Mereka berada di basement, Alesio membukakan pintu untuk Alana, memasangkan sabuk pengaman Alana lalu mengecup bibir Alana sekilas. Sebelum mereka berangkat, Alesio mengecup bibir Alana sekilas, ekspresinya penuh dengan kehangatan meskipun ada sentuhan misteri di matanya.
“Apapun yang akan terjadi nanti, percayalah padaku” ucapnya dengan nada tegas, tetapi tersirat kelembutan yang tak terungkapkan. Alana merasa bingung dengan ucapan itu. Alesio memang selalu cenderung diam tentang rencana atau masalah yang dihadapinya, sehingga pernyataannya ini menimbulkan kebingungan
Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di kantor Alesio. Alana mengikuti Alesio masuk ke dalam kantor tersebut, berbeda dengan kantor milik Alesio yang berada di California yang terkesan mewah dan artistik, suasana kantor di salah satu daerah Jakarta ini terasa tenang namun tetap efisien
“Pak tamu anda menunggu didalam” Ucap Rudi, salah satu asistennya yang bertugas di kan
Di antara ketegangan yang kental, Alana berjuang untuk tetap tenang. Meskipun hatinya berdebar keras, dia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya di balik ekspresi wajah yang tenang. Namun, ketika Clark menyebutkan namanya, kesadarannya kembali.“Alana” panggil Clark tiba-tiba, membuat Alana tersentak dari lamunannya. Seiring dengan itu, Alana juga merasa Alesio menegang di sampingnya.“Apa kau tidak tertarik bersama denganku?” Sambung Clark. Ekspresi Alesio yang tadinya keras berubah menjadi penuh dengan kemarahan yang menggelegak.“Tutup mulut sampahmu itu sebelum aku membuatnya tidak bisa mengatakan apapun lagi!” balas Alesio dengan suara yang menusuk tajam dan penuh ancaman. Ucapan Clark hanya memperburuk suasana yang sudah tegang.Clark mengangkat alisnya, menyadari bahwa dia telah memicu kemarahan yang mendalam dari Alesio. Matanya diselingi binar kegilaan. “Apa ini? Bukankah kau pemuja Diana?” ucap
Dengan langkah mantap, Alesio menatap tubuh gemetar Diana yang masih berusaha pulih dari keadaan terikatnya. Setelah berhasil melepaskan ikatan yang membelenggu Diana, Alesio menggendong wanita itu dengan lembut dan membawanya keluar dari gedung tua yang gelap dan suram.“Kau masih berhutang penjelasan padaku, Diana” ucap Alesio dengan suara yang tenang namun penuh dengan keputusan.“Maaf…” gumam Diana lirih, sementara tangannya merangkul erat leher Alesio. Wajahnya tersembunyi di balik pundak Alesio, diam-diam senyumnya tersembul, mengisyaratkan klaim kepemilikannya atas Alesio.‘Kau milikku, Alesio’ Suara klaim itu menggema dalam pikirannya, meyakinkannya bahwa Alesio adalah miliknya dan akan tetap demikian.“Siapkan keberangkatan ke California sekarang” perintah tegas Alesio kepada anak buahnya yang hadir di sekitar mereka.“Baik, Tuan” jawab anak buah itu patuh, lalu segera mela
Alesio membuka pintu apartemen dengan langkah yang berat, langkah yang mencerminkan kelelahan yang mendalam. Dengan membiarkan lampu tetap mati, Alesio membuka gorden kemudian duduk di sofa, membiarkan napasnya terengah-engah. Selama seminggu terakhir ini, hidupnya terasa seperti roller coaster, terutama karena tingkah manja Diana yang semakin tak tertahankan.Tatapan Diana yang memelas, wajahnya yang memancarkan ketidaksukaan, dan tingkah laku manjanya yang membuat Alesio semakin muak terhadapnya. Dalam kilatan ingatan, Alesio teringat bagaimana Diana menjerit-jerit pada saat dia mencoba untuk kembali ke Indonesia.Diana begitu keras kepala, menuntut Alesio untuk tetap tinggal bersamanya, atau mengancam akan membunuh dirinya sendiri.Bayangan ancaman itu masih terpatri dalam pikiran Alesio. Dia mengenang momen tegang ketika Diana memegang sebuah pisau di tangannya, matanya dipenuhi oleh ekspresi putus asa dan kemarahan. Itu adalah momen yang menggelikan h
Pagi-pagi sekali Alesio keluar dari apartemen setelah memberikan Alana obat bius dengan dosis ringan. Alesio sengaja melakukan itu agar Alana merasa jika apa yang terjadi semalam hanyalah mimpi“Jika Alana bertanya tentangku katakan aku belum kembali” ucapnya pada Markus yang memperlihatkan ekspresi bingung yang samar.Alesio terkekeh pelan mendengar respon Markus "Kau lupa jika dia orang yang selalu mendorongku pergi?" timpalnya dengan nada santai.Markus mengangguk mengerti, menyadari kebenaran dalam kata-kata Alesio. Alana memang memiliki sikap yang ambivalen terhadap majikannya. Terkadang, sikapnya terhadap Alesio terlihat seperti musuh, tetapi di balik itu, Markus merasa bahwa Alana merasa nyaman dengan kehadiran Alesio, meskipun dia tidak pernah mengakui secara terbuka. Hal itu membuat Markus semakin bingung dengan dinamika hubungan pernikahan antara Alana dan Alesio.“Lakukan saja perintahku jika dia bertanya” ucap Alesio la
Alana duduk sambil meminum wine, dia sengaja melakukan itu sembari menunggu Alesio datang hingga akhirnya Alana mendengar suara smartloc pintu apartemen yang ditekan dan Alesio memasuki apartemen. Dengan hati yang berdegup kencang, Alana menarik nafas dalam-dalam, bersiap untuk menghadapi Alesio setelah hampir satu bulan tidak bertemu.Ketika Alesio masuk, Alana melihat ke arahnya dengan tatapan dingin namun penuh dengan emosi yang tersimpan. Wajahnya memancarkan aura tegang saat dia menyaksikan Alesio memasuki ruangan. Alana kembali meneguk wine dengan cepat, menghabiskan anggur beralkohol yang terisi tengah gelas. Ini botol keduanya. Dia merasakan darahnya mendidih, emosinya meronta di dalam dirinya saat Alesio melewati ruang tamu menuju ke arahnya.“Bajingan penguntit” gumam Alana dengan suara yang tajam, cukup rendah namun mampu terdengar oleh Alesio.Alesio memandang Alana dengan smirk tipis saat mendengar gumaman tajam dari bibir Alana yang nam
“Ingin memilikinya?” Tanya Alesio dengan maksud tersembunyi dibalik seringain samarnya yang terciptaAlana mengangguk antusias “memangnya bisa?”Alesio menggeleng. "You don't, but our child can" katanya sambil menatap Alana intensAlana terpaku cukup lama, mencerna kata-kata itu dengan seksama. Tiba-tiba, dia mendekatkan bibirnya ke arah Alesio dan memberinya ciuman singkat. Setelah kecupan itu terlepas, Alana tertawa kecil dan menyentuh bibir tebal Alesio dengan lembut."Like jelly" gumam Alana sambil menggigit bibir Alesio dengan lembut, menciptakan getaran erotis di antara mereka.Alesio terpancing. Dia merangkul Alana dengan erat, memutar tubuhnya sehingga mereka berada dalam posisi yang lebih intim. Punggung Alana menempel pada dinding, dan Alesio melingkarkan kedua kaki Alana di sekitar pinggangnya dengan mantap.“Sakit” ringis Alana kala punggungnya menabrak dindingAlesio justru menyeringai
“Alana mendapatkan sahamnya kembali” Ucap Henry pada ibunyaYulina menggigit kukunya dengan marah. Dia merasa darahnya mendidih ketika mendengar kabar tersebut. Selama ini, dia telah berusaha mati-matian untuk menjatuhkan Alana dan membuat putranya mendapatkan posisi pewaris. Namun, upaya-upaya itu telah gagal, dan sekarang Alana kembali memiliki kepemilikan saham di perusahaan Dirgantara."Wanita itu tidak akan pernah berhenti menghalangi kita" ujar Yulina dengan suara yang penuh dengan kebencian. "Dia pikir dia bisa menggagalkan rencana kita? Dia akan mendapatkannya!"Henry menatap ibunya. Meskipun dia ingin mendapatkan Alana, disisi lain dia juga terjebak dalam ambisi ibunya. "Mungkin kita perlu mencari cara lain untuk menyelesaikan ini, bu" ucap Henry dengan hati-hati. “Alana memiliki Alesio disisinya”Yulina menoleh tajam pada putranya. "Tidak, Henry. Kita tidak boleh mundur sekarang. Kita harus membuat Alana menyesal telah me
Alesio melihat reaksi Alana dan memutuskan untuk meneruskannya. "Ya, kau benar-benar gila malam itu. Tidak bisa kubayangkan apa yang kamu lakukan jika aku tidak berhenti."Alana berdiri di tempat, terguncang oleh tuduhan yang tiba-tiba itu. Dia merasa kebingungan dan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Pikirannya berkecamuk, mencoba untuk memahami kebenaran di balik kata-kata Alesio."Aku tidak percaya" bisiknya dengan suara gemetar.Alesio menunjuk bibirnya yang sedikit terluka, menambah dramatisasi pada ceritanya. “Kau bahkan mengigit bibirku sampai berdarah, Alana. Kau bilang ingin memakannya karena seperti Jelly."'Like jelly' kata-kata itu memantul dalam pikiran Alana. Ingatan tentang saat Alesio menggendongnya dan dirinya yang mencium pria itu berputar dalam pikirannya. Wajah Alana memerah, dia mengingat momen ketika dia benar-benar mengigit bibir Alesio, meskipun tanpa maksud yang sebenarnya.“Maafkan aku” Ucap Alana
Alesio melingkarkan tangannya di pinggang ramping Alana dan mengelusnya pelan, bibir pria itu menicum leher putih Alana yang terekspos.Alana tersentak, dia melirik Alesio yang masih setia menciumi lehernya.“Kamu ini sedang apa sih?” tanyanya“kau wangi” Ucap Alesio. Pria itu menggigit leher Alana membuat gadis itu kaget.“Bisa kamu hentikan, aku sedang memasak”Alesio tidak menggubris ucapan Alana, pria itu masih menciumi lehernya, menikmati aroma yang mampu membuat Alesio kecanduan.Alana merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini, merasakan ketidaknyamanan dan kebingungan mencampuradukkan perasaannya.“Tolong, Alesio” desisnya lagi, mencoba untuk meminta dengan lebih tegas agar Alesio menghentikan tindakannya. Tetapi dia juga merasa sulit untuk menolaknya sepenuhnya, terpesona oleh keintiman yang mereka bagikan.“Ini hukuman mu karena memasak di rumahku” Ucapny
“KAKEKKKK!” Alana berteriak keras begitu melihat Kakek Igrit sedang berdiri memandangi pohon mahoni di samping rumah.Kakek Igrit memalingkan pandangannya dari pohon yang dia amati dengan penuh konsentrasi. Senyum hangat terukir di wajahnya ketika melihat Alana mendekatinya dengan cepat.“Di mana Alesio, Nak?” tanyanya dengan suara lembut, matanya memancarkan kekhawatiran.Alana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Dia sedang ada urusan, Kakek” ucapnya tanpa raguKakek Igrit mengangguk mengerti, tetapi matanya tetap penuh dengan rasa ingin tahu. “Baiklah, Nak” katanya dengan lembut, sebelum melangkah menuju pintu masuk rumah dengan langkah perlahan. Alana mengikuti di belakangnya, merasa lega bahwa dia memiliki seseorang yang selalu memahami dan peduli padanya.“Bagaimana kondisi perusahaan?” tanya kakek Igrit, berubah dari kekhawatiran pribadi
Alesio meloncat keluar dari mobil mewah dengan wajah yang penuh kemarahan. "Keluar!" teriaknya, suaranya gemetar oleh kemarahan.Diana keluar dari rumah dengan wajah sumringah, dia senang Alesio menemuinya “Al, aku merindu- Akh” Diana memekikAlesio menarik tangan Diana dan mencekik leher wanita itu, bahkan dengan mudahnya sedikit mengangkat tubuh Diana hingga tak menampak pada tanah“Alesio” Clark berteriak.Alesio cukup kaget melihat Clark yang keluar dari rumah Diana. Dia mendekat pada Alesio, meraih tangan Alesio yang bahkan kaku untuk ditarikAlesio tenggelam dalam lautan pikirannya yang gelap, tak terganggu oleh kehadiran Clark yang mencoba memanggilnya. Satu-satunya fokusnya adalah memadamkan nyala kebencian yang berkobar di dalam dirinya, kebencian yang diarahkan kepada Diana, sosok yang dianggapnya sebagai biang keladi dari kepergian Alana."ALESIO!" Clark berteriak, mencoba memperoleh perhatian pria it
“Aku hamil anak Alesio”Alana mengulas senyum tipis sambil menatap wanita cantik berambut blonde didepannya“Benarkah? Kau yakin itu miliknya?” Tanya Alana, dia meletakkan tangannya dan menopang dagu, menatap Diana dengan senyum tipis"Ya, aku yakin, memangnya siapa lagi pria yang menyentuhku selain Al" Diana menjawab dengan percaya diri, sambil menggerakkan rambutnya yang tergerai lembut ke belakang telingaAlana menganggukan kepalanya“Selamat” Ucap Alana yang membuat Diana terpaku, dia tidak menyangka dengan respon yang diberikan Alana“Kau tidak marah?” Tanya Diana. Seharusnya Alana marah padanya lalu dia akan menjatuhkan diri hingga menyebabkan keguguran untuk meraih simpati publik namun Alana justru hanya menggelengkan kepala ringan“Untuk apa aku marah? Buang-buang tenaga” Ucap Alana, tangannya meraih gelas dan menyesap kopi didalamnya“Ke-kenapa?” tanya Diana meminta penjelasan lebih lanjut“Aku sudah memutuskan untuk fokus pada masa depan, bukan untuk menghabiskan energi untu
Candu.Setidaknya itulah yang Alesio rasakan ketika bercinta dengan Alana. Alesio tidak peduli dengan tanggapan jika dia dikatakan hypersex, tapi saat ini Alesio memang ingin terus melakukannya dengan Alana.. lagi dan lagi.Mereka seperti magnet yang saling tarik-menarik, tak bisa lepas satu sama lain. Setiap sentuhan, setiap ciuman, dan setiap gerakan terasa seperti keajaiban yang mereka ciptakan bersama. Mereka saling memenuhi kebutuhan satu sama lain, menggali keintiman yang mendalam di antara mereka.“You’re so beautiful, Amour” bisiknya parau di telinga Alana. Bibirnya menyisir lembut leher Alana serta memberikan kiss mark sebagai tanda kepemilikannya.Tangan Alesio kemudian bergerak turun ke payudara dan perut Alana, lalu beralih pada pangkal paha Alana yang memang tidak menggunakan apapun. Kondisi keduanya sama-sama telanjang, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh keduanya.Alana merespon dengan desahan kecil yang terputu
“Aku tidak tertarik pada mereka, Ale. Aku bukan dirimu yang suka berganti-ganti pasang di tiap club malam”Alesio membatu, seharusnya yang dia khawatirkan bukan Alana tertarik pada Grey namun apa yang akan Ezel ucapkan pada Alana.“Berniat menjelaskan… Alesio Kingston” Ucap Alana dengan senyum lebar sambil mengarahkan pistolnya pada dada AlesioAlesio menahan pistol itu dengan jari telunjuknya “Sepat sekali senjata ini terarah padaku” Kekeh AlesioAlana tetap tenang, senyumnya tidak luntur sedikit pun. "Kau tahu, Ale, kadang-kadang aku merasa ragu dengan dirimu” Ucap Alana membuat pandangan Alesio menajam“Jangan Denial Alana” Desisnya. Matanya menatap tajam Alana yang kini memegang senjata di depannya. "Aku tahu aku punya kesalahan, tapi ini tidak benar-benar relevan sekarang. Kau sendiri juga sudah tahu bagaimana aku di masa lalu."Alana hanya tertawa, senyumnya terlihat mengejek
Suara tembakan terus menggema dalam ruang tembak. Begitu peluru habis Alana langsung mengisi ulang magazen pistolnya dengan cekatan, gerakan-gerakan yang semakin mantap dan terampil. Dia menjadi semakin percaya diri dengan setiap tembakan yang dia lakukan, dan itu memacu adrenalinnya.Setiap kali dia menarik pelatuk, dia merasakan getaran yang menyebar ke tangannya, tetapi sensasi itu tidak lagi membuatnya takut. Sebaliknya, itu membuatnya merasa hidup, seperti menguasai kekuatan yang sebelumnya tidak pernah dia sadari.Alana terus berlatih dengan tekun, menyesuaikan posisi dan sikapnya dengan saran-saran dari Alesio. Dia seperti tenggelam dalam latihan, seolah-olah dunia di sekitarnya lenyap dan satu-satunya yang ada hanyalah dia dan senjatanya.“Hei”Dor.Alana melotot, dia nyaris menembak seorang pria tampan yang tadi menyentuh pundaknya “Maaf, maafkan aku, aku tidak sengaja”Alana menahan napasnya, jantungnya berd
Suara tembakan nyaring menggema di koridor-koridor yang gelap, menambah ketegangan di udara. Ketika mereka melangkah lebih jauh, Alana merasa seolah-olah dia masuk ke dalam dunia gelap yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.Dia mencoba untuk tetap tenang, berusaha mempertahankan keberaniannya meskipun hatinya berdegup kencang.“Gugup?” tanya Alesio membuat Alana mengangguk kaku.Bagaimana Alana tidak gugup jika tanpa persiapan apa pun, Alesio membawanya ke tempat yang disebutnya sebagai markas Siegel.“Tenang saja, mereka tidak berbahaya” kata Alesio, mencoba menenangkan Alana.Alana berdecak dalam hati. Bagaimana dia bisa merasa tenang jika sekitarnya dipenuhi oleh para penjaga berseragam yang terlihat menakutkan? Beberapa dari mereka memiliki tato dan bekas luka di wajah, dan tubuh besar yang berotot membuat mereka terlihat sangat intimidatif. Alana mencoba untuk menyembunyikan rasa ketidaknyamanannya, tetapi mata Alesi
Alana menggeliat saat merasakan geli diwajahnya akibat sebuah tangan yang terus bermain pada pipinya. Alana perlahan membuka mata dan mendapati mata biru menatapnya lembut disertai senyuman“Selamat pagi, Amour” Sapa Alesio sambil memberikan kecupan ringan pada bibir Alana“Hmm” Alana bergumam, tubuhnya terlalu lelah akibat dirinya yang terus bergumul dalam malam panas dengan pria yang staminanya tak pernah habis itu.“Ayo mandi lalu makan, aku sudah membuatkanmu makanan” desak Alesio dengan lembut“Bawakan ke sini” Ucap Alana dengan suara khas orang yang baru bangun tidur.“Mandi dulu” Ajak Alesio“Tidak mau. Bawakan saja makanannya”“Oke, tunggu sebentar” jawab Alesio patuh sebelum meninggalkan kamar ituSetelah Alesio pergi, Alana membuka mata, merenggangkan tubuhnya dari tempat tidur. Dia beranjak menuju kamar mandi, tak lupa mengunci pintu