“Kau belum menjawabnya…” tagih Rafa. Ia mengecup leher Sana. “Katakan padaku apa permintaanmu.” Sana mengusap tangan Rafa yang melingkar di perutnya. “Rahasia.” Sana melepaskan diri dari kungkungan pria itu. “Permintaan itu tidak boleh diberitahukan pada orang lain. Katanya, tidak akan terkabul. Jadi harus rahasia.” “Mana ada seperti itu.” Rafa melangkah mendekat. seiring dengan langkahnya yang mendekat, justru Sana kian mundur dan menjauh. “Jangan membuatku ingin menerkamu.” Sana tertawa. “Kalau aku ingin kau menerkamku?” tantangnya dengan alis yang bertaut. Ia juga mengedipkan matanya. Rafa tertawa pelan. “Kau membuatku gila.” Baginya tidak ada wanita lain yang secantik Sana. Bagaimana wanita itu membuatnya tertawa, membuatnya bahagia dan melunturkah amarahnya dengan mudah. Sana berjalan mundur. “Benarkah?” kemudian berlari menghindari Rafa. “Aku akan menangkapmu dan membuatmu memohon…” Rafa ikut mengejar Sana. Ketika berhasil menangkap pinggang mungil wanita itu, jemarinya be
“Aku tidak tahu kau bisa melakukan banyak hal.” Sana berjinjit untuk memasangkan dasi di leher Rafa. Bahkan saat berada di hotel, pria itu dengan mudah menyuruh orang lain membawakan pakaiannya. “Jika aku tidak rapat hari ini. Aku lebih suka pulang dulu.” Rafa sedikit menunduk untuk menatap Sana. Percayalah hal ini cukup melelahkan, untuk melihat wajah Sana saja ia harus menunduk. “Bekerjalah dengan baik.” Sana sudah selesai melakukan tugasnya. “Ikutlah denganku.” Rafa menarik pinggang Sana. Sana menggeleng. “Aku hanya akan menganggumu,” balasnya dengan percaya diri. “Kehadiranku hanya akan membuatmu tidak fokus bekerja.” Rafa tertawa pelan. “Benarkah? Tidak ada yang percaya sebelum dibuktikan. Mau membuktikannya?” Sana menyipitkan mata. “Dasar!” Ia berbalik—memungut pakaian mereka yang masih berada di lantai. “Biarkan saja, nanti ada yang membereskan kamar ini untukku.” Sana menggeleng. “Tidak masalah. Hal sepele seperti ini aku bisa menyelesaikannya.” Melihat Sana yang bers
CHAPTER 398“Apa aku memintanya?” tanya Mina dengan alis yang bertaut. “Mina!” sentak ayah mereka. “Cukup.” Sana menenangahi mereka. “Hentikan.” Menatap Mina yang akan pergi. “Mina tunggu dulu. Selesaikan makanmu dulu. Jangan pergi.” “Tidak ada gunanya aku di sini. dan kau—” Mina menatap Sana. “Lebih baik kau ikut pulang bersama mereka. jangan menambah beban hidupku di sini.” “Mina.” Sana mengejar Mina sampai keluar dari Restoran. “Tunggu, dulu. Mereka juga ingin kau pulang.” Mina tertawa pelan. “Mereka ingin aku pulang agar kau juga pulang. Mereka tidak akan datang ke sini jika bukan karenamu. Untuk kali ini saja aku mohon padamu—” Mina menghela nafas. “Pulanglah bersama mereka. Jangan usik lagi kehidupanku.” Sana menggeleng. “Aku tidak akan pulang tanpamu.” Mina meninggalkan Sana. Wanita itu pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. Mina meninggalkan keluarganya dengan amarah yang menggebu-gebu. Keluarga? Ia tidak pernah menganggap mereka adalah keluarganya. Mereka hanyalah orang
“Aku mohon jangan pergi. Aku membutuhkanmu. Aku akan melakukan apapun yang kau minta tapi jangan tinggalkan aku,” ucap seorang wanita yang memohon pada kekasihnya. Hampir beberapa bulan ini mereka menjalin hubungan. “Aku membutuhkan uang. Aku tidak bisa menjalin hubungan dengan wanita yang sama miskinnya denganku.” Pria itu menatap sang kekasih. “Lagipula kau tidak secantik ketika pertama kali bertemu. Aku juga sudah bosan denganmu. Kau tidak bisa memuaskanku.” Wanita itu berlutut. “Aku mohon aku bisa melakukan apapun yang kau suruh. Kau butuh uang? Aku akan memberikannya. Aku akan memberikan seluruh uangku kalau kau butuh lebih banyak, aku akan menjual apartemen baruku.” Mina tidak berhenti memohon pada sang kekasih. Baginya kekasihnya adalah segalanya. Hanya Marco yang mencintainya. Hanya pria itu yang benar-benar peduli dengannya. Mina merasa bahwa tidak ada orang lain yang menyayanginya selain Marco. Hingga ia tidak bisa membiarkan Marco pergi begitu saja dari hidupnya. Rambut
“Katakan, apa yang ingin kau bicarakan.” Mina menghembuskan asap rokoknya ke udara. Meskipun ia sedang berantakan, ia akan mencoba mendengarkan perkataan pria ini. Rafa menatap Mina untuk yang kesekian kalinya. Banyak wanita yang ditemuinya dan ia tidak pernah bertemu dengan wanita seperti Mina. Wanita keras kepala dan bodoh. “Sudah kubilang aku tidak butuh kasihan darimu.” Mina memutar bola matanya malas. Ia menyugar rambtunya perlahan. Meskipun mereka berada di depan seubah minimarket, Mina tidak ada keinginan untuk mengobati lukanya. Namun Rafa diam-diam telah membeli beberapa obat untuk wanita itu. “Sudut bibirmu berdarah.” Menyodorkan sebuah plaster lucu yang berwarna kuning. “Menjijikkan,” ungkap jujur Sana ketika melihat plester itu. “Tapi thanks.” Rafa menghela nafas. “Perlu aku bantu? Aku bisa hanya sekedar menempelkan plester itu di sudut bibirmu.” “Jangan coba-coba!” Mina melotot. Ia mengambilt tisu dan diusapkannya di sudut bibirnya. Saat darahnya sudah bersih—barula
“Aku sudah lama tidak melihat wajahmu,” ucap seorang pria yang pada kekasihnya dari layar telepon. Sana tersenyum dan mengangguk. Ini pertama kalinya mereka saling berkomunikasi dengan lancar. “Bagaimana harimu di sana.” Sana bertopang dagu. “Aku melihat beritamu sering muncul di televisi.” “Wajahku viral saat menghadiri konferensi di London. Mereka menyebutku pangeran tampan.” Keita berucap dengan percaya diri. Ia menatap sang kekasih. “Aku sudah dengan dari orang tuamu, kata mereka kasus itu sudah selesai dan kamu dibantu oleh teman kamu.” Sana terdiam sebentar. “Aku memang dibantu olehnya. Jika tidak ada dia, aku pasti kesulitan mengatasi semuanya. Apalagi aku tidak punya koneksi di sini.” “Dia pria bukan?” tanya Keita dengan tatapan biasa namun Sana mengerti dari sorot pria itu yang menyelidikSana mengangguk jujur. “Dia temanku sejak dulu.” “Dia siapa?” Sana mengernyit. Entah kenapa ia tidak suka saat Keita mendesaknya. “Rafael Shalom.” Keita mengangguk. “Aku akan ke sana
“Karena terjatuh saat bermain basket. Dulu aku sangat ingin menyusulmu ke sini. Lalu mengobati lukamu seperti ini. Tapi sayangnya aku tidak bisa.” Sana tersenyum getir. “Dulu aku tidak cukup berani, ya walaupun sekarang juga sama.” Rafa mengusap pipi Sana. “Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Sekali-kali kau harus mengejar kebahagianmu bukan orang lain. Pikirkan dirimu sendiri baru orang lain. Kau akan terus menderita jika memikirkan orang lain.” Sana mendongak. “Sepertimu?” Rafa mengangguk. Menarik Sana ke atas pangkuannya. “Aku tidak peduli dengan orang lain. Aku hanya melakukan apapun yang ingin aku lakukan.” Mengusap helaian rambut Sana ke belakang. “Aku selalu melakukan apapun yang aku inginkan.” Sana mengalunkan kedua tangannya di leher pria itu. “Lalu bagaimana jika aku hancur setelah melakukan apapun sesuai dengan keinginanku?” “Setidaknya kau hancur dengan pilihanmu sendiri, bukan pilihan orang lain.” Rafa mengusap bibir bawah Sana perlahan. “Itu prinsipku yang aku laku
“Kita bisa bermain kembang api.” Rafa berdecih pelan. Ia bangkit dan berkacak pinggang. “Memangnya anak kecil bermain kembang api?” “Dulu kau sangat suka.” Sana tertawa pelan. “Kau marah saat aku mengambilnya. Dulu kau sangat pelit tahu—” Sana berdecak pelan. Rafa menarik Sana. “Baiklah sekarang aku akan memberikan apapun keinginanmu. Katakan, kau bisa memegang kartu kreditku.”“Sombong,” desis Sana. “Memang.” Rafa dengan jahil menarik lepas selimut itu hingga terlepas dari tubuh Sana. Kemudian mencium bibir wanita itu dengan menggiringnya berbaring di atas kasur. “Aku tidak akan memberikanmu istirahat.” ~~Esok harinya, Rafa benar-benar mengabulkan keinginan Sana untuk pergi ke Pantai. Ia bahkan membatalkan pekerjaannya sehari untuk pergi bersama Sana. Mereka sedang bersiap-siap berangkat dengan Sana yang memakai celana pendek. Ini pertama kalinya ia keluar dengan pakaian yang berbeda. “Bagaimana?” Sana memutar tubuhnya agar Rafa bisa lebih jelas melihat penampilan barunya. Ra
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert