Terima Kasih. Semoga suka.
Empat orang menyelesaikan makan siang bersama dan telah tanda tangan kontrak kerja. Mereka akan segera berpisah karena sudah sore dan harus pulang ke rumah. Amira pun sudah harus memompa susu. Dia mulai kesakitan dengan dada yang terus terisi penuh. “Hem.” Amira melirik pada Wijaya. Dia berharap pria itu segera mengajaknya pulang.“Baiklah. Saya rasa pertemuan bisnis kita hari ini cukup. Kami akan pulang dan tidak mengganggu istirahat kalian lagi.” Wijaya berdiri. Pria itu benar-benar sudah sangat mengerti keadaan Amira.“Tunggu, Pak Wijaya. Aku masih mau berbicara dengan sekretaris Anda.” Giorgio pun ikut berdiri begitu juga dengan Debora.“Apa yang ingin Anda bicarakan?” tanya Wijaya menatap tajam pada Giorgio.“Ini adalah hal pribadi.” Giorgio menarik tangan Amira masuk ke ruangan samping.“Ah!” Amira terkejut. Dia melihat pada Wijaya.“Apa?” Wijaya ingin menyusul, tetapi ditahan oleh Debora.“Maaf, Pak Wijaya. Anda pasti tidak ingin kontrak ini batal?” tanya Debora.“Apa maksud An
Amira beranjak dari kasur. Dia masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Wanita itu melepas gaun cantik dan memasukan ke dalam keranjang. Dia hanya mengenakan pakaian dalam dan masuk ke dalak bak. “Ahh!” Amira merasakan perih pada dada ketika terkena air. Wanita itu meringis. Dia tidak bisa mencuci dengan sabun karena akan membuat infeksi.“Aku tidak bisa berendam.” Amira keluar dari bak mandi dan menggunakan showe. Dia sangat hati-hati dan selesai dengan cepat. “Aku harus segera memberi asi kepada Keano. Tidak bisa ditunda lagi.” Amira berganti pakaian. Dia berdiri di depan cermin dan melihat bekas gigitan Wijaya. Kulit yang putih itu menjadi bernoda bercak merah dan terluka.“Pria itu benar-benar gila. Dia sangat berbahaya.” Amira keluar kamar dan pergi ke ruangan Keano yang ada di kamar bibi.“Bibi, di mana Keano?” tanya Amira.“Di sana, Non.” Bibi menunjukkan Keano yang sedang bermain seorang diri di atas kasur yang ada di lantai.“Apa dia sudah asi?” tanya Amira.“Belum, Non. B
Wijaya pergi ke kamar Amira. Dia mengetuk pintu dan menyapa wanita itu dengan lembut.“Amira, buka pintu. Aku akan mengobati luka kamu.” Wijaya berusaha membuka pintu kamar Amira.“Amira. Aku tahu kamu belum tidur.” Wijaya terus mengetuk pintu dan tidak ada respon apa pun dari Amira.“Hm.” Wijaya mengeluarkan kunci dari saku celana dan mencoba membuka pintu Amira, tetapi gagal.“Dia memasang kunci dari dalam.” Wijaya masuk ke kamar dan berjalan menuju balkon. Pria itu menantang mau. Dia melompati pagar pemisah kedua balkon kamar. Lelaki yang tidak mudah menyerah.“Jatuh dari sini. Aku benar-benar akan mati.” Wijaya melihat ke bawah. Dia siap disambut oleh kolam renang dan rumput.“Amira. Kamu mampu membuatku melakukan hal-hal yang tidak biasa.” Wijaya berhasil berpindah dari balkon kamarnya ke kamar Amira. Dia bisa melihat pintu kaca yang masih terbuka dengan tirai bergerak tertiup angin.Amira duduk di sofa dengan memangku laptop. Wanita itu masih bekerja. Dia hanya mengenakan atasan
