Keesokan paginya.
Aila mengerang dalam tidurnya. Perempuan berambut coklat itu sesaat menggeliat sebelum akhirnya membuka mata.Ada beberapa saat yang dia habiskan untuk memastikan penglihatan, merasa heran dengan tempat di mana dia berada, membuat sepasang alisnya pun bertaut.Bukankah seharusnya dia berada di dalam kamar tidurnya? Lalu, ini di mana?Meski masih belum melihat ke sekeliling pun, Aila bisa menyadari betapa mewah tempatnya berada sekarang. Sebagai misal, kasur super empuk dan super nyaman tempatnya tidur sekarang ini."Kills?" panggilnya dengan suara serak, khas bangun tidur. "Kills, kamu di man- Akh!"Aila baru saja sedikit mengangkat tubuh hendak bangun, ketika kepalanya mendadak terasa sakit. Rasanya seolah ada sesuatu yang sangat kuat mencengkeram, membuat perempuan bermata abu itu merasa berat dan mual. Meringis dan berdesis nyeri, dia pelan-pelan berusaha untuk duduk sambil memijit pelan pelipisnya.Ini ... kenapa?"Kiska?Pukul 11:45 pmBandara Udara Internasional Adelaide1 James Schofield Dr, Adelaide AustraliaSebuah mobil Bugatti La Voiture berwarna hitam meluncur masuk ke jalur runway bandara dan berhenti persis di dekat sebuah pesawat jet.Beberapa pria dengan setelan jas yang semula berdiri di sekitar pesawat pun segera memasang postur badan yang lebih tegak, dan ketika sang pengendara membuka pintu bagian pengemudi lalu keluar dari mobil, secara serentak mereka pun menundukkan kepala untuk menghormat."Selamat malam, Tuan Muda," sapa seorang lelaki dengan setelan jas yang seragam dengan yang lain dan memiliki rambut berwarna merah, Ethan Shaw. "Semua sudah kami siapkan, sesuai dengan permintaan Tuan Muda."Sebelah alis lawan bicaranya terangkat, dan dengan tanggap, Ethan menjawab pertanyaan yang dilontarkan dalam diam itu."Saya sendiri yang sudah memastikan ulang semuanya, Tuan Muda. Mansion baru untuk Nyonya Muda sudah siap, Nyonya Lewis sudah dirawa
"Jangan memandangku seperti itu," sergah Ansia sambil mendengus kesal. "Lalu jangan pula bertanya padaku. Tanyakan saja pada lelaki tua yang sejak tadi kerjanya hanya marah-marah melulu itu. Dia juga yang sudah memaksa aku untuk datang.""Nona Muda, sudah berapa kali saya ingatkan agar Anda bisa bersikap lebih sopan terhadap beliau?" potong, Rafael, seorang pria yang terlihat seumuran dengan Erik. Pria yang tidak lain adalah asisten pribadi Gallahan itu pun menatap Ansia dengan ekspresi wajah yang jelas menunjukkan rasa tidak suka."Dan berapa kali pula sudah kukatakan, bahwa namaku adalah Ansia, bukan 'Nona Muda'?" balas Ansia dengan nada yang tidak kalah kesalnya. "Lagi pula, nggak perlu memanggilku 'Nona Muda'. Panggilan semacam itu, kedengarannya kuno sekali. Ck!"Pria separuh baya itu sudah membuka mulut, berniat untuk membalas omongan pedas Ansia, ketika Gallahan mengangkat sebelah tangan dan membuatnya langsung terdiam."Ian," panggilnya, membuat Killian yang seja
"Haa .... Sial sekali." Menengadahkan kepala dan menyergah napas, Killian pun menggerutu. Menggertakkan rahangnya, lelaki bersurai hitam itu sama sekali tidak mengira kalau dia harus keluar dari kediaman Ardhana dengan berjalan kaki seperti ini. Arah dari pelataran depan sampai ke gerbang keluar bukanlah jarak yang cukup dekat. Jangankan dengan berjalan kaki, saat menaiki mobil saja setidaknya masih membutuhkan waktu lebih dari lima menit untuk bisa melewati halaman depan kediaman utama keluarga Ardhana yang luas ini. "Lalu, sekarang aku malah harus jalan kaki," Killian mendengus kesal. "What a perfect damn!" "Si Pak Tua itu ... dia memang benar-benar menyebalkan." Sambil berjalan, Killian pun meneruskan lagi gerutuannya. "Setelah sekian tahun dia enak-enakan menghabiskan waktu untuk berkeliling dunia, bersenang-senang dengan dalih ingin melupakan kesedihan akibat kematian Nenek. Sementara itu, bagaimana denganku?" Berbalik dan memandang
"Silakan masuk, Tuan Muda."Erik segera membukakan pintu rumahnya untuk Killian. Lelaki tampan bersurai hitam itu sesaat berdiri diam, mengedarkan pandangan ke bagian dalam rumah yang tidak terlalu luas, tapi apik itu. "Maaf atas kesederhanaan di rumah saya ini, Tuan Muda," ujar Erik lagi, segera berjalan ke arah dapur yang berdampingan dengan ruang tamu dengan konsep open kitchen tersebut. "Anda ingin minum apa? Biar saya buatkan."Berdeham, untuk beberapa saat Killian masih belum menemukan kata-kata yang bisa dia ucapkan. "Nggak perlu repot-repot, Erik. Dan jangan terlalu sungkan karena di sini akulah yang menumpang.""Jangan berkata seperti itu, Tuan Muda. Silakan anggap rumah ini sebagai rumah Tuan Muda sendiri," sahut Erik, yang akhirnya memutuskan untuk membuatkan Killian segelas jus jeruk dingin."Kamu tinggal sendirian di sini, Erik?" tanya Killian sambil mengelilingi ruang tamu dan mengamati semua benda yang ada di sana. Perhatiannya kemudian terta
Suara robekan kain bergema di tengah keheningan.Lelaki itu menarik pinggul perempuan muda di depannya dengan kasar, dia mengangkatnya ke atas meja kerja yang sudah berantakan dan merentangkan kaki sang perempuan muda di depannya.Suara erangan tidak dapat dicegah untuk keluar dari sepasang bibir yang semerah buah ceri ketika jemari sang lelaki meluncur di antara kedua kaki dan mendesak masuk ke dalam dirinya. "Ngh! Ngh! Ngh!" erang sang perempuan muda yang sebenarnya baru akan beranjak sembilan belas tahun itu. Kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri secara tidak beraturan, bukan karena menolak perbuatan sang lelaki, tapi karena gelombang kenikmatan yang dia rasakan.Kepalanya terkulai ke samping sementara perempuan muda itu menyangga tubuhnya dengan kedua siku, merasakan ledakan gairah yang semakin mendekat dengan cepat.Ada rintihan protes yang terdengar kala sang lelaki justru berhenti bergerak dan menarik jemarinya. Rasanya sangat membuat frustasi ke
Killian tidak menyangka bahwa akan ada banyak kejutan yang akan dia terima hari ini.Kejutan pertama dia terima ketika tiba di kediaman keluarga Reynault.Ini masih pukul tujuh pagi, waktu yang terlalu pagi untuk datang berkunjung ke kediaman seseorang, tapi Killian tidak peduli. Toh, baginya Aiden bukan orang lain. Hubungan mereka akhir-akhir ini memang sempat renggang dan memburuk, tapi bagaimana pun juga mereka sudah tumbuh bersama sejak kecil.Oleh karena itulah, pagi ini bahkan saat si penjaga gerbang pun masih terlihat begitu mengantuk, Killian dengan cuek masuk begitu saja. Pintu rumah sudah dipastikan terkunci, tapi itu bukan masalah karena lelaki bersurai hitam itu masih menyimpan kunci cadangan yang dia miliki saat terakhir kali masuk tanpa ijin dulu.Ada kernyit di dahi Killian saat merasakan betapa sepi kediaman yang tidak bisa dikata kecil ini. Walau tidak sebesar kediaman utama keluarga Ardhana, tapi kediaman keluarga Reynault ini juga terbilang cuk
Kejutan yang kedua untuk hari ini pun, sudah menunggu Killian."Apa yang dia lakukan di sini?""Bagaimana kalau kamu tanyakan saja langsung padaku? Alih-alih menganggapku hanya sebagai pajangan dinding semata."Rahang Killian terlihat menegang, dengan tubuh kaku dia memandang lurus, sama sekali tidak menghiraukan ucapan terakhir yang dia dengar.Hari ini dia ada rencana untuk bertemu dengan rekanan bisnis yang juga adalah teman semasa kuliahnya dulu, Ayik Yuwendi, yang merupakan CEO sekaligus anak dari pemilik Yuwendi Corporations.Ada proposal kerja sama yang perlu mereka bicarakan dengan lebih mendalam dan Ayik pun mengundang Killian untuk datang ke ruang kantornya satu jam sebelum waktu makan siang.Namun sewaktu dia diantar ke ruang kerja Ayik, di sana sudah ada kejutan yang menyambut.Di dalam ruangan yang elegan itu, Ayik Yuwendi tidak seorang diri, tapi ada Andreas Rezef Callisto beserta asisten pribadinya, Ronald, yang sudah menunggu.
