Levon mengulas senyumnya. Dia merasa jika Luel akhirnya penasaran juga dengan ceritanya."Aku sering merayu ...." Levon menggantung ucapannya.Luel yang sudah menunggu pun tampak serius sekali."Siapa?" Luel yang penasaran pun tidak tahan untuk segera bertanya."Mama."Wajah serius Luel pun seketika berubah. Dia langsung memasang wajah bingung."Mama?" tanya Luel memastikan."Iya, mama. Aku sering merayu mama."Luel langsung memukul Levon. Dia sudah mendengarkan dengan sungguh-sungguh, tapi Levon justru memberikan jawaban seperti itu. Benar-benar membuatnya kesal.Levon langsung tertawa. "Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu marah."Luel menghentikan memukul Levon."Aku tidak pernah merayu selain mama. Kamu orang pertama.""Tapi kamu punya pacar sebelumnya." Luel ingat betul jika Levon membawanya ke acara reuni hanya untuk terlihat move on dari pacarnya.Levon tersenyum. "Menurutnya aku dingin. Karena itu dia selingkuh. Jadi kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan lagi." Levon meras
Hari ini Danish sengaja meluangkan waktu untuk membantu Levon merapikan barang milik Dara. Dia melakukan itu sebagai balasan Levon yang mau ikut dengannya berkemah. Pagi-pagi Danish bersantai sambil menikmati teh hangat. Kapan lagi bisa bersantai di hari senin. Tentu saja tidak dilewatkan oleh Danish. "Kamu mau ke mana pakai jaket?" Danish yang melihat Levon rapi pagi-pagi penasaran. Padahal dia harusnya bersiap untuk merapikan barang mendingan istrinya. "Aku mau antar Luel, Uncle," jawab Levon. Baru saja Levon membicarakan Luel, gadis itu sudah turun dari lantai atas. Tampak sudah siap untuk ke kampus. Danish hanya bisa terdiam. Sepertinya keponakannya sedang dimabuk asmara. Jadi wajar jika pergi bersama. Kali ini dia tidak bisa berkata apa-apa. Lebih baik membiarkan. Isha yang mendengar hal itu langsung tersenyum. Dia senang melihat keponakannya yang lagi bahagia. "Sebelum berangkat sarapan dulu." Isha menatap Luel dan bergantian menatap Levon. "Baik, Aunty." Levon dan Luel
Danish membulatkan matanya ketika mendengar apa yang dikatakan oleh sang istri."Levon tidak pulang?" Danish memastikan kembali."Iya.""Kenapa tidak pulang?" Danish pikir Levon akan pulang sesuai dengan yang dikatakan oleh Levon tadi siang."Aku memintanya untuk semalam lagi di sini. Ini sudah malam. Kasihan jika pulang malam-malam." Isha mencoba menjelaskan pada sang suami. Terpaksa berbohong agar Luel tidak kena masalah lagi.Danish yang mendengar jawab sang istri hanya bisa mengembuskan napasnya. Jika Levon tidak pulang, artinya dia akan begadang lagi. Semalam karena takut hal tak terduga pada Luel, dia sampai begadang. Menguping pembicaraan Levon dan Luel. Tidak hanya itu. Dia juga mengecek dari CCTV semalaman. Memastikan jika Levon tidak masuk ke kamar Luel. Posisi kamar mereka ada di lantai atas. Jadi apa yang dilakukan, tentu saja Danish tidak tahu."Kenapa kamu harus memintanya semalam lagi? Seharusnya kamu biarkan saja dia. Dia laki-laki. Pulang malam biasa." Danish merasa ya
Luel menatap Levon yang berdiri di depannya. Rasanya masih berat melepaskan sang kekasih hati untuk pulang. Membayangkan bertemu lagi seminggu tentu saja adalah sesuatu yang berat. “Kamu akan benar-benar pulang?” Luel menatap Levon. Berharap Levon tidak benar-benar pulang. “Aku akan kembali seminggu lagi.” Levon berusaha untuk menenangkan sang kekasih hati. “Iya, tapi tetap saja, aku tidak sanggup menunggu.” Luel menundukkan pandangannya. Dia benar-benar dalam dilema. Tidak tahu harus berbuat apa agar bisa merelakan Levon untuk pulang.Levon meraih tangan Luel. Kemudian menggenggamnya. “Seminggu akan berlalu dengan cepat. Jangan khawatir.” Dia berusaha untuk menenangkan sang kekasih.Luel berusaha untuk kuat. Dia yakin mereka bisa menjalani hubungan ini, walaupun harus berjauhan. “Ayo, kita sarapan bersama Aunty Isha dan Uncle Danish. Setelah itu aku akan mengantarkan kamu untuk ke kampus.” Levon mengulas senyum manisnya. “Ayo.” Luel mengangguk. Mereka berdua segera bergegas u
Isha benar-benar terkejut ketika melihat hal itu. Jika di tokonya, pasti dapat beberapa potong. Isha merasa baju bayi di toko tersebut sangat mahal. “Apa ada yang kamu suka, Sha?” Mami Neta yang menghampiri Isha. “Tidak ada, Mi.” Isha terpaksa berbohong. Dia tidak mau memberitahu alasan sebenarnya. “Kalau begitu kita cari di toko lainnya.” Mami Neta memberikan ide. Isha merasa jika mungkin saja dia bisa mendapatkan harga lebih murah. Karena harga di toko yang sedang didatangi cukup mahal. “Baik, Mi.” Isha setuju dengan ajakan sang mertua.Akhirnya mereka segera berpindah ke toko lain. Hal pertama yang dilakukan Isha adalah melihat baju bayi yang sama dengan yang dilihatnya tadi. Memastikan harganya. Isha benar-benar terkejut sekali ketika melihat harga. Ternyata harganya masih tidak jauh beda dengan yang pertama. Entah kenapa, Isha merasa harganya masih mahal juga. “Ada yang kamu suka, Sha?” Mami Neta menatap menantunya itu. “Tidak ada, Mi.” Isha benar-benar tidak mau beli. M
Danish segera mengambil mobilnya. Kemudian menjemput mami dan istrinya. Saat mobil berhenti di depan lobi, Isha dan Mami Neta segera masuk. Isha duduk di kursi depan, sedangkan Mami Isha duduk di kursi belakang. Melihat sang istri dan mami masuk, Danish segera melajukan mobilnya. Saat Danish melajukan mobil, Mami Neta cukup takut. Namun, saat melihat Danish yang tampak tenang menyetir, Mami Neta langsung tenang. Ternyata memang anaknya sudah bisa lancar menyetir. “Mami benar-benar senang sekali kamu benar-benar bisa menyetir.” Mami Neta mengulas senyum manisnya. Danish melihat sang mami dari pantulan kaca di atas dasbor. Senyum sang mami tampak begitu merekah menghiasi wajahnya yang makin menua, tapi tetap cantik. “Jika begini, kamu bisa mengantarkan Isha saat dia melahirkan.” Melahirkan itu sewaktu-waktu. Jadi pastinya harus ada yang siap sedia. Kini Danish sudah bisa menyetir. Jadi paling tidak, dia sudah bisa mengantar sang istri ke rumah sakit. “Iya, Mi. Jika Isha nanti ke rum
Pagi ini Isha pergi ke rumah sakit untuk mengecek kandungannya. Kini usia kandungan Isha sudah masuk tujuh bulan. “Bagaimana keadaan anak kami, Dok?” Isha melihat layar USG. Dia ingin tahu bagaimana anaknya di dalam perut. “Keadaannya baik-baik saja. Beratnya sudah satu setengah kilo. Panjangnya sudah empat puluh satu. Semua organ tubuhnya bekerja dengan baik.” Dokter menjelaskan pada Isha dan Danish.Isha yang mendengar itu merasa begitu senang sekali. Dari yang didengarnya sebulan yang lalu, tampak ada perkembangan yang baik. Ada perubahan yang cukup signifikan. Isha melihat sang suami. Senyum manis menghiasi wajahnya. Bahagia karena melihat anaknya baik-baik saja. Danish membalas senyuman itu. Merasa begitu senang karena anak mereka sehat. Dokter menjelaskan beberapa hal dari hasil pemeriksaan USG. Danish dan Isha tampak asyik mendengarkan dokter sambil melihat layar USG.Usai melakukan pemeriksaan, akhirnya Isha turun dari ranjang pemeriksaan. Danish senantiasa memba
Isha langsung mengalihkan pandangan ke arah barang-barang yang dibelinya. Begitu banyak barang yang dibeli. Tentu saja dia juga berpikir hal yang sama. “Entah.” Isha menaikkan bahunya. “Jika memang tidak muat di mobil Pak Danish, saya akan kirimkan barang-barang ini ke rumah.” Lucky langsung menatap Danish untuk menawarkan bantuan. “Apa tidak masalah?” tanya Danish. “Tentu saja tidak apa-apa.” “Baiklah, kalau begitu, saya titipkan sebagian barang pada Pak Lucky.” “Baiklah.”Danish segera melakukan pembayaran. Karena yang dibeli Isha cukup banyak. Ternyata habis cukup banyak sekali. Namun, bagi Danish tidak bisa masalah berapa pun harga yang harus dibayarkan. Karena yang terpenting istrinya senang. Dibantu pegawai Lucky, Danish memasukkan barang-barang yang dibelinya. Benar saja. Baru setengah yang dimasukkan, sudah penuh. Jadi memang benar jika barang sebagian harus dikirim. “Terima kasih Pak Lucky sudah memberikan akses untuk membeli pakaian bayi di sini.” Isha tamp