“Kak Abra cari apa?” Ina yang berada di depan pintu begitu penasaran sekali.Abra yang mendengar suara Ina pun segera berbalik. “Tidak cari apa-apa.” Dia meraih dompetnya dan memasukkan benda pipih berwarna biru itu ke dalam dompet tersebut.Ina menghampiri Abra. Dia tidak mau memaksa Abra untuk menceritakan apa yang baru saja dilakukannya. Dia tahu pasti jika Abra tidak suka dipaksa untuk memberitahu. Jadi dia tidak mau memaksakan.Ina menghampiri Abra masuk ke kamar. Bersamaan dengan langkah Ina yang masuk ke kamar, Abra berbalik. Tepat di depan Abra, Ina berhenti. Memandangi pria yang dicintai sejak lama itu.“Akhirnya aku dapat melihat Kak Abra setiap hari.” Ina membelai lembut wajah Abra.Abra masih tampak tenang ketika Ina membelai lembut wajahnya. Namun, saat tangan Ina mulai turun ke leher, dia mulai terpancing. Apalagi tangan Ina mulai turun ke bawah. Ke dada, hingga berhenti bawah perutnya.&ldqu
Tubuh Abra lemas ketika melihat saldo yang berada di dalam rekening yang baru saja diceknya. “Tidak, mungkin aku salah.” Abra segera menarik kembali kartu itu keluar. Kemudian memasukkan kembali. Dilihatnya lagi saldo yang berada di dalam rekening tersebut. Sayangnya, saldo rekening tersebut kosong. Abra segera mengeluarkan kartu tersebut lagi. Kemudian memasukkan kembali. Sialnya, memang tidak ada saldo sama sekali di dalam rekening. Abra benar-benar kesal sekali. Dengan apa yang dilihatnya. Ke mana perginya uang korupsi itu. Kenapa tidak ada di dalam rekening. Harusnya masih ada satu milyar di dalam rekening tersebut. Memang selama ini uang hasil korupsi itu tidak dihabiskan oleh Abra. Hanya sekitar lima ratus juta yang dipakainya untuk berfoya-foya. Sebenarnya waktu itu dia sudah takut aliran dana miliknya akan ketahuan. Namun, ternyata dugaanya salah. Aliran dana itu tidak ketahuan sama sekali. Jadi hasil korupsi aman menjadi miliknya. Beruntung semua langsung diganti dengan Is
Semilir angin malam yang menerpa kulit membuat perasaan begitu tenang. Hal yang tak pernah didapatkan di kota, tentu saja menjadi daya tarik tersendiri. Alunan musik yang dinyalakan oleh pihak restoran pun, memberikan kesan romantis.“Aku punya sesuatu untukmu.” Danish menatap Isha lekat.“Apa?” Isha begitu penasaran sekali.Danish mengeluarkan sebuah kotak. Saat dibuka, sebuah kalung terdapat di dalamnya. Tampak begitu indah sekali.“Indah sekali.” Baru sekali melihat, Isha sudah jatuh cinta pada kalung dengan liontin bunga tersebut.“Untuk wanita cantik sepertimu, tentu saja harus kalung yang indah.”Pipi Isha merona. Dia begitu senang mendapatkan pujian dan hadiah dari Danish.“Aku akan pakaikan.” Danish langsung berdiri. Kemudian memakaikan di leher Isha.Isha segera menarik rambutnya maju agar memudahkan untuk Danish memakaikan. Senyum manis menghiasi wajah Isha. “Cantik sekali.” Isha mendudukkan pandangan untuk melihat kalung yang diberikan oleh Danish. Liontin berbentuk bunga
"Kamu di mana?" Abra melemparkan pertanyaan dari sambungan telepon. Dia sedang berdiri tak jauh dari toko milik Isha. Sengaja dia datang ke toko, untuk menemui Isha. "Aku sedang di toko, Kak." Ina yang mendapatkan pertanyaan itu, langsung menjawab."Apa Isha ada di toko?" Abra mengintip toko Isha "Aku tidak melihatnya.Mendengar pertanyaan itu, Ina jadi bingung. Kalimat yang dilontarkan Abra seolah menegaskan jika dia sedang berada tak jauh dari toko."Apa Kak Abra sedang di sini?" Ina mengedarkan pandangan ke luar toko. Mencari Abra. "Iya, aku di sini." Ina segera mencari keberadaan Abra. Ternyata Abra tak jauh dari toko. Hal itu membuat Ina benar-benar takut. "Kenapa Kak Abra ke sini?" "Jawab dulu pertanyaanku. Apa ada Isha?" Abra tidak menjawab pertanyaan Ina, melainkan bertanya hal lain. "Tidak ada Isha di sini. Dia sedang berlibur dengan suaminya." Ina menjelaskan pada Abra. Abra mengembuskan napas kasar. Ternyata Isha sedang bersenang-senang dengan suami barunya. "Kenapa
“Aku hanya ingin membantumu.” Danish menyeringai.“Aku tidak perlu bantuan. hanya olahraga ringan.” Isha merasa jika dia masih bisa mengerjakan olahraganya. Lagi pula bukan olahraga berat yang perlu bantuan.“Aku harus memberitahu kamu bagaimana olahraga yang benar.” Danish berdiri di belakang Danish. Kemudian merentangkan tangan Isha. “Rentangkan yang benar dan lurus.” Danish memberitahu sang istri.Isha merasa jika tidak ada salahnya Danish membantu. Jadi paling tidak, dia tidak akan sakit saat berolahraga.“Seperti ini.” Isha merentangkan tangannya dengan benar.“Iya, benar.” Danish mengangguk.Saat berada di belakang sang istri, Danish justru tertarik dengan leher jenjang sang istri. Karena rambut Isha diikat, jadi memperlihatkan leher menggoda itu.Danish yang gemas pun langsung mendaratkan kecupan di leher Isha. Apa yang dilakukan Danish pun membuat Isha ter
Isha menatap Ina tajam. Pertanyaan itu sedikit membuatnya kesal. Isha merasa Ina sedang memancing tentang perasaan hatinya pada Abra."Tentu saja aku ingin kembali pada Kak Abra. Bukankah memang itu rencana awalku. Kenapa aku tidak bertanya bagaimana Kak keadaan Kak Abra? Bukankah kamu sudah mengurusnya. Aku yakin kamu sudah mengurusnya dengan baik. Jadi tidak perlu aku memikirkannya. Aku tinggal jalani kehamilanku, setelah bayi ini lahir, aku akan kembali padanya." Isha sengaja membuat Ina panas. Dia tahu pasti Ina kesal mendapati jawabannya.Benar saja tebakan Isha. Ina langsung mengepalkan tangannya. Kesal ketika mendengar jawaban Isha. Dia memang sengaja bertanya untuk memancing Isha. Agar jalannya menjalin hubungan dengan Abra lancar. Namun, apa yang terjadi. Ternyata Isha justru akan kembali pada Abra.Ina pun memaksakan senyumnya. Berusaha menyembunyikan rasa kesalnya. "Aku pikir kamu sudah jatuh cinta pada Pak Danish, jadi tidak akan kembali pada Kak Abra.""Hubunganku dengann
Danish terperangah mendengar Isha yang akan membantunya olahraga. Namun, beberapa saat kemudian dia tersadar. "Kamu mau bantu olahraga apa?" Danish menyeringai. Senyum Danish itu membuat Isha yakin jika Danish jelas memikirkan olahraga yang lain. "Dengar, bukan olahraga itu yang aku maksud. Yang aku maksud adalah olahraga sesungguhnya." Isha mencoba menjelaskan. "Tapi, jika denganmu bukan olahraga itu yang sesungguhnya yang aku mau." Isha merona malu. "Kamu sudah ingin?" tanyanya memastikan. Sebagai pria normal, pasti Danish begitu ingin melakukan hal itu. Apalagi dia cukup lama tidak melakukannya. "Kalau ditanya ingin, jelas aku ingin, tapi aku tidak mau membahayakan anak kita." Danish membelai lembut perut Isha. "Kamu masih kuat menunggu?" Isha kembali memastikan. Takut suaminya tidak sanggup. "Aku masih berusaha untuk menahan diri. Jika aku sudah tidak tahan. Jangan salahkan aku." Danish tersenyum. Menahan diri untuk tidak melakukan hubungan intim dengan sang istri memanglah
Beberapa hari ini, Isha kembali mual parah. Tubuh Isha yang lemas pun membuatnya tidak ke toko. Dokter meminta Isha untuk banyak istirahat. Karena jika memaksakan diri akan membuat akan kesulitan.Ina yang berniat mempertemukan Abra dengan Isha pun harus memupuskan harapannya itu. Sudah berhari-hari Isha tidak datang ke toko. Ina tidak mau ambil resiko untuk menemui Isha dan Abra di rumah Danish. Itu akan sangat bahaya sekali.Setelah memikirkan bagaimana cara mempertemukan Abra dengan Isha, akhirnya Ina memiliki ide. Rencananya pagi ini, Ina akan ke rumah Isha untuk menjenguk temannya itu."Aku akan mencoba membujuk Isha, jadi Kak Abra tunggu dulu di sini." Ina menurunkan Abra di minimarket tak jauh dari rumah Danish. Dia harus melihat situasi dan kondisi lebih dulu. Jika ketahuan Danish ini akan sangat bahaya."Baiklah." Abra mengangguk. Ina segera ke rumah Isha. Saat sampai di rumah, sudah ada asisten rumah tangga yang menyambutnya. Asisten rumah tangga mempersilakan Ina untuk mas
Tanpa terasa Dario sudah sebelas bulan. Dia susah mulai berdiri-diri. Berpegangan beberapa barang yang ada di sekitarnya. Pagi ini, dia bermain dengan sang mami dan papinya di taman belakang. “Minggu depan pembukaan toko. Apa yang harus aku persiapkan?” Pembangunan toko milik Isha, akhirnya selesai juga. Walaupun sedikit meleset dari perkiraan, tapi tidak banyak kendala yang terjadi. “Tidak perlu menyiapkan apa-apa. Siapkan dirimu saja. Aku sudah siapkan semua.” Danish selalu ingin yang terbaik untuk istrinya. “Terima kasih.” Isha merasa sangat beruntung sekali karena sang suami selalu mempermudah semuanya. Danish memegangi Dario yang sedang berdiri. Karena senangnya berdiri-diri, anaknya itu memang selalu meminta untuk berdiri. Saat sedang berpegangan pada sang papi, tiba-tiba Dario melepaskan tagannya yang berpegang pads sang papi. Danish dan Isha tampak terkejut ketika melihat hal itu. “Rio ....” Isha memanggil anaknya itu. Dario yang dipanggil pun segera mengayunkan langkah
“Aaaccchhh ....”Suara indah yang keluar dari mulutnya keduanya menandakan jika pelepasan sempurna didapat oleh keduanya.Tubuh Danish seketika lemas dan terjatuh di atas tubuh sang istri. Mengatur napas yang terengah-engah.Isha pun merasakan hal yang sama. Tubuhnya lelah dan butuh waktu untuk beristirahat. Mengatur napasnya yang seperti baru saja lari kiloan meter.Butuh waktu beberapa saat untuk mengembalikan tenaganya. Hingga akhirnya, membersihkan diri.****Isha dan Danish memutuskan pulang saat sore hari. Seharian mereka memanfaatkan waktu untuk mencari kenikmatan. Melepaskan hasrat yang terpendam beberapa bulan.“Aku malu sekali mau pulang.” Tiba-tiba saja Isha merasakan hal itu.“Bersikaplah tenang. Nanti mereka akan curiga jika kamu bersikap seperti itu.”Isha bersikap tenang seperti yang suaminya katakan. Dia tidak mau membuat kakak iparnya curiga.Mereka sampai di rumah. Tampak mobil Liam-suami Loveta sudah di depan rumah. Isha dan Danish berusaha untuk tenang seperti tida
Pagi-pagi Loveta sudah sampai di rumah Danish. Semalam, dia dikabari oleh adiknya itu untuk membantu menjaga Dario. “Kak Loveta.” Isha menyapa kakak iparnya itu. “Mana Iyoo?” Loveta senang sekali karena akhirnya diminta jaga keponakannya. “Baru saja tidur, Kak.” Isha segera mempersilakan kakak iparnya untuk masuk ke rumah. Menyajikan teh sambil menunggu Danish bersiap. Beberapa saat kemudian, Danish keluar dari kamarnya. Kemudian menghampiri sang istri. “Kak Lolo sudah datang, kalau begitu ayo pergi.” Danish menatap istrinya. Isha masih diam. Dia masih tidak enak sekali dengan kakak iparnya karena harus menjaga sang anak. “Sudah, kalian pergi saja. Serahkan anak kalian padaku.” Loveta berusaha untuk meyakinkan adik iparnya. Saat mendapati ucapan itu, Isha segera bersiap untuk meraih tasnya yang berada di sofa ruang keluarga. “Titip Rio yang, Kak.” Sebelum berangkat dia menitipkan lagi anaknya. “Iya.” Loveta mengangguk. Isha dan Danish segera pergi. Danish mengendarai mobiln
Levon dan Luel semakin nyaman menjalani hubungan setelah mendapatkan restu. Perjalanan masih panjang untuk hubungan mereka ke jenjang serius. Mereka lebih memilih untuk menikmati hubungan. Apalagi mereka harus fokus pada kuliah mereka.Isha semakin nyaman menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Anaknya semakin gembul sekali. Apalagi sang anak minum ASI.Kehadiran Dario membuat rumah menjadi ramai. Keluarga sering datang ke rumah untuk bertemu Dario. Mulai Nessia, Loveta, atau pun Mami Neta.Seperti hari ini, Loveta datang untuk berkunjung. Dia terus bermain dengan Dario.“Iyoo ... Iyooo ....” Loveta memanggil keponakannya itu.“Mi, namanya Dario, kenapa dipanggil Iyoo?” Ve melemparkan protesnya.“Susah jika dipanggil Dario. Seperti namamu saja. Singkat. Hanya ‘Ve’.” Loveta menjelaskan pada sang anak.Ve hanya bisa menggeleng heran. Ternyata itulah yang membuat sang mami memanggilnya singkat. Agar lebih mudah.Isha yang mendengar perdebatan itu hanya tersenyum saja.“Kak Loveta su
Mendapati pertanyaan sang anak, Dona terdiam sejenak. Memandang Luel.Luel yang melihat mama Levon menunggu jawaban dari wanita itu. Penasaran apa jawaban yang akan diberikan.“Iya, Mama tidak marah.” Dona langsung membenarkan apa yang diucapkan oleh Levon.Luel merasa lega sekali mendengar hal itu. Rasanya ketakutan yang dirasakannya menguap.Tok ... tok ....Suara ketukan pintu terdengar. Luel, Levon, dan Dona mengalihkan pandangan merek. Dilihatnya Isha yang mengetuk pintu.“Minumannya aku taruh di meja. Silakan diminum.” Isha melebarkan pintu untuk memberitahu di mana ditaruh minumannya.“Terima kasih, Aunty.” Levon mengangguk.“Mama akan ke sana.” Dona menepuk bahu Levon. Kemudian mengayunkan langkahnya keluar.Levon memilih untuk tetap tinggal di kamar Luel. Menemani Luel.Dona segera keluar untuk menikmati teh yang dibuat oleh Isha. Menghargai Isha yang membuatkan minuman.Melihat Dona yang keluar dan Levon yang tetap tinggal di kamar, membuat Isha memutuskan untuk menemani Don
“Makanlah dulu.” Isha memberikan semangkuk bubur pada Luel.“Terima kasih, Aunty.” Luel segera menerima mangkuk yang diberikan. Dengan perlahan dia memakan bubur yang dibuatkan oleh aunty-nya.Isha tidak tega melihat Luel yang sakit. Padahal kemarin dia sudah mengingatkan Luel untuk makan.“Apa tidak apa-apa jika tidak mengabari mami dan papimu?” Isha memastikan pada Luel.“Iya, Aunty. Tidak perlu. Lagi pula aku sudah lebih baik.” Luel menolak tawaran sang aunty. Takut justru membuat orang tuanya khawatir atau bahkan menyalahkan paman dan bibinya.“Baiklah kalau begitu.” Isha tidak mau memaksa jika Luel tidak mau. “Kalau begitu kamu habiskan buburnya. Setelah itu kamu minum obat.”Luel segera memakan bubur yang diberikan oleh Isha. Tak lupa memakan obat dari dokter.“Istirahatlah lagi kalau begitu.” Isha segera meraih kembali mangkuk bubur yang kini sudah kosong.Isha meninggalkan Luel di kamarnya. Memberikan waktu untuk Luel beristirahat. Dia segera turun ke lantai bawah. Menyusul sa
“Uncle, tadi Luel pingsan dan sekarang di rumah sakit. Kata dokter dia terkena asam lambung.”Mendengar hal itu Danish seketika terkejut. Tadi keponakannya itu berangkat baik-baik saja. Tapi, kenapa tiba-tiba sakit.“Kirimkan alamat rumah sakitnya, aku akan ke sana.”“Baik, Uncle.” Levon mengangguk.Akhirnya Danish mematikan sambungan teleponnya.“Siapa yang di rumah sakit?” Isha tampak penasaran sekali. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Luel.”“Luel?” Isha membulatkan matanya ketika mendengar jika Luel di rumah sakit. “Kenapa dia?” tanyanya ingin tahu.“Katanya dia asam lambung.” Danish menjawab seraya mengambil jaket di dalam lemari.“Pasti karena seharian dia tidak makan.” Sejenak Isha teringat dengan hal itu.Mendengar ucapan Danish, dia teringat ucapan Isha. Jika Luel tidak makan sejak pagi.“Bisa jadi.” Danish membenarkan.Danish segera bersiap untuk ke rumah sakit. Dia harus mengecek keadaan keponakannya itu.“Aku pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah.” Danish mendarat
Dona tampak terkejut melihat anaknya dengan seorang gadis. Yang menjadi perhatiannya jika ternyata gadis itu adalah gadis yang ditemuinya tadi di toilet. Dona memerhatikan gadis yang berada di sampingnya itu sedang melingkarkan tangan di lengan sang anak. Jika hanya teman, rasanya Dona yakin bukan. Karena teman tidak mungkin sedekat itu. “Ma.” Levon menyapa sang mama.Dona tidak langsung menjawab sapaan itu. Dia memilih memerhatikan gadis di samping sang anak.Levon menyadari hal itu. Mamanya sedang memerhatikan Luel. “Ma, kenalkan ini Luel, pacarku.” Dia pun segera memperkenalkan Luel.Pacar? Pikiran Dona melayang memikirkan pacar anaknya. Seingatnya sang anak sedang menjalin hubungan dengan keponakan Danish.‘Apa dia keponakan Danish?’ Dona bertanya dalam hatinya.“Luel?” Sejenak Dona mengingat sesuatu. Beberapa bulan lalu saat anaknya sakit, seorang gadis datang ke rumah sakit. Dona ingat nama gadis itu.“Kamu gadis yang ada di rumah sakit waktu itu?” tanya Dona memastikan.“Iya,
Luel memilih gaun cukup lama. Hingga membuat Levon menunggu. Karena orang tua Luel sedang pergi, jadi Levon menunggu sendiri. “Kak Luel mau pilih yang mana sebenarnya?” Ve merasa jika sedari tadi kakaknya terus memilih gaun tanpa tahu mana yang mau dipakai. “Iya, aku bingung. Kasihan Kak Levon sedari tadi menunggu. “Iya, sebentar lagi.” Luel mencari gaun. Hingga akhirnya dia mendapatkan gaun tersebut. Tak butuh waktu lama, dia pun mendapatkan gaun yang dicarinya. Gaun hitam dengan payet warna gold. Perpaduan pas untuk pesta malam ini. Tadi juga Luel sudah bertanya pada Levon. Baju warna apa saja yang dimiliki Levon. Hitam dan gold tadi disebut oleh Levon. Jadi tentu saja nanti mereka akan serasi. Saat mendapatkan gaun, segera dia berdandan untuk acara pesta. Dia tak punya banyak waktu. Jadi harus segera bersiap.Tepat jam lima sore akhirnya Luel siap. Segera mereka berangkat. Sebelum ke tempat pesta, Levon mengajak Luel untuk ke kost tempatnya lebih dulu karena dia gantian akan