Amira membuka mata. Dia benar-benar harus membiasakan diri dengan tidur dalam pelukan Wijaya setiap malamnya dan bangun dengan melihat wajah pria itu lebih dulu.“Entah kapan aku memutar tubuh dan memeluk pria ini?” Amira menatap wajah tampan Wijaya yang tepat berada di depan matanya.“Dia memang tampan dan sangat normal jika jatuh cinta pada pria ini.” Amira meneliti pahatan sempurna dari bentuk tegas raut Wijaya. Pria itu benar-benar menawan dengan pola wajah tegas dan keras.“Apa sudah puas memandangku? Kenapa tidak memberikan ciuman selamat pagi?” Wijaya membuka mata.“Hm.” Wijaya akan memutar tubuh untuk memalingkan diri dari hadapan Wijaya, tetap tidak bisa bergerak karena telah dikunci oleh dua lengan yang kekar dan kuat.“Mau lari kemana? Ini adalah kondisi yang aku harapkan setiap paginya.” Wijaya mencium dahi Amira dengan cukup lama. Dia menguatkan pelukannya hingga hidung wanita itu menempel pada lehernya.“Aku harus bangun. Hari ini ada begitu banyak pekerjaan. Anda juga ha
Wijaya melihat Luna kembali ke mobilnya. Wanita terlihat bahagia karena ada kesempatan untuk bisa berdua dengan suaminya di pesta penjamuan.“Apa dia marah?” Wijaya menoleh pada Amira yang tidak terlihat dari luar. Pria itu membuka pintu bagian sekretarisnya.“Apa kamu marah?” tanya Wijaya pada Amira yang rebahan di kursi dengan mata yang terpejam.“Marah kenapa?” Amira membuka mata.“Aku bertemu dengan Luna,” ucap Wijaya.“Aku tidak melihat dan mendengar. Tidak ada alasan untuk marah.” Amira merapikan kursi. Dia menoleh dan tersenyum pada pria yang berdiri di depan pintu.“Aku benci dengan senyuman ini.” Wijaya masuk ke dalam mobil dan mencium bibir Amira. Pria itu takut sekretarisnya cemburu, tetapi dia juga tidak suka istri keduanya tidak merespon apa pun karena sama saja bahwa tidak ada perasaan kepadanya.“Mmm.” Amira memukul lengan kekar Wijaya yang menekan pundak wanita itu ke kursi mobil.“Aku benci dengan sikap tidak peduli kamu pada perasaanku, Amira.” Wiijata menatap tajam p
Amira dan Wijaya meninggalkan Perusahaan. Dua orang itu tidak perlu lagi ke butik untuk memilih baju karena memang sudah dipesan sesuai ukuran mereka di jauh hari. Pria arogan mempercayakan semuanya kepada sang asisten pribadi.“Apa kamu perlu membawa seorang perias?” tanya Wijaya membuka pintu untuk Amira.“Tidak. Aku bisa melakukan sendiri. Aku punya perlengkapan kosmetik,” jawab Amira duduk di kursinya.“Baiklah. Tanpa dandan berlebihan kamu jauh lebih cantik.” Wijaya tersenyum. Dia memasangkan sabuk pengaman untuk Amira dengan tidak lupa memberikan kecupan di pipi dan dahi wanita itu.“Aku bisa sendiri,” ucap Amira yang hanya bisa pasrah.“Aku tahu.” Wijaya mencium dahi Amira sekali lagi. Pria itu mengitari mobil dan duduk di balik kemudi.“Kita pulang,” ucap Wijaya menyalakan mesin mobil. Pria itu terlihat lebih tenang.“Apa Ibu Luna tidak pulang ke rumah Anda?” tanya Amira.“Pulang kemana?” Wijaya balik bertanya dan menoleh pada Amira.“Ke rumah kalian yang pertama kali aku datan
Amira masuk ke kamarnya yang berada tepat di samping kamar papa Keano. Dia bahkan melupakan gaun miliknya yang masih tertinggal di ruang tengah. Wanita itu menekan dadanya yang berdebar tidak karuan. Bayangan senjata milik Wijaya benar-benar terus muncul dalam ingatannya.“Aku benar-benar sial. Kenapa harus melihat benda milik Wijaya?” Amira duduk di tepi kasur.“Aaarggh!” Amira merebahkan tubuh ke tempat tidur.“Sial! Sial!” Amira memukul guling dan menghempas-hempas kakinya di kasur. Wanita itu sangat kesal melihat senjata Wijaya yang berdiri tegak penuh semangat. Seakan siap memangsa diirnya.“Hah! Aku bisa gila terus berada di dekat Wijaya. Pria itu terlihat santai dan tidak merasa bersalam sama sekali.” Amira memijit kepalanya. Padahal dia tidak merasa pusing.“Gaunku masih tinggal di bawah. Aku harus menyiapkan untuk ikut ke pesta. Aku tidak mau membuat pria gila itu mengamuk.” Amira beranjak dari kasur dan keluar kamar. Dia berlari menuruni tangga dan mengambil gaun yang ada di
Wijaya benar-benar tidak mengganggu Amira. Dia masih sibuk di ruang kerja hingga larut malam. Pria itu sengaja membuat istrinya terlelap lebih dulu.“Sudah pukul sebelas malam.” Wijaya merapikan meja kerja dan mematikan lampu. Dia pergi ke kamar Amira dan melihat tempat tidur yang kosong.“Tidur di kamar Keano.” Wijaya tersenyum. Dia membuka pintu kamar sebelah dan tersenyum.“Ini kamar bayi.” Wijaya menggendong Amira dan memindahkan ke kamarnya. Dia membaringkan tubuh padat berisi itu di atas kasur miliknya. Pria itu pun masuk ke kamar mandi untuk membuang racun. Mematikan lampu dan merebahkan tubuh di samping ibu susu Keano.“Aku tidak bisa lagi tidur tanpa kamu, Amira. Aroma tubuh yang manis dan harum membuat diriku menjadi rindu dan candu.” Wijaya mencium dahi dan pipi Amira. Dia memeluk tubuh wanita itu dengan tersenyum. Memejamkan mata untuk mendapatkan istirahat yang tenang dari sibuknya dunia.Luna hampir tidak bisa tidur karena terlalu bahagia mendapatkan gaun mewah yang dikir
Wijaya pergi ke penjara. Pria itu sudah lama tidak mengunjungi orang tua Luna. "Kenapa Anda pergi ke penjara yang kotor, Bos?" tanya Jack mengikuti Wijaya. "Aku hanya mau memastikan keinginan terakhir Lucas dan istrinya," jawab Wijaya. "Baik, Bos." Jack membuka pintu pertama penjara Unu Wijaya. "Pak Wijaya." Leon berdiri di depan pintu. Dia menyambut kedatangan Wijaya. "Kenapa kamu memilih tinggal di sini?" tanya Wijaya kepada Leon. "Ini adalah tempat terbaik untuk bekerja, Bos." Leon tersenyum. Dia senang bisa melihat Wijaya."Terserah kamu." Wijaya menepuk pundak Leon dan melewati pria itu. "Jika kamu mau balas dendam ke pulau. Kamu bebas pergi dan membawa anak buah," ucap Wijaya berlalu.“Aku tidak tertarik, Bos.” Leon tidak menyimpan dendam sama sekali. Baginya itu adalah resiko dari tugas yang dijalankannya.“Kenapa?” tanya Wijaya menghentikan langkah kaki dan menoleh pada Leon.“Tidak apa, Bos. Itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja. Em, biaya juga.” Leon tersenyu
Dena telah mempersiapkan makan malam untuk Andika. Wanita itu masih berharap dinikahi Andika, tetapi belum juga ada kepastian. “Kenapa Pak Andika masih belum menikahiku?” tanya Dena pada diri sendiri. Dia berdiri di depan cermin melihat tubuhnya yang seksi.“Tubuhku jauh lebih seksi dari pada wanita tadi yang kurus krempeng.” Dena tersenyum menganggumi tubuh sendiri.“Tidak mungkin Pak Andika tergoda dengan sekretarisnya. Tubuhku lebih mirip dengan ibu Amira. Montok dan padat berisi.” Dena berputar di depan cermin.“Aku mendapatkan gaji yang cukup tinggi selama di rumah ini. Tidak masalah hanya menjadi teman tidur Pak Andika. Aku tidak rugi juga. Dia tampandan kaya.” Dena benar-benar menikmati hidup sebagai simpanan Andika.“Kenapa Pak Andika belum juga pulang?” Dena melihat ke luar jendela dan belum ada mobil Andika. “Apa Pak Andika membohongiku.” Dena menerima pesan dari nomor ponsel Andika. “Pak Andika.” Dena sangat senang dan segera membuka pesan.“Apa?” Dena terkejut karena pe
Amira duduk santai memperhatikan dua putranya yang sedang belajar banyak hal di taman. Wijaya memanggil pengajar dalam segala bidang untuk melihat minat dan bakat dua anaknya agar bisa diarahkan.“Nyonya, apa Anda butuh sesuatu?” tanya bibi.“Ya. Aku mau jus Alpukat,” jawab Amira.“Apa?” Bibi terkejut karena Amira sudah minum tiga gelas besar jus buah bergantian.“Nyonya, apa perut Anda tidak apa-apa?” Bibi memperhatikan Amira.“Kenapa dengan perutku?” Amira mengusap perutnya yang rata.“Aku tidak sedang sakit atau pun gembung.” Amira tersenyum dan menatap bibi.“Anda minum jus buah dan makan banyak buah.” Bibi melihat piring buah yang telah kosong.“Akhir-akhir ini aku suka sekali buah-buahan dan daging. Ah ya. Menu makan malam harus sea food.” Amira tersenyum lebar.“Aku sudah mencatatnya.” Amira memberikan selembar kertas kepada bibi.“Ini makanan yang mau aku makan,” ucap Amira.“Baik, Nyonya.” Bibi membaca kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi.“Ini masakan restaurant. Tid
Amira masih berada di atas kasur dalam pelukan Wijaya. Wanita itu sangat lelah setelah bercinta cukup panjang dan penuh gairah bersama sang suami. “Pukul berapa sekarang?” tanya Amira membuka mata dan melihat ruang kamar yang masih gelap karena semua gorden tertutup rapat.“Tidak usah tanyakan waktu. Tidurlah. Tidak ada yang melarang atau menganggu kamu,” bisik Wijaya memeluk erat tubuh Amira. “Sayang, anak-anak pasti sudah bangun,” ucap Amira mendongak. “Istriku tercinta. Apa kamu lupa? Devano dan Keano harus mulai mandiri. Mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Perusahaan. Kamu harus mulai belajar melepaskan mereka,” jelas Wijaya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Kita tidak boleh memanjakan mereka lagi. Seseorang yang sukses harus dimulai dengan hidup disiplin dan mandiri. Ingat, kamu sedang program hamil. Kita akan memiliki sepasang bayi kembar.” Wijaya tersenyum. “Sayang, anak-anak masih kecil. Mereka termasuk bayi.” Amira menatap Wijaya. “Susah di waktu
Andika mencoba menghubungi orang tua Cantika, tetapi gagal. Pria itu ingin menanyakan kabar istrinya.“Kenapa nomor mereka tidak aktif? Aku pergi ke rumah pun kosong.” Andika tampak gelisah. Dia berada di kantor dan akan mengadakan rapat rutin akhir tahun. Pria itu butuh istrinya untuk memberikan tanda tangan dan cap jari.“Kemana mereka pergi? Apa keluar negeri?” Pria itu hanya bisa bertanya kepada diri sendiri. Dia benar-benar kehilangan Cantika dan keluarga.“Bagaimana mereka bisa menghilang dan tidak bisa aku temukan? Siapa yang melindungi?” Andika duduk di sofa. Pria itu tampak melamun dan berpikir keras.“Padahal dunia ini terasa tenang,” ucap Andika.“Permisi, Pak. Semua orang sudah menunggu di ruang rapat.” Sekretaris Andika mengetuk pintu yang terbuka.“Aku akan segera datang. Apa semua berkas sudah siap?” tanya Andika beranjak dari sofa. Dia merapikan diri.“Sudah, Pak. Tanda tangan Ibu Cantika pun telah diselesaikan,” jawab sekretaris.“Benarkah?” Andika menatap pada sekrert
Warning 21+Wijaya menggendong Amira ke kamar mereka. Para pelayan segera merapikan dan membersihkan taman dengan cepat. Bibi memiliki tugas menjaga dua bayi yang sudah tidur.“Apa malam ini kita bisa bercinta?” tanya Wijaya.“Tentu saja.” Amira tersenyum. Dia melingkarkan tangan di leher Wijaya dengan tatapan yang menggoda.“Jangan berteriak.” Wijaya melepaskan Amira di kasur. Dia mulai menyerang leher istrinya yang putih. “Hahaha.” Amira tertawa geli. Wanita itu benar-benar menjadi manja dan menikmati setiap sentuhan Wijaya.“Aaahhh!” Jari-jari Amira mengacak rambut Wijaya. Ciuman kuat dan gigitan pria itu membuat sang istri berteriak menahan hasrat yang terus bangkit. Leher dan lengan yang putih telah menjadi merah.“Hhhhhh!” Wijaya benar-benar sangat liar. Dia menjelajahi tubuh istrinya dengan lidahnya yang hangat. Menghisap putting susu yang masih memiliki asi walaupun tidak banyak lagi. Ada sisa-sisa dari dua putranya yang sudah minum susu formula sehingga cairan putih itu mulai
Wijaya melihat jam yang telah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu segera beranjak dari kursi dan mengambil jas. “Kita pulang sekarang,” ucap Wijaya.“Baik, Pak.” Jack mengambil berkas yang tersisa dan memasukan ke dalam tas. Pria itu dengan cepat menyusul Wijaya yang sudah lebih dulu keluar dari ruang kerja.Wijaya meninggalkan kantor yang sudah sepi karena para pegawa telah pulang di pukul empat. Pria itu benar-benar lembur untuk menyelesaikan banyak berkas yang harus di tanda tangan segera.“Kita sampai, Pak. Saya akan membawa berkas ke ruang kerja Anda,” ucap Jack.“Ya.” Wijaya keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pria itu dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Bersiap untuk makan malam berdua dengan sang istri.“Sayang.” Amira tersenyum. “Sayang.” Wijaya tidak menyangka sang istri telah menunggu di kamar mereka.“Aku pikir kamu di kamar anak-anak.” Wijaya segera mencium bibir istrinya. Dia sangat merindukan Amira ka
Wijaya tidak pernah datang ke Perusahaan orang lain, tetapi mereka yang membutuhkan pria itulah yang akan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan.“Pak, ada Pak Radit di ruang tunggu.” Jack melaporkan. Pria itu menggantikan posisi Dody dan Amira karena Wijaya tidak mudah mempercayai orang lain untuk menjadi sekretaris pribadinya. Dia bisa menilai seseorang dengan satu kali tatap. Itu juga yang membuat jatuh cinta kepada istrinya. “Aku akan menemuinya,” ucap Wijaya yang sedang bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dia mengganti cara kejamnya untuk balas dendam. Tidak lagi menyiksa secara langsung karena dirinya telah bahagia bersama sang istri dan anak-anak. “Baik, Pak.” Jack mengikuti Wijaya keluar dari ruang kerja untuk menemui Radit.“Pak Wijaya.” Radit yang sedang duduk segera berdiri ketika melihat Wijaya masuk. “Duduklah,” ucap Wijaya yang juga menghempaskan tubuhnya di sofa.“Terima kasih, Pak.” Radit tersenyum.Wijaya memang masih muda, tetapi harta dan tahta yang dimi
Wijaya merasa rumahnya begitu sepi. Sang istri hampir tidak pernah lagi menghampirinya. Dia merasa ada sesuatu yang hilang. “Ada apa, Bos?” tanya Jack bingung dengan Wijaya yang menghentikan langkah kaki di ruang tengah.“Aku merasa ada yang hilang,” jawab Wijaya menatap pada Jack. “Apa?” Jack mengerutkan dahinya.“Aku merasa istriku tidak pernah lagi menghampiri dan mengganggu diriku di ruang kerja. Dia tidak mendatangiku di jam-jam tertentu.” Wijaya menghela napasnya dengan berat.“Apa cinta dia sudah berkurang?” tanya Wijaya.“Maaf, Bos. Nyonya punya dua putra. Jadi, dia pasti sangat sibuk.” Jack tersenyum.“Hah! Dua anak itu telah merebut istriku.” Wijaya menggelengkan kepalanya.“Bukankah Anda masih mau menambah anak?” Jack menahan senyum. “Aarggh! Ini benar-benar mengacaukan. Aku mau punya anak bersama Amira. Tidak bisa ditunda lagi. Aku rela harus mengalah.” Wijaya berjalan cepat pergi ke kamar anaknya.“Bos. Kita mau ke kantor.” Jack tertawa melihat Wijaya menjadi bingung ka