“Aku sudah lama tidak melihat wajahmu,” ucap seorang pria yang pada kekasihnya dari layar telepon. Sana tersenyum dan mengangguk. Ini pertama kalinya mereka saling berkomunikasi dengan lancar. “Bagaimana harimu di sana.” Sana bertopang dagu. “Aku melihat beritamu sering muncul di televisi.” “Wajahku viral saat menghadiri konferensi di London. Mereka menyebutku pangeran tampan.” Keita berucap dengan percaya diri. Ia menatap sang kekasih. “Aku sudah dengan dari orang tuamu, kata mereka kasus itu sudah selesai dan kamu dibantu oleh teman kamu.” Sana terdiam sebentar. “Aku memang dibantu olehnya. Jika tidak ada dia, aku pasti kesulitan mengatasi semuanya. Apalagi aku tidak punya koneksi di sini.” “Dia pria bukan?” tanya Keita dengan tatapan biasa namun Sana mengerti dari sorot pria itu yang menyelidikSana mengangguk jujur. “Dia temanku sejak dulu.” “Dia siapa?” Sana mengernyit. Entah kenapa ia tidak suka saat Keita mendesaknya. “Rafael Shalom.” Keita mengangguk. “Aku akan ke sana
“Karena terjatuh saat bermain basket. Dulu aku sangat ingin menyusulmu ke sini. Lalu mengobati lukamu seperti ini. Tapi sayangnya aku tidak bisa.” Sana tersenyum getir. “Dulu aku tidak cukup berani, ya walaupun sekarang juga sama.” Rafa mengusap pipi Sana. “Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Sekali-kali kau harus mengejar kebahagianmu bukan orang lain. Pikirkan dirimu sendiri baru orang lain. Kau akan terus menderita jika memikirkan orang lain.” Sana mendongak. “Sepertimu?” Rafa mengangguk. Menarik Sana ke atas pangkuannya. “Aku tidak peduli dengan orang lain. Aku hanya melakukan apapun yang ingin aku lakukan.” Mengusap helaian rambut Sana ke belakang. “Aku selalu melakukan apapun yang aku inginkan.” Sana mengalunkan kedua tangannya di leher pria itu. “Lalu bagaimana jika aku hancur setelah melakukan apapun sesuai dengan keinginanku?” “Setidaknya kau hancur dengan pilihanmu sendiri, bukan pilihan orang lain.” Rafa mengusap bibir bawah Sana perlahan. “Itu prinsipku yang aku laku
“Kita bisa bermain kembang api.” Rafa berdecih pelan. Ia bangkit dan berkacak pinggang. “Memangnya anak kecil bermain kembang api?” “Dulu kau sangat suka.” Sana tertawa pelan. “Kau marah saat aku mengambilnya. Dulu kau sangat pelit tahu—” Sana berdecak pelan. Rafa menarik Sana. “Baiklah sekarang aku akan memberikan apapun keinginanmu. Katakan, kau bisa memegang kartu kreditku.”“Sombong,” desis Sana. “Memang.” Rafa dengan jahil menarik lepas selimut itu hingga terlepas dari tubuh Sana. Kemudian mencium bibir wanita itu dengan menggiringnya berbaring di atas kasur. “Aku tidak akan memberikanmu istirahat.” ~~Esok harinya, Rafa benar-benar mengabulkan keinginan Sana untuk pergi ke Pantai. Ia bahkan membatalkan pekerjaannya sehari untuk pergi bersama Sana. Mereka sedang bersiap-siap berangkat dengan Sana yang memakai celana pendek. Ini pertama kalinya ia keluar dengan pakaian yang berbeda. “Bagaimana?” Sana memutar tubuhnya agar Rafa bisa lebih jelas melihat penampilan barunya. Ra
Hardin mendekati putranya. Memeluk putranya. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya. Rafa mengangguk. “Baik, Dad. Bagaiman dengan Dad?” “Baik juga.” Hardin mengangguk. “Dad ingin menemuimu lebih awal, namun ada pekerjaan yang membuat Dad tidak bisa berkunjung. Dad baru saja datang dan langsung ke sini. Dad pikir akan menemuimu besok saja.” “Malah bagus kita bisa bertemu di sini.” Rafa menoleh ke samping. “Ini Sana.” Hardin menatap Sana untuk beberapa detik. “Ini Sana pacar kamu dulu itu?” tanyanya. Rafa mengangguk sambil tertawa. “Lebih baik jangan mengungkit hal itu Dad,” lirihnya. Ada banyak hal yang ia ceritakan dulu dengan Hardin. Tentu saja tentang percintaannya ketika remaja. Namun jika diingat kembali, Rafa sendiri malu. “Halo uncle,” Sana menunduk sedikit untuk memberi salam. “Halo Sana, akhirnya bisa bertemu secara langsung dengnamu.” Hardin tersenyum ramah. Ia beralih menatap putranya. “Sebenarnya ada yang Dad ingin beritahukan. Sebenarnya, Dad sedang dekat dengan wanita.” “S
Begitu sampai di rumah sakit, Sana dan Rafa langsung menuju ke kamar di mana Mina sedang dirawat. Kecelakaan yang terjadi akibat taksi yang dinaiki oleh Mina ditabrak oleh sebuah truk muatan. Dari kecelakaan tersebut, Mina dan sopir taksi itu mengalami luka yang cukup parah. Keadaan Mina sekarang sedang dalam pemulihan. Meskipun sudah ditangani oleh dokter. Ia masih belum bangun sampai beberapa jam. “Bagaimana semua ini terjadi?” lirih Sana yang melihat Mina terbaring di ruang intensif. Mina terbaring dengan peralatan medis yang mencancap di tubuh. Hanya dari jendela kaca ini Sana bisa melihat Mina. “Dengan keluarga saudara Mina?” tanya seorang perawat. “Untuk saat ini nona Mina tidak boleh di jenguk oleh siapapun. Keadannya sudah stabil, namun menunggu beliau untuk sadar terlbih dahulu. Sekarang, ada pihak kepolisian yang menunggu anda.” Sana dan Rafa mengikuti perawat yang membawa mereka ke polisi. Di sana ada dua polisi yang sedang menyelidiki kasus Mina. “Di sini kami dari pi
Setelah di periksa, keadan Mina sudah membaik. Benturan di kepala-nya tidak sampai mengenai saraf-saraf berbahaya. Namun tangan dan kakinya harus digips untuk beberapa waktu. “Tubuhmu masih sakit?” tanya Rafa sembari duduk di bangku samping ranjang. Mina mendesis. “Jika tidak sakit aku sudah pulang,” balasnya. Ia mencoba bangun sendiri namun tidak bisa. Akhirnya menerima bantuan Rafa tanpa mengomel. Mina menatap Rafa dalam. “Kenapa kau di sini?” “Aku menjagamu.” Rafa mengambil merapikan selimut yang digunakan oleh Mina. “Sana akan kembali ke sini dan membawa makanan. Semalaman dia tidak pulang dan menunggumu. Aku menyuruhnya pulang dan beristirahat tapi dia tidak mau, dia akan kembali setelah memasak makanan untukmu.” Mina berdecak pelan. Memilih menyandarkan tubuhnya. Ia menatap ke samping. “Kau tidak tidak berharap mati ‘kan?”“Aku berharap. Aku memang berharap mati.” Mina menghela nafas panjang. “Tapi sayangnya aku masih hidup. Kematianku tidak akan membawa kesedihan siapapun
“Sudah seharusnya aku melakukan ini sejak lama.” Sana mengambil duduk di samping ranjang Mina. “Aku tidak tahu bagaimana keadaanmu selama ini. Seharusnya aku bisa lebih memperhatikanmu.” “Bukan kau.” Mina menoleh sebentar. “Tapi mereka. ‘Mereka’ yang dari dulu tidak pernah memperhatikanku. Mereka yang membuangku dan mereka yang menganggapku tidak ada.” Sana mengusap punggung tangan Mina. “Aku akan berusaha selalu di sisimu.” Mungkin inilah yang dinamakan es batu yang mulai mencair. Mina yang akhirnya menerima Sana dan menggapnya sebagai saudara. “Kenapa dulu kau berhenti melukis, padahal lukisanmu juga bagus.”Mina menatap langit-langit kamar. “Karena ternyata kau juga suka melukis. Aku berhenti karena aku berpikir apa yang aku lakukan akan sia-sia saat kau juga melakukannya. Dulu anak-anak suka mencari perhatian orang. Aku melihat mereka memuji lukisanmu, tapi aku yakin mereka tidak akan peduli dengan apa yang aku lakukan.” Sana menghela nafas. “Aku berusaha mendekatimu, tapi ak
Rafa menaikkan salah satu alisnya. “Yang kau dengar hanyalah rumor. Kau tahu sendiri aku tidak memiliki kekasih setelah putus denganmu.” Sana berdecak pelan. “Dasar laki-laki tidak akan mau mengaku.” Ia bangkit dan berjalan masuk ke dalam. Moodnya menjadi buruk ketika mendengar kebohongan dari mulut Rafa. “Sana,” panggil Rafa yang mengejar Sana. “Dengarkan aku dulu.” Rafa mengikuti Sana yang masuk ke dalam ruang samping ruangan Mina. “Aku dulu memang brengsek. Aku memang bermain dengan wanita. Namun, aku tidak pernah punya perasaan pada mereka.” Rafa menarik Sana ke dalam pelukannya dengan mudah. “Dengarkan aku.” “Apa?” “Aku akui aku memang brengsek. Tapi, hatiku tidak pernah berubah. Hanya ada kau.” Rafa mengusap punggung Sana perlahan. “Benarkah? Kenapa aku ragu?” “Tanya saja pada Fred.” “Fred? Salah satu wanitamu?” Rafa tertawa pelan. “Kau lupa? Fred adalah temanku. Dulu yang punya rambut blonde. Dia temanku basket juga.” Sana mencoba berpikir. “Oh—” ia baru mengingatnya
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert