“Sudah seharusnya aku melakukan ini sejak lama.” Sana mengambil duduk di samping ranjang Mina. “Aku tidak tahu bagaimana keadaanmu selama ini. Seharusnya aku bisa lebih memperhatikanmu.” “Bukan kau.” Mina menoleh sebentar. “Tapi mereka. ‘Mereka’ yang dari dulu tidak pernah memperhatikanku. Mereka yang membuangku dan mereka yang menganggapku tidak ada.” Sana mengusap punggung tangan Mina. “Aku akan berusaha selalu di sisimu.” Mungkin inilah yang dinamakan es batu yang mulai mencair. Mina yang akhirnya menerima Sana dan menggapnya sebagai saudara. “Kenapa dulu kau berhenti melukis, padahal lukisanmu juga bagus.”Mina menatap langit-langit kamar. “Karena ternyata kau juga suka melukis. Aku berhenti karena aku berpikir apa yang aku lakukan akan sia-sia saat kau juga melakukannya. Dulu anak-anak suka mencari perhatian orang. Aku melihat mereka memuji lukisanmu, tapi aku yakin mereka tidak akan peduli dengan apa yang aku lakukan.” Sana menghela nafas. “Aku berusaha mendekatimu, tapi ak
Rafa menaikkan salah satu alisnya. “Yang kau dengar hanyalah rumor. Kau tahu sendiri aku tidak memiliki kekasih setelah putus denganmu.” Sana berdecak pelan. “Dasar laki-laki tidak akan mau mengaku.” Ia bangkit dan berjalan masuk ke dalam. Moodnya menjadi buruk ketika mendengar kebohongan dari mulut Rafa. “Sana,” panggil Rafa yang mengejar Sana. “Dengarkan aku dulu.” Rafa mengikuti Sana yang masuk ke dalam ruang samping ruangan Mina. “Aku dulu memang brengsek. Aku memang bermain dengan wanita. Namun, aku tidak pernah punya perasaan pada mereka.” Rafa menarik Sana ke dalam pelukannya dengan mudah. “Dengarkan aku.” “Apa?” “Aku akui aku memang brengsek. Tapi, hatiku tidak pernah berubah. Hanya ada kau.” Rafa mengusap punggung Sana perlahan. “Benarkah? Kenapa aku ragu?” “Tanya saja pada Fred.” “Fred? Salah satu wanitamu?” Rafa tertawa pelan. “Kau lupa? Fred adalah temanku. Dulu yang punya rambut blonde. Dia temanku basket juga.” Sana mencoba berpikir. “Oh—” ia baru mengingatnya
Sana kembali ke masuk ke kamar setelah mengantar Rafa sampai di parkiran mobil. Ia mengernyit melihat Mina yang tengah duduk di tepi ranjangnya. “Kau butuh sesuatu?” “Aku ingin berbicara denganmu.” Mina menatap Sana. “Kau tahu aku tidak suka berbasa-basi. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya padamu.” Sana mengambil duduk di sampin Mina, “Tentang?” “Tentang Rafael. Reafael tidak sebaik yang kau kira.” Sana menoleh. “Apa maksudmu?” “Kau pikir hubungamu dengannya berjalan begitu saja?” tanya Mina. Kemudian menggeleng pelan. “Aku yang membuatmu bersamanya dan dia memberiku Apartemen. Kau kira aku menghabiskan uang yang diberikan Keita? Tidak. Aku masih menyimpannya. Aku melakukannya agar kau meminta bantuan Rafa.” Tubuh Sana terasa begitu lemas. “Kenapa dia melakukannya…” lirih Sana. “Karena dia bisa melakukan apapun untuk membuatmu berada di sampingnya,” bals Mina. “Kalau kau tidak percaya aku masih menyimpan bukti percakapanku dengannya. Kau pikir aku tinggal di mana selama ini?