Di kediaman Ardhana.Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, dan di ruang keluarga saat ini tengah terjadi situasi yang menegangkan."Apa katamu tadi?" Menggeram dengan sepasang alis yang mencuram dan tubuh yang menegang, Gallahan Ardhana terlihat murka. "Coba ulangi ucapanmu tadi, Aiden!"Menarik napas dengan susah payah, sekarang Aiden merasa seolah ingin menggali tanah lalu mengubur dirinya sendiri. Setidaknya, dia tidak perlu menghadapi Gallahan yang auranya semakin menggelap saja.Ah, sial! Kalau saja Killian tidak ikut campur. Yang dia lakukan saat ini tidak ada bedanya dengan sebuah pernyataan bunuh diri."Aku pasti nggak akan kesulitan seperti sekarang," gerutunya dengan hati merasa nelangsa, tapi juga kesal. "Si Cowok Iblis itu ... benar-benar merepotkan saja!"Ada gerakan kecil dan Aiden merasakan ada yang meremas samping kemejanya. Melirik, dokter muda itu bisa melihat Aisa yang juga sama pucat. Menghela napas berat, Aiden lalu mencoba unt
Halo, Semua. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat & bahagia. Hari ini, akhirnya cerita Aila dan Killian pun berakhir. Terima kasih atas satu tahun yang begitu mengagumkan. Terima kasih juga karena sudah berkenan mengikuti cerita ini sampai akhir. Saya menyadari bahwa novel ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan saya meminta maaf atas segala hal yang tidak memuaskan. Semoga kita bisa bertemu lagi!
Orion menoleh. Bocah lelaki yang biasanya begitu pendiam itu pun seketika memasang wajah ceria, lantas berlari-lari sambil berseru riang, "Mom!" "Halo, Sayang," sahut Aila, yang juga memburu menyambut putranya dengan kedua tangan terkembang, lalu memeluknya. "Maaf karena Mommy terlambat." "Tidak apa-apa, Mom. Oh, apa Mom tahu kalau Rigel tadi terjatuh dari pohon?" Sepertinya predikat pendiam Orion pun menghilang seketika, sebab anak itu sekarang berceloteh dengan begitu bersemangat. "Oh, ya? Benarkah? Kenapa sampai bisa begit—" "Itu karena tadi ada anak kucing, lalu dia—" "Mommy!" Tidak mau berlama-lama sampai Aila mengomelinya, Rigel langsung memeluk Aila dan sengaja sedikit menggeser posisi Orion agar sedikit menjauh. "Kenapa Mommy lama sekali, sih? Apa Mommy tahu, kalau sewaktu tidak ada Mommy, Kak Lills selalu mengomeliku habis-habisan?" Tersenyum, Aila lantas menepuk-nepuk kepala kedua putra kembarnya. Setelah itu, dia mengulurkan tangan, meminta agar Liliana mendekat. Se
"Kills, apa yang kamu lakukan?""Sst, Queen. Aku sedang berusaha mendengarkan anak kita. Kira-kira mereka sedang apa, ya, di dalam perutmu?"Aila tertawa. Lelaki itu bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menempelkan telinga di perut Aila. Sambil mengelus-elus dan menciumi perut istrinya, Killian terus saja berbisik dan tertawa bahagia ketika mendapatkan tendangan kecil sebagai balasan."Kills, sudah dong.""Sebentar lagi saja, Queen. Lihat, anak kita gerakannya begitu aktif.""Kamu, sih, senang melihatnya, tapi aku yang merasakan nyeri."Killian terdiam seketika, lalu buru-buru berbisik, "Sayang, kalian kalau menendang jangan terlalu kuat. Kasihan Mommy. Tuh, lihat. Kalau nanti Mommy sampai ngambek terus Daddy tidak diberi jatah, bagaimana?"Aila membelalak. Dengan wajah memerah dia lantas menjewer suaminya itu."Queen, aduh. Sakit. Lepaskan, Queen. Memangnya, aku salah apa?""Salah apa, katamu? Ya Tuhan, Kills. Apa yang baru saja kamu katakan kepada anak-anak kita, ha?"
Bukankah kehamilan Aila masih menginjak usia tujuh bulan? Killian memang bukan seorang dokter, tapi dia tahu betapa seriusnya situasi saat ini. "Dokter Aiden!" seru seorang dokter laki-laki yang datang berlari-lari menyambut, sesampainya mereka di bagian IRD (Instalasi Rawat Darurat). "Bagaimana status pasien?" "Dokter Cedric, selamat malam! Pasien mengalami preterm PROM (Premature Rupture of Membrane)." "Berapa usia kandungannya?" "Tiga puluh satu minggu." Killian masih sempat menangkap ekspresi tegang yang sekilas melintas di wajah dokter Cedric dan ada perasaan tidak enak yang seketika dia rasakan. "Aiden! Katakan padaku. Apakah ini buruk?" tanyanya, dengan nada panik yang bisa tertangkap jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram kemeja Aiden dan menahan dokter muda itu ketika akan menyusul Aila, yang sudah dibawa masuk ke ruang perawatan terlebih dulu oleh dokter Cedric. Ada beberapa detik yang dilewatkan Aiden untuk terdiam. "Begini, Ian. Akan ada beberapa prosedur yang tid
Keadaan menjadi semakin baik. Mereka mungkin saja menggerutu, merasa kesal dan kalau bisa, maka akan memilih untuk pergi saja. Namun, nyatanya tidak. Meski dengan perasaan tidak puas, nyatanya tidak ada seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang membuat mereka untuk tetap bertahan di tempatnya masing-masing. Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya mungkin adalah ... seseorang. "Lihat. Bukankah kalau begini, jadi lebih menyenangkan?" ujar Aila dengan wajah ceria, seolah tidak menyadari apa pun. "Lills, kamu juga suka kan?" Liliana segera mengangguk-angguk, membuat kedua pipinya yang menggemaskan pun terlihat naik turun dengan lucunya. Lalu, dengan penuh semangat dia berseru, "Suka, Mommy! Kalau Mommy suka, Lills juga suka!" Berakhir sudah. Meski masih belum yakin sepenuhnya, tapi mereka seolah memiliki perasaan bahwa dengan ucapan kedua Ibu dan anak itu maka sebuah keputusan telah diambil. Mereka akan makan malam bersama dalam sa
Ada berbagai macam hal tidak jelas yang silih berganti mengisi mimpi Aila.Seorang perempuan yang berbalik lantas keluar dari sebuah tempat yang seperti ruang kantor; seorang lelaki yang tengah dipeluk oleh perempuan lain, tapi sepasang mata birunya terus memandang ke arah perempuan pertama yang tadi pergi; selembar kertas yang sepertinya berisi hasil pemeriksaan rumah sakit yang disertai oleh sebuah testpack; sebuah tempat yang begitu ramai yang tampaknya adalah bandara dan perempuan yang pertama tadi tengah berjalan menyeret sebuah koper, sembari menunduk dan mengelus-elus perutnya.Tunggu, apakah dia sedang menangis? Ah, iya. Perempuan itu memang sedang menangis.Sebab, kemudian ada sepasang lelaki dan perempuan berusia separuh baya yang lantas menghampiri dan memeluknya, berusaha menenangkan serta menghiburnya. Ketiga orang tersebut lantas berjalan di garbarata, menuju pintu sebuah pesawat dengan posisi perempuan tadi berjalan paling akhir.Lalu, sesaat sebelum melewati kedua pram
Ada begitu banyak hal yang terjadi sejak keributan di pusat perbelanjaan waktu itu.Yang pertama adalah Killian yang segera memburu Aiden dan membuat dokter muda itu uring-uringan nyaris sepanjang hari."Demi Tuhan, Ian! Harus berapa kali lagi aku harus memberi tahumu? Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak bisa!"Aiden bahkan harus mencengkeram stetoskopnya erat-erat. Kalau saja tidak ingat bahwa alat medisnya itu keluaran Littmann, pasti dia sudah akan menyumpalkannya ke mulut Killian."Kalau begitu, setidaknya beri aku solusi Aiden! Aku ingin pergi berlibur bersama Queen dan Princess, tapi terkendala dengan paspor dan visa yang Queen miliki."Permasalahan yang dimaksud Killian adalah perbedaan antara wajah dan foto di dokumen perjalanan yang Aila miliki, sehingga jelas tidak memungkinkan bagi perempuan itu untuk bepergian ke luar negeri dengan menggunakan identitas miliknya.Satu-satunya hal yang memungkinkan adalah apabila Aila menggunakan dokumen identitas milik Selena Hills. Namun
"Kami pulang!"Ansia berseru gembira, dengan senyuman lebar di wajah dan kedua tangan yang terentang lebar. Baik dia maupun Hugo mengira bahwa akan ada banyak orang yang menyambut kepulangan mereka yang lebih awal ini dengan bahagia.Namun, nyatanya tidak."Ke mana semua orang?" tanya Hugo, memeluk pinggang istrinya, memberi kecupan sekilas di pipi, sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas sofa. Tampak jelas kalau lelaki itu merasa sangat lelah. "Jam berapa sekarang? Apakah Lexis dan Alden masih belum pulang sekolah?"Istrinya hanya menggeleng kecil dan menaikkan bahu sekilas, terlihat sedikit muram. Syukurlah tidak lama kemudian kepala pelayan datang dan menyambut mereka, serta memberi tahu di mana Risa dan kedua anak kembar mereka berada."Kediaman Ardhana?" Ansia balik bertanya sekedar untuk memastikan. "Jadi, mereka bertiga pergi ke sana?""Betul, Nyonya. Tadi Nyonya Risa memang mengatakan begitu."Bahkan tanpa mau membuang waktu meski sekedar untuk beristirahat sejenak, Ansia d
"Lills, hati-hati." Ivona berseru, memandang khawatir ke arah cucu perempuannya. "Jangan lari-lari, Sayang.""Jangan terlalu khawatir," ujar Risa, sembari tersenyum menenangkan. "Lexis dan Alden bersamanya, mereka pasti akan menjaga Lills. Lagi pula, juga ada beberapa pengawal yang sekarang sedang menyertai kita."Ivona tersenyum balik dan mengangguk. "Anda benar, Nyonya Roxanne. Sepertinya memang saya saja yang terlalu khawatir.""Tidak apa-apa. Hal yang wajar, sebab itu berarti Anda sangat menyayangi Lills. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau mulai sekarang Anda memanggil saya 'Risa' saja? Yah, agar tidak terlalu kaku."Sekali lagi, Ivona tersenyum dan mengangguk. "Ah, iya. Tentu saja. Kalau begitu, panggil saya dengan 'Ivona' saja. Bagaimana, Risa?"Kali ini, Risa tertawa kecil dan bersambut dengan tawa dari Ivona. Sejak lebih sering menghabiskan waktu dengan makan malam bersama nyaris setiap hari, kedua perempuan baya itu menjadi jauh lebih dekat dibanding sebelumnya.Tentu saja tida