Hari ini, pagi pun datang kembali.
Aila kembali terbangun sendirian di tempat tidurnya dalam kondisi yang sama. Tubuhnya telanjang dan tertutup selimut, sementara bercak merah pun terlihat semakin banyak memenuhi permukaan kulit.
Seperti biasa, perempuan cantik itu bangun lebih siang dari waktu yang biasa. Sekujur tubuhnya terasa pegal, dan Aila pun belajar menyesuaikan diri dengan sengatan nyeri yang dia rasakan di pangkal paha dan juga perut bagian bawahnya.
Terdiam beberapa saat sambil tetap berbaring, perempuan bermata abu itu berusaha mengumpulkan tenaga agar bisa sedikit bergerak.
"Kenapa ... rasanya badanku capek sekali, ya?" gumamnya dengan nada lesu. "Padahal sepertinya jam tidurku sudah bertambah, tapi kenapa rasanya masih begitu lemas?"
Haa ... aneh sekali. Bukankah seharusnya setelah bangun tidur, badan terasa jadi lebih segar? Tapi nyatanya Aila masih saja merasa lemas.
"Silakan masuk," ujarnya, ketika suara ketukan di pintu kam
Malam itu, Killian pulang dengan perasaan marah.Kali ini Erick bahkan tidak sempat memberikan ucapan selamat datang karena sebelum mobil berhenti sempurna pun, lelaki berambut hitam itu sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar."Di mana istriku?" —adalah pertanyaan yang langsung dia lontarkan sambil bergegas memasuki rumah."Apakah ada sesuatu yang terjadi, Tuan Muda?" Erick memburu pertanyaan. Dalam hati lelaki separuh baya itu jelas merasa cemas. Dia khawatir kalau Killian akan berbuat kasar lagi terhadap Aila."Aku bertanya, di mana istriku, Erick?""Mohon jawab pertanyaan saya terlebih dulu, Tuan Muda." Dengan tabah, Erick pun bersikukuh. "Kali ini apa lagi yang akan Anda lakukan terhadap beliau?""Sejak kapan hal itu menjadi urusanmu?" bentak Killian, semakin merasa emosi. "Dia istriku! Terserah aku mau melakukan apa pun terhadapnya, itu h
Di antara angka satu sampai seratus, mungkin tingkat keterkejutan yang Aila alami saat ini sudah menembus angka seribu."Ap— apa, yang—""Tunggu, tunggu dulu." Bagai tersengat listrik, Hugo pun langsung meloncat dari tempat tidur dan menjauh dari Aila. "Tolong jangan salah paham. Aku— maksudnya, saya— saya kira tadi Anda adalah orang lain."Sepasang alis Aila mencuram.Salah paham? Salah paham yang bagaimana? Lagi pula, apa maksudnya dengan orang lain? Memang, siapa sebenarnya yang tadi Hugo kira?Sebuah pemikiran nyaris saja menyapa benak Aila, ketika pintu kamar kembali terbuka dan muncul dari baliknya adalah Ansia yang datang sambil membawa satu nampan penuh berisi makanan ringan dan minuman."Kak, lihat apa yang sekarang aku bawa buat Ka—" Ansia langsung terdiam. Menatap bergantian antara Aila dan Hugo, lalu seakan tanpa dosa
Lima belas menit sebelumnya.Lagi-lagi Charlotte meninggalkan tempat kerjanya.Bukan hal yang mengagetkan sebenarnya, sebab sejak awal mulai bekerja di Ardhana Corporation pun putri keluarga Harron itu tidak pernah bisa betah untuk tetap berada terlalu lama di tempat kerjanya yang berbentuk kubikel.Selalu ada saja yang menjadi alasan. Kali ini, Charlotte memasang aksen seolah sedang sakit perut sehingga dia harus bolak-balik pergi ke kamar mandi."Kalau memang tidak enak badan, silakan pulang saja," ujar atasannya, ketika untuk yang kelima kali dalam tiga puluh menit terakhir Charlotte mengatakan kalau dia perlu keluar ruangan. "Daripada kamu bolak-balik seperti ini, malah mengganggu yang lain. Lagi pula, bagaimana dengan revisi dokumen yang aku minta untuk kamu kerjakan? Ini sudah hari kelima jadi, jangan katakan kalau kamu masih belum juga selesai mengerjakannya."Oh, God! And
"Selamat siang, Nona Harron," sapa Aila dengan nada dingin. Wajahnya yang selalu terlihat ramah kini terlihat sedikit kaku, meski telah dihiasi oleh segaris senyuman. "Apa kabar? Ada keperluan apa sampai Anda berkunjung ke sini?""Wah! Bisakah seorang Aila Roxanne bersikap sedikit saja lebih ramah untuk menyambut tamunya?" balas Charlotte Harron, menyunggingkan senyumannya dengan penuh percaya diri. "Jadi, begini rupanya standar keluarga sekelas Roxanne. Rendah sekali!""Ada yang salah dengan ucapan Anda barusan." Berusaha tetap bersikap tenang, Aila diam-diam meremas roknya. "Saya sekarang adalah Aila Ardhana, istri dari Killian Ardhana Putra. Jadi, bisakah saya menerima jawaban, untuk apa putri dari keluarga Harron tiba-tiba datang berkunjung ke kediaman saya?"Charlotte terkekeh menjengkelkan menimpali. "Memang, apa salahnya? Aku hanya ingin melihat kediaman yang akan segera aku tempati. Saat ini aku mungkin masih men
"Kenapa Anda pergi?" Erick bertanya kepada seseorang yang kini malah memilih untuk berdiam diri. "Sampai kapan Anda akan bersikap kekanakan seperti ini?""Diam, Erick!""Saya sudah cukup berdiam diri," bantahnya. "Dan saya tidak bisa lagi bersikap seperti itu.""Ini bukan urusanmu.""Memang bukan urusan saya, tapi bagaimana lagi kalau orang yang bersangkutan malah memutuskan untuk melarikan diri seperti seorang pengecut."Ada suara keras yang terdengar ketika Killian menggebrak kuat-kuat meja kerjanya, tapi, lelaki separuh baya itu tidak terlihat gentar sedikit pun. Erick tetap berdiri di tempatnya semula dan memandang lurus-lurus lelaki muda yang saat ini tengah ditemuinya.Tadi Erick memang nekat memutuskan untuk menemui Killian dan demi niatnya kepala pengawal keluarga Ardhana itu bahkan sampai harus menumbangkan dua orang penjaga yang bertugas di depan li
Sementara itu, di Ardhana Corporation"Eh? Apa? Nyonya Muda tadi sempat datang ke sini?""Iya.""Ah, kenapa Anda tidak memberi tahu saya, Nyonya Alda?" tanya Ashin dengan nada mengerang. "Padahal saya ingin sekali bertemu dengan beliau."Alda yang saat ini sedang menikmati secangkir teh hijau yang masih mengepulkan uap, mengerutkan dahi dan memandang heran rekan juniornya tersebut."Memangnya, kenapa aku harus memberi tahumu, Ashin?" tanyanya sembari perlahan menyesap teh yang sudah kini sudah cukup hangat. "Beliau datang ke sini karena ingin menemui Tuan Muda, bukan untuk menemuimu."Menggerutu panjang, Ashin bergumam sendiri dan membuat Alda memutar bola mata."Lagi pula," ujar perempuan berusia baya itu lagi. "Beliau tidak terlalu lama berada di sini karena langsung menyusul Tuan Muda ke area parkiran mobil, kok. Ah, kalau teringat soa
Satu jam kemudian, di kediaman utama keluarga Ardhana.Killian sedang menuruni anak tangga dengan bersemangat karena hendak berangkat ke kediaman Roxanne, ketika suara bernada ceria itu terdengar."Kakak! Lihat, apa yang aku bawakan untukmu."Ansia Roxanne berseru dengan senyuman yang begitu lebar. Perempuan cantik berambut hitam itu berlari-lari, terlihat ceria ketika memasuki ruang utama kediaman Ardhana.Sementara itu yang mengikuti di belakangnya adalah Hugo. Lelaki itu membawa sebuah kotak berukuran cukup besar, sambil memasang ekspresi ragu seolah merasa tidak yakin, apakah dia boleh berada di sini atau tidak?"Mango mousse cheese cake," lanjut Ansia lagi, terlihat begitu riang dan bersemangat. "Cake kesukaan kakak, lho!""Apa yang kamu lakukan di sini, Ans?" tanya Killian, terbelah antara rasa heran karena kedatangan Ansia yang tiba-tiba, dan juga rasa kesal ketika menyadari kehadiran Hugo."Sedang apa si berengsek itu di sini?
"Bagaimana ini, Hugie? Bagaimana kalau aku tidak bisa menemukan Kakakku?""Tenanglah, Ans. Kita coba mencarinya dulu, ya. Aku juga akan meminta agar orang-orang dari keluarga Harron untuk membantu.""Jangan!" Ansia seketika melarang. "Aku tidak ingin masalah ini tersebar dulu, Huge. Aku khawatir kalau nanti posisi Kakak akan semakin sulit."Menggenggam tangan Ansia dan tersenyum, Hugo mencoba menenangkan perempuan cantik yang sejak tadi begitu gelisah itu.Ah, kalau saja keadaan mereka tidak segenting ini, mungkin dia akan merasa lucu.Hugo memang belum terlalu lama mengenal Ansia, tapi sepanjang yang dia tahu perempuan cantik berambut hitam itu selalu terkesan begitu keras kepala dan sangat percaya diri mengenai apa pun.Namun lihat, sekarang Ansia malah terlihat serapuh ini."Tenanglah," ujarnya, meremas tangan Ansia. "Mereka orang-oran