Terima kasih. Semoga suka. See Soon.
Wijaya menatap Amira yang sudah basah kuyup. Kaos putih yang dikenakan memperlihatkan pakaian dalam Amira. Wanita itu memeluk lututnya. Tubuhnya menggigil karena kedinginan. Dimandikan sang suami di tengah malam.“Kenapa kamu menangis?” Wijaya mengangkat dagu Amira. Dia mengecup bibir yang pucat.“Apa aku menyakiti kamu?” bisik Wijaya di telinga Amira dan memberikan gigitan pelan.“Apa kamu tidak sadar telah melukaiku tanpa menyentu, Amira?” Wijaya memeluk erat tubuh Amira. Mereka duduk di lantai kamar mandi dengan air terus mengalir membasahi keduanya.“Kenapa diam, Amira? Apa hukuman ini masih kurang?” tanya Wijaya membuka kaos yang dikenakan Amira.“Hah!” Amira terkejut.“Aku tidak mau kamu masuk angin.” Wijaya mematikan keran air.“Buka celana kamu!” perintah Wijaya yang telah bertelanjang dada. Pria itu memegang handuk. “Tinggalkan aku sendiri,” tegas Amira dengan suara bergetar. Dia benar-benar kedinginan dengan tubuh yang basah. Ditambah lagi dengan pendingin ruangan yang aktif
Amira sudah selesai memberikan asi kepada Keano. Wanita itu ditunggu Wijaya untuk berganti pakaian karena mereka akan pergi jalan-jalan.“Apa Keano sudah tidur?” tanya Wijaya melihat pada Amira yang berdiri di depan lemari. Wanita itu memilih kemeja putih dan celana jeans biru navy.“Sudah,” jawab Amira. “Kamu selalu cantik,” ucap Wijaya beranjak dari sofa. Dia mendekati Amira yang sudah berpakain.“Aku suka semua hal dari kamu, Amira.” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Dia mencium leher yang terbuka karena rambut digelung tinggi.“Seksi,” bisik Wijaya di telinga Amira.“Apa yang mau kamu beli, Sayang?” tanya Wijaya tersenyum memandangi bayangan mereka dari pantulan cemin lemari.“Aku tidak tahu,” jawab Amira.“Apa aku harus beli mall berserta isinya?” Wijaya mencium pipi Amira dalam waktu beberapa detik.“Tidak perlu dibeli. Aku tahu mall itu milik Anda,” ucap Amira.“Hahaha. Kamu pasti tahu semua asset dan bisnisku.” Wijaya tertawa. Dia mencium pundak Amira.Wijaya dan Amira kelua
Kristian keluar dari kamar mandi. Dia membawa botol infus dan menggantungkan di tiang. Dia duduk di tepi kasur dan mengambil ponsel yang ada di atas meja.“Amira.” Kristian melihat pesan dari Amira.“Apa? Sudah dihapus?” Kristian kebingungan. Dia belum membaca pesan dari Amira.“Kenapa dihapus?” Kristian gelisah.“Ada apa?” tanya Dody mendekati putranya yang terlihat kacau.“Ada pesan dari Amira, tetapi sudah dihapusnya,” jawab Kristian memperlihatkan layar ponsel pada papanya.“Papa sudah tangkap layar,” ucap Dody yang sangat peduli pada putranya. Pria itu tidak mau Kristian menjadi kacau karena Amira.“Terima kasih, Pa.” Kristian tersenyum. Dia segera memeriksa galeri foto miliknya.“Jangan hubungi Amira. Dia sudah memblokir nomor kamu,” ucap Dody memperhatikan Kristian yang sangat antusias.“Ya. Dia tidak mau Pak Wijaya marah.” Kristian tersenyum melihat pesan Amira. Pria itu tidak marah sama sekali para sekretaris Wijaya.“Apa yang terjadi?” tanya Dody.“Pak Wijaya memukulku,” jawa
Bibi terus berusaha menghubungi Wijaya dan Amira, tetapi tidak ada jawaban dari dua orang yang sedang berkencan. Mereka berada di pantai dan meninggalkan ponsel di kamar.“Ya Tuhan. Tolong hamba.” Bibi benar-benar gelisah. Dia harus melindungi Keano dan juga ibu susu dari bayi itu.“Kita sampai, Bi.” Sopir membuka pintu untuk bibi.“Terima kasih. Kita langsung menemui dokter Ibra,” ucap bibi keluar dari mobil dan berjalan masuk ke rumah sakit. Sopir mengikuti wanita itu dengan membawa tas berisi keperluan Keano.Dokter Ibra yang libur pun harus datang ke rumah sakit. Pria itu berhasil dihubungi bibi sehingga mereka bisa bekerja sama. “Kemana Wijaya. Kenapa tidak menjawab panggilan dariku?” Dokter Ibra yang juga baru tiba di rumah sakit berlari menuju ruangannya. Dia benar-benar harus melindungi Wijaya dan juga Amira dari Luna.“Nomor Amira tidak aktif dan Wijaya tidak bisa dihubungi.” Ibra masuk ke dalam lift yang membawanya langsung ke ruang kerja.Bibi terlihat gelisah. Dia dan so
Amira berdiri di tepi pantai. Wanita itu mengenakan pakaian renang dengan celana sebatas paha dan atasan cukup lebar menutupi dadanya dengan perut terbuka.“Hm.” Wijaya berdiri di depan Amira. Dia memperhatikan wanita itu dari atas hingga bawah. “Apa tidak ada lagi yang lebih tertutup?” tanya Wijaya.“Ini yang paling sopan,” jawab Amira.“Ya.” Wijaya mengangguk. Pakaian renang yang dikenakan Amira memang lebih tertutup. Dia hanya menampilan perut. Paha dan dada pun benar-benar tidak terlihat sama sekali seperti orang pada umumnya yang berada di pantai.“Tetap saja terlihat seksi,” gumam Wijaya menghela napas dengan berat. Dia benar-benar tidak ingin kecantikan dan keseksian Amira dinikmati oleh orang lain.“Kamar di kawasan priadi, tetapi tidak dengan pantai.” Wijaya melihat sekeliling yang cukup ramai karena akhir pekan. Ada banyak orang yang sengaja menginap di hotel dekat pantai.Amira berlari menuju laut. Wanita itu terlihat senang. Dia bermain dengan gelombang yang tidak terlalu
Luna duduk di sofa. Dia terus menunggu Wijaya pulang ke rumah. Wanita itu hanya memiliki satu hari saja sebelum pergi ke luar kota untuk syuting. “Kenapa Wijaya belum juga pulang?” Luna tampak gelisah. Dia melihat jam raksasa yang berdiri kokoh di dinding. Wanita itu tidak mau pergi kemana pun sebelum suami tercinta pulang. “Wijaya, aku benar-benar merindukan kamu. Aku mau menyentuh tubuh yang seksi menggoda itu. Aku menginginkan kamu, Wijaya.” Luna memeluk guling. Wanita itu sedang berhasrat karena sudah lama tidak melakukan hubungan suami istri dengan Wijaya. “Malam ini, kamu harus menjadi milikku. Aku tidak mau ditolak.” Luna terus menunggu Wijaya dengan sabar. “Aku akan hubungi Wijaya dan memberikan waktu padanya hingga sore hari. Sampai jam enam saja.” Luna mengirim pesan kepada Wijaya dengan menggunakan ponsel bibi. “Aku tunggu kamu sampai jam enam sore. Lewat dari itu, Keano akan aku bawa bersamaku ke luar kota.” Luna tersenyum melihat pesan yang telah sampai pada Wij
Amira mandi sore dan mengenakan piyama yang cukup seksi karena dia sendirian di rumah. Mini dress sebatas paha tanpa lengan berwarna putih bersih. Dia pergi ke kamar Kenao dan melihat keranjang bayi yang kosong. Wanita itu tampak sedih dan memegang dadanya.“Hari ini Keano belum asi langsung. Mama sangat rindu kamu, Nak. Mama menyesal pergi ke pantai bersama papa kamu.” Amira mencium bantal Keano dan duduk di tepi kasur. Dia tidak bisa menahan butiran bening yang turun tanpa perintah membasahi pipinya yang merah.“Keano. Hiks…hiks. Harusnya Mama sadar diri. Ibu Luna adalah mama kandung kamu.” Amira memeluk erat bantak kecil. Dia mencium aroma tubuh Keano yang tertinggal di sana. Wanita itu terus menangis. Dia sangat merindukan putranya.“Keano.” Amira mengambil kain dan guling milik Keano. Dia merebahkan diri di tempat tidur.“Keano sayang. Maafkan mama.” Amira memejamkan matanya. Dia tidak bisa menghentikan tangis. Tangannya menggenggam kuat ponsel. Wanita itu pun berharap ada panggil
Amira terlelap dengan mudahnya. Wanita itu benar-benar lelah karena diguncang kuat olah Wijaya Kusuma. Dia bahkan melupakan semua masalah yang ada. Pelukan suaminya membuatnya merasa lebih tenang.“Tidurlah. Keano dan aku adalah milikmu.” Wijaya mencium dahi Amira. Pria itu menyelimuti tubuh istri yang tidak mengenakan apa pun. Dia turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi.Keano tidak menangis lagi karena Amira telah menyiapkan asi di lemari penyimpanan. Bayi tampan itu mendapatkan asupan terbaik dari ibunya.“Ahh.” Amira merasakan tubuhnya sakit. Dia melihat tempat tidur yang kosong.“Sakit sekali. Pria ini benar-benar menggila. Dia tidak memikirkan aku.” Amira duduk di tepi tempat tidur. Melihat tubuhnya yang merah hingga membiru dicium kuat oleh Wijaya Kusuma.“Ya Tuhan.” Amira merebahkan kembali tubuhnya ke kasur. Dia benar-benar kesulitan untuk bergerak. Seluruh tubuhnya sakit.“Aku mau melihat Keano, tetapi badanku sangat lemah dan tidak bertenaga.” Amira meraba meja untu
Wijaya pergi ke penjara. Pria itu sudah lama tidak mengunjungi orang tua Luna. "Kenapa Anda pergi ke penjara yang kotor, Bos?" tanya Jack mengikuti Wijaya. "Aku hanya mau memastikan keinginan terakhir Lucas dan istrinya," jawab Wijaya. "Baik, Bos." Jack membuka pintu pertama penjara Unu Wijaya. "Pak Wijaya." Leon berdiri di depan pintu. Dia menyambut kedatangan Wijaya. "Kenapa kamu memilih tinggal di sini?" tanya Wijaya kepada Leon. "Ini adalah tempat terbaik untuk bekerja, Bos." Leon tersenyum. Dia senang bisa melihat Wijaya."Terserah kamu." Wijaya menepuk pundak Leon dan melewati pria itu. "Jika kamu mau balas dendam ke pulau. Kamu bebas pergi dan membawa anak buah," ucap Wijaya berlalu.“Aku tidak tertarik, Bos.” Leon tidak menyimpan dendam sama sekali. Baginya itu adalah resiko dari tugas yang dijalankannya.“Kenapa?” tanya Wijaya menghentikan langkah kaki dan menoleh pada Leon.“Tidak apa, Bos. Itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja. Em, biaya juga.” Leon tersenyu
Dena telah mempersiapkan makan malam untuk Andika. Wanita itu masih berharap dinikahi Andika, tetapi belum juga ada kepastian. “Kenapa Pak Andika masih belum menikahiku?” tanya Dena pada diri sendiri. Dia berdiri di depan cermin melihat tubuhnya yang seksi.“Tubuhku jauh lebih seksi dari pada wanita tadi yang kurus krempeng.” Dena tersenyum menganggumi tubuh sendiri.“Tidak mungkin Pak Andika tergoda dengan sekretarisnya. Tubuhku lebih mirip dengan ibu Amira. Montok dan padat berisi.” Dena berputar di depan cermin.“Aku mendapatkan gaji yang cukup tinggi selama di rumah ini. Tidak masalah hanya menjadi teman tidur Pak Andika. Aku tidak rugi juga. Dia tampandan kaya.” Dena benar-benar menikmati hidup sebagai simpanan Andika.“Kenapa Pak Andika belum juga pulang?” Dena melihat ke luar jendela dan belum ada mobil Andika. “Apa Pak Andika membohongiku.” Dena menerima pesan dari nomor ponsel Andika. “Pak Andika.” Dena sangat senang dan segera membuka pesan.“Apa?” Dena terkejut karena pe
Amira duduk santai memperhatikan dua putranya yang sedang belajar banyak hal di taman. Wijaya memanggil pengajar dalam segala bidang untuk melihat minat dan bakat dua anaknya agar bisa diarahkan.“Nyonya, apa Anda butuh sesuatu?” tanya bibi.“Ya. Aku mau jus Alpukat,” jawab Amira.“Apa?” Bibi terkejut karena Amira sudah minum tiga gelas besar jus buah bergantian.“Nyonya, apa perut Anda tidak apa-apa?” Bibi memperhatikan Amira.“Kenapa dengan perutku?” Amira mengusap perutnya yang rata.“Aku tidak sedang sakit atau pun gembung.” Amira tersenyum dan menatap bibi.“Anda minum jus buah dan makan banyak buah.” Bibi melihat piring buah yang telah kosong.“Akhir-akhir ini aku suka sekali buah-buahan dan daging. Ah ya. Menu makan malam harus sea food.” Amira tersenyum lebar.“Aku sudah mencatatnya.” Amira memberikan selembar kertas kepada bibi.“Ini makanan yang mau aku makan,” ucap Amira.“Baik, Nyonya.” Bibi membaca kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi.“Ini masakan restaurant. Tid
Amira masih berada di atas kasur dalam pelukan Wijaya. Wanita itu sangat lelah setelah bercinta cukup panjang dan penuh gairah bersama sang suami. “Pukul berapa sekarang?” tanya Amira membuka mata dan melihat ruang kamar yang masih gelap karena semua gorden tertutup rapat.“Tidak usah tanyakan waktu. Tidurlah. Tidak ada yang melarang atau menganggu kamu,” bisik Wijaya memeluk erat tubuh Amira. “Sayang, anak-anak pasti sudah bangun,” ucap Amira mendongak. “Istriku tercinta. Apa kamu lupa? Devano dan Keano harus mulai mandiri. Mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Perusahaan. Kamu harus mulai belajar melepaskan mereka,” jelas Wijaya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Kita tidak boleh memanjakan mereka lagi. Seseorang yang sukses harus dimulai dengan hidup disiplin dan mandiri. Ingat, kamu sedang program hamil. Kita akan memiliki sepasang bayi kembar.” Wijaya tersenyum. “Sayang, anak-anak masih kecil. Mereka termasuk bayi.” Amira menatap Wijaya. “Susah di waktu
Andika mencoba menghubungi orang tua Cantika, tetapi gagal. Pria itu ingin menanyakan kabar istrinya.“Kenapa nomor mereka tidak aktif? Aku pergi ke rumah pun kosong.” Andika tampak gelisah. Dia berada di kantor dan akan mengadakan rapat rutin akhir tahun. Pria itu butuh istrinya untuk memberikan tanda tangan dan cap jari.“Kemana mereka pergi? Apa keluar negeri?” Pria itu hanya bisa bertanya kepada diri sendiri. Dia benar-benar kehilangan Cantika dan keluarga.“Bagaimana mereka bisa menghilang dan tidak bisa aku temukan? Siapa yang melindungi?” Andika duduk di sofa. Pria itu tampak melamun dan berpikir keras.“Padahal dunia ini terasa tenang,” ucap Andika.“Permisi, Pak. Semua orang sudah menunggu di ruang rapat.” Sekretaris Andika mengetuk pintu yang terbuka.“Aku akan segera datang. Apa semua berkas sudah siap?” tanya Andika beranjak dari sofa. Dia merapikan diri.“Sudah, Pak. Tanda tangan Ibu Cantika pun telah diselesaikan,” jawab sekretaris.“Benarkah?” Andika menatap pada sekrert
Warning 21+Wijaya menggendong Amira ke kamar mereka. Para pelayan segera merapikan dan membersihkan taman dengan cepat. Bibi memiliki tugas menjaga dua bayi yang sudah tidur.“Apa malam ini kita bisa bercinta?” tanya Wijaya.“Tentu saja.” Amira tersenyum. Dia melingkarkan tangan di leher Wijaya dengan tatapan yang menggoda.“Jangan berteriak.” Wijaya melepaskan Amira di kasur. Dia mulai menyerang leher istrinya yang putih. “Hahaha.” Amira tertawa geli. Wanita itu benar-benar menjadi manja dan menikmati setiap sentuhan Wijaya.“Aaahhh!” Jari-jari Amira mengacak rambut Wijaya. Ciuman kuat dan gigitan pria itu membuat sang istri berteriak menahan hasrat yang terus bangkit. Leher dan lengan yang putih telah menjadi merah.“Hhhhhh!” Wijaya benar-benar sangat liar. Dia menjelajahi tubuh istrinya dengan lidahnya yang hangat. Menghisap putting susu yang masih memiliki asi walaupun tidak banyak lagi. Ada sisa-sisa dari dua putranya yang sudah minum susu formula sehingga cairan putih itu mulai
Wijaya melihat jam yang telah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu segera beranjak dari kursi dan mengambil jas. “Kita pulang sekarang,” ucap Wijaya.“Baik, Pak.” Jack mengambil berkas yang tersisa dan memasukan ke dalam tas. Pria itu dengan cepat menyusul Wijaya yang sudah lebih dulu keluar dari ruang kerja.Wijaya meninggalkan kantor yang sudah sepi karena para pegawa telah pulang di pukul empat. Pria itu benar-benar lembur untuk menyelesaikan banyak berkas yang harus di tanda tangan segera.“Kita sampai, Pak. Saya akan membawa berkas ke ruang kerja Anda,” ucap Jack.“Ya.” Wijaya keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pria itu dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Bersiap untuk makan malam berdua dengan sang istri.“Sayang.” Amira tersenyum. “Sayang.” Wijaya tidak menyangka sang istri telah menunggu di kamar mereka.“Aku pikir kamu di kamar anak-anak.” Wijaya segera mencium bibir istrinya. Dia sangat merindukan Amira ka
Wijaya tidak pernah datang ke Perusahaan orang lain, tetapi mereka yang membutuhkan pria itulah yang akan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan.“Pak, ada Pak Radit di ruang tunggu.” Jack melaporkan. Pria itu menggantikan posisi Dody dan Amira karena Wijaya tidak mudah mempercayai orang lain untuk menjadi sekretaris pribadinya. Dia bisa menilai seseorang dengan satu kali tatap. Itu juga yang membuat jatuh cinta kepada istrinya. “Aku akan menemuinya,” ucap Wijaya yang sedang bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dia mengganti cara kejamnya untuk balas dendam. Tidak lagi menyiksa secara langsung karena dirinya telah bahagia bersama sang istri dan anak-anak. “Baik, Pak.” Jack mengikuti Wijaya keluar dari ruang kerja untuk menemui Radit.“Pak Wijaya.” Radit yang sedang duduk segera berdiri ketika melihat Wijaya masuk. “Duduklah,” ucap Wijaya yang juga menghempaskan tubuhnya di sofa.“Terima kasih, Pak.” Radit tersenyum.Wijaya memang masih muda, tetapi harta dan tahta yang dimi
Wijaya merasa rumahnya begitu sepi. Sang istri hampir tidak pernah lagi menghampirinya. Dia merasa ada sesuatu yang hilang. “Ada apa, Bos?” tanya Jack bingung dengan Wijaya yang menghentikan langkah kaki di ruang tengah.“Aku merasa ada yang hilang,” jawab Wijaya menatap pada Jack. “Apa?” Jack mengerutkan dahinya.“Aku merasa istriku tidak pernah lagi menghampiri dan mengganggu diriku di ruang kerja. Dia tidak mendatangiku di jam-jam tertentu.” Wijaya menghela napasnya dengan berat.“Apa cinta dia sudah berkurang?” tanya Wijaya.“Maaf, Bos. Nyonya punya dua putra. Jadi, dia pasti sangat sibuk.” Jack tersenyum.“Hah! Dua anak itu telah merebut istriku.” Wijaya menggelengkan kepalanya.“Bukankah Anda masih mau menambah anak?” Jack menahan senyum. “Aarggh! Ini benar-benar mengacaukan. Aku mau punya anak bersama Amira. Tidak bisa ditunda lagi. Aku rela harus mengalah.” Wijaya berjalan cepat pergi ke kamar anaknya.“Bos. Kita mau ke kantor.” Jack tertawa melihat Wijaya menjadi bingung ka