Sana memejamkan mata. Membiarkan Rafa mencecap bibirnya. Bahkan membuka bibirnya untuk memberikan akses pada pria itu. Desakan demi desakan yang ia terima membuatnya membalas ciuman pria itu. kedua tangannya mencengkram kemeja yang digunakan oleh pria itu. “Aku sangat merindukanmu,” lirih Keita yang sudah diselimuti oleh kabut gairah. Jemarinya menurunkan lengan dress yang digunakan Sana. Menghirup leher jenjang itu, kemudian menggigitnya perlahan untuk memberikan tanda. Sana menngeratkan cengkramannya. Namun untungnya pria itu berhenti. “Aku tahu batasannya.” Keita tersenyum sambil mengusap lengan Sana. Merapikan kembali pakaian wanita itu. “Pergilah bersih-bersih.” Mengusap puncak rambut Sana lembut. Sana mengangguk dengan kaku dan pergi. Ia masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu kamarnya dengan serapat mungkin. Ia tidak ingin ada yang tahu bahwa ia sedang menangis. Di sisi lain, Mina telah selesai merekam kegiatan panas Sana dan Keita. Kemudian menekan kirim pada nomor seseor
Sana menggeleng. ia tidak bisa membiarkan hal ini terus terjadi. Ia mendorong dada Rafa sampai pangutan mereka terlepas. “BRENGSEK!” teriaknya. “Oke aku akan menunjukkanmu brengsek yang sesungguhnya.” Menarik Sana ke atas pangkuannya. Kembali mencium wanita itu lebih keras dari sebelumnya. Kedua tangannya menurunkan dress yang digunakan Sana. Namun ia terhenti ketika melihat sebuah tanda kemerahan yang terletak di atas dada Sana. “Kau melakukannya dengan pria itu?” lirihnya dengan nada yang menajam. Sana diam. Ia tidak membuka mulutnya dan memilih merapikan pakaiannya. “Aku pikir kau hanya—” Rafa memejamkan mata. “Keluar dari sini. Pergi dari hadapanku.” ~~Ketika sana keluar dari mobil itu. Ia tidak lagi menoleh ke belakang. Langkah kakinya begitu mantap meninggalkan segalanya tentang pria itu. Ia berhenti pada sosok pria yang menunggunya sedari tadi. “Ayo pulang ke Jepang.”Keita mengernyit kebingungan. “Kata kamu, kamu ingin di sini dulu. Aku tidak masalah, aku bersedia di s
Sana menyeret kopernya. Saat ini ia sudah berada di Bandara bersama Keita. Bagaimanapun ia memang tidak bisa meninggalkan kehidupannya yang sebenarnya. Ia menoleh ke belakang. “Kau benar-benar tidak mau ikut denganku?” tanya Sana pada saudara kembarnya. Mina menggeleng. “Aku akan ke Jepang saat pernikahanmu. Aku janji.” Sana mengangguk pelan. Mina mendekat dan memeluknya. “Jaga dirimu di sini.” Keita mengambil tangan Sana dan menautnya jemari mereka. Kemudian segera berjalan masuk. “Aku sangat senang akhirnya kita bisa pulang bersama.” Sana menoleh dan mendongak. Ia mengangguk pelan. “Tentu saja.” Sebelum benar-benar masuk ke dalam pesawat, Sana mendongak. Jangan sampai membiarkan air matanya menetes. Ia menghela nafas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke dalam pesawat. Menatap jendela dengan tatapan kosong. Ia menoleh ketika punggung tangannya diusap perlahan. Keita tengah tersenyum manis padanya. “Terima kasih sudah bertahan,” lirih Keita. Sana mengangguk tanpa menjawab.
Rafa menggeleng. “Kau tidak akan paham.” Kemudian menggenggam botol wine itu dengan kuat. “Tapi dia pergi bersama pria lain. Aku benar-benar ingin menyeretnya dan mengurungnya. Dia mempermainkanku….”“Aku sungguh muak dengan percintaanmu.” Fred memutar bola matanya malas. “Seumur hidupmu, kau tidak pernah membahas wanita lain. Come on, Raf! Jangan menyia-nyiakan dirimu sendiri!” “Lihat dia!” tunjuk Fred pada seorang wanita yang tengah duduk di kursi bar. Dres yang berwarna merah itu begitu menyala. Apalagi potongan dress itu yang begitu minim. “Kau masih mengingatnya?” “Dia pernah menggodamu. Apa kau tidak tertarik menghabiskan waktu dengannya?” tanya Fred. Rafa menghempaskan tubuhnya kembali ke sandaran sofa. “Kau selalu menceramahiku agar tidak sembarangan bermain dengan wanita. Tapi, kau malah menyuruhku dengannya?” Fred menghela nafas. “Aku hanya muak melihatmu seperti ini.”DUGH!Rafa menendang pelan meja yang berada di hadapannya. “Jika kau masih ingin bersamanya. Kejar dia
Tidak ada yang dilakukan Mina selain menangis. “Untungnya kau ke sini. Aku benar-benar takut…” lirihnya sembari sesenggukan. Mina memejamkan mata dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.Rafa mendekat. Berlutut di hadapan Mina. “Kau menangis?” Mina mengusap air matanya. Usapan pada punggung tangannya membuatnya berhenti menangis. Menatap Rafa yang tengah menatapnya juga. Mina menunduk—menatap tangan pria itu yang masih setia mengusap punggung tangannya. “Aku di sini.” Mina menunduk dan yang terjadi selanjutnya adalah memeluk Rafa. “Terima kasih.” Meskipun sedikit terkejut, Rafa mengusap punggung Mina perlahan. Meskipun sudah terbiasa hidup sendiri, namun pasti Mina mempunyai sisi rapuh yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun. Syukurlah jika wanita itu sudah bisa mengekspresikan perasaannya. “Kau sudah makan?” tanya Rafa. Mina melepaskan pelukannya. Ia menggeleng pelan. “Aku belum makan seharian ini karena terkunci di sini sialan,” umpatnya yang tidak terbendung namun
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert