"Selamat siang, Nona Harron," sapa Aila dengan nada dingin. Wajahnya yang selalu terlihat ramah kini terlihat sedikit kaku, meski telah dihiasi oleh segaris senyuman. "Apa kabar? Ada keperluan apa sampai Anda berkunjung ke sini?"
"Wah! Bisakah seorang Aila Roxanne bersikap sedikit saja lebih ramah untuk menyambut tamunya?" balas Charlotte Harron, menyunggingkan senyumannya dengan penuh percaya diri. "Jadi, begini rupanya standar keluarga sekelas Roxanne. Rendah sekali!"
"Ada yang salah dengan ucapan Anda barusan." Berusaha tetap bersikap tenang, Aila diam-diam meremas roknya. "Saya sekarang adalah Aila Ardhana, istri dari Killian Ardhana Putra. Jadi, bisakah saya menerima jawaban, untuk apa putri dari keluarga Harron tiba-tiba datang berkunjung ke kediaman saya?"
Charlotte terkekeh menjengkelkan menimpali. "Memang, apa salahnya? Aku hanya ingin melihat kediaman yang akan segera aku tempati. Saat ini aku mungkin masih men
"Kenapa Anda pergi?" Erick bertanya kepada seseorang yang kini malah memilih untuk berdiam diri. "Sampai kapan Anda akan bersikap kekanakan seperti ini?""Diam, Erick!""Saya sudah cukup berdiam diri," bantahnya. "Dan saya tidak bisa lagi bersikap seperti itu.""Ini bukan urusanmu.""Memang bukan urusan saya, tapi bagaimana lagi kalau orang yang bersangkutan malah memutuskan untuk melarikan diri seperti seorang pengecut."Ada suara keras yang terdengar ketika Killian menggebrak kuat-kuat meja kerjanya, tapi, lelaki separuh baya itu tidak terlihat gentar sedikit pun. Erick tetap berdiri di tempatnya semula dan memandang lurus-lurus lelaki muda yang saat ini tengah ditemuinya.Tadi Erick memang nekat memutuskan untuk menemui Killian dan demi niatnya kepala pengawal keluarga Ardhana itu bahkan sampai harus menumbangkan dua orang penjaga yang bertugas di depan li
Sementara itu, di Ardhana Corporation"Eh? Apa? Nyonya Muda tadi sempat datang ke sini?""Iya.""Ah, kenapa Anda tidak memberi tahu saya, Nyonya Alda?" tanya Ashin dengan nada mengerang. "Padahal saya ingin sekali bertemu dengan beliau."Alda yang saat ini sedang menikmati secangkir teh hijau yang masih mengepulkan uap, mengerutkan dahi dan memandang heran rekan juniornya tersebut."Memangnya, kenapa aku harus memberi tahumu, Ashin?" tanyanya sembari perlahan menyesap teh yang sudah kini sudah cukup hangat. "Beliau datang ke sini karena ingin menemui Tuan Muda, bukan untuk menemuimu."Menggerutu panjang, Ashin bergumam sendiri dan membuat Alda memutar bola mata."Lagi pula," ujar perempuan berusia baya itu lagi. "Beliau tidak terlalu lama berada di sini karena langsung menyusul Tuan Muda ke area parkiran mobil, kok. Ah, kalau teringat soa
Satu jam kemudian, di kediaman utama keluarga Ardhana.Killian sedang menuruni anak tangga dengan bersemangat karena hendak berangkat ke kediaman Roxanne, ketika suara bernada ceria itu terdengar."Kakak! Lihat, apa yang aku bawakan untukmu."Ansia Roxanne berseru dengan senyuman yang begitu lebar. Perempuan cantik berambut hitam itu berlari-lari, terlihat ceria ketika memasuki ruang utama kediaman Ardhana.Sementara itu yang mengikuti di belakangnya adalah Hugo. Lelaki itu membawa sebuah kotak berukuran cukup besar, sambil memasang ekspresi ragu seolah merasa tidak yakin, apakah dia boleh berada di sini atau tidak?"Mango mousse cheese cake," lanjut Ansia lagi, terlihat begitu riang dan bersemangat. "Cake kesukaan kakak, lho!""Apa yang kamu lakukan di sini, Ans?" tanya Killian, terbelah antara rasa heran karena kedatangan Ansia yang tiba-tiba, dan juga rasa kesal ketika menyadari kehadiran Hugo."Sedang apa si berengsek itu di sini?
"Bagaimana ini, Hugie? Bagaimana kalau aku tidak bisa menemukan Kakakku?""Tenanglah, Ans. Kita coba mencarinya dulu, ya. Aku juga akan meminta agar orang-orang dari keluarga Harron untuk membantu.""Jangan!" Ansia seketika melarang. "Aku tidak ingin masalah ini tersebar dulu, Huge. Aku khawatir kalau nanti posisi Kakak akan semakin sulit."Menggenggam tangan Ansia dan tersenyum, Hugo mencoba menenangkan perempuan cantik yang sejak tadi begitu gelisah itu.Ah, kalau saja keadaan mereka tidak segenting ini, mungkin dia akan merasa lucu.Hugo memang belum terlalu lama mengenal Ansia, tapi sepanjang yang dia tahu perempuan cantik berambut hitam itu selalu terkesan begitu keras kepala dan sangat percaya diri mengenai apa pun.Namun lihat, sekarang Ansia malah terlihat serapuh ini."Tenanglah," ujarnya, meremas tangan Ansia. "Mereka orang-oran
"Kills ....""Hm?""Apa kamu tahu cerita soal serigala dan bulan?"Killian mengerutkan dahi, menatap sang istri yang saat ini berbaring di dalam pelukannya."Entahlah," jawabnya, sambil mengelus lembut pipi Aila dan memainkan daun telinga perempuan cantik itu. "Kenapa kamu tiba-tiba bicara soal itu?""Aku penasaran saja." Aila menyingkirkan tangan Killian dari telinganya karena merasa geli. "Kenapa serigala sering kali melolong ke arah bulan?""Lalu?""Lalu, aku menemukan beberapa mitos dan ini salah satunya."Killian tersenyum. Pembicaraan semacam ini sebenarnya bukanlah hal yang penting baginya dan hanya membuang waktuKalau dulu sewaktu Killian masih sering melewatkan malam bersama para perempuan yang bahkan tidak semuanya bisa diingat, dia pasti akan bersikap masa bodoh dan tidak peduli, tapi
Lima hari sudah berlalu sejak saat Killian menyadari bahwa istrinya menghilang.Lima hari tersebut nyaris seluruh pengawal keluarga Ardhana dikerahkan untuk mencari keberadaan perempuan cantik bermata abu itu.Dalam lima hari ini pulalah seluruh staf yang bekerja di kediaman utama keluarga Ardhana sangat berharap agar Nyonya Muda mereka segera pulang, sebab selama lima hari itu mereka seakan terus menerus harus bertaruh dengan maut."Bagaimana ini? Siapa yang akan mengantarkan makan siang untuk Tuan Muda?""Apa maksudmu? Tadi pagi aku sudah berkorban untuk mengantarkan sarapan untuk beliau. Jadi, sekarang giliranmu.""Oh, ayolah! Usiaku masih begitu muda dan aku belum ingin mati."Perseteruan kedua orang pelayan wanita itu mungkin akan terus berlangsung lama dan panjang, sampai kemudian Erick datang.Berdeham, lelaki separuh baya itu mengambil alih nampan yang berisi penuh makanan dan mendapatkan banyak ucapan terima kasih."Pe
"Apakah aku boleh meminjam salah satu mobil kalian?""Apakah kamu yakin akan berkendara sendiri? Bagaimana kalau aku menghubungi Kak Aiden agar segera pulang dan dia bisa mengantarmu?"Aila tersenyum menanggapi. "Jangan khawatir," balasnya kepada Aisa melalui bahasa isyarat. "Aku bisa kok. Lagi pula Aiden juga sedang bekerja di rumah sakitnya 'kan? Aku tidak enak kalau harus mengganggunya."Aisa tidak sanggup menjawab. Jelas sekali kalau dia tidak bisa menahan Aila yang sekarang terlihat begitu bersemangat.Ini ... aneh, bisiknya di dalam hati.Hari ini setelah berhari-hari yang terasa muram, akhirnya perempuan cantik bermata abu itu bisa kembali ceria. Jadi, bukankah seharusnya Aisa juga merasa senang? Bukankah dia juga seharusnya merasa lega karena masalah antara Aila dan Killian akan segera selesai?Seharusnya begitu, sih, tapi entah mengapa perasaannya te
Perasaan Killian benar-benar buruk. Tidak hanya merasa kesal terhadap dirinya sendiri dan marah atas segala ulah Charlotte, tapi entah mengapa sejak tadi dia juga menyadari adanya rasa gelisah yang semakin membelenggu dan membelit. Testpack itu .... God! Kenapa pikiran Killian terus saja mengarah ke benda kecil yang tidak berguna semacam itu, sih? Saat ini seakan ada bagian dari dirinya yang begitu ingin kembali dan berlari demi mengambil testpack tersebut dari tempat sampah. Seolah-olah benda murahan itu adalah salah satu hartanya yang paling berharga, meski entah apa alasannya. "Hell, no! Aneh-aneh saja aku ini. Damn!" Sambil memaki, lelaki itu pun bergegas memasuki sedan mewahnya dan bahkan membanting pintu mobil dengan begitu kasar. "Antarkan aku pulang!" lanjut Killian, memberi perintah kepada salah satu anggota pengawal keluarga Ardhana yang kali ini merangkap pul
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida