"Queen ...."Entah sudah berapa kali Killian memanggil istrinya dengan nada merajuk. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan dia beserta Aila sedang berada di dalam kamar.Ya, Tuhan. Setelah berjam-jam yang penuh siksaan, akhirnya mereka bisa berduaan saja.Bisa dikata kalau Killian sudah berada di ambang batas kesabaran karena ulah Ansia tadi. Memikirkan kalau dia harus mengawasi kedua iblis kecil itu selama dua minggu ke depan, membuat lelaki itu nyaris meledak."Queen, ayolah ....""Aku harus bagaimana, Kills? Bukankah kamu sendiri yang sudah berjanji?""Ini curang namanya! Ansia tadi sama sekali tidak memberi tahuku kalau—""Makanya, lain kali jangan terburu-buru menjanjikan apa pun sebelum kami mengetahuinya dengan betul."Mendengus, Killian pun menekuk wajah. Untuk pertama kalinya, lelaki itu terlihat cemberut sehingga membuat Aila merasa geli sendiri."Jangan ngambek dong, Kills," ujarnya sembari duduk di pangkuan suaminya. Mengalungkan sebelah tangan ke belaka
Waktu menunjukkan tengah malam kurang tujuh menit.Adam menyusup masuk ke RUTAN dengan mudah, tanpa ada keributan sedikit pun. Jumlah petugas yang banyak berjaga di tempat ini, sama sekali bukan masalah baginya.Tentunya, semua hal yang menyusahkan bisa diselesaikan dengan segepok uang kan?"A piece of cake," bisik Adam dengan tersenyumSeolah sedang berjalan di rumahnya sendiri, langkah lelaki itu terbilang sangat santai, meski tetap saja nyaris tidak menimbulkan suara. Beberapa petugas memang sudah berhasil dia suap, tapi bukan berarti Adam bisa bertindak sembrono.Lelaki itu lantas meraih ponselnya, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memeriksa kembali denah untuk menuju ruangan yang tengah dia tuju.Lima ratus meter lagi.Meraba saku depan jasnya, Adam memastikan bahwa 'barang itu' sudah dia bawa, meski sebenarnya itu adalah hal yang tidak perlu. Akan menjadi suatu kekonyolan yang sangat besar, apabila dia benar-benar lupa untuk membawa 'barang itu'."Yah, akhirnya kesayanganku bi
Suara notifikasi terdengar, pertanda adanya pesan yang masuk. Meraih ponselnya, Aila masih sempat melirik ke tempat di mana Killian tadi pergi, sebelum akhirnya membuka dan membaca pesan yang baru saja masuk tersebut. Pesan dari Erick. 'Tugas sudah saya laksanakan, Nyonya Muda. Surat tersebut sudah saya kembalikan dan diterima langsung oleh Nyonya Besar Callisto.' Ada senyuman yang menggaris di bibir Aila. Tadi dia memang meminta tolong kepada Erick untuk mengembalikan surat Selena ke kediaman Callisto. Beruntung sekali, karena ternyata kepala pengawal itu justru berhasil memberikannya langsung kepada Nyonya Shananet. "Syukurlah," gumamnya, segera mengetikkan balasan berisi pesan terima kasih kepada Erick. "Dengan begini, aku sudah tidak perlu lagi memiliki alasan apa pun untuk bertemu dengan Andreas." Terdiam, Aila menyadari bahwa masih ada hutang besar yang harus dia bayar kepada Andreas. Entah bagaimana caranya. "Soal itu, biarlah dipikirkan nanti. Sesuai dengan berjalannya
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Dua hari sudah berlalu dan sekarang tibalah hari keberangkatan Ansia dan Hugo untuk berbulan madu. "Ingat, jaga sikap kalian selama kami tinggal. Jangan nakal, ya, Lexis, Alden," ucap Ansia, entah sudah untuk yang ke berapa puluh kali. Sebab sejak si kembar bangun pagi tadi sampai mereka semua kini berada di airport, dia terus saja mengatakan hal yang sama. "Ingat semua ucapan Mommy. Awas. Kalau sampai Mommy mendengar sedikit saja keluhan dari Auntie Aila soal kalian ...." Ansia memang tidak menyelesaikan ucapannya, tapi baik Alexis maupun Alden sudah langsung buru-buru mengangguk. Tidak lupa, mereka juga memasang senyuman manis dan sikap yang begitu menurut, sebagai bonus. "Jangan khawatir, Sia," sela Aila. "Mereka bukan anak-anak nakal kok. Kami semua pasti akan baik-baik saja di sini. Iya kan?" imbuhnya sambil menoleh dan mendapatkan beragam respon yang berbeda. Baik Alexis maupun Alden, keduanya terlihat begitu gembira seolah akan memasuki s
Mereka berdua nyaris tidak berbicara selama penerbangan.Ansia bisa merasakan hadirnya ketegangan yang menggantung. Seperti ada aliran listrik yang mengambang di udara, yang hanya memerlukan satu percikan kecil saja untuk segera menyambar dan membakar habis mereka berdua.Normalkah ini?"Tenangkan dirimu, Ansia. Ya, Tuhan," bisiknya, entah sudah untuk yang ke berapa kalinya.Sebenarnya, apa yang baru saja terjadi?Di sela-sela waktu sebelum boarding, dia dan Hugo tadi sempat melakukan percintaan singkat.Kamar mandi airport dan waktu empat puluh menit memang sama sekali tidak memadai, tapi bisa dikata lumayan. Setidaknya bagi Ansia, yang berhasil meraih puncak kenikmatan meski hanya sekali."Apakah aku yang memerintahkan Huggie untuk melakukannya?" Ansia terkesiap dan tangannya melayang mendekap mulut. "Ya ampun. Apa sih yang salah dengan diriku?"Rasanya memalukan. Meski pada kenyataannya dia melakukan hal tersebut dengan suaminya sendiri, tapi tetap saja sanggup membuat wajah Ansia
Apakah dirinya hanya sekedar lelucon?Mengangkat dagunya, Ansia berjalan tanpa ada rasa ragu sedikit pun. Dia bukan perempuan yang bisa dipermainkan begitu saja. Pantang baginya untuk hanya diam dan menangis, apabila merasakan sakit hati.Oleh karena itulah, sebenarnya tidak mengherankan saat dia akhirnya bergerak ke seberang ruangan dan langsung berdiri di samping lelaki yang secara hukum sudah sah menjadi suaminya."Huggie, apakah kita sudah bisa ke atas? Aku sudah tidak sabar untuk segera pergi ke kamar kita."Ada penekanan di setiap kata 'kita' yang Ansia ucapkan.Menyibakkan rambut hitam panjangnya yang indah, perempuan itu menyunggingkan senyuman penuh percaya diri, membuat kecantikannya seolah menjadi beratus-ratus kali lipat.Sementara itu, Hugo mengerjap kaget dan memandangnya terpana. Jelas ada tanda tanya besar yang tersirat di wajahnya."Ans, apa yang— Oh!"Meski sempat kehilangan kata-kata selama sesaat, tapi untunglah lelaki itu akhirnya tersadar tepat pada waktunya.Sep
Sementara itu, terpisah jarak 4.353 Km dari Maldives. Pada waktu yang sama. Aila baru saja menggeliat dengan kedua tangan terentang ke atas, ketika ada sepasang tangan yang memeluk pinggangnya dengan tiba-tiba. "Kills!" serunya, gagal menyelesaikan kuapnya karena terlalu kaget. "Apa-apaan, sih?" Bukannya merasa bersalah, Killian justru semakin mempererat pelukannya. Dia juga menghadiahi Aila ciuman di leher, bahkan masih sempat untuk menjilatnya sekali. "Kills, apa-apaan, sih?" Wajah Aila terlihat memerah. Dia menyadari pula kalau rasa kantuknya pun sudah hilang menjauh, akibat ulah suaminya tadi. "Ya, Tuhan. Apa bagimu aku ini terlihat seperti es krim? Baru datang sudah langsung main jilat-jilat segala. Ish!" "Mmh ...." Killian bergumam tidak jelas. Lelaki itu menyembunyikan wajah di leher istrinya dengan mata terpejam. "Not an ice cream, Queen, but watermelon sugar." Dahi Aila seketika berkerut mendengarnya. "Semangka tadi, katamu?" tanyanya. "Apa gara-gara aku sedang hamil s
Ada beragam pikiran yang berkecamuk dalam benak Hugo saat ini. Dia sadar bahwa mereka tidak bisa terus-terusan marah dan semua ini harus berhenti. Sebab demi Tuhan, perempuan yang sudah menjadi dia nikahi ini benar-benar sudah menyita semua pikirannya. "Kamu pikir apa yang sedang kamu lakukan, Hugo?" Ansia membentaknya, ketika Hugo masih saja keras kepala dan terus mengejar bahkan sampai ikut masuk ke kamar mandi. "Pergilah. Biarkan aku sendiri dulu." Di atas semua, saat ini Ansia hanya membutuhkan waktu untuk bisa meredakan kembali kemarahannya. Paling tidak dengan begitu dia bisa lebih tenang dan memikirkan lagi segalanya dari awal. Namun tentu saja semua itu tidak bisa dia lakukan, apabila masih ada Hugo di sekitarnya. Bukannya apa-apa, tapi ya, Tuhan. Kehadiran lelaki itu saja sudah cukup membuat sekujur tubuhnya gemetar. Apalagi ditambah dengan aroma parfum Hugo yang khas. Ansia bahkan nyaris tidak bisa berpikir apa-apa, selain mendorong lelaki itu ke atas tempat tidur dan m
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida