. "Maafkan saya, Tuan." "Baik.""Saya mengerti." Hanya tiga kata itu, setelah dia segera melepas earphone dan kembali menyetir. "Tuan, kita harus kembali, ayah Anda sudah menunggu di kantor," Liam melaporkan."Sudah kubilang jangan diangkat! Tapi kau sama sekali tidak menuruti perkataanku! Kau itu orangnya atau orangku?" Eric memalingkan wajah, terkadang Liam bisa begitu menyebalkan seperti sekarang. Setelah beberapa saat terdiam, "Ikuti saja keinginan pri
Anna mencengkram ponselnya dengan erat, suara ini, dia sangat tahu wanita ini tidak akan melepaskannya setelah produser berkata akan mengganti pemeran wanitanya. "Untuk apa kau bertemu denganku? Aku tidak merasa ada sesuatu yang harus kubicarakan," ucap Anna, meski tidak tahu tujuan Agatha memanggilnya, tetapi dia sadar dengan kebencian Agatha yang begitu besar padanya. Agatha adalah wanita yang rela melakukan apapun demi mendapatkan keinginannya. Dia saja sudah dijual ke keluarga kaya, ketika dia menyetujui untuk bertemu, Anna tidak yakin dengan nasibnya. "Kenapa? Kau takut?" Agatha mencemooh. "Kau itu adalah wanita miskin seperti ibumu. Rela melakukan apapun demi mendapatkan pria kaya. Bahkan sampai rela untuk merusak keluarga orang lain. Kalian benar-benar sama. Ternyata benar bahwa, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Mendengar dirinya dan mendiang ibunya dihina, dia menjadi kesal. Tetapi Anna sadar bahwa jika melampiaskan amarah sekarang, hanya akan membuat Agatha kesenan
"Hei! Kau kenapa?" Anna segera membuka kedua matanya, seketika dia terbelalak ketika melihat Eric yang berada tepat di bawahnya. "Ka-kau ...! Sedang apa kau di sini?" Anna langsung melihat ke sekeliling dan dia yakin bahwa dia tidak salah kamar, "Ini adalah kamarku, kenapa kau ada di sini?" "Tentu saja untuk tidur. Kamar adalah tempat untuk ti—dur," Eric mengucapkannya dengan mudah dan juga mengakhiri kata terakhir dengan bernada. Seakan sedang memberikan kode pada Anna, bahwa mereka adalah pasangan suami istri yang sah. Sayangnya Anna terlampau lelah sekarang. Dia pun adalah wanita yang polos, tidak mengerti beberapa kalimat yang biasa dimaksudkan oleh pasangan suami istri. "Jangan bercanda! Tidurlah di kamarmu, aku lelah sekarang, ingin beristirahat." Anna menguap lagi untuk yang kesekian kalinya. Di saat itu dia teringat dengan Hellen yang sedang membawakannya coklat panas. Mungkin nanti Anna akan meminta wanita itu untuk meletakkannya saja ke lemari es. "Istirahat saj
Anna seperti tersihir dengan tatapan Eric yang semakin intens. Pria ini seperti memiliki pesona yang membuat dia tidak bisa menyingkir. Anna bagai membeku, tubuhnya berubah menjadi patung batu. Perlahan sudut bibir Eric tertarik ketika melihat sang istri tidak melakukan penolakan. Dia berpikir bahwa sekarang adalah waktunya untuk dia menuntaskan hasrat yang sejak tadi dipendam. Wajah mereka semakin dekat hingga akhirnya dia memejamkan kedua mata. Plak! Eric membuka kedua mata, dia melihat Anna sudah bernapas dengan cepat. Gadis itu menatapnya marah, lalu berdiri tanpa mengalihkan pandangannya. "Mau apa kau?" Anna bertanya dengan kesal. Sebenarnya Anna lebih kesal pada dirinya sendiri yang malah terpesona dengan Eric. Padahal pria itu hendak mencoba untuk menyentuhnya, tetapi dia malah membiarkan saja sebab tersihir dengan pesona yang dikeluarkan olehnya. Eric belum sempat menjawab pertanyaan Anna tetapi dengan cepat istrinya itu bangun dan berjalan menuju pintu kamar. "Kelua