Suara notifikasi terdengar, pertanda adanya pesan yang masuk. Meraih ponselnya, Aila masih sempat melirik ke tempat di mana Killian tadi pergi, sebelum akhirnya membuka dan membaca pesan yang baru saja masuk tersebut. Pesan dari Erick. 'Tugas sudah saya laksanakan, Nyonya Muda. Surat tersebut sudah saya kembalikan dan diterima langsung oleh Nyonya Besar Callisto.' Ada senyuman yang menggaris di bibir Aila. Tadi dia memang meminta tolong kepada Erick untuk mengembalikan surat Selena ke kediaman Callisto. Beruntung sekali, karena ternyata kepala pengawal itu justru berhasil memberikannya langsung kepada Nyonya Shananet. "Syukurlah," gumamnya, segera mengetikkan balasan berisi pesan terima kasih kepada Erick. "Dengan begini, aku sudah tidak perlu lagi memiliki alasan apa pun untuk bertemu dengan Andreas." Terdiam, Aila menyadari bahwa masih ada hutang besar yang harus dia bayar kepada Andreas. Entah bagaimana caranya. "Soal itu, biarlah dipikirkan nanti. Sesuai dengan berjalannya
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Dua hari sudah berlalu dan sekarang tibalah hari keberangkatan Ansia dan Hugo untuk berbulan madu. "Ingat, jaga sikap kalian selama kami tinggal. Jangan nakal, ya, Lexis, Alden," ucap Ansia, entah sudah untuk yang ke berapa puluh kali. Sebab sejak si kembar bangun pagi tadi sampai mereka semua kini berada di airport, dia terus saja mengatakan hal yang sama. "Ingat semua ucapan Mommy. Awas. Kalau sampai Mommy mendengar sedikit saja keluhan dari Auntie Aila soal kalian ...." Ansia memang tidak menyelesaikan ucapannya, tapi baik Alexis maupun Alden sudah langsung buru-buru mengangguk. Tidak lupa, mereka juga memasang senyuman manis dan sikap yang begitu menurut, sebagai bonus. "Jangan khawatir, Sia," sela Aila. "Mereka bukan anak-anak nakal kok. Kami semua pasti akan baik-baik saja di sini. Iya kan?" imbuhnya sambil menoleh dan mendapatkan beragam respon yang berbeda. Baik Alexis maupun Alden, keduanya terlihat begitu gembira seolah akan memasuki s
Mereka berdua nyaris tidak berbicara selama penerbangan.Ansia bisa merasakan hadirnya ketegangan yang menggantung. Seperti ada aliran listrik yang mengambang di udara, yang hanya memerlukan satu percikan kecil saja untuk segera menyambar dan membakar habis mereka berdua.Normalkah ini?"Tenangkan dirimu, Ansia. Ya, Tuhan," bisiknya, entah sudah untuk yang ke berapa kalinya.Sebenarnya, apa yang baru saja terjadi?Di sela-sela waktu sebelum boarding, dia dan Hugo tadi sempat melakukan percintaan singkat.Kamar mandi airport dan waktu empat puluh menit memang sama sekali tidak memadai, tapi bisa dikata lumayan. Setidaknya bagi Ansia, yang berhasil meraih puncak kenikmatan meski hanya sekali."Apakah aku yang memerintahkan Huggie untuk melakukannya?" Ansia terkesiap dan tangannya melayang mendekap mulut. "Ya ampun. Apa sih yang salah dengan diriku?"Rasanya memalukan. Meski pada kenyataannya dia melakukan hal tersebut dengan suaminya sendiri, tapi tetap saja sanggup membuat wajah Ansia
Apakah dirinya hanya sekedar lelucon?Mengangkat dagunya, Ansia berjalan tanpa ada rasa ragu sedikit pun. Dia bukan perempuan yang bisa dipermainkan begitu saja. Pantang baginya untuk hanya diam dan menangis, apabila merasakan sakit hati.Oleh karena itulah, sebenarnya tidak mengherankan saat dia akhirnya bergerak ke seberang ruangan dan langsung berdiri di samping lelaki yang secara hukum sudah sah menjadi suaminya."Huggie, apakah kita sudah bisa ke atas? Aku sudah tidak sabar untuk segera pergi ke kamar kita."Ada penekanan di setiap kata 'kita' yang Ansia ucapkan.Menyibakkan rambut hitam panjangnya yang indah, perempuan itu menyunggingkan senyuman penuh percaya diri, membuat kecantikannya seolah menjadi beratus-ratus kali lipat.Sementara itu, Hugo mengerjap kaget dan memandangnya terpana. Jelas ada tanda tanya besar yang tersirat di wajahnya."Ans, apa yang— Oh!"Meski sempat kehilangan kata-kata selama sesaat, tapi untunglah lelaki itu akhirnya tersadar tepat pada waktunya.Sep
Sementara itu, terpisah jarak 4.353 Km dari Maldives. Pada waktu yang sama. Aila baru saja menggeliat dengan kedua tangan terentang ke atas, ketika ada sepasang tangan yang memeluk pinggangnya dengan tiba-tiba. "Kills!" serunya, gagal menyelesaikan kuapnya karena terlalu kaget. "Apa-apaan, sih?" Bukannya merasa bersalah, Killian justru semakin mempererat pelukannya. Dia juga menghadiahi Aila ciuman di leher, bahkan masih sempat untuk menjilatnya sekali. "Kills, apa-apaan, sih?" Wajah Aila terlihat memerah. Dia menyadari pula kalau rasa kantuknya pun sudah hilang menjauh, akibat ulah suaminya tadi. "Ya, Tuhan. Apa bagimu aku ini terlihat seperti es krim? Baru datang sudah langsung main jilat-jilat segala. Ish!" "Mmh ...." Killian bergumam tidak jelas. Lelaki itu menyembunyikan wajah di leher istrinya dengan mata terpejam. "Not an ice cream, Queen, but watermelon sugar." Dahi Aila seketika berkerut mendengarnya. "Semangka tadi, katamu?" tanyanya. "Apa gara-gara aku sedang hamil s
Ada beragam pikiran yang berkecamuk dalam benak Hugo saat ini. Dia sadar bahwa mereka tidak bisa terus-terusan marah dan semua ini harus berhenti. Sebab demi Tuhan, perempuan yang sudah menjadi dia nikahi ini benar-benar sudah menyita semua pikirannya. "Kamu pikir apa yang sedang kamu lakukan, Hugo?" Ansia membentaknya, ketika Hugo masih saja keras kepala dan terus mengejar bahkan sampai ikut masuk ke kamar mandi. "Pergilah. Biarkan aku sendiri dulu." Di atas semua, saat ini Ansia hanya membutuhkan waktu untuk bisa meredakan kembali kemarahannya. Paling tidak dengan begitu dia bisa lebih tenang dan memikirkan lagi segalanya dari awal. Namun tentu saja semua itu tidak bisa dia lakukan, apabila masih ada Hugo di sekitarnya. Bukannya apa-apa, tapi ya, Tuhan. Kehadiran lelaki itu saja sudah cukup membuat sekujur tubuhnya gemetar. Apalagi ditambah dengan aroma parfum Hugo yang khas. Ansia bahkan nyaris tidak bisa berpikir apa-apa, selain mendorong lelaki itu ke atas tempat tidur dan m
Ansia perlahan berguling dan menarik sebuah bantal, lalu memeluknya dengan nyaman. Dia baru saja akan jatuh tertidur, ketika akhirnya ada sebuah aroma yang terasa kuat menariknya keluar dari rasa kantuk."Huggie?" panggilnya, ketika mengulurkan tangan dan tidak mendapati Hugo berada di sisinya. "Huggie, di mana kamu?"Pukul berapa ini? Menyipitkan mata, perempuan itu melihat ke arah jam dinding dan terperanjat. Dia baru saja menyadari berapa lama waktu yang sudah berlalu.Perempuan itu meraih lembar kain pertama yang bisa ditemukan, kemudian meluncur turun dari tempat tidur. Dia baru saja hendak menuju kamar mandi, ketika pada saat yang sama Hugo melangkah keluar dari sana.Ansia seketika mematung."Lihat sesuatu yang kamu suka?" Hugo bertanya dengan nada geli, berhasil membuat wajah istrinya merah padam. "Atau apakah kamu masih menginginkan sesi tambahan, Ans?"Susah payah Ansia menelan ludah. Untungnya, dengan cepat dia berhasil mengembalikan ketenangannya.Oh, ayolah. Jangan terlal
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida