“Ayo duduk dulu.” Danish mengajak Dino untuk duduk. Tak nyaman ketika mengobrol sambil berdiri.Dino mengikuti yang diperintahkan atasannya itu. Duduk di sofa bersama.“Jadi aku memintamu untuk mencetak foto pernikahanku dengan Isha untuk dinding ini.” Danish menunjukan sisi kosong di ruang keluarga.Dino mengalihkan pandangan pada tembok yang dituju Danish. Dia baru sadar jika foto Danish dan Dara sudah diturunkan. Kini Dino seyakin-yakinnya jika Danish memang benar-benar mencintai Isha. Karena mengganti foto pernikahan dengan Isha.“Baiklah, aku akan buatkan.” Dino mengangguk.“Sekalian buatkan dua. Karena aku mau pasang di kamar juga.” Danish kembali memberitahu.“Baiklah.” Dino mengangguk.Saat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Isha datang dengan membawa dua cangkir teh. Dino memerhatikan Isha yang tampak tertunduk. Sepertinya dia terlampau malu.“Silakan diminum Pak Dino.” Isha mempersilakan sambil menunduk.“Terima kasih, Isha.” Dino mengangguk.Isha segera kembali ke dap
Isha memasukkan beberapa barang ke dalam koper. Rencananya Isha dan Danish akan pergi ke Pulau Dewata. Besok adalah hari di mana Abra akan keluar. Jadi Danish sengaja mengajak Isha untuk pergi.“Apa karyawanmu itu akan menjemput mantan suamimu?” Danish melemparkan pertanyaan itu pada Isha yang sedang asyik mengemas pakaian.“Iya, dia izin untuk menjemput.” Isha dengan entengnya menjawab.“Kamu tidak curiga mereka punya hubungan?” Danish masih menatap Isha. Dia masih begitu penasaran sekali.“Jika pun ada hubungan, bukankah aku juga sudah tidak berhak untuk berkomentar. Aku tidak mau mengurusi hal remeh temeh seperti itu. Jika mereka mau menjalani hubungan, silakan saja.” Isha dengan entengnya menjawab.Butuh keberanian untuk bisa menjawab hal itu bagi Isha. Dia sudah bertahan sejauh ini, tetapi hanya penghianatan yang dilakukan. Percuma jika harus marah. Karena membuang tenaga.“Aku pikir kamu akan membalas mereka yang menyakitimu.” Danish merasa jika istrinya terlalu baik. Terlebih l
“Kak Abra cari apa?” Ina yang berada di depan pintu begitu penasaran sekali.Abra yang mendengar suara Ina pun segera berbalik. “Tidak cari apa-apa.” Dia meraih dompetnya dan memasukkan benda pipih berwarna biru itu ke dalam dompet tersebut.Ina menghampiri Abra. Dia tidak mau memaksa Abra untuk menceritakan apa yang baru saja dilakukannya. Dia tahu pasti jika Abra tidak suka dipaksa untuk memberitahu. Jadi dia tidak mau memaksakan.Ina menghampiri Abra masuk ke kamar. Bersamaan dengan langkah Ina yang masuk ke kamar, Abra berbalik. Tepat di depan Abra, Ina berhenti. Memandangi pria yang dicintai sejak lama itu.“Akhirnya aku dapat melihat Kak Abra setiap hari.” Ina membelai lembut wajah Abra.Abra masih tampak tenang ketika Ina membelai lembut wajahnya. Namun, saat tangan Ina mulai turun ke leher, dia mulai terpancing. Apalagi tangan Ina mulai turun ke bawah. Ke dada, hingga berhenti bawah perutnya.&ldqu
Tubuh Abra lemas ketika melihat saldo yang berada di dalam rekening yang baru saja diceknya. “Tidak, mungkin aku salah.” Abra segera menarik kembali kartu itu keluar. Kemudian memasukkan kembali. Dilihatnya lagi saldo yang berada di dalam rekening tersebut. Sayangnya, saldo rekening tersebut kosong. Abra segera mengeluarkan kartu tersebut lagi. Kemudian memasukkan kembali. Sialnya, memang tidak ada saldo sama sekali di dalam rekening. Abra benar-benar kesal sekali. Dengan apa yang dilihatnya. Ke mana perginya uang korupsi itu. Kenapa tidak ada di dalam rekening. Harusnya masih ada satu milyar di dalam rekening tersebut. Memang selama ini uang hasil korupsi itu tidak dihabiskan oleh Abra. Hanya sekitar lima ratus juta yang dipakainya untuk berfoya-foya. Sebenarnya waktu itu dia sudah takut aliran dana miliknya akan ketahuan. Namun, ternyata dugaanya salah. Aliran dana itu tidak ketahuan sama sekali. Jadi hasil korupsi aman menjadi miliknya. Beruntung semua langsung diganti dengan Is
Semilir angin malam yang menerpa kulit membuat perasaan begitu tenang. Hal yang tak pernah didapatkan di kota, tentu saja menjadi daya tarik tersendiri. Alunan musik yang dinyalakan oleh pihak restoran pun, memberikan kesan romantis.“Aku punya sesuatu untukmu.” Danish menatap Isha lekat.“Apa?” Isha begitu penasaran sekali.Danish mengeluarkan sebuah kotak. Saat dibuka, sebuah kalung terdapat di dalamnya. Tampak begitu indah sekali.“Indah sekali.” Baru sekali melihat, Isha sudah jatuh cinta pada kalung dengan liontin bunga tersebut.“Untuk wanita cantik sepertimu, tentu saja harus kalung yang indah.”Pipi Isha merona. Dia begitu senang mendapatkan pujian dan hadiah dari Danish.“Aku akan pakaikan.” Danish langsung berdiri. Kemudian memakaikan di leher Isha.Isha segera menarik rambutnya maju agar memudahkan untuk Danish memakaikan. Senyum manis menghiasi wajah Isha. “Cantik sekali.” Isha mendudukkan pandangan untuk melihat kalung yang diberikan oleh Danish. Liontin berbentuk bunga
"Kamu di mana?" Abra melemparkan pertanyaan dari sambungan telepon. Dia sedang berdiri tak jauh dari toko milik Isha. Sengaja dia datang ke toko, untuk menemui Isha. "Aku sedang di toko, Kak." Ina yang mendapatkan pertanyaan itu, langsung menjawab."Apa Isha ada di toko?" Abra mengintip toko Isha "Aku tidak melihatnya.Mendengar pertanyaan itu, Ina jadi bingung. Kalimat yang dilontarkan Abra seolah menegaskan jika dia sedang berada tak jauh dari toko."Apa Kak Abra sedang di sini?" Ina mengedarkan pandangan ke luar toko. Mencari Abra. "Iya, aku di sini." Ina segera mencari keberadaan Abra. Ternyata Abra tak jauh dari toko. Hal itu membuat Ina benar-benar takut. "Kenapa Kak Abra ke sini?" "Jawab dulu pertanyaanku. Apa ada Isha?" Abra tidak menjawab pertanyaan Ina, melainkan bertanya hal lain. "Tidak ada Isha di sini. Dia sedang berlibur dengan suaminya." Ina menjelaskan pada Abra. Abra mengembuskan napas kasar. Ternyata Isha sedang bersenang-senang dengan suami barunya. "Kenapa
“Aku hanya ingin membantumu.” Danish menyeringai.“Aku tidak perlu bantuan. hanya olahraga ringan.” Isha merasa jika dia masih bisa mengerjakan olahraganya. Lagi pula bukan olahraga berat yang perlu bantuan.“Aku harus memberitahu kamu bagaimana olahraga yang benar.” Danish berdiri di belakang Danish. Kemudian merentangkan tangan Isha. “Rentangkan yang benar dan lurus.” Danish memberitahu sang istri.Isha merasa jika tidak ada salahnya Danish membantu. Jadi paling tidak, dia tidak akan sakit saat berolahraga.“Seperti ini.” Isha merentangkan tangannya dengan benar.“Iya, benar.” Danish mengangguk.Saat berada di belakang sang istri, Danish justru tertarik dengan leher jenjang sang istri. Karena rambut Isha diikat, jadi memperlihatkan leher menggoda itu.Danish yang gemas pun langsung mendaratkan kecupan di leher Isha. Apa yang dilakukan Danish pun membuat Isha ter
Isha menatap Ina tajam. Pertanyaan itu sedikit membuatnya kesal. Isha merasa Ina sedang memancing tentang perasaan hatinya pada Abra."Tentu saja aku ingin kembali pada Kak Abra. Bukankah memang itu rencana awalku. Kenapa aku tidak bertanya bagaimana Kak keadaan Kak Abra? Bukankah kamu sudah mengurusnya. Aku yakin kamu sudah mengurusnya dengan baik. Jadi tidak perlu aku memikirkannya. Aku tinggal jalani kehamilanku, setelah bayi ini lahir, aku akan kembali padanya." Isha sengaja membuat Ina panas. Dia tahu pasti Ina kesal mendapati jawabannya.Benar saja tebakan Isha. Ina langsung mengepalkan tangannya. Kesal ketika mendengar jawaban Isha. Dia memang sengaja bertanya untuk memancing Isha. Agar jalannya menjalin hubungan dengan Abra lancar. Namun, apa yang terjadi. Ternyata Isha justru akan kembali pada Abra.Ina pun memaksakan senyumnya. Berusaha menyembunyikan rasa kesalnya. "Aku pikir kamu sudah jatuh cinta pada Pak Danish, jadi tidak akan kembali pada Kak Abra.""Hubunganku dengann