Terima kasih. Semoga suka. Sampai jumpa besok ya. Happy Weekend.
Ponsel Amira tidak bisa melakukan panggilan. Wanita itu benar-benar bingung. Dia memeriksa pulsa dan jaringan. Tidak ada gangguan sama sekali.“Apa yang terjadi?” Amira bingung. “Aku tidak bisa menghubungi siapa pun.” Amira mencoba menghubungi Wijaya.“Halo, Sayang.” Panggilan Amira diterima oleh Wijaya.“Hah! Kenapa bisa tersambung?” tanya Amira heran. “Ada apa? Apa kamu sudah rindu padaku?” Wijaya duduk di sofa. Pria itu bisa menebak apa yang terjadi karena itu adalah ulahnya.“Tidak apa. Tadinya, aku tidak bisa menelpon,” ucap Amira. “Siapa yang kamu hubungi?” tanya Wijaya.“Emm.” Amira ragu untuk menjawab. Dia khawatir Wijaya akan cemburu buta dan kembali menggila. Pria itu sangat mengerikan saat marah.“Tidak ada. Apa aku boleh menyusul ke kantor?” tanya Amira.“Apak amu sudah baikan?” Wijaya balik bertanya.“Ya. Aku akan membantu kamu. Pasti sangat sibuk,” ucap Amira.“Minta sopir untuk mengantar kamu,” tegas Wijaya. “Baiklah. Aku akan segera pergi.” Amira bersemangat. Dia ti
Andika berusaha menghubungi Amira, tetapi gagal. Pria itu berada di dalam mobil. Dia menunggu mantan istri keluar dari perusahaan Wijaya Kusuma.“Apa kamu memblokirku, Amira? Kenapa tidak bisa dihubungi lagi?” Andika menatap layar ponsel. Dia juga melihat ke pintu keluar kantor Wijaya.“Ini sudah sore. Apa dia belum pulang?” Andika keluar dari mobil dan melihat Amira berjalan bersama dengan Wijaya.“Itu Amira dan Wijaya.” Andika ingin mendekati Amira, tetapi ragu. Pria itu tidak berani berhadapan langsung dengan Wijaya. Masa depan perusahaanya menjadi jaminan ketika membuat pengusaha kaya itu marah.“Hah! Perlakuan Wijaya pada Amira sangat istimewa. Mereka tidak seperti atasan dan bawahan.” Andika memperhatikan Amira dari dalam mobilnya. “Aku akan mengikuti mereka.” Andika menyalakan mesin mobil dan mengikuti Wijaya dari belakang.“Perumahan elit. Apa Amira pindah ke sini? Atau mereka tinggal bersama?” Mobil Andika tidak bisa memasuki kawasan pribadi milik Wijaya Kusuma. Dia hanya bis
Wijaya mengendarai mobil dengan tenang. Amira pun hanya diam saja. Wanita itu tidak tahu bahwa mereka akan bertemu dengan orang yang sangat dia kenal. “Café,” ucap Amira memperhatikan sekeliling ketika mobil Wijaya sudah berhenti di tempat parkir. “Ya. Ini tempat yang paling nyaman untuk bertemu.” Wijaya keluar dari mobil.“Kenapa wajahnya masam?” Amira membuka sabuk pengaman dan membuka pintu. Dia heran dengan perubahan sikap Wijaya yang tiba-tiba.“Ap akita akan bertemu dengan rekan bisnis?” tanya Amira. “Apa ada dijadwalku?” Wijaya balik bertanya.“Tidak ada,” jawab Amira berdiri di samping Wijaya.“Masuklah dan cari meja nomor sepuluh.” Wijaya meminta Amira untuk masuk duluan. Pria itu akan mengamati dari belakang.“Baiklah.” Amira mengangguk. Dia tidak membantah dan menuruti Wijaya. Dia melangkah di depan suaminya berjalan masuk menuju meja nomor sepuluh.“Ada yang bisa saya bantu, Kak?” tanya pelayan.“Aku menjadi meja nomor sepuluh,” jawab Amira tersenyum cantik.“Mari saya
Amira masih pada posisi yang sama. Wanita itu hanya diam dengan terus memeluk Wijaya dan menyembunyikan wajahnya. Perasaannya campur aduk. Ada marah, kesal dan juga malu ketika dia mengingat keganasannya bercinta. Sang suami bahkan memberikan kebebasan dan membiarkan istrinya memimpin permainan yang panas di dalam mobil.“Sampai kapan kamu mau begini? Apa akan ada ronde kedua?” tanya Wijaya tersenyum. “Diamlah!” Amira menggigit pundak Wijaya yang terbuka.“Aah!” Wijaya tidak marah sama sekali. Pria itu bahkan senang dengan rasa sakit yang diberikan oleh Amira.“Tidak apa. Kita melakukan dengan suka rela. Aku suka,” bisik Wijaya.“Apa kita akan tidur di sini hingga pagi?” tanya Wijaya.“Kita belum makan malam,” ucap pria itu lagi.“Mm.” Amira meraba-raba kursi untuk mencari gaunnya yang sudah dilempar. Wanita itu tidak mengenakan apa pun. Dia melepas semua kain yang melekat di tubuhnya begitu juga dengan Wijaya.“Ini.” Wijaya memberikan gaun pada Amira. Wanita itu segera mengenakannnya
Andika berjalan mendekati Cantika yang tersenyum padanya. Wanita itu langsung menggendong tangan sang kekasih dengan mesra. Menempelkan diri dengan manja.“Apa yang kamu lakukan di luar?” tanya Andika tersenyum pada Cantika.“Aku menunggu kamu.” Cantika mencium pipi Andika.“Kenapa lama?” Cantika benar-benar sangat berani. Dia menggeserkan bagian dadanya pada lengan kekar Andika.“Oh! Aku membeli kue kesukaan kamu.” Andika melepaskan tangan Cantika dan kembali pada mobilnya.“Oh terima kasih, Sayang. Kita benar-benar sehati. Aku memberikan kue kesukaan kamu juga.” Cantika tersenyum lebar. Dia benar-benar bahagia karena Andika sangat perhatian padanya.“Aku mencintai kamu.” Cantika mengecup bibir Andika.“Aku juga cinta kamu,” balas Andika melingkarkan tangan di pinggang Cantika. Tidak aka nada pria yang akan menolak wanita yang menyerahkan diri dengan mudahnya kepada pelukan mereka. Apalagi pasangan kekasih.“Ayo masuk, Sayang.” Andika menggandeng tangan Cantika masuk ke dalam rumah.“
Amira hanya diam saja. Dia keluar kamar mandi dan berganti pakaian dengan cepat. Wanita itu langsung pergi ke ruang makan tanpa peduli pada Wijaya.“Ada apa lagi?” tanya Wijaya melihat Amira yang bergerak cepat tanpa melihat apalagi menyapanya. Pria yang dari tadi menunggu sang istri benar-benar dianggap tidak ada di ruangan itu. “Wanita benar-benar sulit ditebak. Sikap dan sifat mereka bisa berubah dengan mudahnya.” Wijaya beranjak dari sofa. Dia keluar dari kamar dan melihat Amira yang sudah pergi ke ruang makan tanpa mengajaknya. “Amira. Amira. Aku benar-benar tidak bisa mengerti kamu.” Wijaya menyusul Amira ke ruang makan. Dia duduk di kursi dan memperhatikan sang istri yang hanya mengisi piringnya saja. “Apalagi salahku?” tanya Wijaya menatap pada Amira.“Tidak ada.” Amira terus menunduk. Dia mengambil piring Wijaya dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk. Wanita itu meletakkan dengan pelan di depan suaminya tanpa suara.“Apa….” Kalimat Wijaya terhenti karena langsung dipoto
Cantika duduk di sofa kamar Andika. Wanita itu hanya mengenakan baju handuk karena tidak ada pakaian ganti. Dia memperhatikan tubuh atletis kekasihnya.“Tampan dan seksi.” Cantika tersenyum.“Apa kamu tidak keluar untuk makan malam?” tanya Andika yang sudah rapi dan harum. Pria itu tersenyum karena kembali merasakan nikmatnya bercinta dengan seorang wanita.“Bagaimana aku keluar? Hanya ada gaun, tetapi pakaian dalamku sudah basah,” jawab Cantika tersenyum.“Apa mau kenakan punya Amira?” tanya Andika mengejutkan Cantika.“Apa?” Cantika yang duduk di sofa segera berdiri.“Pakaian dalam yang masih baru dan belum pernah dikenakan,” jelas Andika agar Cantika tidak marah dan berpikir dia masih menyimpan barang-barang pribadi mantan istrinya.“Lihatlah!” Andika membuka lemari dan memperlihatkan isi yang penuh.“Kenapa belum dikenakan?” tanya Cantika melihat isi lemari.“Ini dibeli untuk selesai melahirkan,” jawab Andika.“Jadi, belum sempat dipakai,” lanjut Andika.“Apa pas untukku?” Cantika
Andika sibuk menghubungi orang-orang yang ada di rumah sakit yang menangani Amira dan putranya. Pria itu pun harus mengeluarkan uang untuk mendapatakn informasi yang diinginkan. Dia juga mencari dokter Wulan.“Hari itu aku terus menemani Amira sehingga belum melihat putra kami.” Andika duduk di sofa ruang kerja. Dia ingat benar ketika mamanya mengatakan jika terjadi sesuatu pada anak mereka, maka keduanya harus bercerai. Jika tidak, maka pria itu harus melepaskan perusahaan keluarga yang diwariskan padanya.“Tiba-tiba dapat kabar Devano meninggal. Aku terlalu terkejut sehingga tidak menyadari kejanggalan yang ada.” Andika menggenggam kuat ponsel di tangannya. Pria itu benar-benar telah terlambat untuk menyesali kesalahan yang telah dilakukannya.“Aku tidak pernah mau menceraikan kamu, Amira. Tetapi kita tidak akan mampu memulai semuanya dari nol tanpa ada pegangan uang yang cukup.” Andika melihat foto Amira di layar ponselnya.“Kenapa dokter Wulan tidak bekerja lagi di rumah sakit ini?
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wij
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la
Mereka pulang ke rumah dengan aman. Leon mengambil jalan lain. Pria itu juga menggantikan mobil serta menambahkan anak buahnya untuk melindungi majikannya.“Benar-benar sulit membawa Nyonya dan anak-anak keluar dari rumah. Ada banyak musuh yang mencari kesempatan untuk menyakiti mereka.” Leon menghela napas dengan berat. Dia melirik Keano yang tampak tenang. Pria itu bisa melihat Wijaya di dalam diri tuan mudanya.“Ah!” Amira menghempas tubuh di sofa.“Ada apa, Ma?” tanya Devano lembut.“Hari ini cukup melelahkan.” Amira tersenyum.“Maafkan aku dan Keano.” Devano memijut pundak Amira.“Minta maaf untuk apa? Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun.” Amira menarik Devano ke dalam pelukannya.“Mama saja yang belum terbiasa menemani kalian di luar.” Amira tersenyum. Dia mencium dahi Keano dan Devano.“Kami tidak akan ikut pertandingan di lapangan terbuka lagi,” tegas Keano.“Kenapa, Sayang? Tidak masalah. Mama akan berusaha untuk selalu berada di sisi kalian.” Amira mencubit hidung mancun
Keano benar-benar tidak suka dengan desakan dari para penonton. Anak lelaki itu makin tidak suka dengan keramaian.“Setelah ini, jangan pernah ikut lomba di luar lagi. Ini sangat berbahaya,” tegas Keano.“Benar. Mama pasti kesulitan menemani kita. Mama tidak pernah meninggalkan rumah, tetapi keluar demi bisa hadir di pertandingan ini.” Devano pun tampak menyesal karena memaksa Keano untuk bertanding dalam tim.“Kita sudah tahu pasti menang, jadi tidak usah ikut apa pun lagi. Apalagi banyak penonotn seperti ni. Aku benar-benar tidak suka.” Keano menatap tajam pada Devano. “Maafkan aku,” ucap Devano pelan.“Silakan masuk, Tuan Muda.” Para pengawal berhasil mengantarkan Devano dan Keano masuk ke dalam ruangan peserta. Dua anak lelaki itu duduk dengan tidak tenang.“Di mana Mama?” tanya Keano.“Nyonya sedang dalam perjalanan kemari. Mereka cukup kesulitan untuk melewati para penonton,” jawab pengawal.“Minta Om Leon gendong mama saja, biar cepat,” ucap Devano mengejutkan para pengawal. Su
Para penonton bersorak melihat anak remaja yang sudah berada di atas kuda mereka masing-masing. Keano dan Devano selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada. Orang tua yang memang popular dan anak-anak yang juga selalu menjadi kebanggaan.“Dua anak itu benar-benar terlalu terang sehingga saingan mereka tidak terlihat.” Pujian terdengar dari mulut para penonton. Mata mereka hanya fokus pada adik beradik yang tampak kompak dengan kuda dan anak panah yang ditembakkan.“Tidak akan ada peserta yang mampu mengalkan kecepatan dan kecerdasan putra Wijaya Kusuma.” Para penonton bersorang. Dua bersaudara itu meninggakan saingan mereka dengan sangat jauh.“Tidak sulit menentukan pemenang. Jarak mereka terlalu jauh dan skor yang di miliki kedua bersaudara itusangat sempurna.” Para juri pun hanya tersenyum karena dari awal mereka sudah bisa menebak bahwa anak dari Amira dan Wijaya Kusuma sudah dapat dipastikan jadi pemenang. Mereka memiliki tempat Latihan pribadi. “Wah hebat.” Amira
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak
Amira berada di dalam kamar dan bersiap untuk tidur. Wanita itu baru saja akan mematikan ponsel dan melihat panggilan dari Wijaya.“Wijaya.” Amira segera menerim panggilan dari suaminya.“Halo, Sayang.” Wijaya tersenyum pada Amira yang terlihat di layar ponsel.“Halo, Sayang. Bagaimana perkerjaan di sana? Apa kamu lelah?” tanya Amira.“Aku tidak lelah, tetapi tersiksa karena merindukan kamu,” jawab Wijaya.“Apa kamu akan tidur?” Wijaya melihat yang istri yang sudah mengenakan piyama.“Aku sedang bersiap untuk tidur,” ucap Amira merebahkan tubuhnya di kasur.“Apa kamu menggodaku?” tanya Wijaya.“Tidak, Sayang. Kamu terlihat sedang bekerja,” jawab Amira.“Ya. Aku tahu kamu akan tidur jadi dengan cepat menghubungi istriku tercinta. Bagaimana hari ini?” Wijaya tersenyum.“Hari ini menyenangkan. Aku menemani anak-anak Latihan berkuda dan memanah. Mereka benar-benar luar biasa. Aku sangat bangga.” Amira terlihat bersemangat menceritakaan kebersamaanya dengan Keano dan Devano. Dia tidak membe