Satu jam sebelumnya.
"Apa tadi yang Kakak katakan? Selingkuh? Siapa? Maksudnya Kakak yang berselingkuh, begitukah?"
Ansia mendengus tidak percaya, lantas tertawa kecil seolah hal yang baru saja Aila beri tahukan hanyalah sebuah kekonyolan semata.
"Oh! Ya, ampun, Kak. Rasanya aku akan lebih mudah percaya bahwa memang ada kelinci yang hidup di bulan, bila harus dibandingkan dengan ucapan Kakak tadi," lanjutnya.
"Aku serius, Sia," eyel Aila, yang kali ini semakin cemberut saja karena melihat tanggapan adik kembarnya itu. "Nyatanya, aku sempat memikirkan lelaki lain selain Kills."
"Lalu?"
"Ya?"
"Apa lagi?"
"Apa maks—"
"Selain memikirkan lelaki lain yang entah siapa itu." Memotong ucapan Aila dengan nada tidak sabar, perempuan cantik berambut hitam panjang itu menahan diri agar tidak memutar mata
Aila sedang duduk di tepi tempat tidurnya.Tidak ada yang perempuan cantik itu lakukan, selain merenung dan memainkan kedua tangannya dengan gelisah. Entah berapa jam sudah dia mengurung diri di dalam kamar tidur.Sudah beberapa kali Aila menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat. Raut wajahnya terlihat muram, dan dalam hati pun dia merasa tidak tenang.Sebentar lagi Killian pulang.Suara detik jam dinding, entah mengapa kali ini begitu nyaring menyapa pendengaran, membuat Aila bisa menghitung waktu bahkan tanpa perlu untuk melihatnya langsung.Kenapa suasana sekarang terasa begitu hening? Seolah situasi tenang yang terjadi sebelum adanya badai, memberi perasaan yang begitu tidak nyaman dalam hati Aila."Bagaimana ini?" gumamnya sembari menggigit bibir. "Bagaimana nanti saat aku harus menghadapi Kills? Aku harus bersikap seperti apa?"
Sebenarnya tidak ada yang berlebihan dalam foto dan video berdurasi singkat yang Killian terima.Di dalam foto tersebut, hanya memperlihatkan Aila yang tengah berdiri berdekatan dengan satu tangan yang berada di atas dada seorang lelaki. Sementara video dengan durasi tidak lebih dari tiga puluh detik yang menyertainya, menampakkan kedua orang itu sedang mengobrol dengan sikap yang begitu akrab seolah mereka berdua telah saling mengerti. Bahkan saking akrabnya, lelaki itu pun sempat mencengkeram kedua lengan istrinya.Hanya itu. Tidak lebih.Tidak ada adegan pelukan, ciuman, atau hal romantis lain mereka lakukan. Sungguh, sedikit pun tidak ada.Namun hal tersebut ternyata sudah cukup membuat Killian merasakan tusukan menyakitkan tepat di dadanya.Lagi pula, di dalam kepala lelaki tampan itu kini berkecamuk berbagai macam pertanyaan. Terutama, karena lelaki yang bersama dengan Aila
Aila terbangun keesokan pagi harinya.Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini dia bangun sendirian saja. Biasanya selalu ada Killian yang tidur disamping dan memeluknya.Semisal kalau lelaki itu bangun terlebih dulu pun, suaminya tersebut selalu menunggu sampai dia bangun untuk mencium dahi Aila, lalu mengucapkan selamat pagi disertai dengan senyuman hangat.Namun ternyata, pagi hari ini dia tidak lagi mendapatkan itu semua."Tubuhku rasanya ... sakit semua."Masih merasakan pegal dan nyeri di sekujur tubuh, meski setelah beberapa saat berlalu pun perempuan cantik itu masih terus berbaring diam.Sekedar mengangkat satu tangannya saja sudah terasa begitu berat, apalagi kalau Aila ingin beranjak bangun?"Sak—kit," keluhnya, ketika mencoba sedikit bergerak dan langsung saja merasakan sengatan nyeri di bagian intimnya. "Aduh!"
Hari ini, pagi pun datang kembali.Aila kembali terbangun sendirian di tempat tidurnya dalam kondisi yang sama. Tubuhnya telanjang dan tertutup selimut, sementara bercak merah pun terlihat semakin banyak memenuhi permukaan kulit.Seperti biasa, perempuan cantik itu bangun lebih siang dari waktu yang biasa. Sekujur tubuhnya terasa pegal, dan Aila pun belajar menyesuaikan diri dengan sengatan nyeri yang dia rasakan di pangkal paha dan juga perut bagian bawahnya.Terdiam beberapa saat sambil tetap berbaring, perempuan bermata abu itu berusaha mengumpulkan tenaga agar bisa sedikit bergerak."Kenapa ... rasanya badanku capek sekali, ya?" gumamnya dengan nada lesu. "Padahal sepertinya jam tidurku sudah bertambah, tapi kenapa rasanya masih begitu lemas?"Haa ... aneh sekali. Bukankah seharusnya setelah bangun tidur, badan terasa jadi lebih segar? Tapi nyatanya Aila masih saja merasa lemas."Silakan masuk," ujarnya, ketika suara ketukan di pintu kam
Malam itu, Killian pulang dengan perasaan marah.Kali ini Erick bahkan tidak sempat memberikan ucapan selamat datang karena sebelum mobil berhenti sempurna pun, lelaki berambut hitam itu sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar."Di mana istriku?" —adalah pertanyaan yang langsung dia lontarkan sambil bergegas memasuki rumah."Apakah ada sesuatu yang terjadi, Tuan Muda?" Erick memburu pertanyaan. Dalam hati lelaki separuh baya itu jelas merasa cemas. Dia khawatir kalau Killian akan berbuat kasar lagi terhadap Aila."Aku bertanya, di mana istriku, Erick?""Mohon jawab pertanyaan saya terlebih dulu, Tuan Muda." Dengan tabah, Erick pun bersikukuh. "Kali ini apa lagi yang akan Anda lakukan terhadap beliau?""Sejak kapan hal itu menjadi urusanmu?" bentak Killian, semakin merasa emosi. "Dia istriku! Terserah aku mau melakukan apa pun terhadapnya, itu h
Di antara angka satu sampai seratus, mungkin tingkat keterkejutan yang Aila alami saat ini sudah menembus angka seribu."Ap— apa, yang—""Tunggu, tunggu dulu." Bagai tersengat listrik, Hugo pun langsung meloncat dari tempat tidur dan menjauh dari Aila. "Tolong jangan salah paham. Aku— maksudnya, saya— saya kira tadi Anda adalah orang lain."Sepasang alis Aila mencuram.Salah paham? Salah paham yang bagaimana? Lagi pula, apa maksudnya dengan orang lain? Memang, siapa sebenarnya yang tadi Hugo kira?Sebuah pemikiran nyaris saja menyapa benak Aila, ketika pintu kamar kembali terbuka dan muncul dari baliknya adalah Ansia yang datang sambil membawa satu nampan penuh berisi makanan ringan dan minuman."Kak, lihat apa yang sekarang aku bawa buat Ka—" Ansia langsung terdiam. Menatap bergantian antara Aila dan Hugo, lalu seakan tanpa dosa
Lima belas menit sebelumnya.Lagi-lagi Charlotte meninggalkan tempat kerjanya.Bukan hal yang mengagetkan sebenarnya, sebab sejak awal mulai bekerja di Ardhana Corporation pun putri keluarga Harron itu tidak pernah bisa betah untuk tetap berada terlalu lama di tempat kerjanya yang berbentuk kubikel.Selalu ada saja yang menjadi alasan. Kali ini, Charlotte memasang aksen seolah sedang sakit perut sehingga dia harus bolak-balik pergi ke kamar mandi."Kalau memang tidak enak badan, silakan pulang saja," ujar atasannya, ketika untuk yang kelima kali dalam tiga puluh menit terakhir Charlotte mengatakan kalau dia perlu keluar ruangan. "Daripada kamu bolak-balik seperti ini, malah mengganggu yang lain. Lagi pula, bagaimana dengan revisi dokumen yang aku minta untuk kamu kerjakan? Ini sudah hari kelima jadi, jangan katakan kalau kamu masih belum juga selesai mengerjakannya."Oh, God! And
"Selamat siang, Nona Harron," sapa Aila dengan nada dingin. Wajahnya yang selalu terlihat ramah kini terlihat sedikit kaku, meski telah dihiasi oleh segaris senyuman. "Apa kabar? Ada keperluan apa sampai Anda berkunjung ke sini?""Wah! Bisakah seorang Aila Roxanne bersikap sedikit saja lebih ramah untuk menyambut tamunya?" balas Charlotte Harron, menyunggingkan senyumannya dengan penuh percaya diri. "Jadi, begini rupanya standar keluarga sekelas Roxanne. Rendah sekali!""Ada yang salah dengan ucapan Anda barusan." Berusaha tetap bersikap tenang, Aila diam-diam meremas roknya. "Saya sekarang adalah Aila Ardhana, istri dari Killian Ardhana Putra. Jadi, bisakah saya menerima jawaban, untuk apa putri dari keluarga Harron tiba-tiba datang berkunjung ke kediaman saya?"Charlotte terkekeh menjengkelkan menimpali. "Memang, apa salahnya? Aku hanya ingin melihat kediaman yang akan segera aku tempati. Saat ini aku mungkin masih men