Danish merasa kesenangan diganggu oleh sang istri. Padahal dia ingin sekali melanjutkan apa yang dilakukan sebelum kedua orang tuanya datang.“Coba dengarkan sesuatu?”Dahi Danish berkerut dalam. Dia bingung bunyi apa yang didengar istrinya. Sayangnya, dia tidak mendengar apa pun.“Bunyi apa?” Danish yang tidak mendapati jawaban pun menatap sang istri.“Bunyi perut aku.” Isha menjelaskan dari mana berasal bunyi itu.Danish terperangah. “Apa baru sebulan bayi di dalam perut sudah bisa bicara?” Pertanyaan konyol itu pun keluar dari mulutnya.Isha langsung memukul lengan Danish. Kesal karena pertanyaan yang dilontarkan suaminya begitu menyebalkan sekali.“Aduh ….” Danish mengaduh kesakitan.“Bukan bayiku yang berbunyi.” Isha mulai menekuk bibirnya kesal.“Lalu apa?” Danish benar-benar tidak tahu apa yang membuat perut sang istri berbunyi seperti itu.“Aku lapar.” Isha menyampaikan bunyi apa itu.Danish langsung mengalihkan pandangan pada jam dinding yang terpajang di ruang keluarga. Wakt
Isha benar-benar terkejut ketika melihat ada yang jatuh. Tentu saja yang jatuh itu adalah Danish. Tubuh Danish terjatuh ke lantai. Beruntung lantai berlapis karpet lembut, jadi tubuhnya tidak langsung terbentur dengan lantai secara langsung.“Kamu tidak apa-apa?” Isha langsung bangun. Dia segera turun dari sofa dan berjongkok di lantai.“Kamu kenapa mendorong aku?” Danish memegangi pinggangnya.Isha benar-benar merasa tidak enak karena membuat Danish terjatuh. “Aku tadi merenggangkan tangan. Tidak tahu jika kamu ada di sebelah aku.” Dia mencoba menjelaskan pada suaminya itu. “Mana yang sakit?” Dia memegangi tubuh Danish. Mengecek bagian mana yang sakit.“Ini.” Danish memegangi pinggangnya.Isha merasa pasti karena terjatuh, pinggang suaminya itu terbentur lantai. Jadi kini pinggang Danish jadi sakit. Isha membantu Danish untuk bangun, kemudian membantu suaminya itu untuk duduk.“Sakit sekali?” tanya Isha memastikan.“Iya.” Danish pura-pura merintih kesakitan.“Sebaiknya kita ke kamar
“Maaf.” Isha menatap Danish dengan lekat. Dia benar-benar begitu takut sekali. Padahal harusnya dia sudah tahu aturan main. Namun, kenapa dia sampai lupa.Danish seketika menghentikan apa yang dilakukannya. Dia mengaitkan kembali bra yang dipakai Isha. Membetulkan kembali baju Isha. Menutup kembali tubuh istrinya itu. Danish pun menegakkan tubuhnya dan mendudukkan tubuhnya.Apa yang dilakukan Danish itu membuat Isha benar-benar takut. “Aku benar-benar tidak sadar tadi. Aku hanya terbawa perasaan tadi.” Isha berangsur bangun. Berusaha menjelaskan pada Isha.“Tidak apa-apa.” Danish mengembuskan napasnya. Berusaha untuk menenangkan hatinya.Wajah Danish pun memucat. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Hal itu jelas membuat Isha bingung kenapa gerangan suaminya itu.“Kamu tidak apa-apa?” Isha meraih wajah Danish. Sayangnya, tangan Isha langsung menampik tangan Danish.“Aku tidak apa-apa.” Danish menggeleng. Dia segera beranjak dari tempat tidur. Meraih gelas yang berada di atas naka
Suara itu berasal dari dapur. Hal itu membuat Isha segera mengayunkan langkah ke dapur. Melihat apa yang terjadi di dapur.Alangkah terkejutnya Isha ketika melihat jika Danish berada di dapur. Pria itu tampak sibuk memasak.“Kamu sudah bangun?” Danish menatap Isha dengan senyuman di wajahnya.Isha melihat jelas jika Danish tersenyum. Wajahnya berbeda sekali dengan kemarin yang ketakutan. Melihat hal itu tentu saja Isha merasa senang. Tanpa basa-basi dia langsung menghampiri Danish dan memeluk pria itu.Senyum Danish mengembang sempurna di wajahnya ketika Isha memeluknya. Pelukan itu terasa nyaman sekali.“Aku selalu suka saat kamu peluk.” Danish membelai lembut rambut bergelombang milik Isha.“Aku akan selalu memberikan pelukan padamu kapan pun kamu mau.” Isha rela jika harus memeluk Danish berkali-kali. Yang penting Danish baik-baik saja.“Tentu saja. Aku akan minta kamu memelukku setiap waktu.” Danish merenggangkan pelukannya dan mendaratkan kecupan di pipi Isha.Isha ikut merenggan
“Ayo duduk dulu.” Danish mengajak Dino untuk duduk. Tak nyaman ketika mengobrol sambil berdiri.Dino mengikuti yang diperintahkan atasannya itu. Duduk di sofa bersama.“Jadi aku memintamu untuk mencetak foto pernikahanku dengan Isha untuk dinding ini.” Danish menunjukan sisi kosong di ruang keluarga.Dino mengalihkan pandangan pada tembok yang dituju Danish. Dia baru sadar jika foto Danish dan Dara sudah diturunkan. Kini Dino seyakin-yakinnya jika Danish memang benar-benar mencintai Isha. Karena mengganti foto pernikahan dengan Isha.“Baiklah, aku akan buatkan.” Dino mengangguk.“Sekalian buatkan dua. Karena aku mau pasang di kamar juga.” Danish kembali memberitahu.“Baiklah.” Dino mengangguk.Saat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Isha datang dengan membawa dua cangkir teh. Dino memerhatikan Isha yang tampak tertunduk. Sepertinya dia terlampau malu.“Silakan diminum Pak Dino.” Isha mempersilakan sambil menunduk.“Terima kasih, Isha.” Dino mengangguk.Isha segera kembali ke dap
Isha memasukkan beberapa barang ke dalam koper. Rencananya Isha dan Danish akan pergi ke Pulau Dewata. Besok adalah hari di mana Abra akan keluar. Jadi Danish sengaja mengajak Isha untuk pergi.“Apa karyawanmu itu akan menjemput mantan suamimu?” Danish melemparkan pertanyaan itu pada Isha yang sedang asyik mengemas pakaian.“Iya, dia izin untuk menjemput.” Isha dengan entengnya menjawab.“Kamu tidak curiga mereka punya hubungan?” Danish masih menatap Isha. Dia masih begitu penasaran sekali.“Jika pun ada hubungan, bukankah aku juga sudah tidak berhak untuk berkomentar. Aku tidak mau mengurusi hal remeh temeh seperti itu. Jika mereka mau menjalani hubungan, silakan saja.” Isha dengan entengnya menjawab.Butuh keberanian untuk bisa menjawab hal itu bagi Isha. Dia sudah bertahan sejauh ini, tetapi hanya penghianatan yang dilakukan. Percuma jika harus marah. Karena membuang tenaga.“Aku pikir kamu akan membalas mereka yang menyakitimu.” Danish merasa jika istrinya terlalu baik. Terlebih l
“Kak Abra cari apa?” Ina yang berada di depan pintu begitu penasaran sekali.Abra yang mendengar suara Ina pun segera berbalik. “Tidak cari apa-apa.” Dia meraih dompetnya dan memasukkan benda pipih berwarna biru itu ke dalam dompet tersebut.Ina menghampiri Abra. Dia tidak mau memaksa Abra untuk menceritakan apa yang baru saja dilakukannya. Dia tahu pasti jika Abra tidak suka dipaksa untuk memberitahu. Jadi dia tidak mau memaksakan.Ina menghampiri Abra masuk ke kamar. Bersamaan dengan langkah Ina yang masuk ke kamar, Abra berbalik. Tepat di depan Abra, Ina berhenti. Memandangi pria yang dicintai sejak lama itu.“Akhirnya aku dapat melihat Kak Abra setiap hari.” Ina membelai lembut wajah Abra.Abra masih tampak tenang ketika Ina membelai lembut wajahnya. Namun, saat tangan Ina mulai turun ke leher, dia mulai terpancing. Apalagi tangan Ina mulai turun ke bawah. Ke dada, hingga berhenti bawah perutnya.&ldqu
Tubuh Abra lemas ketika melihat saldo yang berada di dalam rekening yang baru saja diceknya. “Tidak, mungkin aku salah.” Abra segera menarik kembali kartu itu keluar. Kemudian memasukkan kembali. Dilihatnya lagi saldo yang berada di dalam rekening tersebut. Sayangnya, saldo rekening tersebut kosong. Abra segera mengeluarkan kartu tersebut lagi. Kemudian memasukkan kembali. Sialnya, memang tidak ada saldo sama sekali di dalam rekening. Abra benar-benar kesal sekali. Dengan apa yang dilihatnya. Ke mana perginya uang korupsi itu. Kenapa tidak ada di dalam rekening. Harusnya masih ada satu milyar di dalam rekening tersebut. Memang selama ini uang hasil korupsi itu tidak dihabiskan oleh Abra. Hanya sekitar lima ratus juta yang dipakainya untuk berfoya-foya. Sebenarnya waktu itu dia sudah takut aliran dana miliknya akan ketahuan. Namun, ternyata dugaanya salah. Aliran dana itu tidak ketahuan sama sekali. Jadi hasil korupsi aman menjadi miliknya. Beruntung semua langsung diganti dengan Is