"Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanya Hugo, sembari melirik adik perempuan satu-satunya yang duduk di sebelah.
Saat ini mereka tengah berada dalam penerbangan menuju ke Indonesia, yang tentu saja menggunakan pesawat terbang pribadi keluarga Harron.
"Menurut Kakak, apa? 'Kan, bisa Kakak lihat sendiri kalau aku sedang bermain handphone," jawab Charlotte bahkan tanpa mengalihkan perhatian dari benda pintar berbentuk pipih di tangannya.
"Maksudku bukan itu," ujar Hugo lagi. "Maksudku adalah apa sebenarnya yang kamu lakukan, sampai-sampai ikut campur tangan dengan urusan kasino?"
Terdiam, Charlotte tidak lantas sanggup memberikan jawaban. Namun yang jelas, sikap tenangnya sejak tadi mulai berkurang dengan drastis.
"Apa kamu kira kalau aku tidak akan bisa mengetahui soal itu?" tanya Hugo lagi dengan nada suara yang mulai terdengar dingin. "Apa sebenarnya rencanamu, Lottie?"
"Kuliah?"Killian nyaris saja tidak sanggup mengontrol ekspresi wajahnya ketika Aila mengatakan hal yang sama sekali di luar dugaan.Beruntung, lelaki berambut hitam itu masih sempat memasang sikap tenang dan berusaha terlihat biasa-biasa saja."Queen, apa yang— Maksudku, kamu ingin meneruskan kuliah?" tanyanya lagi dengan susah payah."Masa kuliahku 'kan memang belum selesai, Kills," sahut Aila sedikit cemberut. "Terakhir kali, memang sedang memasuki masa libur kuliah. Itu sewaktu aku harus pulang ke Indonesia karena Ansia kecelakaan, lalu—Oh!"Mengerjap, Aila tidak lagi meneruskan ucapannya.Kelanjutan dari cerita tersebut cukup buruk pada awalnya. Meski kini mereka telah bersama, tetap saja ingatan soal pertemuan pertama mereka dulu bukanlah sebuah kenangan yang menyenangkan."Queen ...." Killian meraih Aila ke dalam pelukan dan memangku istrinya itu. Menundukkan kepala, dia mencium bahu telanjang Aila dan menikma
"Selamat datang, Tuan dan Non—""Minggir!"Kepala staf di kediaman keluarga Harron pun terpaksa menepi ketika Charlotte sudah berjalan masuk dengan langkah mengentak-entak.Ada pertanyaan yang jelas seketika menghinggapi pikiran, tapi dengan tangkas kepala staf tersebut tetap memasang sikap biasa."Selamat datang, Tuan Muda Hugo," sapanya, mengulangi salam yang tadi sempat terpotong.Tidak ada sahutan atau bahkan sekedar anggukan kepala sebagai jawaban atas salam yang dia sampaikan, tapi itu sudah merupakan hal yang biasa.Hugo Alexias Harron memang bukanlah orang yang terbiasa dengan basa-basi."Jerome," panggilnya, sambil tetap berjalan cepat."Ya, Tuan Muda. Silakan," jawab Jerome, bergegas merendengi langkah lebar Hugo."Panggil Estian. Dia juga pasti sedang dalam perjalanan ke sini 'kan
Rasanya Estian ingin mati saja."Jadi, memang Charlotte yang memberikanmu perintah 'kan?"Estian menelan ludah. Hugo memang bicara dengan nada tenang dan tidak membentaknya, tapi bukan berarti dia bisa bernapas dengan lega.Bagaimana tidak, saat ini pandangan lelaki itu seolah hendak menguburnya hidup-hidup."Estian, aku menunjukmu langsung untuk menjadi asisten pribadi adikku karena percaya dengan kemampuanmu," ujar Hugo, membuat Estian bisa merasakan kobaran api tak kasat mata yang bisa diasumsikan sebagai kemarahan yang masih coba dipendam. "Selama ini kamu sangat kompeten, lalu bagaimana bisa kamu tiba-tiba menjadi sebodoh ini?"Menundukkan kepala dan diam-diam menghela napas, saat ini tidak ada yang sanggup Estian ucapkan untuk menyanggah."Perintah Charlotte memang salah," lanjut Hugo, yang meski sedang memberi teguran terhadap Estian, tapi dia juga tet
Brak!Terdengar suara barang yang dilempar dengan kuat, menyusul suara pecahan sesuatu yang lain yang saling bertingkah.Pundak Charlotte naik turun dengan cepat, sementara napasnya pun terengah. Kamar tidur mewah yang seluas 15 m² itu pun kini sudah kembali berantakan, padahal masih belum lama berselang sejak terakhir kali dirapikan.Sprei berwarna merah muda yang semula rapi terpasang, sekarang teronggok tidak karuan, beserta bantal dan gulingnya yang tergeletak di lantai yang beralaskan karpet bulu dengan warna senada.Kursi yang biasa diduduki saat berias pun terguling, dan seluruh isi mejanya berserak. Botol parfum pecah, serbuk bedak betaburan, dan beraneka macam alat make up mahal dan bermerk lain yang jelas sudah tidak dapat digunakan lagi."Memangnya, kenapa?" teriak Charlotte, menatap kesal tumpukan barang rusak yang berserak akibat ulahnya sendiri. "Memangnya kena
"Aila!"Ada banyak seruan bernada kegembiraan ketika Aila baru saja melangkah memasuki ruang pameran. Belum sempat balas menyapa, perempuan bermata abu itu sudah kewalahan mendapatkan pelukan dari beberapa orang sekaligus."It's been a long time!"*(*Sudah lama sekali)"Oh, gosh! We miss you so so much, Aila!"**(**Kami sangat merindukanmu)"You look even cuter, My Honey Bunny Sweetie."***(Kamu bahkan terlihat semakin manis)Aila hanya bisa pasrah ketika kedua pipinya dicubit, digilir dari satu pelukan ke pelukan lain, dan ketika dia akhirnya memiliki kesempatan untuk menyapa salah satu dosen dari Adelaide University yang juga ikut datang ke acara pameran kali ini, penampilannya sudah jauh dari kata rapi."Good afternoon, Stella," sapanya kepada sang dosen, seorang perempuan single berusia sekitar tiga puluh lima tahunan. "How are you? Sorry, I'm late."****(****Selamat siang. Bagaimana kabarmu? Maaf, aku ter
"Apa Anda yakin kalau Anda ingin pergi ke sana, Tuan Muda?"Melirik dari kaca tengah mobil, Jerome bertanya kepada Hugo yang duduk di bangku belakang."Tentu saja, Jerome. Kalau saja pembicaraan dengan pihak Maitra Graphica tadi tidak memakan terlalu banyak waktu, seharusnya aku sudah berada di sana sejak tadi."Jerome terlihat seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi nyatanya urung sebab tidak ada suara yang kemudian terdengar. Selama sisa perjalanan yang ada pun, akhirnya dihabiskan oleh kedua orang itu dalam keheningan.Sejujurnya dia sudah tidak sanggup lagi menahan rasa heran.Selama beberapa tahun menjabat sebagai asisten pribadi Hugo, baru kali inilah Jerome melihat lelaki itu merasa tertarik terhadap hal lain di luar pekerjaan."Lagi pula, sebenarnya apa tujuan Tuan Muda, sampai-sampai beliau rela membuang waktunya yang berharga seperti ini?" gum
Apakah dia salah lihat?Kerjap. Kerjap. Hugo mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan penglihatannya.Ah, tidak. Itu ... sepertinya memang 'dia'. Tapi, benarkah? Atau jangan-jangan Hugo memang salah lihat?Tidak mempercayai dirinya sendiri, lelaki itu bahkan mengeluarkan handphone dan membuka menu galeri, hendak melihat salah satu foto yang tersimpan di sana.Hal yang tidak perlu sebenarnya, sebab Hugo bahkan bisa mengenalinya dengan kedua mata terpejam. Selama berhari-hari ini tidurnya selalu dihiasi oleh mimpi yang sama, dan ketenangannya pun terusik."Ketemu," bisiknya, nyaris tertawa. Hugo bahkan menghela napas berat saking leganya. "Aku kira tidak mungkin, tapi ternyata kami bisa bertemu."Sepasang irisnya yang berwarna merah memaku pandangan ke sosok seseorang yang kini tengah terbaring di atas sofa sederhana yang
"Jerome?"Sepasang alis Hugo seketika mencuram. Dia merasa heran karena asisten pribadinya itu tiba-tiba saja tidak melanjutkan ucapan di sambungan telepon mereka."Apa-apaan dia ini?" gerutunya. "Tidak sopan sama sekali."Hugo sudah nyaris mengakhiri sepihak sambungan telepon, ketika dia mendengarkan ada suara lain yang sepertinya tengah berbicara dengan Jerome.Memangnya, asisten pribadinya itu tengah berbicara dengan siapa?Entah mengapa tiba-tiba saja Hugo merasakan firasat yang tidak enak. Tanpa membuang waktu, dia lantas bergegas menuju luar gedung.Namun ketika sampai di persimpangan koridor, lelaki itu sempat berhenti dan ragu sesaat.Apakah nanti dia akan bisa bertemu lagi dengan perempuan itu kalau dia pergi sekarang?Tanpa sadar Hugo bahkan sudah setengah memutar langkah, hendak berbalik ke arah ruang
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida