Danish terperangah mendengar Isha yang akan membantunya olahraga. Namun, beberapa saat kemudian dia tersadar. "Kamu mau bantu olahraga apa?" Danish menyeringai. Senyum Danish itu membuat Isha yakin jika Danish jelas memikirkan olahraga yang lain. "Dengar, bukan olahraga itu yang aku maksud. Yang aku maksud adalah olahraga sesungguhnya." Isha mencoba menjelaskan. "Tapi, jika denganmu bukan olahraga itu yang sesungguhnya yang aku mau." Isha merona malu. "Kamu sudah ingin?" tanyanya memastikan. Sebagai pria normal, pasti Danish begitu ingin melakukan hal itu. Apalagi dia cukup lama tidak melakukannya. "Kalau ditanya ingin, jelas aku ingin, tapi aku tidak mau membahayakan anak kita." Danish membelai lembut perut Isha. "Kamu masih kuat menunggu?" Isha kembali memastikan. Takut suaminya tidak sanggup. "Aku masih berusaha untuk menahan diri. Jika aku sudah tidak tahan. Jangan salahkan aku." Danish tersenyum. Menahan diri untuk tidak melakukan hubungan intim dengan sang istri memanglah
Beberapa hari ini, Isha kembali mual parah. Tubuh Isha yang lemas pun membuatnya tidak ke toko. Dokter meminta Isha untuk banyak istirahat. Karena jika memaksakan diri akan membuat akan kesulitan.Ina yang berniat mempertemukan Abra dengan Isha pun harus memupuskan harapannya itu. Sudah berhari-hari Isha tidak datang ke toko. Ina tidak mau ambil resiko untuk menemui Isha dan Abra di rumah Danish. Itu akan sangat bahaya sekali.Setelah memikirkan bagaimana cara mempertemukan Abra dengan Isha, akhirnya Ina memiliki ide. Rencananya pagi ini, Ina akan ke rumah Isha untuk menjenguk temannya itu."Aku akan mencoba membujuk Isha, jadi Kak Abra tunggu dulu di sini." Ina menurunkan Abra di minimarket tak jauh dari rumah Danish. Dia harus melihat situasi dan kondisi lebih dulu. Jika ketahuan Danish ini akan sangat bahaya."Baiklah." Abra mengangguk. Ina segera ke rumah Isha. Saat sampai di rumah, sudah ada asisten rumah tangga yang menyambutnya. Asisten rumah tangga mempersilakan Ina untuk mas
Ina yang tidak menemukan Abra, memilih untuk segera pulang ke rumah Abra. Berharap jika Abra sudah pulang ke rumah.Sayangnya, dia tidak menemukan Abra di rumahnya. Pria itu entah pergi ke mana. Ina terus berusaha menghubungi Abra, tetapi pria itu tak mengangkat sambungan telepon darinya."Ke mana sebenarnya Kak Abra?" Ina benar-benar heran kenapa Abra tidak ada di rumah.Sampai sore, barulah Abra pulang. Pria itu naik ojek untuk sampai ke rumah. Ina yang melihat Abra pulang langsung segera menghampiri. Alangkah terkejutnya ketika melihat Abra dengan wajahnya yang babak belur."Kak." Ina yang melihat hal itu langsung berlari menghampiri Abra.Abra tertatih-tatih ketika sampai di rumah. Ina langsung memapah Abra untuk duduk. Setelah Abra duduk, Ina langsung bergegas ke dapur. Mengambilkan minum untuk Abra. Tadi Abra tampak begitu kepayahan. Jadi dia yakin Abra sedang haus."Ini, Kak. Minum dulu."Abra segera meminum air di dalam gelas yang diberikan oleh Ina. Walaupun sakit, dia tetap
Mendapati pertanyaan itu membuat Abra terdiam. Sejenak dia mengingat ancaman Danish. Jelas kali ini Danish tidak main-main. Jadi dia tidak mau ambil resiko. "Aku tidak akan menemuinya." Abra langsung dengan tegas menjawab. Ina yang sedang mengompres luka di wajah Abra pun seketika berhenti. Dia memandang Abra dengan tatapan kecewa."Kenapa tidak jadi menemui Isha? Apa Kak Abra tidak berniat untuk meminta akta cerai?" Ina merasa jika Abra tidak berniat menikahinya. Dalam situasi ini Abra benar-benar dihadapkan situasi sulit. Ina benar-benar tidak pernah mengerti keadaanya. Selalu mendesak untuk dinikahi. Terkadang Abra menyesal mendekati Ina. Awal mula mereka dekat adalah saat Abra masuk penjara. Di saat Isha tidak pernah datang ke penjara, Ina selalu datang. Abra yang terkadang butuh untuk menyalurkan hasrat bercintanya, terpaksa mendekati Ina. Sialnya, Abra adalah orang pertama yang menyentuh Ina. Alhasil, Ina pun meminta Abra untuk menikahi setelah keluar dari penjara. Karena se
Ina benar-benar dibuat tercengang ketika Isha menghubungi Abra. Tidak pernah terpikir di benak Ina jika Isha akan menghubungi Abra.“Kenapa telingaku sakit.” Isha menjauhkan tubuhnya. Kemudian menyalakan mode loudspeaker. Dia jelas hanya berpura-pura. Karena sebenarnya, dia ingin Ina mendengar obrolannya dengan Abra. “Halo, Isha.” Abra di seberang sana tampak terkejut mendengar Isha menghubungi.“Aku dengar dari Pak Danish kalau Kak Abra meminta akta cerai?” Isha tanpa basa-basi menanyakan hal itu. Sengaja sekali menanyakan hal itu pada Abra di depan Ina. Memancing kekesalan Ina.“Dari mana kamu tahu aku mau meminta akta cerai?” Abra di seberang sana tampak takut. Takut Ina yang mengatakan hal itu pada Isha.“Pak Danish bilang jika Kak Abra menemui Pak Dino.” Isha menjelaskan dari mana dirinya tahu.Abra terdengar mengembuskan napas lega. Ternyata Isha bukan tahu dari Ina. “Iya, kemarin aku bertemu Pak Dino.”“Untuk apa Kak Abra meminta akta cerai? Apa Kak Abra mau menikah lagi?”Su
Isha yang keluar dari bilik ATM pun memandangi kartu yang dipegangnya. Dia memikirkan bagaimana bisa uang sebanyak itu berada di dalam rekening ayah. Isha ingat jelas jika ayahnya tidak punya uang sebanyak itu. Isha berpikir keras, tetapi tidak menemukan jawaban atas pertanyaan itu.Saat bilik ATM kosong, Isha kembali masuk lagi. Dia mencoba memasukkan kartu ATM milik ayahnya. Memastikan jika yang tadi dilihatnya tidak salah.Lagi dan lagi, Isha dibuat tercengang dengan saldo yang ada. Dia masih memikirkan dari mana uang sebanyak itu. Karena tidak mendapatkan jawaban, akhirnya Isha memilih mengeluarkan kembali kartu tersebut. Kemudian menggantinya dengan kartu miliknya. Kembali pada niatnya untuk mengambil uang miliknya. Setelah selesai, Isha pun segera kembali ke toko.Sepanjang di toko, Isha terus memikirkan uang apa yang ada di rekening ayahnya. Saat makan pun dia masih memikirkan uang tersebut."Sha, kamu tidak makan?" Ina melihat jelas jika Isha hanya terdiam saja. Tak menyentuh
Mendapati pertanyaan itu, Ina begitu terkejut sekali. "Tidak, bukan siapa-siapa." Ina langsung mengelak ketika Isha bertanya.Isha yang mendengar jawaban Ina, tersenyum. Sebenarnya tanpa harus bertanya, Isha tahu jawabannya. Namun, dia senang sekali melihat reaksi Ina.Makan malam begitu seru. Meraka saling bercerita dan saling mengobrol. Sepanjang obrolan Ina hanya mendengarkan. Pikirannya sedang tidak ada di sini. Jadi dia tidak fokus mengobrol.Saat makan malam usia, mereka pun segera pulang. Aulia dan Ina pulang dengan motor mereka masing-masing sedangkan Isha pulang dengan mobil Danish.Ina segera pulang ke rumah Abra. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan pria itu."Kak Abra?" Sambil membuka pintu, dia memanggil nama Abra. Dilihatnya Abra sedang menikmati minuman di ruang tamu.Mendapati namanya dipanggil Abra langsung mengalihkan pandangan. Dia menuang minuman ke dalam gelasnya."Kamu sudah pulang ternyata."Isha yang kesal segera menghampiri Abra. "Kenapa Kak Abra melakuk
Isha ragu memberitahu di mana lagi tempat yang harus diolesi lotion, karena yang diolesi itu adalah bagian dalam tubuhnya."Kenapa tidak cepat jawab?" Danish menunggu Isha yang justru terdiam."Bagian perut." Isha menjawab lirik.Mendengar di mana harus mengolesi, Danish langsung berbinar. Tentu saja dia senang jika harus mengoles di bagian dalam tubuh istrinya."Kalau begitu cepat buka bajumu!" Danish memberikan perintah pada Isha.Isha membulatkan matanya ketika mendengar perintah Danish. "Kenapa harus membuka baju segala?" Isha tidak mengerti apa yang berada di pikiran sang suami. "Kalau tidak buka baju bagaimana aku mengoleskan lotion? Jika kamu pakai baju, nanti lotion akan menempel di baju. Sama saja akan sia-sia." Danish mencoba memberikan alasan masuk akal. Sebenarnya ini adalah pertama kali memakai lotion. Jadi dia tidak tahu harus membuka baju atau tidak. "Sudah, dengarkan saja aku." Danish pun meyakinkan Isha. Isha ragu, tapi perutnya memang harus diolesi lotion. Karena