Terima kasih atas hadiah, dukungan dan komentar baiknya. Semoga suka.
Amira beranjak dari tempat tidur. Dia mencium Keano yang sedang tidur. Wanita itu membawa tas dan ponsel. Keluar dari kamar dan menuruni tangga.“Anda mau kemana, Nona?” tanya bibi yang baru saja pergi ke dapur membawakan buah-buahan, salad dan jus untuk Amira.“Aku akan pergi sebentar,” jawab Amira yanga akan mengambil kunci mobil dari lemari kaca.“Di mana kunci lemari ini?” tanya Amira pada bibi.“Maaf, Non. Non Amira tidak bisa pergi tanpa Pak Wijaya,” jawab bibi.“Apa?” Amira terkejut. Dia ingat dengan ucapan Wijaya ketika pergi sendirian dan bersama dengan Kristian.“Aku akan pergi dengan taksi,” ucap Amira kesal. Dia berjalan menuju pintu utama dan melihat halaman yang luas.“Kenapa rumah ini memiliki jarak yang jauh antara pintu pagar dan pintu utama?” Amira akan kelelahan ketika harus berjalan keluar dari rumah.“Maaf, Non Amira. Non benar-benar tidak boleh keluar rumah. Pintu tidak akan dibuka,” jelas bibi mengikuti Amira hingga ke pintu depan. “Hah! Wijaya benar-benar mengu
Ponsel Amira tidak bisa melakukan panggilan. Wanita itu benar-benar bingung. Dia memeriksa pulsa dan jaringan. Tidak ada gangguan sama sekali.“Apa yang terjadi?” Amira bingung. “Aku tidak bisa menghubungi siapa pun.” Amira mencoba menghubungi Wijaya.“Halo, Sayang.” Panggilan Amira diterima oleh Wijaya.“Hah! Kenapa bisa tersambung?” tanya Amira heran. “Ada apa? Apa kamu sudah rindu padaku?” Wijaya duduk di sofa. Pria itu bisa menebak apa yang terjadi karena itu adalah ulahnya.“Tidak apa. Tadinya, aku tidak bisa menelpon,” ucap Amira. “Siapa yang kamu hubungi?” tanya Wijaya.“Emm.” Amira ragu untuk menjawab. Dia khawatir Wijaya akan cemburu buta dan kembali menggila. Pria itu sangat mengerikan saat marah.“Tidak ada. Apa aku boleh menyusul ke kantor?” tanya Amira.“Apak amu sudah baikan?” Wijaya balik bertanya.“Ya. Aku akan membantu kamu. Pasti sangat sibuk,” ucap Amira.“Minta sopir untuk mengantar kamu,” tegas Wijaya. “Baiklah. Aku akan segera pergi.” Amira bersemangat. Dia ti
Andika berusaha menghubungi Amira, tetapi gagal. Pria itu berada di dalam mobil. Dia menunggu mantan istri keluar dari perusahaan Wijaya Kusuma.“Apa kamu memblokirku, Amira? Kenapa tidak bisa dihubungi lagi?” Andika menatap layar ponsel. Dia juga melihat ke pintu keluar kantor Wijaya.“Ini sudah sore. Apa dia belum pulang?” Andika keluar dari mobil dan melihat Amira berjalan bersama dengan Wijaya.“Itu Amira dan Wijaya.” Andika ingin mendekati Amira, tetapi ragu. Pria itu tidak berani berhadapan langsung dengan Wijaya. Masa depan perusahaanya menjadi jaminan ketika membuat pengusaha kaya itu marah.“Hah! Perlakuan Wijaya pada Amira sangat istimewa. Mereka tidak seperti atasan dan bawahan.” Andika memperhatikan Amira dari dalam mobilnya. “Aku akan mengikuti mereka.” Andika menyalakan mesin mobil dan mengikuti Wijaya dari belakang.“Perumahan elit. Apa Amira pindah ke sini? Atau mereka tinggal bersama?” Mobil Andika tidak bisa memasuki kawasan pribadi milik Wijaya Kusuma. Dia hanya bis
Wijaya mengendarai mobil dengan tenang. Amira pun hanya diam saja. Wanita itu tidak tahu bahwa mereka akan bertemu dengan orang yang sangat dia kenal. “Café,” ucap Amira memperhatikan sekeliling ketika mobil Wijaya sudah berhenti di tempat parkir. “Ya. Ini tempat yang paling nyaman untuk bertemu.” Wijaya keluar dari mobil.“Kenapa wajahnya masam?” Amira membuka sabuk pengaman dan membuka pintu. Dia heran dengan perubahan sikap Wijaya yang tiba-tiba.“Ap akita akan bertemu dengan rekan bisnis?” tanya Amira. “Apa ada dijadwalku?” Wijaya balik bertanya.“Tidak ada,” jawab Amira berdiri di samping Wijaya.“Masuklah dan cari meja nomor sepuluh.” Wijaya meminta Amira untuk masuk duluan. Pria itu akan mengamati dari belakang.“Baiklah.” Amira mengangguk. Dia tidak membantah dan menuruti Wijaya. Dia melangkah di depan suaminya berjalan masuk menuju meja nomor sepuluh.“Ada yang bisa saya bantu, Kak?” tanya pelayan.“Aku menjadi meja nomor sepuluh,” jawab Amira tersenyum cantik.“Mari saya
Amira masih pada posisi yang sama. Wanita itu hanya diam dengan terus memeluk Wijaya dan menyembunyikan wajahnya. Perasaannya campur aduk. Ada marah, kesal dan juga malu ketika dia mengingat keganasannya bercinta. Sang suami bahkan memberikan kebebasan dan membiarkan istrinya memimpin permainan yang panas di dalam mobil.“Sampai kapan kamu mau begini? Apa akan ada ronde kedua?” tanya Wijaya tersenyum. “Diamlah!” Amira menggigit pundak Wijaya yang terbuka.“Aah!” Wijaya tidak marah sama sekali. Pria itu bahkan senang dengan rasa sakit yang diberikan oleh Amira.“Tidak apa. Kita melakukan dengan suka rela. Aku suka,” bisik Wijaya.“Apa kita akan tidur di sini hingga pagi?” tanya Wijaya.“Kita belum makan malam,” ucap pria itu lagi.“Mm.” Amira meraba-raba kursi untuk mencari gaunnya yang sudah dilempar. Wanita itu tidak mengenakan apa pun. Dia melepas semua kain yang melekat di tubuhnya begitu juga dengan Wijaya.“Ini.” Wijaya memberikan gaun pada Amira. Wanita itu segera mengenakannnya
Andika berjalan mendekati Cantika yang tersenyum padanya. Wanita itu langsung menggendong tangan sang kekasih dengan mesra. Menempelkan diri dengan manja.“Apa yang kamu lakukan di luar?” tanya Andika tersenyum pada Cantika.“Aku menunggu kamu.” Cantika mencium pipi Andika.“Kenapa lama?” Cantika benar-benar sangat berani. Dia menggeserkan bagian dadanya pada lengan kekar Andika.“Oh! Aku membeli kue kesukaan kamu.” Andika melepaskan tangan Cantika dan kembali pada mobilnya.“Oh terima kasih, Sayang. Kita benar-benar sehati. Aku memberikan kue kesukaan kamu juga.” Cantika tersenyum lebar. Dia benar-benar bahagia karena Andika sangat perhatian padanya.“Aku mencintai kamu.” Cantika mengecup bibir Andika.“Aku juga cinta kamu,” balas Andika melingkarkan tangan di pinggang Cantika. Tidak aka nada pria yang akan menolak wanita yang menyerahkan diri dengan mudahnya kepada pelukan mereka. Apalagi pasangan kekasih.“Ayo masuk, Sayang.” Andika menggandeng tangan Cantika masuk ke dalam rumah.“
Amira hanya diam saja. Dia keluar kamar mandi dan berganti pakaian dengan cepat. Wanita itu langsung pergi ke ruang makan tanpa peduli pada Wijaya.“Ada apa lagi?” tanya Wijaya melihat Amira yang bergerak cepat tanpa melihat apalagi menyapanya. Pria yang dari tadi menunggu sang istri benar-benar dianggap tidak ada di ruangan itu. “Wanita benar-benar sulit ditebak. Sikap dan sifat mereka bisa berubah dengan mudahnya.” Wijaya beranjak dari sofa. Dia keluar dari kamar dan melihat Amira yang sudah pergi ke ruang makan tanpa mengajaknya. “Amira. Amira. Aku benar-benar tidak bisa mengerti kamu.” Wijaya menyusul Amira ke ruang makan. Dia duduk di kursi dan memperhatikan sang istri yang hanya mengisi piringnya saja. “Apalagi salahku?” tanya Wijaya menatap pada Amira.“Tidak ada.” Amira terus menunduk. Dia mengambil piring Wijaya dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk. Wanita itu meletakkan dengan pelan di depan suaminya tanpa suara.“Apa….” Kalimat Wijaya terhenti karena langsung dipoto
Cantika duduk di sofa kamar Andika. Wanita itu hanya mengenakan baju handuk karena tidak ada pakaian ganti. Dia memperhatikan tubuh atletis kekasihnya.“Tampan dan seksi.” Cantika tersenyum.“Apa kamu tidak keluar untuk makan malam?” tanya Andika yang sudah rapi dan harum. Pria itu tersenyum karena kembali merasakan nikmatnya bercinta dengan seorang wanita.“Bagaimana aku keluar? Hanya ada gaun, tetapi pakaian dalamku sudah basah,” jawab Cantika tersenyum.“Apa mau kenakan punya Amira?” tanya Andika mengejutkan Cantika.“Apa?” Cantika yang duduk di sofa segera berdiri.“Pakaian dalam yang masih baru dan belum pernah dikenakan,” jelas Andika agar Cantika tidak marah dan berpikir dia masih menyimpan barang-barang pribadi mantan istrinya.“Lihatlah!” Andika membuka lemari dan memperlihatkan isi yang penuh.“Kenapa belum dikenakan?” tanya Cantika melihat isi lemari.“Ini dibeli untuk selesai melahirkan,” jawab Andika.“Jadi, belum sempat dipakai,” lanjut Andika.“Apa pas untukku?” Cantika
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la